Minggu, 17 Juli 2011

Belgia Susul Perancis Terapkan Larangan Niqab dan Burka

.
Belgia Susul Perancis Terapkan Larangan Niqab dan Burka
Cadar. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL - Belgia akan menjadi negara Uni Eropa kedua yang melarang burqa dan niqab setelah Prancis. Kepastian itu terungkap dari aturan baru yang disepakati seluruh anggota parlemen Belgia dan dipublikasikan dalam jurnal resmi Kerajaan.

Disebutkan dalam aturan tersebut, setiap Muslim yang mengenakan niqab dan burqa akan dikenai denda € 137,50 ($ 195) serta hukuman kurungan penjara selama tujuh hari. Aturan tersebut tentu saja mengancam 270 orang perempuan Muslim yang menggunakan niqab dan burqa di seluruh Belgia.

Sementara itu, langkah Perancis dan Belgia, tak lama lagi akan diikuti oleh Australia. Saat ini, negeri Kangguru tengah mengujicobakan aturan larangan penggunaan niqab dan burqa pada komunitas Muslim Australia. Adapun pertimbangan pemerintah Australia dalam memberlakukan aturan itu merujuk pada dalih keamanan yang direkomendasikan penegak hukum.

Kondisi berbeda, terjadi di Inggris. Sebagai pusat populasi komunitas Muslim terbesar di Eropa, representasi suara Muslim Inggris lebih terdengar. Karena itu, sejumlah kalangan di Eropa menyebutkan pemberlakukan larangan niqab atau burka sulit dilaksanakan di Inggris.

Dewan Muslim Inggris (MCB), sebuah organisasi yang membawahi seluruh Muslim Inggris menyatakan larangan itu sulit berlaku lantaran toleransi beragama di Inggris begitu besar. "Pelaksanaan pelarangan burqa tidak akan terjadi karena Inggris adalah masyarakat yang lebih terbuka dan inklusif ketimbang Eropa daratan. Dan kami akan pertahankan itu,” papar dia seperti dilansir dari The Huffington Post, Jum’at (15/7).

Nabila Ramdani, warga Paris yang menetap di Inggris mengatakan kurangnya toleransi adalah alasan negara-negara Eropa mengadopsi pelarangan burqa. "Ada lingkungan yang lebih toleran di Inggris dan mereka jauh lebih inklusif dari masyarakat Perancis dan Belgia. Inggris selalu lebih inklusif dan praktis berhubungan dengan multikulturalisme. Anda lihat  minoritas diwakili dalam media, politik, bisnis. Sesuatu yang tidak Anda lihat di Prancis atau Belgia," ujarnya.

Ramdani juga mengatakan gerakan anti-diskriminasi hukum Inggris yang begitu kuat, tidak seperti di Belgia dan Perancis, melindungi Inggris dari politisi yang berniat mengesahkan undang-undang tersebut. "Tidak ada hukum anti-diskriminasi yang kuat di Belgia dan Perancis untuk melawan itu. Lebih buruk lagi, di kedua negara tersebut rasisme sudah melembaga," papar dia.

Kendati demikian, suara-suara sumbang warga Inggris terhadap komunitas Muslim masih terdengar. Sebagian dari mereka bahkan menyebut warga Inggris yang mendukung kehadiran komunitas Muslim dengan istilah "unbritish". Tahun lalu, jajak pendapat YouGov mengungkapkan mayoritas warga Inggris menginginkan niqab atau burka dilarang. Hanya 27 persen warga Inggris yang setuju niqab dan burka dilarang. /alarabiya/hufftingtonpost.com
Redaktur: Djibril Muhammad
Reporter: Agung sasongko
Sumber: alarabiya/hufftingtonpost.com

Sulit Temukan Salon Khusus Muslimah di Liverpool, Zainab Nezami Buka Salon Keliling

.
Sulit Temukan Salon Khusus Muslimah di Liverpool, Zainab Nezami Buka Salon Keliling
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, LIVERPOOL — Lantaran kesulitan mencari salon kecantikan khusus Muslimah,  salah seorang warga Liverpool, Zainab Nezami berinisiatif membuatan salon mobile.

Salon ini memungkinkan setiap Muslimah untuk mendapatkan layanan perawatan rambut secara pribadi.  Sebab, kebanyakan salon di Inggris tidak memungkinkan seorang Muslimah untuk membuka hijab di depan umum. Apalagi, kebanyakan salon di Inggris menerima konsumen laki-laki dan perempuan dalam satu layanan.

"Dalam tradisi muslim, kita menutup rambut sebagai bagian dari kesopanan dan tidak bisa sembarang membukanya di depan umum," papar dia seperti dikutip dari BBC, Jum’at (15/7). Menurut Zainab, sulit bagi seorang Muslimah untuk pergi ke salon jika ada seorang pria tengah mendapatkan perawatan serupa.

Alasan lain, kata Zainab, salon mobile diipilih lantaran butuh biasa yang sangat besar untuk mendapatkan pinjaman bank. Hal utama yang mengganjal Zainab, Islam tidak memperkenankan umatnya membayarkan bunga.  “Kami diajarkan tidak diperkenankan menerima atau membayar bunga bank, ” kata dia.

Wal hasil, selepas menyelesaikan pendidikan sebagai penata rambut professional, Zainab segera terjun ke lapangan menemui klien-kliennya. Bak gayung bersambut, respon klien-klien terhadap layanan Zainab begitu positif. Tak heran, bila Zainab begitu dibutuhkan para Muslimah yang menetap di Liverpool.

Model funky

Kendati berkeliling, kemampuan Zainab tak kalah mumpuni dengan penata rambut profesional di salon.  Setiap gaya yang dikhendaki sang klien dia penuhi. "Beberapa teman saya ingin mewarnai rambut mereka dengan pilihan warna merah muda atau biru, dan itu terlihat sangat bagus,” ungkapnya

Namun, aturan tetaplah aturan. Dalam tradisi Muslim,  rambut seorang Muslimah tidak diperkenankan sama dengan pria. Sebabnya, Zainab menolak bila ada kliennya yang meminta rambutnya dipotong serupa dengan pria.

 "Dalam Islam kita tidak memungkinkan untuk memotong rambut wanita itu seperti pria karena harus ada beberapa perbedaan antara pria dan wanita, jadi kami memilih untuk panjang bahu,” jelasnya.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Agung Sasongko
Sumber: BBC

Pemimpin Muslim Jerman Kritik tak Adanya Ustadz untuk Tentara Muslim

Pemimpin Muslim Jerman Kritik tak Adanya Ustadz untuk Tentara Muslim
Tentara Jerman

REPUBLIKA.CO.ID, Pemimpin Muslim mengkritik tidak adanya ustadz atau semacam tokoh agama Islam di angkatan bersenjata Jerman untuk tentara Muslim, walaupuan fakta yang ada memperlihatkan sekitar 1.200 tentara muslim diharapkan melayani di Bundeswehr.

Dua kelompok yang menaungi sekitar 4,3 juta Muslim di Jerman mengatakan Rabu (13/7) bahwa jika langkah tersebut dilakukan diyakini akan mempermudah atau menjadi suatu langkah maju menuju intergrasi.

"Itu akan menjadi sangat penting untuk integrasi," ujar Kepala Dewan Pusat Muslim Jerman, Aiman Mazyek, kepada portal berita online, News.de.

Jika Kaum Protestan dan Katolik memiliki sekitar 90 imam atau ustadz yang masing-masing memberikan dukungan spiritual atau bimbingan kepada para tentaranya, sementara untuk tentara Muslim tidak ada. Meskipun ada sekitar 1.200 tentara Muslim yang mendedikasikan dirinya Bundeswehr.

Kepala Dewan Islam Republik Federal Jerman, Ali Kizilkaya mengatakan, "jika itu memang didasari itikad baik, maka tidak ada yang sulit." Ia juga menambahkan bahwa langkah tersebut merupakan "tawaran untuk integrasi."
Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: www.thelocal.de

Sulit Temukan Salon Khusus Muslimah di Liverpool, Zainab Nezami Buka Salon Keliling

.
Sulit Temukan Salon Khusus Muslimah di Liverpool, Zainab Nezami Buka Salon Keliling
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, LIVERPOOL — Lantaran kesulitan mencari salon kecantikan khusus Muslimah,  salah seorang warga Liverpool, Zainab Nezami berinisiatif membuatan salon mobile.

Salon ini memungkinkan setiap Muslimah untuk mendapatkan layanan perawatan rambut secara pribadi.  Sebab, kebanyakan salon di Inggris tidak memungkinkan seorang Muslimah untuk membuka hijab di depan umum. Apalagi, kebanyakan salon di Inggris menerima konsumen laki-laki dan perempuan dalam satu layanan.

"Dalam tradisi muslim, kita menutup rambut sebagai bagian dari kesopanan dan tidak bisa sembarang membukanya di depan umum," papar dia seperti dikutip dari BBC, Jum’at (15/7). Menurut Zainab, sulit bagi seorang Muslimah untuk pergi ke salon jika ada seorang pria tengah mendapatkan perawatan serupa.

Alasan lain, kata Zainab, salon mobile diipilih lantaran butuh biasa yang sangat besar untuk mendapatkan pinjaman bank. Hal utama yang mengganjal Zainab, Islam tidak memperkenankan umatnya membayarkan bunga.  “Kami diajarkan tidak diperkenankan menerima atau membayar bunga bank, ” kata dia.

Wal hasil, selepas menyelesaikan pendidikan sebagai penata rambut professional, Zainab segera terjun ke lapangan menemui klien-kliennya. Bak gayung bersambut, respon klien-klien terhadap layanan Zainab begitu positif. Tak heran, bila Zainab begitu dibutuhkan para Muslimah yang menetap di Liverpool.

Model funky

Kendati berkeliling, kemampuan Zainab tak kalah mumpuni dengan penata rambut profesional di salon.  Setiap gaya yang dikhendaki sang klien dia penuhi. "Beberapa teman saya ingin mewarnai rambut mereka dengan pilihan warna merah muda atau biru, dan itu terlihat sangat bagus,” ungkapnya

Namun, aturan tetaplah aturan. Dalam tradisi Muslim,  rambut seorang Muslimah tidak diperkenankan sama dengan pria. Sebabnya, Zainab menolak bila ada kliennya yang meminta rambutnya dipotong serupa dengan pria.

 "Dalam Islam kita tidak memungkinkan untuk memotong rambut wanita itu seperti pria karena harus ada beberapa perbedaan antara pria dan wanita, jadi kami memilih untuk panjang bahu,” jelasnya.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Agung Sasongko
Sumber: BBC

Alhamdulillah..Rencana Pembangunan Museum Islam Australia Segera Terealisasi

Alhamdulillah..Rencana Pembangunan Museum Islam Australia Segera Terealisasi
Islamic Museum Australia

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA - Di tengah protes keras komunitas Muslim Australia terkait rencana negara bagian New South Wales yang mengubah undang-undang terkait cadar dan niqab, pembangunan museum Islam Australia segera direalisasikan. Total biaya yang disiapkan guna membangun museum bersejarah tersebut adalah 4 juta dolar AS.

Proyek ini dipelopori komunitas Muslim Melbourne, termasuk tokoh-tokoh bisnis seperti Ahmed dan Moustafa Fahour. Keduanya mengharapkan kehadiran museum akan menjembatani antara Islam, Australia, dan dunia.  "Museum ini akan menampilkan warisan dan kontribusi sejarah Islam di Australia dan luar negeri," kata dia seperti dikutip SBS.com, Jum'at (15/7).

Dikatakan Fahour,  ide ini terinspirasi dari museum Cina, Italiano Museo di Carlton, dan museum Yahudi di St Klida. Nantinya, kata dia, museum didesain untuk memudahkan interaktif dengan pengunjungnya. Seperti misal, informasi terkait sejarah lahirnya agama Islam dalam bentuk yang ringan sehingga bisa dicerna oleh publik.

Selain itu,  museum juga diisi dengan replika bursa saham syariah,  percetakan uang dirham, kerajinan tangan, poster dan souvenir lainnya. "Juga ada buku pilihan tentang Islam, desain seni dan warisan. Kami juga menyiapkan toko online guna memungkinkan pembelian dari manapun baik di Australia atau luar negeri," kata dia.

Maysaa Fahour, 27, istri Mustafa turut ambil bagian dalam proses pembangunan museum, utamanya dalam mengawasi dan menggalang dana untuk pembangunan. Dia pula yang melobi kantor pajak Australia dan kementerian Kebudayaan negara Bagian Victoria guna mendukung rencana tersebut. Usahanya tak sia-sia, sebab pemerintah Australia dan negara bagian Victoria mendukung penuh atas rencana itu.

''Saya sebagai Muslim Australia sangat bangga bila museum itu sudah jadi,'' kata Moustafa Fahour, 29, salah satu dari delapan anak yang lahir orang tua migran Lebanon yang menetap di Melbourne pada tahun 1960.

Pembangunan museum  dimulai tahun ini, dan diperkirakan selesai dua tahun. Lokasi museum berada di dekat kawasan industri, Thornbury, Victoria.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Agung Sasongko
Sumber: sbs.com

Buku Dirilis 18 Juli di AS: Islam 'Gerakkan' Massa Turun ke Jalan Tuntut Kebebasan

   
Buku Dirilis 18 Juli di AS: Islam 'Gerakkan' Massa Turun ke Jalan Tuntut Kebebasan
Mustafa Akyol

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Merayakan sejarah kebebasan dan pemikiran liberal di kalangan Muslim, sebuah buku baru akan dirilis awak pekan depan di Amerika Serikat (AS). Buku itu memaparkan gambaran bagaimana sejarah Islam selalu mendukung kebebasan beragama dan toleransi.

"Namun faktanya begitu banyak negara Arab yang dijalankan oleh pemerintah diktator hingga memperkuat mitos bahwa itulah satu-satunya tipe pemerintahan yang dapat dihasilkan negara tersebut," ujar seorang jurnalis di Turki, Mustafa Akyol, penulis buku tersebut, Kamis (14/7).

"Revolusi-revolusi yang baru saja terjadi menunjukkan bahwa itu salah."

Mengusung judul “Islam Without Extremes: A Muslim Case for Liberty," buku itu akan dirilis di AS pada 18 Juli nanti. Publikasi karya Akyol yang membawa tema demokrasi dalam Islam dinilai dilakukan pada saat yang tepat, ketika Mesir masih berupaya mereformasi diri, saat perang sipil merobek di Libya, pertikaian di Yaman a, serta kerusuhan di Suriah.

Mencerminkan gambaran revolusi yang meletus di negara-negara Arab--yang dijuluki penulis Arab Spring (Musim Semi Arab)--buku itu ingin bertutur kepada pembaca bahwa sebenarnya ada sejarah panjang antara kebebasan dan dunia Islam.

Gambaran mengenai ribuan orang yang turun ke jalan-jalan menyerukan kebebasan, dipandang mewakili pemahaman baru terhadap Islam di barat, yang selama ini diasosiasikan dengan terorisme dan kekerasan.

Dalam bukunya, Aykol berargumen akar Islam dari dulu selalu mendukung kebebasan dan toleransi. Ia juga mengungkap kembali kisah-kisah sejarah Muslim ketika mereka lebih terbuka ketimbang Eropa dan Kristiani dan menggarisbawahi sejumlah pemikiran progresif para ilmuwan Muslim dari sejarah Islam.

Tak ketinggalan ia menyinggung toleransi beragama di bawah kepemimpinan Muslim, yang sudah menjadi tradisi zaman kenabian. Pada abad ke-7 di Madinah misal, menurut Aykol, Yahudi diizinkan untuk melakukan ibadah secara terbuka di bawah perlindungan penguasa Muslim.

Rakyat di Suriah, Yaman dan negara-negara lain yang tengah memperjuangkan demokrasi, menurut Aykol, dapat mengambil inspirasi dan belajar dari sejarah itu.

Ia juga menawarkan gagasan bahwa ide-ide terkait pemerintahan yang berasal dari cendikiawan Muslim abad ke-10, Al Farabi, yang menurutnya masih sangat relevan dan identik dengan demokrasi modern saat ini.

Ia berharap ide-ide gaya lama tentang Islam tidak akan menahan wajah tren demokrasi yang berkembang cepat saat ini. "Sejak lama, demokrasi ditolak mentah-mentah oleh intelektual Muslim, namun kini waktunya berubah," ujarnya. "Kini ada lebih banyak sikap terbuka dan timbul pemahaman bahwa demokrasi bisa konsisten dengan nilai-nilai Islam."

Perilisan yang dilakukan di tengah revolusi yang belum usai di Yemen, Libya dan Suriah, menjadikan buku itu sebagai salah satu sumber pandangan bagi barat mengenai pemikiran Muslim

Buku itu juga membantah anggapan barat bahwa versi pemerintah diktator yang digulingkan akan digantikan dengan versi radikal. "Dengan buku ini saya ingin memberi amunisi kepada Muslim liberal di penjuru dunia untuk berargumen bahwa Islam mendukung kebebasan, bukal totalitarianisme," tegas Aykol
Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Onislam.net/Reuters

Surat Terbuka Ayah Sang 'Taliban Amerika' (5): Lepas dari Segala Penyiksaan, Dia Tetap jadi Muslim dan Aku Bangga Padanya


.
Surat Terbuka Ayah Sang 'Taliban Amerika' (5): Lepas dari Segala Penyiksaan, Dia Tetap jadi Muslim dan Aku Bangga Padanya
John Phillip Walker Lindh.

REPUBLIKA.CO.ID,  Pada pertengahan Desember tahun 2001, media massa di Amerika Serikat seolah tak bosan-bosannya memberitakan tentang John Phillip Walker Lindh. Dia adalah warga negara AS yang turut berjuang menghadang invasi negaranya ke Afghanistan. Seluruh kehidupan pribadinya dikuliti, termasuk pilihannya pada Islam garis keras.

Siapa John Phillip Walker Lindh? Dia adalah mualaf, yang masuk islam saat berusia 16 tahun dan berganti nama menjadi Sulaiman Al Faris. Usianya meningjak 21 tahun ketika ia berbulat tekad pergi ke Afghanistan, bergabung dengan kaum Taliban. Teman-teman seangkatannya saat ini kebanyakan masih sibuk dengan urusan perkuliahan, pacaran, alkohol, narkotika dan hura-hura.


Lama berdiam dalam kebungkaman, ayah Sulaiman, Frank Lindh, buka suara. Pada harian
The Observer, ia menuliskan curahan hatinya. Tulisan ini adalah bagian dari petikan suratnya.

John didakwa dengan 10 dakwaan melawan hukum. "Jika terbukti bersalah dari tuduhan ini," kata Jaksa Agung Ashcroft, "Walker Lindh bisa menerima hukuman seumur hidup, enam tambahan masing-masing 10 tahun, ditambah 30 tahun."

Jumlah paling serius adalah tuduhan konspirasi untuk melakukan pembunuhan sehubungan dengan kematian Mike Spann.

Pengacara John mengajukan mosi dan menekankan bahwa ia memberi keterangan di bawah tekanan di Rhino Camp. Sebuah sidang dijadwalkan pada bulan Juli 2002, yang mencakup kesaksian oleh John dan orang lain tentang kebrutalan ia menderita di tangan tentara Amerika. Pada malam sidang, jaksa pengacara Pemerintah mendekati John dan menegosiasikan kesepakatan pembelaan. Tampak jelas mereka tidak ingin bukti penyiksaan John dibuka di pengadilan.

Dalam kesepakatan pembelaan John mengakui bahwa dengan melayani sebagai seorang prajurit di Afghanistan, dia telah melanggar sanksi ekonomi atas Taliban yang diberlakukan oleh Presiden Clinton dan diperpanjang oleh Presiden Bush.

Atas desakan Menteri Pertahanan Rumsfeld, kesepakatan pembelaan juga termasuk sebuah klausul dimana John melepaskan klaimnya atas penyiksaan yang diterima.

Hukuman setelah melalui kesepakatan adalah: 20 tahun penjara, mulai pada tanggal 1 Desember 2001, hari dimana ia datang ke tangan pasukan AS di Afghanistan.

Osama bin Laden sudah mati. Tapi John Lindh anakku, sekarang 30 tahun, masih di penjara. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mempelajari Quran dan Islam. Dia juga membaca berbagai buku non-fiksi, khususnya sejarah dan politik. Dan yang mengharukanku, dia tetap seorang Muslim yang taat.

Sebagai seorang ayah, aku bersyukur bahwa dia selamat setelah melewati penderitaannya, dan aku senang bahwa ia tetap mempertahankan sikap lembut dan baik hatinya. Aku sangat bangga atas martabat yang ditampilkannya, dengan seluruh penderitaannya baik luar negeri maupun di pengadilan di negerinya sendiri.

Selain pengacaranya, keluarga dekat kini diizinkan menjenguknya. Kami menghargai kunjungan ini, meskipun kami sedih, tidak diperbolehkan melakukan apapun kontak fisik dengan John, dan hanya berbicara di balik partisi kaca. Lepas dari semua itu, aku tetap bangga menjadi orang tua John Phillip Walker Lindh.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Observer

Ilham Habibie: Islam Indonesia Sangat Inklusif

Ilham Habibie: Islam Indonesia Sangat Inklusif
Ilham Habibie

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH - Ketua Presidium Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat Ilham Akbar Habibie mengungkapkan bahwa Islam di Indonesia sangat inklusif (terbuka) bagi siapapun, sehingga sangat toleran dengan agama lain.

"Toleransi agama yang terbina selama ini di Indonesia karena pemeluk agama Islam di Indonesia sangat inklusif," katanya pada kegiatan Musyawarah wilayah (Muswil) III Aceh di Banda Aceh, Jumat malam.

Menurut dia, sikap seperti ini memang sudah menjadi sikap dasar dan turun-temurun bagi orang Islam di Indonesia terhadap pemeluk agama lain. "Kita sebagai orang Islam diharuskan terbuka dengan orang lain," sebut anak pertama mantan Presiden BJ Habibie ini.

Ilham berharap, mudah-mudahan toleransi yang sudah berjalan lama ini bisa terus diperlihara dan dipertahankan, sehingga masyarakat Indonesia bisa selalu hidup dalam suasanan rukun dan damai.
"Sikap seperti ini sudah menjadi khas negara kita," kata dia.

Selain itu, kata dia, organisasi ICMI merupakan kumpulan tiga buah unsur yakni unsur Islam, unsur cendikiawan dan orang Indonesia. Untuk itu secara moral organisasi ini juga bertugas menjaga agar toleransi ini terus terbina.

Ia menambahkan, toleransi yang terbina selama ini di Indonesia karena sikap saling menghargai satu sama lain. "Negara kita memiliki banyak pulau, berbagai macam suku jadi kita tetap saling menghargai agar toleransi tetap terjaga," tambahnya.

Untuk terus menjaga negara tetap toleran, organisasi ICMI terus memberikan masukan-masukan untuk pemerintah dalam mengelola negara tercinta ini. "Hingga saat ini, kita tetap jadi mitra pemerintah," terangnya.

Ilham berharap agar pemerintah selalu bersedia mendengar masukan yang diberikan oleh organisasi lain demi terwujudnya toleransi. "Insya-Allah, pemerintah bisa menerima masukan dengan lapang dada, karena masukan yang diberikan semua bertujuan menjaga dan memajukan bangsa ini," demikian Ilham.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Antara

Ribuan Kaum Muda Indonesia Tolak Poligami

Ribuan Kaum Muda Indonesia Tolak Poligami
Kaum muda Indonesia dan Malaysia tidak setuju dengan poligami. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Hukum islam syariah mengizinkan poligami. Namun, hal itu ditentang ribuan kaum muda Indonesia dan Malaysia. Tanggapan senada juga berlaku bagi seks bebas?

Menurut harian Trouw, ada sekitar seribu lima ratus kaum muda Indonesia dan seribu dari Malaysia menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh dua yayasan kebudayaan Jerman. Mereka berusia 15 hingga 25 tahun.

Hasilnya? Ada sekitar 72 persen dari Indonesia dan 86 persen dari Malaysia menentang poligami. Perlawanan itu terutama datang dari generasi muda perempuan. Kendati demikian sulit untuk menghitung berapa jumlah laki-laki yang melakukan poligami di Malaysia dan Indonesia.

Klub Istri Patuh SuamiTidak itu saja. Baru-baru ini muncul pula di Malaysia dan Indonesia apa yang dinamakan kelompok istri patuh suami. Sebuah kelompok yang menganjurkan agar istri menurut apa kata suami.
Klub itu mendapat banyak tentangan. Menurut kelompok itu istri, harus melayani suami termasuk dalam hubungan seksual. Karena, hal tersebut akan mengurangi tingkat pelacuran.

Selanjutnya penelitian juga menanyakan soal pernikahan beda agama. Generasi muda Indonesia yang menentangnya lebih banyak dibanding rekannya di Malaysia. Di Indonesia, sebanyak 90 persen responden menentangnya sedang di Malaysia hanya ada 60 persen.

Namun jika menyangkut masalah seks sebelum menikah, baik generasi muda di Indonesia dan Malaysia sama saja. ''Di kedua negara tersebut, hanya 1,5 persen responden yang mendukung seks bebas,'' tulis Trouw.
Redaktur: Didi Purwadi
Sumber: www.rnw.nl

GP Ansor: Pesantren Umar bin Khattab Harus Ditutup


GP Ansor: Pesantren Umar bin Khattab Harus Ditutup
Polisi ketika melakukan olah TKP ledakan bom di Pesantren Umar Bin Khattab, Bima, Nusa Tenggara Barat.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), Nusron Wahid, mengatakan Pesantren Umar bin Khattab, di Bima, Nusa Tenggara Barat, harus ditutup. Hal tersebut supaya tidak menciptakan stigmatisasi terhadap pesantren secara keseluruhan.
"Jangan sampai pesantren diidentikkan sebagai pelaku kekerasan," ujar Nusron usai menggelar Apel GP Ansor di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Ahad (17/7), menanggapi ledakan bom yang terjadi di Pesantren Umar bin Khattab.
Ia mengimbau pemerintah agar tegas bertindak untuk bersikap proaktif terhadap pesantren-pesantren yang mengajarkan tindak kekerasan. Kalau tidak ada ketegasan dari pemerintah, pihaknya melalui Banser Densus 99 akan melakukan 'sweeping' dan berkoordinasi dengan aparat kepolisian. Pihaknya akan bantu aparat keamanan terkait 'sweeping' itu.
Nusron tidak merinci pesantren mana saja yang mengajarkan tindak kekerasan. Dia menegaskan semua yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 harus ditutup. "Saya tidak mau menyebut satu per satu pesanten. Yang jelas semua pesantren yang mengajarkan tindak kekerasan dan tidak mau mengajarkan Pancasila dan UUD 1945, semua harus ditutup," tegasnya.
Redaktur: Didi Purwadi
Sumber: Antara

STMIK AMIKOM

Aliran Sesat Jelang Ramadhan, Kemenag Minta Warga Waspada


Aliran Sesat Jelang Ramadhan, Kemenag Minta Warga Waspada
Logo Kemenag

REPUBLIKA.CO.ID, JAMBI - Kantor Kementerian Agama Kabupaten Merangin dan Majelis Ulama Indonesia mengimbau warga mewaspadai aliran sesat keagamaan menjelang memasuki Ramadan. "Kita mengimbau umat Islam agar bisa mewaspadai masuknya aliran sesat yang memanfaatkan momentum ceramah dan dakwah Ramadan sebagai kedok penyebaran faham keagamaan dalam fanatisme sempit yang bisa merusak ukhuwah dan kenyamanan bernegara," kata Kepala Kemenag Merangin H Umar Yusuf di Bangko, Ahad (17/7).

Hal tersebut disampaikannya saat Kemenag Merangin menggelar rapat koordinasi bersama berbagai elemen pemerintah dan masyarakat seperti MUI dan Pemkab dalam rangka persiapan menejalang memasuki bulan suci Ramadhan.

Tidak hanya sekadar menghimbau, Kemenag Merangin bersama sejumlah elemen Pemkab dan MUI Merangin mulai melakukan koordinasi intensif membahas persiapan jelang Ramadan.

Dikatakan Umar, sebagai daerah yang merupakan masyarakatnya heterogen dan sangat plural karena Merangin yang dilalui oleh jalur Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) adalah daerah lintas dan transit yang selalu ramai oleh arus lalulintas kendaraan berbagai jenis dari berbagai daerah asal dan tujuan di Sumatera dan luar Sumatera.

Kondisi tersebut menurut dia sangat rentan terjadinya mampirnya berbagai faham-faham sesat yang dibawa oleh penganut faham tersebut yang singgah.

"Karena itu kita mewanti-wanti agar masyarakat dapat menjaga negerinya dengan meningkat kewaspadaaan dan kejelian terhadap segala gelagat penyimpangan ajaran agama yang termasuk aliran sesat yang dibawa oleh berbagai nama organisasi yang berkedok agama, karena sebelum-sebelumnya sepak terjang mereka justeru sering jadi sumber keresahan di tengah masyarakat di tanah air," paparnya.

Ditegaskannya, meskipun tidak perlu dirinci nama-naa organisasi yang membawa nama dan bendera keagamaan dalam tindak-tanduknya melakukan dakwah ideologi yang sesat tersebut, pemerintah yakin masyarakat Merangin pasti sudah dapat mngetahui dengan sendirinya apa saja organisasi tersebut melalui lancarnya akses inormasi telematika di era modern ini.

"Sejuh ini memang ada gerak-gerik mencurigakan yang terdeteksi terjadi di Merangin tapi kita tetap harus waspada, jangan sampai bulan suci Ramadhan dicemari oleh aham-faham fanatisme keagamaan yang sempit itu. Bisa saja di tengah kondisi tenang aliran ini bisa masuk, karenanya tetap berkoordinasi dengan pihak berwajib," katanya.

Adanya indikasi masuknya aliran sesat tersebut ke pesantren diluruskan Kemenag Merangin. Sampai saat ini aktivitas di Ponpes dan Lembaga Pendidikan Agama di Merangin terus berjalan dengan baik sesuai dengan petunjuk.

"Sebab Ponpes di Merangin merupakan ahlisunnah waljamaah. Justru malah Ponpes yang intens mengawasi masuknya aliran sesat ke Merangin," terangnya.

Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara

STMIK AMIKOM

Habib Ahmad bin Ali Abdurrahman Assegaf: Mendoakan Musuh

Ketika pesan disampaikan dengan ikhlas dari hati ke hati, insya Allah, bahkan hati musuh pun akan tersentuh.

Habib Ahmad bin Ali bin Abdurrahman Assegaf adalah pribadi yang hangat, ramah, dan mudah akrab dengan siapa pun. Cara berbicaranya runut dan komunikatif.

Ia lahir pada 18 Oktober 1971 dari keturunan tokoh yang menyandang nama besar sebagai Paku Bumi, tokoh dakwah yang disegani dan pecinta ilmu, yaitu kakeknya, Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, dan ayahnya, Ali bin Abdurrahman Assegaf.

Setelah menyelesaikan pendidikan formal dan pesantren di tempat kakeknya, Habib Ahmad langsung dikirim walidnya belajar ke Madinah tahun 1993, berguru kepada Habib Zein bin Ibrahim bin Smith dan Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri. 

Setelah empat tahun menuntut ilmu di Madinah, Habib Ahmad kembali ke tanah air. Dan mulailah ia meretas jalan dakwah.

Atas permintaan remaja dan masyarakat di Gang AMD XX, Condet, Jakarta Timur, Habib Ahmad mendirikan Majelis Ta’lim Annurul Kassyaf (Cahaya yang Tembus), yang menggelar pengajian setiap Selasa malam. Majelis ini mulai beraktivitas tahun 2003.

Pada 8 Agustus 2008, di lapangan Cawang Kompor, Jln. Dewi Sartika, diadakan tabligh akbar pembukaan majelis dzikir dengan nama yang sama. Habib Ahmad menggelar dzikir dan ziarah setiap malam Sabtu.

Selain itu Habib Ahmad juga mengkader para remaja agar bisa menjadi khatib Jum’at, pemimpin tahlil, shalawat, dan muballigh.

Menurut Habib Ahmad, tantangan yang dihadapi umat Islam semakin lama semakin berat, yang berujung pada pendangkalan aqidah. Jadi, semua orang harus bersatu padu membendungnya. Ia mengutip hadits Rasulullah SAW, “Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, bukan dari golonganku.”  “Dakwah harus dikemas dengan menarik sehingga tidak membosankan. Selain itu setiap pendakwah harus harus saling mengisi, bukan saling sikut,” ujarnya.   

Dakwah juga banyak tantangan. “Namun kita yakin, karena menjadi pejuang yang membantu Rasulullah SAW. Walau sering misalnya difitnah.”

Habib Ahmad mengingatkan, fitnah itu bisa datang dari kaum muslimin sendiri. “Biasanya hidup mereka tidak beres, karena mereka berhadapan dengan yang punya agama, yaitu Allah SWT.”

Bagaimana menghadapi fitnah? Rasulullah SAW telah memberikan teladan. “Beliau disakiti, tapi tidak pernah membalas. Doa beliau adalah bagaimana musuh masuk surga. Itu yang harus kita teladani.”

Ketika seorang dai yang ikhlas berbicara dari hatinya, apa yang dikataknnya insya Allah akan masuk ke hati yang mendengarkan. Umat merasa tenang, pesannya meresap dalam hati.

Dalam hidup manusia, suka dan duka datang silih berganti. Dan sebagai pamungkas wawancara dengan alKisah, Habib Ahmad berpesan, “Kalau ada masalah, penyakit yang menimpa anggota keluarga, misalnya, bacalah shalawat Thibbil Qulub (Shalawat Syifa’) sebanyak seribu kali per hari.” (Bunyi selengkapnya Thibbil Qulub, baca alKisah edisi 26/2010 dalam rubrik Figur).

SM/IMR

Habib Alwi bin Abdullah Alaydrus: Ikhlas sebagai Tujuan…



"Memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara." Di sela-sela kepadatan jadwal kunjungan dakwahnya di Indonesia, tokoh muda yang menjadi salah satu sayap dakwah Habib Umar Bin Hafidz, yang menjadi figur kita kali ini, menyempatkan diri bertandang ke kantor alKisah. Dialah Habib Alwi bin Abdullah bin Husein Alaydrus.

Ditemani Habib Hamid Al-Qadri, Habib Alwi berbagi cerita. Meskipun tak banyak yang bisa dikisahkannya, karena sempit dan terbatasnya waktu, tatap muka singkat itu sudah dapat melukiskan secara utuh kedalaman ilmu dan wawasan pemikirannya meski di usianya yang masih sangat muda.    

Habib Alwi lahir di Bandar Syihir pada tahun 1979 M/1399 H. Pertama kali belajar ilmu syari’at ia dapatkan dari masjid ke masjid. Ia belajar Al-Quran dari Sayyid Salim bin Sa`id Bada`ud. Selain belajar Al-Quran, ia juga sudah menghafal secara intens beberapa matan penting dalam khazanah keilmuan syari’ah, di antaranya matan kitab wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww, karya Syaikh Ibnu Ruslan, dan Aqidah Al-`Awam, karya Syaikh Ahmad Marzuqi. Pada kala itu ia baru menginjak usia kurang dari tujuh tahun.

Setelah itu ia terus menggeluti ilmu-ilmu syari’ah dan banyak menerima ijazah dari guru-guru besar Hadramaut, di antaranya Syaikh Abdul Karim bin Abdul Qadir Al-Mallah, mufti Syihir, Sayyid Ali Masyhur bin Muhammad Bin Hafizh, mufti Tarim, dan Syaikh Salim bin Khamis Al-Habli, ulama besar yang menjadi rujukan banyak ahli ilmu. Dari dan kepada mereka Habib Alwi membaca, antara lain, kitab Al-Yaqut An-Nafis, karya Sayyid Ahmad bin Umar Asy-Syathiri Al-Husaini, dan kitab Tanwir Al-Qulub fi Mu`amalah `Allam Al-Ghuyub, karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi.

Setelah Habib Umar Bin Hafidz mendirikan Darul Musthafa pada tahun 1417 H/1996 M, barulah Habib Alwi mengambil silsilah keilmuan dari Habib Umar Bin Hafizh dan ulama-ulama terkemuka lainnya yang ikut terlibat di Darul Musthafa.

Selain menyelami ilmu di Darul Musthafa, Habib Alwi juga telah menamatkan studi formal strata satunya dari Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hadhramaut, Fakultas Tarbiyah, tahun 2002.
Saat ini, dalam usianya yang masih sangat muda, Habib Alwi dipercaya mengemban jabatan ketua Divisi Halaqah dan Kajian Ilmu Darul Musthafa, yang membawahkan semua halaqah keilmuan yang berpusat di masjid-masjid, baik di dalam maupun di luar Hadhramaut, yang berada di bawah payung Darul Mushthafa.

Yang menarik, dalam setiap halaqah yang diadakan di masjid-masjid tersebut terdapat metodologi dan kurikulum tersendiri dengan materi kitab-kitabnya. Di antara kitab-kitab yang menjadi materi pokoknya adalah kitab Risalah Al-Jami’ah, Safinah An-Najah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyah, Matn Abi Syuja’, Al-Yakut An-Nafis, Umdah As-Salikin, Aqidah Al-`Awam, Al-`Aqidah (karya Imam Haddad), Durus At-Tauhid, Jauhar At-Tawhid, Al-Ajurumiyah, Mutammimah Al-Ajurumiyah, Qatr An-Nada, Mukhtar Al-Ahadits, Al- Arba’in An-Nawawiyyah, Nur Al-Iman, Mukhtar Riyad Ash-Shalihin.

Masa belajar pada halaqah-halaqah tersebut selama dua belas tahun, tiap-tiap tingkatan mamakan waktu selama satu tahun. Selain itu, pada halaqah-halaqah yang ada diterapkan pula ujian-ujian secara berkala berdasarkan kurikulum yang ada.

Satu hal lagi yang perlu ditiru, semua kegiatan pembelajaran yang padat dan berbobot tersebut sama sekali tidak dipungut biaya. Bahkan, "Habib Umar Bin Hafidz bila memberikan ceramah atau taushiyah di suatu tempat hanya diberi kopi," ujar Habib Ubaidillah Al-Habsyi, salah satu alumnus Darul Musthafa yang turut hadir di alKisah pada saat itu, menceritakan pengalamannya selama berada di Hadhramaut. Demikianlah contoh yang diberikan oleh Habib Umar dalam mendidik umat dan mengajak mereka ke jalan Allah. Bilapun ada peserta halaqah yang memberi infaq, itu pun hanya beberapa dan sangat kecil nilainya, sekitar 50 sampai 100 ribu.

"Dengan keikhlasan, kegiatan semacam itu akan terus dilaksanakan, baik ada dana maupun tidak. Karena, memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara," kata Habib Alwi.

Produktif Menulis
Selain sebagai ketua Halaqah Ilmu Darul Musthafa, ia juga aktif sebagai salah satu ketua forum kajian keilmuan syari’ah di kota Syihir. Dan meski kesibukannya sangat padat dalam dakwah dan keilmuan, Habib Alwi termasuk tokoh muda yang sangat produktif menulis karya-karya yang dibutuhkan umat. Di antara yang sudah ditulisnya adalah kitab Syarh Al-Warif `ala Al-Mukhtashar Al-Lathif, yang merupakan syarah atas kitab yang lebih dikenal dengan nama Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal, Irsyad Al-Anam ila Ahkam As-Salam, Risalah At-Tilifun wa Ahkamuh, Ad-Dalail Al-Wudhuh fi Qunut Ash-Shubh, Al-Hamzah fi Sharf, Syarh Al-Qawl Al-Mubin fi Tajhiz Amwat Al-Muslimin.

Ada satu pengalaman ruhani yang sangat menarik bagi Habib Alwi, sebagaimana penuturan Habib Hamid Alqadri menukil dari keterangan Habib Alwi. Habib Alwi menceritakan, tatkala menulis kitabnya yang berjudul Al-Manhal Al-Warif, yang merupakan syarah atas kitab Al-Mukhtashar Al-Latif, ia mendapat banyak kritikan dari beberapa orang yang menganggap bahwa mengarang kitab seperti itu hanya membuang energi, sebab kitab-kitab semacam itu telah banyak ditulis oleh orang lain.

Kata-kata itu spontan membuatnya patah semangat, dan ia pun membiarkan kertas-kertas yang berisikan tulisan kitab Al-Manhal Al-Warif tersebut berserakan begitu saja, yang waktu itu masih belum rampung. Dalam keadaan sedih dan bingung itu, Habib Alwi merebahkan diri di antara lembaran-lembaran kertas tersebut hingga akhirnya terlelap.

Dalam kondisi seperti itu, Habib Alwi bermimpi. Ia mendengar telepon berdering dan ia pun segera mengangkatnya dan menanyakan siapa yang menelepon.
"Siapa Anda?"

"Umar Bin Hafidz! Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis itu, ayo baca! Saya ingin mendengarnya.”

Kontan kejadian itu membuatnya bingung dan ia segera mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan tadi.

Sementara ia masih dalam kondisi bingung, tiba-tiba telepon berdering kembali dan Habib Alwi mengangkatnya kembali.
"Siapa Anda?”

"Abdullah bin Abdurrahman Bafadhal (pengarang kitab Al-Mukhtashar). Coba engkau baca kitabmu itu!"
Habib Alwi semakin bingung, dan telepon kembali berdering.

Setelah telepon diangkat dan ditanyakan, penelpon itu menjawab bahwa ia adalah Muhammad bin Idris Asyafi`i (Imam Syafii). Imam Syafi`i juga meminta hal yang sama.

Kepanikan Habib Alwi semakin bertambah tatkala untuk kesekian kalinya telepon berdering. Seperti sebelumnya ia pun mengangkat telepon tersebut dan bertanya, "Anda siapa?"

"Kakekmu, Muhammad SAW. Mana kitab Al-Manhal Al-Warif yang engkau tulis, ayo baca! Aku ingin mendengarnya."

Seketika Habib Alwi terbangun dan menata kembali lembaran-lembaran yang tadinya berserakan.
Keesokan harinya Habib Alwi berjumpa salah seorang shalih yang tinggal di Syihir. Dengan tanpa diduga-duga, orang itu menegor dirinya.

"Alwi, kenapa engkau menunggu sampai Nabi menegurmu dalam melanjutkan karanganmu itu?"
Habib Alwi sangat kaget dengan pernyataan orang itu, sebab mimpi yang dialaminya malam itu tidak diceritakan pada siapa pun.

Maka setelah kejadian itu, semangat Habib Alwi kembali bangkit untuk merampungkan kitab tersebut.
Setelah penulisan kitab itu selesai dan ia pindah ke kota Tarim, ia bertemu Habib Salim Asy-Syathiri. Ia pun memperlihatkan hasil karyanya itu kepada Habib Salim. Dalam perbincangan itu, ia ceritakan mimpi yang pernah dialaminya.

Mendengar semua itu, Habib Salim menganjurkan agar mimpi itu juga dituliskan pada pembukaan kitab tersebut. Namun, saran itu belum bisa ia lakukan karena beberapa hal.

Safari Dakwah

Selama kurang lebih 17 hari berkunjung di Indonesia, Habib Alwi mengadakan safari dakwah di beberapa kota besar di Indonesia. Di Jakarta, Habib Alwi mengikuti semua majelis yang dikunjungi Habib Umar Bin Hafidz, di samping menghadiri halaqah yang diadakan dan diprakarsai oleh Telkom Pusat di Jln. Gatot Subroto. Di Situbondo, Habib Alwi menjadi pembicara pada seminar “Aqidah Ahlussunnah” yang diselenggarakan Universitas Al-Ibrahimi, dilanjutkan dengan pertemuan di Masjid Awwabin, Bondowoso. Setelah itu ia menghadiri haul Imam Faqih Muqaddam, Muhammad bin Ali Al-Husaini, di majelis Tarekat Alawiyyah Naqsyabandiyyah wa Muhsiniyyah, Bondowoso, pimpinan Habib Haidarah bin Muhsin Al-Hinduan, alumnus angkatan pertama Darul Musthafa. Kemudian Habib Alwi melanjutkan safari dakwahnya ke Banjarmasin, Palangkaraya, Sampit, dan Pangkalan Bun dalam rangka menghadiri Haul Imam Faqih Muqaddam.

Setelah itu ia melanjutkan lagi perjalanannya ke Ketapang dan Pontianak untuk mengikuti haul Imam Al-Muhajir, Ahmad bin Isa Al-Husaini.

Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Habib Alwi mendapat undangan untuk menjadi narasumber program dakwah di stasiun TV Banjar.

Dalam dakwah, Habib Alwi memiliki pandangan yang tidak berbeda dengan pendahulu dan salah satu guru utamanya, Habib Umar Bin Hafidz. At-Tawassuth, moderat, dalam dakwah adalah jalan paling utama menurutnya dalam meniti jalur dakwah, mengajak manusia ke jalan Allah.

Menurut Habib Alwi, tidak seorang pun diperkenankan oleh syari’at untuk memaksakan seseorang untuk melazimi hukum syari’at, kecuali seorang hakim yang secara sah diangkat oleh pemerintah. Karena, bila setiap orang merasa berhak untuk memaksa orang lain, pastilah setiap orang akan merasa berhak menghakimi orang lain tatkala orang lain itu berbeda pandangan dengan pemikirannya. Bila hal ini terjadi, bukan amar ma`ruf nahi munkar yang diperintahkan syari’at yang ada, melainkan amar wan nahyu bil munkar, memerintah dan melarang yang dilakukan dengan jalan kemunkaran, itu yang terjadi. Dan itu jelas dilarang oleh syari’at.

Wallahu`alam bish-shawab.

MS

Habib Sholeh bin Ali Alatas, Tegal: Solusi Dakwah di Pantura

Dalam berdakwah, dia menggunakan metode dakwah para salafush shalih, orang-orang terdahulu, khususnya para Walisanga.
Habib Sholeh Alatas adalah putra pasangan Habib Ali bin Hasan Alatas dan Syarifah Syifa binti Muhammad bin Syech Abubakar Bin Salim. Dia terhitung cucu K.H. Said, pendiri Pondok Pesantren Attauhidiyyah Giren Tegal. Neneknya adalah putri K.H. Said, yang dinikahi Habib Hasan bin Ali Alatas, yang tidak lain kakeknya dari pihak ayah.

Habib Sholeh lahir di Tegal, 14 Juni 1976. Ia anak keempat dari delapan bersaudara.
Pendidikan pertama Habib Sholeh di SD-SMP di kota Tegal.

Pada tahun 1991 dia berangkat nyantri di daerah Pantura, yaitu Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, yang diasuh oleh seorang ulama sepuh, K.H. Maemun Zubaer. Kurang lebih hampir sembilan tahun dia mondok di pesantren, dan dari Sarang-lah dia perdalam ilmu nahwu dan sharaf, juga fiqih.
Setelah lulus Aliyah di Sarang, Habib Sholeh meneruskan pendidikannya ke Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah kota Malang, tahun 2000 sampai 2002.

Tanggal 11 oktober 2002, Habib Sholeh terbang menuju tanah kakek moyangnya di Hadhramaut, Yaman, dan belajar kurang lebih empat tahun di Darul Musthafa.

Luwes dan Luas
Sekembalinya ke Indonesia, Habib Sholeh bin Ali Alatas langsung terjun ke masyarakat dengan berdakwah.

Dalam berdakwah, dia menggunakan metode dakwah para salafush shalih, orang-orang terdahulu, khususnya para Walisanga. Yaitu pendekatan yang luwes dan luas. Luwes dalam arti dakwah yang penuh simpati, dan luas dengan makna dakwah yang mempertimbangkan berbagai aspek.

Diakuinya, waktu pertama kali berdakwah, dia menggunakan cara langsung tegas terhadap kemunkaran. Namun setelah dicoba, cara ini tidak berhasil. Pengasuh PP Ribath Nurul Hidayah Tegal ini lalu menggunakan metode dakwah yang simpatik, sehingga tertanam di dalam hati masyarakat rasa cinta dan perlunya kepada ajaran-ajaran Nabi, khususnya wilayah Pantura, yang banyak sekali tempat-tempat hiburan malam.

Dengan demikian, alhamdulillah, Habib Sholeh Alatas kini berhasil mendirikan cabang-cabang majelis ta’lim safari dan ta’lim binaan Ribath Nurul Hidayah di wilayah Pantura dan juga cabang-cabang di wilayah Kabupaten Tegal dan kota Tegal.

Di samping mengasuh pondok, Habib Sholeh juga aktif berdakwah ke pelosok-pelosok desa serta keluar kota Tegal, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, juga Kalimantan.

SB

Habib Muhammad Ridho bin Yahya: Mengabdi untuk Pendidikan Umat

Tubuhnya yang dulu tegap kini mulai lemah, namun semangatnya dalam berdakwah justru semakin menguat.

Berawal dari nasihat ibunda, Syarifah Nur binti Muhammad binti Syekh Bafaqih, yang berpesan kepada Habib Ridho untuk mengabdikan dirinya di dunia pendidikan. Maka, sedari kecil ia mulai bersekolah di sebuah sekolah Belanda dan di sore harinya ia belajar di sekolah Arab. Belajar di dua tempat berbeda dalam satu hari tentu tidak mudah dan membutuhkan semangat belajar yang sangat tinggi, mengingat dirinya masih kecil saat itu.

Sayangnya hal tersebut hanya berlangsung beberapa tahun. Masuknya Jepang menjajah Indonesia membuatnya terpaksa pindah sekolah. Ia meneruskan pendidikannya di sekolah agama.

Ketika menapaki tingkat sekolah lanjutan atas, ia memutuskan untuk masuk aliyah. Sejak duduk di bangku aliyah ia sudah mulai mandiri dengan mengajar di Ar-Rabithah, Solo.

Mengajar saat belajar bukan alasan untuk membuatnya tak cemerlang dalam pendidikannya. Ia berhasil lulus dari aliyah dengan nilai memuaskan dan meneruskan ke Universitas Gajah Mada di tahun 1953.

Namun, karena lebih berminat pada dunia pendidikan, ia hanya bertahun selama dua tahun di UGM. Ia memutuskan untuk pindah dan menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di Solo untuk mengejar gelar sarjana muda dalam bidang pedagogi.

Mencoba menghidupi diri sendiri sejak aliyah dengan mengajar adalah cermin bahwa dirinya memiliki semangat tinggi dalam berbakti di dunia pendidikan. Selain itu juga bukti bahwa ia menuruti apa yang diperintahkan oleh orangtuanya.

Namun dalam hidup cobaan selalu ada. Ketika Habib Ridho mulai mencoba untuk berdagang, misalnya, hampir bisa dikatakan bahwa ia tak pernah menggapai sukses, bahkan sampai saat ini. Berbagai dagangan ia coba, mulai dari baju hingga makanan, tapi laba tak kunjung datang.

Kemudian ia teringat pesan Ibunda, yang mengarahkannya untuk mengabdi di dunia pendidikan. Maka, setelah lulus, selain mengajar ia juga mulai berdakwah ke masjid-masjid.

Memilih Negeri Sendiri
Untuk mengembangkan ilmunya dalam berdakwah, ia memutuskan hijrah ke kota Pontianak. Sebenarnya Pontianak bukanlah tujuan sebenarnya, karena ia ditawari menjadi imam besar di Kucing, Malaysia. Ia layak mendapat tawaran itu, mengingat kapasitas keilmuannya, ditambah lagi ia mampu berbahasa Inggris, Arab, dan juga Belanda.

Tak lama ia berada di Pontianak, kemudian ia hijrah untuk berdakwah ke negeri seberang tersebut. “Saya ke sana bukan berarti menerima tawaran menjadi imam besar di sana,” ucapnya. Tak lain tujuannya ke Malaysia adalah untuk merasakan atmosfer dakwah di sana.

Sesampainya di Malaysia, fasilitas mewah menyambutnya. Mulai dari tempat tinggal hingga mobil yang siap mengantarnya ke tempat tujuan untuknya dan untuk keluarganya. Habib Ridho diajak berkeliling untuk berdakwah di beberapa tempat di Malaysia, seperti Kuala Lumpur dan Johor. Ia juga sempat bertemu mufti Serawak.

Setelah empat puluh lima hari berdakwah di Malaysia, ia memutuskan untuk kembali ke Pekalongan, guna berunding dengan keluarga, keputusan apa yang nantinya harus diambilnya.

Sebelum ke Pekalongan, entah apa yang membuatnya kembali singgah sejenak di Pontianak, kota yang juga dikenal dengan nama “Khun Tien” oleh etnis Tionghoa di sana.

Selain kepada keluarga, Habib Ridho juga menceritakan kebimbangannya dalam mengambil keputusan kepada salah seorang gurunya, yaitu Habib Sholeh Al-Haddad, yang meskipun tak mampu melihat ia adalah seorang hafizh atau penghafal Al-Qur’an.

Mendengar kebimbangan tersebut, Habib Sholeh memberikan jawaban singkat namun menenangkan hati, “Kamu lebih baik tinggal di Pontianak, dan dirikan pesantren. Lebih baik tinggal di Pontianak. Di sana masih kurang pendakwah. Saya melihat, kamu sangat potensial.”

Berbekal ucapan Habib Sholeh tersebut, ia kembali merundingkannya dengan keluarga.

Rupanya keluarganya senada dengan Habib Soleh. Mereka lebih memilih untuk tinggal di Pontianak. Memakmurkan negeri sendiri dengan ilmu.

Mendengar hal tersebut, Habib Ridho merasa lega, orang-orang yang dia cintai yang selalu berada di sekitarnya tidak silau akan harta dunia semata. Padahal, jika memilih Kuching, Malaysia, tentu lebih menggiurkan secara ekonomi. Tapi bukan itu yang dicari olehnya dan juga keluarganya.

Salafi Modern
Begitu menetap di Pontianak, ia membuka pesantren sesuai pesan Habib Sholeh. Namun bukan pesantren miliknya semata, melainkan pesantren yang didirikan oleh beberapa orang, termasuk dirinya. Pesantren As-Salam, begitu namanya.

Pesantren yang didirikan bukan oleh satu orang tentu akan menimbulkan banyak ide dan pemikiran, yang terkadang bersinggungan dengan berbagai kepentingan yang lain. Maka, agar bisa lebih fokus dengan ide-idenya sendiri, ia pun membangun pesantren sendiri. Pesantren tersebut ia beri nama “Pesantren Darun Naim”.

Alasan lain pendirian pesantren ini adalah demi mempersatukan umat Islam, tanpa memandang ras atau etnik. Sebagaimana diketahui, saat itu terjadi pergesekan antara ras di Pontianak.

Gayung bersambut, langkahnya mendirikan pesantren dengan niat mulia tersebut mendapat sambutan positif dari pemerintah setempat, bahkan juga B.J. Habibie, yang menjabat presiden kala itu. “Saya sempat bertemu dengan beliau (B.J. Habibie) dan menyampaikan niat mendirikan pesantren dengan tujuan tersebut. Beliau menyambutnya dengan sangat baik,” kata Habib Ridho.

Meski mendapat sambutan sangat baik dari berbagai pihak, itu semua tak membuatnya serta merta mendapatkan kelancaran. Di tahun pertama pembukaan, hanya ada enam santri. Habib Ridho tak patah arang. Ia beberapa kali meminta masukan ke Habib Salim Asy-Syathiri.

Alhamdulillah, kini Pesantren Darun Naim bisa dibilang cukup maju. Santrinya pun sudah lebih dari 200 orang. Dalam pelajaran bahasa, selain diajarkan bahasa Arab dan Inggris, di pesantren tersebut juga diajarkan bahasa Mandarin, mengingat banyaknya etnis Tionghoa di tempat tersebut.

Habib Ridho juga menerapkan sistem pesantren yang disebutnya “salafi modern”. Ia menyebut demikian karena pengajarannya tetap menggunakan kitab-kitab para salaf. Santri yang belajar di tempat ini juga diharuskan memakai gamis dan imamah. Pesantren ini pun tak jarang dikunjungi tokoh ulama termasyhur, Habib Umar Bin Hafidz misalnya.
Kini bukan hanya pesantren yang berdiri di area tersebut, tapi juga ada masjid megah yang tak kalah dengan masjid agung di Pontianak. Ada pula paviliun yang fasilitasnya setara dengan hotel berbintang yang diperuntukkan bagi para tamu guna beristirahat.

Keberkahan Mengajar
Selain mengurus pesantren, Habib Ridho juga membuka majelis, yang terbuka untuk umum.

Pengikut majelisnya bertambah banyak. Bahkan tak jarang ada yang masuk Islam seusai dirinya memberikan pelajaran dan mauizhah hasanah di majleis itu.

“Saya lebih suka mengajar di majelis, karena membuka kitab menerangkan apa yang di dalam kitab sehingga meminimalisasi kesalahan, dibandingkan dakwah atau ceramah. Saya juga takut riya’. Meski dakwah atau ceramah itu juga dibutuhkan dalam menyampaikan sesuatu,” ujarnya.

Habib Ridho tak sendirian dalam mencapai hasil yang diperolehnya saat ini. Tentu semua itu tak lepas dari tuntunan dan doa para guru, yang telah membentuknya menjadi pribadi seperti sekarang. Seperti Ustadz Abdullah bin Hamid Al-Hinduan, Habib Soleh bin Alwi, Ustadz Awab Ba Mifta. Juga selalu ada murid-muridnya yang kini telah menjadi orang terkenal. Sebut saja misalnya Muhammad Assegaf, pengacara ternama, Thoha bin Abdillah, tokoh yang telah malang-melintang di dunia politik, Husein Ibrahim, purnawirawan laksamana muda, juga Salim Segaf Al-Jufri,  menteri sosial.

Habib Ridho benar-benar menghabiskan waktu dan tenaganya untuk berbakti di bidang pendidikan. Di usianya yang lebih dari 84 tahun, ia berpesan untuk semua, “Melakukan sesuatu apa pun itu haruslah ikhlas karena Allah.”

Ichsan Suhendra

Habib Hasyim bin Sahl Bin Yahya: Produktif Menulis Kitab Syarah

Karunia Allah begitu besar. Mungkin Allah membuka pemahaman kepada seseorang apa yang tidak dibuka kepada orang lain.


Nama Habib Hasyim bin Sahl Bin Yahya mungkin belum banyak dikenal di negeri kita. Atas undangan Habib Luthfi Bin Yahya Pekalongan, beberapa saat yang lalu tokoh ulama muda Hadhramaut ini berkunjung ke Indonesia. Ia datang ke Nusantara bersama  Habib Zed bin Abdurrahman Bin Yahya.

Nasab lebih lengkap Habib Hasyim adalah Hasyim bin Sahl bin Ibrahim bin Umar bin Aqil bin Abdullah bin Umar Bin Yahya. Jadi, ia masih terhitung kemenakan misan Habib Abubakar bin Umar (bin Abdullah bin Umar) Bin Yahya, Surabaya, ayah dari kakek Habib Zed Bin Yahya. Kedua tamu undangan Habib Luthfi itu masih memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.

Pembawaan sayyid muda asal kota Ta’iz, Yaman Timur, ini sangat tenang. Kalau berbincang, suaranya cenderung pelan. Namun kalimat-kalimat yang keluar dari lisannya mengalir fasih dan tertata rapi. Tapi tak banyak yang menyangka bahwa dari dai muda yang tawadhu’ ini telah terlahir banyak karya berupa syarah atas kitab-kitab yang klasik. Dari kitab yang ringan, sampai kitab-kitab yang tergolong sulit.

Sejak kecil ia telah mendapat bimbingan dari gurunya yang amat ia kagumi. Tak lain, ia adalah kakeknya sendiri, Habib Ibrahim bin Umar bin Aqil Bin Yahya, atau terkadang sering disebut “Habib Ibrahim bin Aqil” saja. Sang kakek adalah mufti di kota Ta’iz, sebuah distrik di timur negeri Yaman. Sementara dalam pelajaran Al-Qur’an, ia banyak mendapat pelajaran dari Syaikh Muhammad bin Ali Al-Qaradhah.

Selain belajar kepada kakek dan sejumlah ulama Hadhramaut dan luar Hadhramaut, seperti Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar Baidha’, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Makkah, Syaikh Fadhal Bafadhal Tarim, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri Rubath Tarim, Habib Umar Bin Hafidz Darul Musthafa Tarim, ia juga masuk sebuah lembaga pendidikan Islam di Ta’iz selama lima tahun yang kemudian ia lanjutkan pada sebuah madrasah negeri.

Selepas sekolah formalnya di madrasah negeri itu ia lewati, ia masuk perguruan tinggi, dan mengambil jurusan tarikh Islam.

Pelajaran yang ia ikuti di perguruan tinggi tidak sampai dituntaskannya, sebab salah seorang gurunya, Habib Umar Bin Hafidz, kemudian memanggilnya ke Tarim, untuk turut mengajar di Darul Musthafa. Kini, ia dipercaya menjadi musyrif, pembina, pada beberapa bidang dalam kepengurusan dan pendidikan di Darul Musthafa, Tarim.

Selain mengajar di Darul Mustfhafa dan membuka majelis di rumahnya sendiri, ia juga aktif mengajar dan berdakwah di sejumlah masjid di Hadhramaut. Ia pun melanjutkan pengajaran pada majelis-majelis yang dulu diasuh kakeknya, Habib Ibrahim Bin Yahya.
Di tengah aktivitasnya mengajar, dari tangannya telah terlahir cukup banyak kitab. Rata-rata kitabnya merupakan syarah atas kitab-kitab para ulama salaf dan juga syarah atas karya-karya gurunya, seperti kitab Maulid gubahan Habib Ibrahim Bin Yahya, kakeknya sekaligus gurunya.

Beberapa kitab lainnya yang telah ia rampungkan pensyarahannya di antaranya adalah Al-Hikam, karya Ibn Atha’illah, dan Shalatul Muqarrabin, karya Habib Hasan bin Shalih Al-Bahr. Bahkan ia juga telah mensyarah kitab Mi’rajul Arwah, karya Syaikh Abubakar bin Salim Al-‘Alawi, sebuah kitab yang tidak sembarang orang dapat memahaminya dengan tepat.

Pada mulanya, karya-karya syarah yang disusun Habib Hasyim berasal dari materi-materi pelajaran yang ia sampaikan kepada para pelajar. Dari pengalamannya selama mengajar, tak jarang Allah membukakan hal-hal, atau pemahaman-pemahaman, yang menurutnya perlu untuk dicatat. Dari situlah Habib Hasyim terus mencatat setiap pemahamannya terhadap teks-teks kitab para ulama salaf.

Karenanya, saat ditanya mengenai kitab-kitab syarah yang telah dihasilkannya itu, Habib Hasyim mengatakan, “Karunia Allah begitu besar. Mungkin Allah membuka pemahaman kepada seseorang apa yang tidak dibuka kepada orang lain. Dan saya tidak suka menyebut keistimewaan karya syarahan saya dibanding syarahan lainnya.”

Ismail Yahya

Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff: Fitnah Menerpa Umat

Generasi muda harus dibekali ilmu dengan benar, karena begitu banyak tantangan dan godaan zaman sekarang.

Pemandangan yang begitu mempesona terhampar ketika kita memasuki kawasan pesantren Darul Habib, yang terletak di Ciambar, Parung Kuda, Sukabumi. Penataan bangunan dan tanaman serta tanah-tanah yang berbukit-bukit tampak begitu asri dan segar. Kesan pertama yang muncul, pesantren itu tak ubahnya taman yang indah dan menyenangkan.

“Padahal dulunya daerah ini adalah daerah terpencil yang jarang dijamah orang,” tutur Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, pemimpin Pesantren Darul Habib. Pria ramah dengan suara lembut ini memulai membangun pesantren pada tahun 1998.

Dia menceritakan, ketika mengadakan pengajian di daerah Bogor ada seorang jama’ah yang ingin mewakafkan tanahnya untuk bisa dimanfaatkan di jalan Allah. “Beliau itu Haji Ujang. Tanah di sini ini beliau wakafkan. Ketika saya melihat, langsung jatuh hati. Sekarang kita sudah menambah sampai dua hektare, dan insya Allah di seberang jalan ada pula tiga hektare untuk rencana pondok putri. Doakan ya?” ujar Habib Naufal, santun.  

Tak Perlu Ijazah

Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff adalah cucu seorang ulama besar Palembang, Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff, yang haulnya diadakan secara besar-besaran pada akhir Jumadil Akhir di Palembang.

Ia, yang lahir di Palembang pada 27 Maret 1964, mendapat pendidikan pertama dari keluarganya dalam dasar-dasar ilmu agama. Ayahnya, Habib Abdullah, adalah seorang pendakwah yang gigih di Kota Empek-empek itu.

Habib Naufal, yang namanya juga sering ditulis “Habib Nopel”, dimasukkan oleh orangtuanya ke Pesantren Ar-Riyadh ketika memasuki usia sekolah dasar. “Di Pesantren Ar-Riyadh saya mendapat didikan dari dai besar dan pendakwah tangguh, Ustadz Ahmad bin Abdullah Al-Habsyi. Beliau alumnus Pesantren Darul Hadits, Malang,” ujarnya. 

Salah satu kelebihan Pesantren Ar-Riyadh menurutnya adalah kemampuan berbahasa Arab yang amat ditekankan kepada santrinya. Hal itu juga dijadikannya prioritas di Pesantren Darul Habib yang diasuhnya sekarang. “Semua komunikasi di Pesantren Darul Habib harus berbahasa Arab, kalau ada yang melanggar akan dihukum,” ujarnya tegas.

Pada umur lima belas tahun, dia mendapat beasiswa untuk meneruskan pelajaran ke Makkah di pesantren Habib Muhammad Alwi Al-Maliki.

Dengan penguasaan bahasa Arab yang fasih dia tidak canggung sampai di Makkah, walau menurutnya perlu juga adaptasi karena masalah dialek.

Yang amat berkesan bagi dia adalah ketika pertama kali berjumpa dengan Habib Muhammad Alwi Al-Maliki, yang juga sering dipanggil “Buya”. “Waktu itu santri yang paling muda saya, dan Habib Muhammad Alwi Al-Maliki sempat marah kepada yang mengirim, kenapa yang dikirim anak kecil. Tapi setelah itu dia sangat sayang kepada saya. Saya ditempatkan di kamar istirahatnya, saya jadi khadamnya, jadi waktu itu saya tidak punya kamar,” ujar Habib Naufal mengenang. 

Menurut Habib Naufal, sistem belajar di sana adalah sistem belajar salafiyah, seperti yang juga diterapkannya kepada santri Darul Habib saat ini. “Para pengajar yang membantu Habib Muhammad datang dari berbagai negara. Ada yang dari Mesir, Yaman, Palestina, dan lainnya. Hambatan yang saya alami waktu itu adalah soal cuaca, terutama saat bulan Ramadhan, wah panasnya luar biasa, sampai 50 derjat,” ujar ayah sepuluh anak ini.

Tingkatan belajar di sana hampir sama dengan di Indonesia. Ada ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah. Evaluasi dan ujian juga ada, tapi tidak resmi dan tidak tercatat. “Buya juga mengeluarkan ijazah tapi hanya berlaku untuk kalangan internal.”

Menurut Habib Muhammad, ijazah atau syahadah tidak perlu, karena sudah cukup syahadah dari Allah SWT. Teman-teman angkatan pertama saja yang mendapat syahadah, setelah itu tidak ada lagi.

“Alhamdulillah yang telah selesai belajar dari sana berhasil berdakwah, mereka menyebar ke seantero penjuru. Ada yang membuka pesantren, ada yang mendirikan majelis ta’lim, ada yang jadi pengajar,” kata Habib Naufal.

Tarbiyatul Akhlaq

Hal yang paling utama didapatkannya di pesantren Buya Muhammad Alwi Al-Maliki adalah tarbiyatul akhlaq, pendidikan akhlaq. “Jiwa kita dididik di sana, sopan santun, rendah hati, merasa diri hina di hadapan Allah SWT dan sesama. Tidak boleh sombong, arogan. Kalau ilmu bisa di mana saja kita tuntut, tapi tidak semua tempat mendidik akhlaq. Nah, saya juga menerapkan hal itu di Pesantren Darul Habib saat ini,” tutur Habib Naufal meyakinkan.

Menurutnya, akhlaq tidak cukup dinasihatkan, tapi harus dengan teladan. Dan Habib Naufal melihat sendiri teladan itu selama sembilan tahun pada diri Buya Muhammad. “Beliau bekerja keras mencontohkannya, beliau sendiri yang bangun tiap malam membangunkan santri untuk shalat malam. Apa pun yang beliau lakukan tidak terlepas dari teladan yang juga beliau contoh dari Rasulullah SAW. Di Pesantren Darul Habib ini, hal itu juga kita terapkan. Santri dengan alasan apa pun tidak boleh keluar kawasan pesantren kecuali yang darurat. Mereka hanya pulang pada saat bulan Ramadhan, dan 10 hari setelahnya setelah itu mereka kembali ke pondok. Kita tidak menerima santri luar atau yang tidak bermukim.

Mereka tidak boleh memiliki HP, shalat jama’ah harus terjaga, shalat malam terus dilakukan,” kata Habib Naufal.

Menurutnya, keberhasilan santri itu ditopang oleh tiga faktor. Yaitu, santri harus rajin, gurunya juga harus rajin, orangtua pun harus rajin. Orangtua juga harus mengontrol anaknya ketika mereka libur di rumah. Semuanya harus bersinergi, akan gagal kalau salah satu pincang.

“Yang diharapkan dari wali murid adalah kontrol dan filter. Perlu memang melihat dunia luar, tapi harus selektif.

Di pondok ini kita buka tayangan khusus dua kali sepekan berisi cerita tarikh, kita bisa belajar sejarahnya, juga bahasa Arab-nya.

Kita bekerja keras membina, menanamkan hal-hal yang utama, kita siapkan bekal sebaik-baiknya, mudah-mudahan mereka mendapat hidayah dan taufik ke depan,” ujar Habib Naufal.

“Setelah dari sini mereka bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang mereka suka. Ada beberapa santri yang telah diterima di Yaman, di Al-Ahkaff, juga di Makkah, tahun ini ada lima orang yang ke Rubath, Tarim, dan juga ke Turki.” 

Sedangkan dengan perguruan tinggi yang didirikan oleh Habib Umar Bin Hafidz, yaitu Jami’ah, salah satu saratnya adalah harus hafal Al-Qur’an dan kitab Riyadhus Shalihin, anak-anak belum siap. Ada yang hafal Al-Qur’an tapi Riyadhus Shalihin belum siap.

Menurutnya, walau di Pesantren Darul Habib tidak diharuskan hafal Al-Qur’an, alhamdulillah sudah ada lima puluh santri yang sudah hafal Al-Qur’an saat ini dari 300 santri. “Dan setiap tahun bertambah. Ada yang hafal 25 juz, 20 juz, tidak kita paksakan,” ujarnya.

Allah Selalu Memberi Rizqi
Setelah menuntut ilmu di Makkah dari tahun 1979, pada tahun 1986 Habib Naufal pulang ke tanah air.
Banyak hal yang dia dapatkan selama tujuh tahun bermukim di Tanah Suci. Menurutnya, jiwanya sudah terdidik bagaimana menghadapi masyarakat, bagaimana menghadapi tantangan.

“Di Tanah Suci Makkah, perlawanan, konfrontasi, terasa sekali terhadap Ahlusunnah wal Jama’ah. Buya orang yang terdepan gigih melawan Wahabi, sampai beliau diuber-uber. Bahkan kita diikuti terus oleh seseorang.

Suatu saat ketika Buya menghadiri Maulid, karena dikuntit terus, orang itu diajak untuk ikut Maulid. Dia jadi malu sendiri.

Memang ada perjanjian untuk tidak boleh mengadakan Maulid, tapi masyarakat di sana suka memperingati Maulid. Wahabi menganggap bahwa mengadakan Maulid itu syirik.

Buya menentang ketika belum ada ulama yang mau terang-terangan menentang,” cerita Habib Naufal.
Setelah pulang dari Makkah, Habib Naufal mengajar di almamaternya, Ar-Riyadh, juga mengajar di Madrasah Darul Muttaqin, Palembang.

Ia juga membuka Madrasah Haramain, jembatan bagi anak-anak untuk masuk pesantren. Belajarnya malam hari. Siang hari mereka belajar di SD. “Alhamdulillah, alumnusnya sudah ada yang pulang dari Hadhramaut,” ujar Habib Naufal berbinar.

Beberapa lama mengajar di Palembang, ia lalu diajak mengajar ke Bekasi oleh Habib Naquib B.S.A. dan Habib Ahmad Fad’aq.

Sebelum menjatuhkan pilihannya itu ia melakukan shalat Istikharah, karena di Palembang ia juga sudah punya tanah dua hektare untuk melanjutkan pembangunan pesantren, tapi dia merasa belum sreg. Setelah shalat Istikharah, dia mendapat jawaban, bermimpi pindah ke Madinah, artinya harus hijrah.
“Saya sowan ke Ustadz Umar bin Ahmad Bin Syech, seorang ulama dan wali di Palembang, beliau menganjurkan shafar, melakukan perjalanan. Maka, bismillah, saya pun berangkat.”

Setelah lima tahun mengajar di Bekasi, kepadanya diwakafkan tanah di Ciambar, Parung Kuda, Sukabumi. “Untuk membangun satu bangunan saja waktu itu butuh waktu dua tahun, sebata demi sebata. Lalu tahun 2000 saya pindah ke sini, dan mulai membuka Pesantren Darul Habib,” ujarnya mengenang.

“Sekarang saya fokus di pesantren, karena mengurus mereka ini perlu konsentrasi penuh, perlu kesabaran yang luar biasa, apalagi santri berasal dari seluruh Indonesia dengan latar budaya yang berbeda-beda. Kalau saya berdakwah juga di luar, anak-anak nanti bisa kacau. Sekali atau dua kali sebulan saya pergi ke Jakarta bertemu dengan habaib dan alim ulama, agar ada penyegaran terus.”

Ketika ditanya soal dana untuk menghidupi santri yang berjumlah 300 dan juga guru dan karyawan yang semuanya dalam satu kompleks, Habib Naufal tersenyum dan mengatakan bahwa kalau dihitung secara akal tidak akan bisa, tapi dia merasa bahwa Allah selalu memberi rizqi. “Kalau hanya diharapkan dari bayaran santri, tidak sampai. Bahkan ada juga yang gratis, anak yatim dan dhuafa’. Tapi kami yakin dengan janji Allah,” ujarnya mantap.

Kehilangan Ghirah
Persoalan yang dihadapi oleh umat, menurutnya, banyak yang punya ilmu tapi akhlaqnya masih bermasalah. Makanya pesantren sekarang jadi pilihan, karena persoalan akhlaq itu.

Menurut Habib Naufal, di akhir zaman fitnah dan tantangan itu akan banyak. “Itu sudah lama diisyaratkan, makanya kita perlu membekali anak-anak dengan ilmu yang benar, ilmu yang jelas silsilahnya, mata rantai yang benar, sekarang banyak penyusupan melalui ajaran agama. Juga melalui kitab, makanya dalam hal kitab, kita juga harus bertanya kepada mereka yang berkompeten dalam masalah itu,” ujarnya.
Ia mengingatkan, tantangan dakwah adalah sunatullah. “Justru tantangan itu adalah alamat keberhasilan dakwah. Tidak ada yang mulus. Ingat sejarah dakwah Rasulullah, yang begitu dahsyat. Kalau dakwah dulu, mereka berkorban sendiri, dengan harta benda sendiri. Kalau sekarang, banyak kemudahan, bahkan berdakwah dapat uang, tapi semoga itu tidak merusak keikhlasan para pendakwah.” 

Ia melanjutkan, “Tantangan dakwah memang berat, tapi memang harus begitu, karena pahala yang dijanjikan juga besar. Bukankah Rasulullah SAW telah memberi contoh dan tidak ada tantangan yang lebih hebat dibanding yang dialami Rasulullah SAW?

Saya tekankan kepada santri-santri saya agar dalam berdakwah tidak memikirkan uang, karena banyak dai yang rusak karena uang. Giat dan terus belajar serta mengajar dengan ikhlas, karena rizqi itu Allah SWT yang menjamin. Dakwah harus karena Allah, nanti pasti Allah akan mengasih.”

Habib Naufal mengingatkan, “Kita harus berhati-hati. Generasi muda harus dibekali ilmu dengan benar, karena begitu banyak tantangan dan godaan zaman sekarang. Umat Islam sudah kehilangan ghirahnya. Akibatnya fitnah mudah menerpa umat.”

Di akhir perbincangan, Habib Naufal minta didoakan agar bisa membeli tanah yang akan digarap menjadi sawah untuk memenuhi kebutuhan logistik santri, yang semakin lama semakin banyak. Insya Allah.

Ihsan M Rusli

Ratu Kaum Wanita Penghuni Surga


“Pembawaan Fathimah begitu lembut, memiliki budi pekerti tinggi, ramah, sopan, murah hati, simpatik, terjaga dari hal-hal yang bathil dan haram. Sosok wanita sempurna untuk kita jadikan idola. Sehingga kelak kita mejadi pengikutnya di surga...."


Fathimah Az-Zahra binti Muhammad, Rasulullah SAW, wanita berparas jelita, memiliki wajah seindah namanya. Menurut riwayat Imam Ja’far Ash-Shadiq, Rasulullah SAW memberikan nama “Fathimah”, yang dalam bahasa Arab berarti “melindungi”, lantaran ia dan para pengikutnya akan dipelihara atau terlindungi dari api neraka.

Sementara nama belakangnya, Az-Zahra, dalam satu riwayat dijelaskan bahwa Jabir bertanya kepada Imam Ash-Shadiq, “Apakah artinya Zahra?”

Imam Ash-Shadiq menjawab, “Karena Allah SWT menciptakan Fathimah dari cahaya. Ketika cahaya Fathimah muncul, seketika itu juga langit dan bumi terang benderang dipenuhi cahayanya. Mata para malaikat terkesima melihatnya. Pada saat itu juga malaikat bersujud kepada Allah SWT dan berkata, ‘Wahai Tuhanku cahaya apakah ini?’

Allah SWT menjawab, ‘Ini adalah cahaya-Ku yang Aku letakkan kepada Fathimah dan dia dari cahaya-Ku. Aku ciptakan dia dari keagungan-Ku. Aku keluarkan dia dari sulbi kekasih tercinta-Ku, Muhammad. Dari cahaya ini, Aku ciptakan para imam yang akan berdiri menegakkan agama-Ku. Mereka akan memberi petunjuk kepada seluruh manusia dan mengajak mereka kepada kebenaran agama-Ku. Aku akan menjadikan mereka khalifah di dunia setelah kekasih-Ku Muhammad SAW’.”

Riwayat lain menjelaskan, Abu Hasyim Ja’fari bertanya kepada Imam Hasan Askari, mengapa Fathimah diberi gelar Az-Zahra.

Imam Hasan Askari menjawab, “Karena wajah Fathimah bagi Amirul Mu’minin, Ali bin Abi Thalib, di pagi hari seperti matahari, di siang hari seperti bulan, dan di malam hari seperti bintang-bintang yang bersinar terang.”

Menurut beberapa riwayat, yang dimaksud cahaya tersebut yaitu cahaya maknawi, bukan sekadar cahaya materi. Dari perkataan Imam Ash-Shadiq bahwa Az-Zahra adalah cahaya-Nya, jelaslah bahwa yang dimaksud cahaya adalah cahaya maknawi, karena cahaya Allah SWT bukanlah cahaya materi. Kemudian juga dikatakan cahaya tersebut adalah ruh Sayyidah Fathimah yang suci dan bersih dari segala kotoran maknawi.

Sementara riwayat lain menjelaskan, cahaya Az-Zahra juga berupa cahaya materi, karena, pada saat Fathimah dilahirkan ke dunia, rumah-rumah di sekelilingnya diterangi oleh cahaya. Dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra adalah pembimbing dan pemberi petunjuk kepada jalan yang benar, sehingga kelak ia akan menjadi ratu kaum wanita penghuni surga.

Pembawaan Fathimah lembut, memiliki budi pekerti tinggi, ramah, sopan, murah hati, simpatik, terjaga dari hal-hal yang bathil dan haram. Fathimah sangat mirip dengan ayahnya, baik paras wajah maupun dalam hal kebiasaan amal shalih. Segala tindak-tanduknya sesuai dengan syari’at Islam. Sehingga Allah SWT memberikannya kedudukan begitu istimewa di surga, yaitu sebagai “ratu kaum wanita penghuni surga”.

Ini dijelaskan dalam Al-Mustadrak dari riwayat Al-Hakim dengan sanad yang hasan, “Bahwa suatu ketika ada malaikat yang datang menemui Rasulullah SAW dan berkata, ‘Sesungguhnya Fathimah adalah penghulu seluruh wanita di dalam surga’.”

Demikian sepenggal ma’uizhah hasanah yang disampaikan Ustadzah Hj. Syarifah Halimah Alaydrus pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW di MT Al-Kifahi Ats-Tsaqafi Kaum Ibu, Tebet, Jakarta Selatan, pada Sabtu (26/3).

Ustadzah Hj. Syarifah Halimah Alaydrus, muballighah dari Pedati, Jakarta Timur, begitu bersemangat menyampaikan mauizhah hasanah. Meski tegas dalam ceramahnya dan berapi-api, suaranya tetap terdengar lembut, seperti keperibadiannya, yang bersahaja.

Ribuan jama’ah yang hadir dari berbagai daerah  juga begitu antusias mendengarkan isi ceramahnya. Mereka tidak peduli dengan keterbatasan tempat yang ada. Sehingga mereka pun harus mengikuti rangkaian acara, termasuk mendengarkan nasihat demi nasihat yang disampaikan para muballighah, melalui layar televisi, yang disediakan panitia di sepanjang halaman dan sepanjang pinggiran Jalan Sawo Kecik, Tebet, yang disulap layaknya sebuah majelis ilmu.

Mencontoh Cara Rasulullah Mendidik
Ustadzah Hj. Syarifah Halimah Alaydrus menceritakan sisi lain dari hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW, yakni Fathimah Az-Zahra binti Muhammad SAW, yang meneladani akhlaq sang ayahanda.

Bila pada acara Maulid Nabi pada umumnya para penceramah mengulas akhlaq Baginda Nabi Muhammad SAW, Ustadzah Hj. Syarifah Halimah Alaydrus menggali sisi lain dari kehidupan Rasulullah yang penuh dengan teladan itu. Momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW dikaitkan dengan kondisi zaman yang semakin terpuruk saat ini, khususnya pergaulan remaja muslimah. Tepatlah bila ia menjelaskan kisah teladan Fathimah Az-Zahra, tanpa meninggalkan sosok manusia sempurna, Rasulullah, dalam mendidik putri kesayangannya, sampai memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai “ratu kaum wanita penghuni surga”.
Ustadzah Syarifah Halimah mengajak umat Islam pada umumnya dan jama’ah Maulid kaum ibu yang hadir khususnya untuk meneladani dan mencontoh cara Rasulullah mendidik putrinya, sekaligus mengajak mereka untuk meneladani dan mencontoh akhlaq Fathimah Az-Zahra dalam kehidupan sehari-hari.
“Sebagai ibu bagi anak-anak kita, menjadi keniscayaan untuk menyeru kepada putri-putri tercinta untuk mencontoh akhlaq putri Rasulullah SAW, bukan mengidolakan selebriti yang belakangan semakin tidak jelas. Baik itu busananya yang serba seksi maupun pergaulannya yang semakin bebas.

Tidak dikatakan sayang apabila sang ibu membiarkan dan mengizinkan sang anak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syari’at Islam. Sesunggunya ketika kita melihat putri-putri kita tercinta melakukan maksiat dan kita tidak mencegahnya, kita membiarkan mereka terjun ke jurang yang curam. Na’uidzubillah...," kata Syarifah Halimah Alaydrus.

“Atas nama kasih sayang, sebagai ibu, kita harus membimbingnya sejak dini. Mengenalkannya kepada sosok pribadi Rasulullah SAW, berserta keluarga dan sahabatnya, serta mencontohnya dalam kehidupan sehari-hari. Putri kesayangan Rasulullah, Fatimah Az-Zahra, adalah wanita yang memiliki kepribadian agung, sosok wanita sempurna dan teladan terindah bagi kaum wanita, yang selalu mementingkan kehidupan akhirat, bukan kesenangan dunia, seperti manusia pada umumnya.”

Alkisah, suatu ketika Rasulullah SAW pulang dari suatu peperangan dan ia mendapatkan harta rampasan begitu banyak, di antarannya ada beberapa ekor domba. Tatkala Ali bin Abi Thalib mengetahui hal itu, ia berkata kepada Fathimah, “Duhai Fathimah, alangkah baiknya bila engkau pergi kepada ayahmu dan meminta seekor domba untuk hidangan makan kita.”

Kemudian dengan perasaan berat Fathimah mematuhi perintah suaminya dan datang kepada Nabi SAW sambil berjalan begitu pelan, jalannya sangat mirip dengan jalan Rasulullah SAW.

Mendengar langkah dan beberapa kali ketukan pintunya, Rasulullah telah mengetahui bahwa yang datang adalah putri kesayangannya. Beliau pun langsung menyambutnya seraya berkata, "Selamat datang, putriku. Apakah gerangan yang membuatmu datang, wahai  anakku?"

Dengan malu hati, Fathimah menjawab, "Aku datang karena diperintah suamiku.” Ia merasa malu untuk mengutarakan maksudnya itu kepada Rasulullah. Ia pun terdiam sejenak.

Namun Rasulullah kembali bertanya, "Apakah keperluanmu, wahai putriku tercinta?”

Fathimah kemudian menjawab, "Suamiku memintaku untuk mengunjungimu dan meminta seekor domba hasil dari rampasan perang untuk kami makan.”

Kemudian Nabi SAW berkata, "Demi Allah, aku akan memberikannya untukmu, wahai putriku, tidak hanya seekor. Aku akan memberikannya tiga ekor atau bahkan sebanyak yang engkau inginkan. Namun apakah betul engkau lebih menginginkan domba itu? Aku akan memberikanmu pilihan, apakah aku berikan domba itu atau aku beri tahukan kepadamu sesuatu yang lebih baik daripada apa yang engkau minta dariku, yang telah Jibril ajarkan?”

Fathimah menjawab, "Ya, Ayah, aku lebih memilih engkau memberitahukan kepadaku apa yang telah Jibril ajarkan.”

Rasulullah SAW bersabda, "Jibril telah mengajarkan kepadaku, yaitu hendaklah kalian mengucapkan Subhanallah setiap selesai shalat 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 33 kali. Apabila kalian hendak tidur, ucapkan Subhanallah 10 kali, Alhamdulillah 10 kali, dan Allahu Akbar 10 kali.”
Subhanallah..., betapa mulianya pribadi Fathimah Az-Zahra. Rasulullah telah mendidik dan menanamkan ke dalam qalbunya untuk lebih banyak bersabar, hidup zuhud dan tawadhu dalam menghadapi dunianya. Ia jauh lebih memilih mempersiapkan kehidupan di akhirat kelak. Lantas bagaimana dengan kita? Kita hanya senantiasa bersuka ria dengan gemerlap duniawi yang melalaikan dari mengingat Allah Ta’ala.

Fathimah telah menjadi simbol segala yang suci dalam diri wanita, dan pada konsepsi manusia yang paling mulia. Wanita yang dijamin Rasulullah sebagai “ratu segenap wanita yang berada di surga”.

Tentu pilihan ada dalam diri kita, ingin mengikuti Fathimah dan bersamanya kelak di surga, atau sebaliknya, mengikuti dan mengidolakan selebriti, yang tidak dijamin oleh Allah SWT keberadaannya kelak di akhriat, apakah di surga atau di neraka.

“Inilah saatnya untuk berhijrah, sehingga, usai menghadiri acara peringatan Maulid Nabi SAW ini, ada sesuatu yang bisa kita ambil hikmahnya. Tidak sekadar seremonial,” kata Ustadzah Hj. Syarifah Halimah Alaydrus.

Ustadzah Hj. Bahijah, penceramah yang lain, juga mengimbau hal yang sama. “Di abad ke-21 ini, yang katanya zaman modern, akhlaq Islami semakin terpinggirkan. Mereka merasa bangga ketika mengikuti kebudayaan Barat atau asing. Betapa banyak gadis Indonesia yang terpaksa melahirkan di luar nikah. Dan yang memprihatinkan, perkembangannya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Na`udzubillah....

Maka acara yang mengandung amar maruf nahi munkar seperti ini harus terus dilestarikan. Jangan dengarkan gunjingan sebagian golongan yang menilai tradisi Maulid Nabi sebagai bid`ah yang sesat. Karena sesungguhnya dengan peringatan seperti ini kita bisa mengetahui luhurnya ajaran Islam dan kembali mengenang perjuangan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian kita bisa mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Ustadzah Bahijah.

Mendoakan Ummi Mus
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di MT Al-Kifahi Ats-Tsaqafi Kaum Ibu, Tebet, ini dimulai tepat pada pukul 08.00 WIB. Sirah perjalanan hidup Baginda Nabi Muhammad SAW yang termuat dalam kitab Maulid Simthud Durar dibacakan oleh Ustadzah Hj. Syarifah Sakinah binti Umar bin Abdurrahman. Sementara Ustadzah Hj. Syarifah Maimunah Al-Haddad membaca doa Maulid-nya.

Kali ini, MT Al-Kifahi Ats-Tsaqafi Kaum Ibu telah menggelar hajatan ketiga tanpa kehadiran almarhumah Ustadzah Hj. Musimah, yang akrab disapa “Ummi Mus”, yang tak lain adalah istri Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf, pengasuh pengajian MT Al-Kifahi Ats-Tsaqafi. Saat ini pengajian kaum ibu dipimpin oleh putrinya, Ustadzah Hj. Syarifah Sakinah binti Umar bin Abdurrahman Assegaf.

Jama’ah dan tentunya keluarga merasa kehilangan dan sedih yang begitu mendalam. Ini terlihat jelas pada raut muka Ustadzah Hj. Syarifah Sakinah binti Umar bin Abdurrahman Assegaf ketika menyampaikan sambutan sesaat sebelum acara usai pada pukul 12.00.

Putri pertamanya ini terlihat menitikkan air mata saat mengenang masa-masa terindah kebersamaan dengan ibunda tercinta, Hj. Musibah, yang tak pernah absen dalam berbagai acara seperti ini.

Selain mengucapkan rasa terima kasihnya kepada seluruh jama’ah yang hadir, kepada panitia, yang telah menyukseskan acara ini, dan para tetangga yang rela memberikan halamannya untuk acara, Syarifah Sakinah juga meminta dengan ikhlas kepada seluruh jama’ah untuk mendoakan almarhumah agar mendapatkan tempat yang terbaik di sisi Allah SWT. Amin....

Siti Eliza

Ketika Rasulullah SAW Hadir

Majelis yang berkah ditandai dengan kuatnya keinginan jama’ah untuk selalu hadir dan mendapatkan ilmu.

Pengajian Habib Abubakar bi Hasan Alatas merupakan pengajian yang cukup fenomenal di kota Depok. Pengajian yang rutinnya, yang diadakan setiap hari Ahad sore yang berlokasi di kediamannya, Jln Karya Bakti, Tanah Baru, selalu dihadiri ribuan jama’ah. Tanpa poster dan spanduk, hanya dari mulut ke mulut, tapi pengikutnya hampir semua usia dari wilayah Jabodetabek.

Habib Abubakar bin Hasan Alatas, yang telah 30 tahun berdakwah dari satu kota ke kota lain hampir di seluruh wilayah Indonesia, adalah habib senior yang disegani. Kiprahnya di wilayah Tanah Baru, kota Depok, baru dimulai setahun yang lalu dan langsung menjadi berkah bagi warga Tanah Baru.

Orang-orang dhuafa’ yang berada di sekitar tempat tinggal Habib Abubakar langsung merasakannya, mereka mendapat kemudahan dalam hal pengobatan dan bantuan modal usaha. Roda ekonomi penduduk langsung berdenyut karena setiap pengajian dibutuhkan sekian puluh ribu konsumsi yang semuanya dipesan dari para tetangga.

Pada Ahad 5 Juni yang lalu, dilakukan penutupan majelis, karena Habib Abubakar akan pergi ke Ternate dan daerah binaan lainnya yang tersebar di Indonesia Timur. Suasana berlangsung haru, Habib Abubakar minta dimaafkan dan didoakan agar perjalanannya ke Indonesia Timur diberkahi dan dilindungi oleh Allah SWT. Satu per satu jama’ah diberi kesempatan bersalaman.

Penutupan majelis pada sore hari itu memang dipenuhi dengan kesyahduan dan nuansa kehilangan. Ia pernah berucap, majelis yang selalu dirindui oleh jama’ahnya berarti Rasulullah SAW selalu hadir di majelis tersebut.

Ikhlas untuk Mengaji

Hampir setiap Ahad sore, seluruh peserta pengajian dengan khidmat dan tekun mendengarkan uraian yang disampaikan oleh Habib Abubakar. Ia menggunakan kitab tasawuf karangan gurunya, Habib Zain bin Smith, dan sudah dua kitab dikhatamkan.

Putranya, Habib Hasan bin Abubakar, membacakan kitab tersebut lalu ia menjelaskan paragraf demi paragraf.

Sebelum pembahasan kitab, diadakan taushiyah, yang secara bergiliran disampaikan oleh tiga atau empat ulama kota Depok. K.H. Abdurrahman Nawi, pemimpin Pesantren Al-Awwabin, juga sering memberikan taushiyah. Begitu juga K.H. Zainuddin, pemimpin Pesantren Al-Hamidiyah.

Dalam salah satu kesempatan Habib Abubakar pernah menguraikan ciri-ciri majelis yang berkah. Salah satunya, pesertanya merasa rindu akan datangnya hari digelarnya pengajian majelis tersebut. Sebagaimana dialami Ibu Anis, salah seorang murid Habib Abubakar, yang istiqamah mengaji, “Kita ingin saja agar cepat waktu ta’lim datang.” 

Keberkahan majelis juga dapat dilihat dengan begitu senangnya orang-orang datang dari berbagai penjuru, para tetangga dan aparat juga merasa senang melihat kampung mereka ramai didatangi orang, suara dzikir dan pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW bergema setiap saat.

Habib Abubakar tak pernah mempublikasikan atau membuat poster dan spanduk ihwal pengajiannya, karena ia yakin bahwa Allah SWT akan menggerakkan hati setiap orang yang ikhlas untuk mengaji.
Rendah hati dan tidak mau menonjol, itulah ciri Habib Abubakar, yang sudah kenyang dengan asam garam perjuangan dan cobaan dakwah.

Ketika alKisah membujuknya untuk melakukan wawancara khusus, ia menolak, dengan alasan tidak ingin menonjol. Tapi, karena pengalaman dakwah, keilmuan, dan ketokohannya begitu penting untuk diketahui umat, agar bisa dijadikan teladan dan pelajaran yang berharga, insya Allah, ke depannya Habib Abubakar bersedia diwawancarai.

Bermula dari Ujung Timur
Dalam suatu kesempatan setelah menguraikan beberapa keutamaan silsilah Baginda Rasulullah SAW, yang nasabnya sangat dijaga oleh Allah SWT, Habib Abubakar mengisahkan betapa ia digembleng begitu keras oleh orangtuanya untuk taat kepada aturan agama.

Kisahnya, Habib Abubakar, yang menuntut ilmu di tiga kota, yaitu Makkah, Tarim, dan Kairo, ketika kecil pernah mendapat uang di tengah jalan.

Sebagai anak kecil, ia merasa senang, karena dapat uang, yang mungkin tercecer. Lalu ia membeli makanan kesukaannya.

Sesampai di rumah, hal itu ia ceritakan kepada uminya.

Uminya marah besar, “Tak pantas jasadmu menerima barang yang tak jelas.”

Uminya mengganti uang yang didapat itu dan menyuruhnya menempatkan di mana ia menemukan sebelumnya.

Begitulah, dalam keluarga ia dididik dengan sebaik-baik didikan.

Habib Abubakar mengingatkan, barang yang meragukan (syubhat) saja, kita harus hati-hati, apalagi yang haram.

Setelah menuntut ilmu di Timur Tengah, Habib Abubakar memulai dakwah di daerah yang keras dan penuh tantangan, yaitu Papua. Tidak sedikit ujian, tantangan, dan ancaman yang diterimanya.
Lima tahun di Papua, ia pindah ke Ternate.

Setelah sekitar lima atau enam tahun, ia melanjutkan dakwah ke Ambon, Morotai, lalu pindah ke Makassar, kemudian menyeberang ke Kalimantan, Banjar.

Tak pelak lagi, di kawasan timur Indonesia nama Habib Abubakar sangat disegani dan disayangi.
Sebelum menetap di Tanah Baru, kota Depok, ia berdakwah di Surabaya.

Pada penutupan majelis hari Ahad, salah seorang muridnya, Habib Muhammad Assegaf, memimpin pembacaan Maulid Simthud Durar, ratusan muridnya khusus terbang dari Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa Timur, untuk menghadiri majelisnya. Dan tidak sedikit pula pejabat kota Depok, sipil dan militer, hadir di majelis tersebut.

K.H. Abdurrahman Nawi, yang menyampaikan taushiyah, mendoakan agar kepergian Habib Abubakar ke Ternate dan sekitarnya, kelak pulangnya bisa membawa bekal yang lebih banyak dan berkah bagi warga Depok. Ia mensyukuri, warga Depok mendapatkan guru yang sangat dalam ilmunya dan terpuji akhlaqnya serta teruji komitmen dakwahnya. “Mari kita berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar beliau selalu dijaga oleh Allah SWT dan pulang kembali ke Depok dengan selamat untuk terus menularkan ilmunya kepada warga Depok, yang sangat membutuhkan seorang guru besar seperti beliau,” ujar Kiai Abdurrahman Nawi dengan suara bergetar.

Tidak sedikit jamaah ta’lim yang menangis terharu ketika bersalaman dengan Habib Abubakar, mereka akan ditinggal dalam waktu yang cukup lama, karena majelis baru akan dibuka lagi pada 11 September 2011.

Ihsan M Rusli

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog