.
Cadar. Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL - Belgia akan menjadi negara Uni Eropa kedua yang melarang burqa dan niqab setelah Prancis. Kepastian itu terungkap dari aturan baru yang disepakati seluruh anggota parlemen Belgia dan dipublikasikan dalam jurnal resmi Kerajaan.
Disebutkan dalam aturan tersebut, setiap Muslim yang mengenakan niqab dan burqa akan dikenai denda € 137,50 ($ 195) serta hukuman kurungan penjara selama tujuh hari. Aturan tersebut tentu saja mengancam 270 orang perempuan Muslim yang menggunakan niqab dan burqa di seluruh Belgia.
Sementara itu, langkah Perancis dan Belgia, tak lama lagi akan diikuti oleh Australia. Saat ini, negeri Kangguru tengah mengujicobakan aturan larangan penggunaan niqab dan burqa pada komunitas Muslim Australia. Adapun pertimbangan pemerintah Australia dalam memberlakukan aturan itu merujuk pada dalih keamanan yang direkomendasikan penegak hukum.
Kondisi berbeda, terjadi di Inggris. Sebagai pusat populasi komunitas Muslim terbesar di Eropa, representasi suara Muslim Inggris lebih terdengar. Karena itu, sejumlah kalangan di Eropa menyebutkan pemberlakukan larangan niqab atau burka sulit dilaksanakan di Inggris.
Dewan Muslim Inggris (MCB), sebuah organisasi yang membawahi seluruh Muslim Inggris menyatakan larangan itu sulit berlaku lantaran toleransi beragama di Inggris begitu besar. "Pelaksanaan pelarangan burqa tidak akan terjadi karena Inggris adalah masyarakat yang lebih terbuka dan inklusif ketimbang Eropa daratan. Dan kami akan pertahankan itu,” papar dia seperti dilansir dari The Huffington Post, Jum’at (15/7).
Nabila Ramdani, warga Paris yang menetap di Inggris mengatakan kurangnya toleransi adalah alasan negara-negara Eropa mengadopsi pelarangan burqa. "Ada lingkungan yang lebih toleran di Inggris dan mereka jauh lebih inklusif dari masyarakat Perancis dan Belgia. Inggris selalu lebih inklusif dan praktis berhubungan dengan multikulturalisme. Anda lihat minoritas diwakili dalam media, politik, bisnis. Sesuatu yang tidak Anda lihat di Prancis atau Belgia," ujarnya.
Ramdani juga mengatakan gerakan anti-diskriminasi hukum Inggris yang begitu kuat, tidak seperti di Belgia dan Perancis, melindungi Inggris dari politisi yang berniat mengesahkan undang-undang tersebut. "Tidak ada hukum anti-diskriminasi yang kuat di Belgia dan Perancis untuk melawan itu. Lebih buruk lagi, di kedua negara tersebut rasisme sudah melembaga," papar dia.
Kendati demikian, suara-suara sumbang warga Inggris terhadap komunitas Muslim masih terdengar. Sebagian dari mereka bahkan menyebut warga Inggris yang mendukung kehadiran komunitas Muslim dengan istilah "unbritish". Tahun lalu, jajak pendapat YouGov mengungkapkan mayoritas warga Inggris menginginkan niqab atau burka dilarang. Hanya 27 persen warga Inggris yang setuju niqab dan burka dilarang. /alarabiya/hufftingtonpost.com
Disebutkan dalam aturan tersebut, setiap Muslim yang mengenakan niqab dan burqa akan dikenai denda € 137,50 ($ 195) serta hukuman kurungan penjara selama tujuh hari. Aturan tersebut tentu saja mengancam 270 orang perempuan Muslim yang menggunakan niqab dan burqa di seluruh Belgia.
Sementara itu, langkah Perancis dan Belgia, tak lama lagi akan diikuti oleh Australia. Saat ini, negeri Kangguru tengah mengujicobakan aturan larangan penggunaan niqab dan burqa pada komunitas Muslim Australia. Adapun pertimbangan pemerintah Australia dalam memberlakukan aturan itu merujuk pada dalih keamanan yang direkomendasikan penegak hukum.
Kondisi berbeda, terjadi di Inggris. Sebagai pusat populasi komunitas Muslim terbesar di Eropa, representasi suara Muslim Inggris lebih terdengar. Karena itu, sejumlah kalangan di Eropa menyebutkan pemberlakukan larangan niqab atau burka sulit dilaksanakan di Inggris.
Dewan Muslim Inggris (MCB), sebuah organisasi yang membawahi seluruh Muslim Inggris menyatakan larangan itu sulit berlaku lantaran toleransi beragama di Inggris begitu besar. "Pelaksanaan pelarangan burqa tidak akan terjadi karena Inggris adalah masyarakat yang lebih terbuka dan inklusif ketimbang Eropa daratan. Dan kami akan pertahankan itu,” papar dia seperti dilansir dari The Huffington Post, Jum’at (15/7).
Nabila Ramdani, warga Paris yang menetap di Inggris mengatakan kurangnya toleransi adalah alasan negara-negara Eropa mengadopsi pelarangan burqa. "Ada lingkungan yang lebih toleran di Inggris dan mereka jauh lebih inklusif dari masyarakat Perancis dan Belgia. Inggris selalu lebih inklusif dan praktis berhubungan dengan multikulturalisme. Anda lihat minoritas diwakili dalam media, politik, bisnis. Sesuatu yang tidak Anda lihat di Prancis atau Belgia," ujarnya.
Ramdani juga mengatakan gerakan anti-diskriminasi hukum Inggris yang begitu kuat, tidak seperti di Belgia dan Perancis, melindungi Inggris dari politisi yang berniat mengesahkan undang-undang tersebut. "Tidak ada hukum anti-diskriminasi yang kuat di Belgia dan Perancis untuk melawan itu. Lebih buruk lagi, di kedua negara tersebut rasisme sudah melembaga," papar dia.
Kendati demikian, suara-suara sumbang warga Inggris terhadap komunitas Muslim masih terdengar. Sebagian dari mereka bahkan menyebut warga Inggris yang mendukung kehadiran komunitas Muslim dengan istilah "unbritish". Tahun lalu, jajak pendapat YouGov mengungkapkan mayoritas warga Inggris menginginkan niqab atau burka dilarang. Hanya 27 persen warga Inggris yang setuju niqab dan burka dilarang. /alarabiya/hufftingtonpost.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar