Senin, 23 Agustus 2010

Habib Hasan bin Ja’far Assegaf: Gemilang Cahaya Dakwah

PDF Print E-mail

Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadhramaut, setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis Al-Habsyi, mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”.

Habib Hasan adalah anak sulung Habib Ja’far Assegaf yang lahir di Bogor pada 26 Februari 1977. Ia mendapat pendidikan awal dari ayahnya, kemudian meneruskan ke Pesantren Darul Hadits dan Darut Tauhid di Malang selama tiga tahun. Setelah itu ia juga sempat mengambil kuliah di IAIN Sunan Ampel, Malang.

Tahun 1998, Habib Hasan membuka sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan. Pengajian digelar di kediamannya, di Bogor, tepat di belakang rumah Habib Kramat Empang, Bogor.

Pada suatu malam, setelah shalat Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah ke makam kakeknya, Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib Hasan bermimpi. “Ana bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad). Dalam mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana berdakwah di Jakarta,” tutur Habib Hasan.

Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.

Cahaya Manusia Pilihan


Awalnya dia berkeliling dari rumah ke rumah murid-muridnya.

Enam bulan kemudian, seorang jama’ah datang kepadanya dengan membawa seorang pria berumur separuh baya. Pria itu minta agar Habib Hasan bersedia mengobati kakinya.

“Ketika itu ana bingung, karena ana belum pernah menangani hal demikian,” kenangnya. Namun, karena tidak ingin mengecewakan tamunya, Habib Hasan kemudian mengambil sebotol air putih dan membacakan Ratib Alattas. Botol itu kemudian diserahkan kepada si sakit dengan pesan agar diminum setibanya di rumah.

“Dua hari kemudian orang itu kembali kemari dalam keadaan sembuh,” ujar Habib Hasan.

Entah bagaimana, rupanya peristiwa itu menyebar sehingga nama Habib Hasan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural. Namun yang jelas, sejak itu, jama’ahnya pun bertambah secara signifikan, menjadi seratus orang.

Awal 1999, Habib Umar bin Hud Cipayung wafat. Habib Umar adalah teman kakek Habib Hasan. Untuk menghormati teman kakeknya itu, Habib Hasan mencium kening almarhum dan berdoa, “Ya Allah, jadikan aku seperti almarhum dalam hal ilmu dan amal.”

Satu bulan kemudian, jama’ah bertambah lagi, menjadi empat ratus orang.

Karena pertambahan jama’ah yang cukup besar itu, pada akhir tahun 1999, atas saran H. Jamalih bin H. Piun, sesepuh setempat, ia memindahkan tempat ta’lim ke Masjid Al-Ahyar di Kampung Kandang.
Ketika saran itu dilaksanakan, yang hadir ada sekitar lima ratus orang.

Selanjutnya, jalan lebar seperti terbuka dengan sendirinya. Masjid-masjid sekitar Cilandak membuka pintunya lebar-lebar untuk menampung acara majelis ta’lim Al-Irfan.

Tahun 2000, jama’ahnya bertambah lagi menjadi sekitar delapan ratus orang, yang berdatangan dari seluruh penjuru Jakarta.

Melihat hal itu, Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadhramaut, setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis Al-Habsyi, mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”, yang maknanya “Cahaya Manusia Pilihan”.

Dua tahun kemudian, 2002, syiar majelis ta’lim Nurul Musthofa kian meluas. Mulai dari Warung Buncit, Mampang Prapatan, Kuningan, Kalibata, hingga Kreo. Jumlah jama’ahnya pun bertambah, menjadi sekitar dua ribu orang.

Tahun 2003, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikunjungi ulama-ulama besar, seperti Habib Abdul Qadir Al-Masyhur dari Makkah, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dan putranya, Habib Muhammad, dari Madinah, juga Habib Salim Asy-Syatiri dari Tarim, Hadhramaut.

Fitnah Berdatangan

Tahun 2003 adalah tahun ujian bagi Habib Hasan. Selain ayahnya, Habib Ja’far, wafat pada bulan haji, fitnah pun berdatangan kepadanya. Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikatakan sebagai majelis bid’ah, majelis syirik. Malah suatu hari, ketika ia bangun tidur, ranjangnya penuh dengan kalajengking.

Maka Habib Hasan pun segera bangkit dari tidur dan berdoa.

Dalam sekejap kalajengking-kalajengking itu mati semua.

Pada kali yang lain ia menemukan seekor ular di kamarnya.

Bahkan pernah selama satu bulan kakinya tidak bisa digerakkan. Selama itu kegiatan ta’lim diserahkan kepada adiknya, Habib Abdullah.

Kakinya sembuh berkat bacaan rutin Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘adhim, Astaghfirullah.

Sempat terlintas dalam benaknya akan meninggalkan kegiatan majelis ta’limnya itu. Tapi dibatalkan, karena tidak disetujui Al-Alamah Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri.

Setelah mendapat dukungan Habib Abdurrahman, hatinya semakin mantap. Dan untuk menghadapi fitnah-fitnah itu, Habib Hasan melakukan ziarah ke makam para shalihin di berbagai tempat, seperti di Luar Batang, Kwitang, Bogor, Tegal, Pekalongan, Solo, Gresik, Surabaya, Bangil, Malang, dan lain-lain.

Keinginan Ibu

Suatu hari, Habib Hasan mengemukakan kepada ibunya bahwa ia ingin menikah.

Sang ibu merasa sangat bersyukur. Maklum, Habib Hasan adalah anak sulung. Lantas ibunya menyodorkan 40 foto syarifah.

Habib Hasan kemudian mengambil satu dan menyimpan di kantung bajunya tanpa melihat wajah di gambar itu.

Esok harinya ia pergi ke Tegal, dan memakai baju yang sama. Jadi ia yakin bahwa foto syarifah pemberian ibunya itu masih ada di kantung baju.

Namun, ketika sampai di Tegal, foto itu raib.

Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Solo.

Ketika sampai di rumah Al-‘Alamah Habib Anis Al-Habsyi di Solo, di kantungnya terasa ada sesuatu yang mengganjal. Setelah diraba, ternyata ganjalan itu adalah sebuah foto, yaitu foto syarifah pemberian ibunya.

Saat bertemu Habib Anis, Habib Hasan minta pendapatnya tentang calon istrinya yang wajahnya ada di dalam foto itu. Padahal sampai detik itu ia belum melihat wajah di foto itu.

Dan ternyata Habib Anis menyatakan persetujuannya terhadap calon tersebut.

Sekembalinya ke Bogor, kepada ibunya Habib Hasan menceritakan pertemuannya dengan Habib Anis.
Maka keluarganya pun segera mempersiapkan acara untuk melamar gadis itu. Pada saat itulah Habib Hasan baru berani melihat wajah di foto yang telah dibawanya ke mana-mana itu, yang ternyata adalah Syarifah Muznah binti Ahmad Al-Haddad, keponakan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Haddad, Condet.
Lamaran tidak bertepuk sebelah tangan.

Sebulan kemudian, pernikahan dua sejoli itu dilangsungkan di rumah mempelai perempuan.

Kini pasangan itu telah dikaruniai tiga orang anak: Rogayah, 8 tahun, Attos Abdullah, 7 tahun, dan Ali, 6 tahun.

Setelah Habib Hasan berkeluarga, semuanya jadi tambah lancar. Jama’ahnya bertambah hingga enam ribu orang, tersebar di Jakarta Selatan dan Timur. Bahkan tahun 2005 jumlah jama’ah mencapai 15 ribu orang.

Tahun berikutnya, Habib Hasan pindah ke Kampung Manggis di depan kantor Darul Aitam di Jalan Kahfi I, Jakarta Selatan. Di situ dia membangun rumah dan mushalla di atas tanah hibah dari H. Abdul Gofar, Hj. Nur Utami, dan H. Masturoh.

Pada tahun itu juga Habib Hasan mengukuhkan Yayasan Nurul Musthofa, yang diketuai oleh adiknya, Habib Abdullah bin Ja’far Assegaf, dan dia sendiri, dengan izin resmi dari Departemen Agama.

Tahun 2006, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berkembang semakin pesat.

Pada tahun ini pula, Habib Hasan mulai mendiami rumahnya sendiri yang juga menjadi kantor sekretariat Yayasan Nurul Musthofa.

Ulam Tiba

Pada tahun 2007, Yayasan Nurul Musthofa mulai mendirikan gedung khusus untuk kegiatan ta’lim di atas tanah hibah, yang terletak persis di belakang kediaman Habib Hasan. Padahal saat itu kontur tanah tersebut miring sehingga sulit untuk segera bisa merealisasikan pembangunan tersebut.

Tanah itu perlu diurug. Namun untuk mengurug dibutuhkan tanah yang tidak sedikit. Apalagi kiri-kanan lahan tanah tersebut telah dibatasi tembok-tembok tetangga.

Ketika menyadari hal itu, Rahman, tangan kanan Habib Hasan, menyatakan pesimistis.

Namun Habib Hasan dengan tenang menjawab, “Sabar saja, nanti juga akan ada tanah untuk mengurug.”

Benar juga, beberapa hari kemudian, Rahman menerima kedatangan tetangga sebelah yang merencanakan ingin membuat kolam renang, sehingga akan membuang tanah yang cukup banyak.

“Pucuk dicita, ulam tiba,” kata Rahman.

Maka, tanpa kesulitan, tanah dari tetangga sebelah dipindahkan ke rumah Habib Hasan.

Agenda Dakwah

Kegiatan Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berjalan sejak Senin sampai Sabtu, ba’da maghrib, yang dihadiri sekitar 300 sampai 400 jama’ah.

Malam Senin, pembacaan kitab Syarah Ainiyah, karya Habib Ahmad bin Hasan Alattas. Malam Selasa, pembacaan Safinatun Najah, diikuti dengan ziarah ke Makam Habib Kuncung di Kalibata. Malam Rabu, pembacaan shalawat dan kitab Riyadhus Shalihin. Malam Kamis pembacaan nama-nama Nabi SAW dengan qashidahan. Malam Jum’at, pembacaan Dalailul Khairat dan kitab Arbain Imam Nawawi, diteruskan ziarah ke makam Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Dan malam Sabtu, pembacaan kitab Aqidatul Awam.

Pada malam Ahad, Habib Hasan mengerahkan jama’ahanya untuk mengikuti majelis ta’lim yang berpindah-pindah sesuai undangan.

Para jama’ah itu dikoordinir di suatu tempat yang strategis dan kemudian membentuk konvoi menuju ke tempat acara bersama dia dan krunya dalam iring-iringan kendaraan roda empat dan roda dua. Di sepanjang jalan mereka mengumandangkan kalimah-kalimah tauhid dan sejenisnya.

Ketika sampai di tujuan, di sana ribuan jama’ah yang lain telah menanti. Dan angkasa pun dimeriahkan dengan dentuman dan kilatan kembang api.

Setelah itu, acara ta’lim dimulai dan berlangsung sekitar dua sampai tiga jam.

Sekitar jam 00.00 acara usai dan para jama’ah membubarkan diri dengan tertib.

Di rumahnya, Habib Hasan masih menggelar pengajian hingga subuh tiba....

Bill

Ngaji Internet di Masjid Al-Akbar Surabaya

PDF Print E-mail

Pengajian internet akan dipandu beberapa ustadz kondang: Ustadz Yusuf Manshur, Jefri Al-Bukhari, dan lain-lain.

Semarak bulan Ramadhan begitu menggeliat. Sebut saja di Masjid Al Akbar Surabaya, Jawa Timur. MAS, begitu nama masjid megah itu biasa disebut, dalam rangka menyemarakkan Ramadhan 1431 Hijriah, menggelar kegiatan yang bertajuk “Pengajian Internet”.

“Itu bagian dari program ‘Ramadhan Kariim (Ramadhan Yang Mulia), Ayo Ibadah, Ngaji dan Berbagi’, untuk menyiasati sisi negatif teknologi informasi,” kata Ketua Panitia Ramadhan Kariim MAS, Helmy M. Noor, Selasa (10/8), seperti dikutip dari Antara.

Materi pengajian internet itu berbeda setiap hari. Senin bertema Bisnis Islami, Selasa Konsultasi Keluarga Sakinah dan Jelajah Situs Islami, Rabu tentang Tafsir Interaktif, Kamis seputar Fiqih Interaktif, Jumat berjudul Al-Quran Online, Sabtu Moslem Entertainment, dan Minggu bertema Facebook dan Twitter.

Menurut Humas MAS, “Ngaji Internet” berlangsung pukul 13.00-14.30 WIB dengan layanan gratis Wifi dan komputer. Pengajian internet akan dipandu beberapa ustadz kondang: Ustadz Yusuf Manshur, Jefri Al-Bukhari, dan lain-lain. Mereka mengajak para peserta atau jama’ah untuk browsing sesuai dengan tema harian.

Setelah itu para ustadz akan mengkaji dan berdialog dengan peserta. “Setelah menemukan halaman itu, peserta bisa mendiskusikan dengan Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, M.A., (Fiqih Kontemporer), Prof. Dr. H.M. Roem Rowi (Tafsir Tematik), Dr. Hj. Hasniah Hasan (Life Style dan Keluarga Sakinah), dan H. Abdul Hamid Syarifuddin (Al-Quran Online).”

Pengajian dunia maya, yang diluncurkan pada 6 Agustus lalu dan diresmikan Wagub Jawa Timur H. Saifullah Yusuf, memadukan unsur ibadah wajib, misalnya zakat, dan ibadah sunnah, misalnya infaq, shadaqah, dan lain-lain. Mengadakan wisata, misalnya wisata kuliner, wisata belanja. Juga menerima konsultasi, misalnya konsultasi zakat, bisnis syari’ah, dan lain-lain. Dan, yang tak kalah penting, bazar Ramadhan.

Implementasi “Ayo Ibadah”, misalnya, terlihat pada shalat lima waktu, Tarawih, dan shalat malam berjama’ah. Namun, panitia akan menyempurnakan dengan penyelenggaraan shalat malam ganjil berjama’ah yang dipadu sahur bersama.

Untuk “Ayo Ngaji”, terdapat program kajian agama melalui pengajian Tarawih bersama beberapa muballigh ternama Jawa Timur, mengaji atau adarus Al-Quran bersama beberapa huffadz (penghafal Quran), dan mengaji ba’da subuh bersama beberapa ustadz pilihan jama’ah. “Ramadhan tahun ini, panitia juga akan mengadakan Ngaji Takjil (menjelang buka), interaktif, dengan sentuhan yang menghibur,” kata Helmy.

Semntara “Ayo Berbagi” ada pada program berbagi ilmu dan kebahagiaan Ramadhan melalui penggalangan infaq Ramadhan, zakat, shadaqah, dan kemudian mendistribusikannya kepada yang berhak.

Banyak pihak yang begitu antusias membantu program ini. Gubernur Jawa Timur Soekarwo, misalnya, membantu 300 paket sembako. Kadinda Jatim membantu 17.845 nasi takjil. Swalayan Giant membantu screen dan LCD dua unit untuk me-relay kegiatan ibadah, serta bingkisan untuk 500 guru diniyah, takmir mushalla, dan yatim piatu. PT Telkom Indonesia membantu kurma 1,2 ton dan 2.000 nasi takjil.

“Kami tetap menunggu bantuan umat Islam lainya melalui Ramadhan Corner di Sekretariat MAS,” kata Helmy.

SEL
Ditulis Oleh: Munzir Almusawa   
Wali - Wali Allah SWT


قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللهَ قَالَ
: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ ( صحيح البخاري )
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Allah subhanahu wata'ala berfirman:
"Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku kumandangkan perang terhadapnya. Tidaklah seorang hamba mendekatiKu dengan sesuatu yang Aku cintai dari perbuatan yang Aku wajibkan padanya dan ia masih terus mendekatiKu dengan perbuatan-perbuatan sunnah hingga Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memegang, Aku menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya. Tidaklah Aku ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keraguanKu ketika hendak merenggut jiwa hambaKu yang beriman, dia membenci kematian sedang aku tak suka menyakitinya." ( Shahih Al Bukhari )

Khutbah Rasulullah saw di Hari Terakhir Bulan Sya'ban

Ditulis Oleh: Munzir Almusawa   
Khutbah Rasulullah saw di Hari Terakhir Bulan Sya'ban


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ :
كَانَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ يَلْقَاهُ فِى كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ ، فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
( صحيح البخاري )
Dari Ibnu Abbas RA. Berkata:
“Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan. Dan kedermawanannya lebih lagi pada bulan Ramadhan ketika Jibril menemuinya, dan Jibril menemuinya setiap malam di bulan Ramadhan untuk tadarus Al-Qur’an. Sungguh Rasulullah SAW lebih murah hati melakukan kebaikan daripada angin yang berhembus”. ( Shahih Al Bukhari)

kemuliaan Puasa Ramadhan,

Ditulis Oleh: Munzir Almusawa   


قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ اللَّهُ :
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ( صحيح البخاري )

Sabda Rasulullah saw : Allah swt berfirman :
“semua ibadah keturunan Adam (As) untuknya, kecuali puasa, sungguh itu untuk Ku, dan Aku yg akan mengganjarnya (tanpa perhitungan malaikat), dan puasa adalah benteng dari neraka, dan jika dihari puasa kalian, maka janganlah berbicara yg buruk/asusila, jangan bertengkar dan membentak, jika ada yg mencacinya atau menantangnya, maka katakanlah aku sungguh orang yg berpuasa, dan Demi Yang Diriku dalam genggaman Nya (sumpah beliau saw), sungguh aroma tak sedap di mulut orang yg berpuasa, lebih wangi disisi Allah swt dari wanginya minyak wangi termahal, dan bagi yg berpuasa dua kegembiraan, kegembiraan saat berbuka, dan gembira saat berjumpa Pencipta Nya, ia gembira dg puasanya” (Shahih Bukhari)

Jumat, 06 Agustus 2010

Turunnya Nabi Isa Alaihissalam Di Akhir Zaman

TURUNNYA NABI ISA ALAIHISSALAM DI AKHIR ZAMAN [1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah mengimani tentang turunnya Nabi ‘Isa Alaihisslam di akhir zaman. Sifat-sifat Nabi ‘Isa Alaihissalam yang tercantum di berbagai riwayat adalah beliau seorang laki-laki, berperawakan tidak tinggi juga tidak pendek, kulitnya kemerah-merahan, rambut-nya keriting, berdada bidang, rambutnya meneteskan air seolah-olah beliau baru keluar dari kamar mandi, beliau membiarkan rambutnya terurai memenuhi kedua pundaknya.

Setelah keluarnya Dajjal dan terjadinya kerusakan di muka bumi, maka Allah mengutus Nabi ‘Isa Alaihissalam untuk turun ke bumi.

Beliau Alaihissalam turun di Menara Putih yang terletak sebelah timur kota Damaskus di Syam (Syiria). Beliau Alaihissalam menggunakan dua pakaian yang dicelup sambil meletakkan kedua tangannya pada sayap dua Malaikat, apabila beliau menundukkan kepala, maka (seolah-olah) meneteskan air, apabila beliau mengangkat kepala maka (seolah-olah) berjatuhanlah tetesan-tetesan itu bagai manik-manik mutiara. Dan tidak seorang kafir pun yang mencium nafasnya melainkan akan mati padahal nafasnya sejauh mata memandang. [2] Beliau turun di tengah golongan yang dimenangkan (ath-Thaaifatul Manshuurah) yang berperang di jalan haq dan berkumpul untuk memerangi Dajjal. [3] Beliau turun pada waktu didirikannya shalat Shubuh dan shalat di belakang pemimpin golongan tersebut. Beliau tidak membawa syari’at baru namun mengikuti syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [4]

Turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam di akhir zaman tercantum di dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, bahkan riwayat-riwayatnya mutawatir. Diriwayatkan lebih dari 25 Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalil dari Al-Qur-an al-Karim:

1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“(Ingatlah), ketika Allah berfirman: ‘Hai ‘Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikanmu kepada akhir ajalmu dan mengangkatmu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari Kiamat. Kemudian hanya kepada Aku-lah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya.’” [Ali ‘Imran: 55]

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai firman Allah: إِنِّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ “Sesungguhnya Aku akan menyampaikanmu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku...”

Menurut Qatadah dan ulama lainnya: “Ini merupakan bentuk kalimat dalam bentuk muqaddam dan muakhkhar (yaitu bentuk kalimat yang mendahulukan apa yang seharusnya ada di akhir, dan mengakhirkan apa yang seharusnya didahulukan). Kedudukan sebenarnya adalah إِنِّيْ رَافِعُكَ إِلَيَّ وَ مُتَوَفِّيْكَ “ Yakni Aku mengangkatmu kepada-Ku dan mewafatkanmu.

Dan mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kematian tersebut adalah tidur, sebagaimana firman-Nya وَهُوَ الَّذِيْ يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ “Dan Dia-lah yang menidurkan kalian di malam hari.” [Al-An’aam: 60]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, اللهُ يَتَوَفَّى اْلأَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا Allah yang memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati pada waktu tidurnya.". [Az-Zumar: 42]

2. Firman Allah Azza Wa Jala
“Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, ‘Isa putera Maryam, Rasul Allah,’ padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa. Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat ‘Isa kepada-Nya. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [An-Nisaa': 157-158]

Allah mengangkat Nabi ‘Isa Alaihissaalam dalam keadaan hidup dengan ruh dan jasadnya, ayat di atas sebagai dalil untuk membantah orang-orang Yahudi yang menyangka ‘Isa dibunuh dan disalib. Kalau yang diangkat ruhnya saja, maka apa bedanya Nabi ‘Isa dengan Nabi-nabi yang lainnya, bahkan juga kaum Mukminin, semua ruhnya diangkat Allah sesudah wafat! Jadi, tidak beda antara Nabi ‘Isa dengan yang lainnya? Lantas apa manfaat penyebutan diangkat ke langit, kalau bukan yang di-angkat ruh dan jasadnya?! [5]

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah -setelah menafsirkan ayat ini- kemudian membawakan beberapa hadits tentang turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam. Beliau Rahimahullah berkata: “Inilah hadits-hadits mutawatir yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari para Sahabat, seperti Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, ‘Utsman bin Abil ‘Ash, Abu Umamah, an-Nawwas bin Sam’an, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Mujammi’ bin Jariyah, Abu Syuraikah dan Hudzaifah bin Usaid Radhiyallahu ‘anhum. Di dalam hadits-hadits ini mengandung petunjuk tentang sifat-sifat turunnya, juga tempatnya, yaitu ia akan turun di Syam (Syiria) tepatnya di Damaskus pada menara timur dan terjadi ketika akan didirikan shalat Shubuh. [6]

3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya ‘Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari Kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang Kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus.” [Az-Zukhruuf: 61]

Tafsiran lafazh: : وَإِنَّهُ لَعِلْمٌ لِّلسَّاعَة menurut Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma sebagaimana tercantum dalam kitab Tafsiir Ibni Katsiir adalah turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissalam sebelum hari Kiamat. Kemudian dijelaskan juga oleh Ibnu Katsir Rahimahullah hadits-hadits tentang turunnya Nabi ‘Isa sebelum hari Kiamat diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Abu Malik, Ikrimah, Hasan, Qatadah, ad-Dhahhak dan selainnya. Hadits-hadits turunnya Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissalam sebelum hari Kiamat sebagai Imam yang adil, dan hakim yang bijaksana adalah mutawatir. [7]

Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah:

1. Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، قَالَ: فَيَنْزِلُ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَq فَيَقُوْلُ أَمِيْرُهُمْ: تَعَالَ صَلِّ لَنَا فَيَقُوْلُ: لاَ، إِنَّ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ أُمَرَاءُ، تَكْرِمَةَ اللهِ هَذِهِ اْلأُمَّةَ.

“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang berperang demi membela kebenaran sampai hari Kiamat.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka kemudian turun Nabi ‘Isa bin Maryam Alaihissalam, kemudian pemimpin golongan yang berperang tersebut berkata kepada Nabi ‘Isa: ‘Kemarilah, shalatlah mengimami kami.’ Kemudian Nabi ‘Isa menjawab: ‘Tidak, sesungguhnya sebagian kalian adalah pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai penghormatan bagi umat ini." [8]

2. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لَيُوْشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيْكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ q حَكَمًا عَدْلاً، فَيَكْسِرَ الصَّلِيْبَ، وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيْرَ، وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ، وَيَفِيْضَ الْمَالُ حَتَّى لاَ يَقْبَلَهُ أَحَدٌ.

“Dan demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, sudah dekat saatnya di mana akan turun pada kalian (‘Isa) Ibnu Maryam Alaihissalam sebagai hakim yang adil. Dia akan menghancurkan salib, membunuh babi, menghapus jizyah (upeti/pajak), dan akan melimpah ruah harta benda, hingga tidak ada seorang pun yang mau menerimanya.” [9]

3. Sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihis salam:
“Para Nabi itu bersaudara seayah, sedangkan ibu mereka berbeda-beda dan agama mereka satu. Aku adalah manusia yang paling dekat terhadap ‘Isa bin Maryam, karena tidak ada Nabi lagi antara dia dan aku. Dan dia akan turun (kembali). Jika kalian melihatnya, maka kenalilah oleh kalian bahwa dia adalah laki-laki yang sedang tingginya, berkulit putih kemerah-merahan, dia memakai dua buah baju yang agak kemerahan, seakan di kepalanya meneteskan air walaupun tidak basah. Dia akan mematahkan salib, membunuh babi dan menghapus jizyah serta menyeru manusia kepada Islam. Di zamannya, Allah akan menghancurkan seluruh agama kecuali Islam. Dan Allah akan membunuh al-Masih ad-Dajjal. Kemudian terciptalah keamanan di muka bumi, hingga singa dengan unta mencari makan (di tempat yang sama) dan (demikian pula) harimau dan sapi, juga serigala dan kambing, serta anak-anak kecil bermain-main dengan ular tanpa mem-bahayakan mereka. Beliau tinggal selama empat puluh tahun, kemudian wafat dan kaum Muslimin menshalatkannya.” [10]

Turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam memberikan hikmah yang besar, di antaranya:

1. Membantah Yahudi yang beranggapan bahwa mereka telah membunuh ‘Isa Alaihissalam. Padahal Nabi ‘Isa-lah yang akan membunuh pimpinan mereka yaitu Dajjal.
2. Sesungguhnya Nabi ‘Isa Alaihissalam mendapatkan di dalam Injil tentang keutamaan ummat Muhammad [Al-Fath: 29] Dan beliau berdo’a agar dimasukkan di antara mereka (ummat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan do’a beliau ketika beliau turun pada akhir zaman, dan beliau menjadi mujaddid (pembaharu) agama Islam.
3. Bahwa turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam dari langit untuk dimakamkan di bumi, karena tidak ada makhluk dari tanah yang mati di selainnya.
4. Turunnya Nabi ‘Isa Alaihissalam membongkar kebohongan Nashrani, menghancurkan salib, membunuh babi, menghapus upeti.
5. Beliau memiliki keistimewaan yang khusus, karena jarak antara Dia dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat dekat dan tidak ada Nabi lain yang memisahkan antara Nabi ‘Isa Alaihissalam dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
6. Nabi ‘Isa Alaihissalam berhukum dengan syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadi pengikut Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau turun tidak membawa syari’at yang baru, karena agama Islam penutup segala agama dan Nabi ‘Isa Alaihissalam menjadi hakim ummat ini, karena tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Zamannya Nabi ‘Isa Alaihissalam adalah zaman yang penuh ketenangan, keamanan dan keselamatan. Allah mengirimkan hujan yang deras, menjadikan bumi mengeluarkan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan. Harta berlimpah serta dihilangkan sifat-sifat iri, benci, dan dengki.
8. Lamanya Nabi ‘Isa Alaihissalam tinggal di bumi adalah selama 40 tahun. [11]

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَيَمْكُثُ فِي اْلأَرْضِ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً إِمَامًا عَدْلاً وَحَكَماً مُقْسِطًا.

“Beliau tinggal di bumi selama 40 tahun sebagai imam yang adil dan hakim yang bijaksana.” [12]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
_________
Footnotes
[1]. Lebih lengkapnya lihat an-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim oleh Ibnu Katsir, tahqiq Ahmad ‘Abdus Syaafi’, Fashlul Maqaal fi Raf’i ‘Isa Hayyan wa Nuzulihi wa Qatlihi ad-Dajjaal (hal. 337-364) oleh Dr. Muhammad Khalil Hirras dan Asyraa-thus Saa’ah dan Qishshatul Masiih ad-Dajjaal wa Nuzuuli ‘Isa Alaihissalam wa Qatlihi Iyyaahu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[2]. HR. Muslim (no. 2937 (110)) dari Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu 'anhu. Lihat Syarah Shahiih Muslim (XVIII/67-38), oleh Imam an-Nawawi.
[3]. HR. Muslim (no. 156 (247)), Ahmad (III/384), Abu ‘Awanah (I/106), Ibnul Jarud (no. 1031) dan Ibnu Hibban (no. 6780) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anuhma.
[4]. Qishshatul Masiih ad-Dajjaal wa Nuzuuli ‘Isa Alaihissalam wa Qatlihi Iyyaahu (hal. 142-143) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
[5]. Diringkas dari Fashlul Maqaal (hal. 13-14).
[6]. Tafsiir Ibni Katsiir (I/644), cet. Daarus Salaam.
[7]. Tafsiir Ibni Katsiir (IV/139-140), cet. Daarus Salaam.
[8]. HR. Muslim (no. 156 (247)), Ahmad (III/384), Abu ‘Awanah (I/106), Ibnul Jarud (no. 1031) dan Ibnu Hibban (no. 6780) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu.
[9]. HR. Al-Bukhari kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’ bab Nuzuul ‘Isa Ibni Maryam (no. 3448), Fat-hul Baari (VI/490-494) dan Muslim Kitaabul Iimaan bab Nuzuul ‘Isa Ibni Maryam Haakiman bi Syari’ati Nabiyyinaa Muhammad j (no.155 (242)), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[10]. HR. Abu Dawud (no. 4324), Ibnu Hibban (IX/450, no. 6775, 6782 dalam Ta’liiqatul Hisaan) dan Ahmad (II/406, 437), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (V/214 no. 2182).
[11]. Lihat Asyraathus Saa’ah (hal. 355-363), oleh Dr. Yusuf al-Wabil.
[12]. HR. Ahmad (VI/75), Ibnu Hibban (no. 1905, Shahiih Mawaariduzh Zham’aan no.1599) dari ‘Aisyah x. Kata Imam al-Haitsamy: “Hadits ini rawi-rawinya shahih.” Lihat Majma’uz Zawaa-id (VII/338) dan Qishshatu Dajjal (hal. 60).

Saudariku, Apa yang Menghalangimu untuk Berjilbab? (1)

Saudariku…
Seorang mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling memperbaiki.

Saudariku…
Tentu engkau sudah mengetahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling mencintai. Dan salah satu bukti cinta Islam kepada kita –kaum wanita– adalah perintah untuk berjilbab. Namun, kulihat engkau masih belum mengambil “kado istimewa” itu. Kudengar masih banyak alasan yang menginap di rongga-rongga pikiran dan hatimu setiap kali kutanya, “Kenapa jilbabmu masih belum kau pakai?” Padahal sudah banyak waktu kau luangkan untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah jilbab. Sudah sekian judul buku engkau baca untuk memantapkan hatimu agar segera berjilbab. Juga ribuan surat cinta dari saudarimu yang menginginkan agar jilbabmu itu segera kau kenakan. Lalu kenapa, jilbabmu masih terlipat rapi di dalam lemari dan bukan terjulur untuk menutupi dirimu?
Mengapa Harus Berjilbab?
Mungkin aku harus kembali mengingatkanmu tentang alasan penting kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan perintah jilbab kepada kita –kaum Hawa- dan bukan kepada kaum Adam. Saudariku, jilbab adalah pakaian yang berfungsi untuk menutupi perhiasan dan keindahan dirimu, agar dia tidak dinikmati oleh sembarang orang. Ingatkah engkau ketika engkau membeli pakaian di pertokoan, mula-mula engkau melihatnya, memegangnya, mencobanya, lalu ketika kau jatuh cinta kepadanya, engkau akan meminta kepada pemilik toko untuk memberikanmu pakaian serupa yang masih baru dalam segel. Kenapa demikian? Karena engkau ingin mengenakan pakaian yang baru, bersih dan belum tersentuh oleh tangan-tangan orang lain. Jika demikian sikapmu pada pakaian yang hendak engkau beli, maka bagaimana sikapmu pada dirimu sendiri? Tentu engkau akan lebih memantapkan ’segel’nya, agar dia tetap ber’nilai jual’ tinggi, bukankah demikian? Saudariku, izinkan aku sedikit mengingatkanmu pada firman Rabb kita ‘Azza wa Jalla berikut ini,
“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.’” (Qs. An-Nuur: 31)
Dan firman-Nya,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzaab: 59)
Saudariku tercinta, Allah tidak semata-mata menurunkan perintah jilbab kepada kita tanpa ada hikmah dibalik semuanya. Allah telah mensyari’atkan jilbab atas kaum wanita, karena Allah Yang Maha Mengetahui menginginkan supaya kaum wanita mendapatkan kemuliaan dan kesucian di segala aspek kehidupan, baik dia adalah seorang anak, seorang ibu, seorang saudari, seorang bibi, atau pun sebagai seorang individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Allah menjadikan jilbab sebagai perangkat untuk melindungi kita dari berbagai “virus” ganas yang merajalela di luar sana. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya,
“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1173), Ibnu Khuzaimah (III/95) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 10115), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)
Saudariku, berjilbab bukan hanya sebuah identitas bagimu untuk menunjukkan bahwa engkau adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab adalah suatu bentuk ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, selain shalat, puasa, dan ibadah lain yang telah engkau kerjakan. Jilbab juga merupakan konsekuensi nyata dari seorang wanita yang menyatakan bahwa dia telah beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, jilbab juga merupakan lambang kehormatan, kesucian, rasa malu, dan kecemburuan. Dan semua itu Allah jadikan baik untukmu. Tidakkah hatimu terketuk dengan kasih sayang Rabb kita yang tiada duanya ini?
“Aku Belum Berjilbab, Karena…”
1. “Hatiku masih belum mantap untuk berjilbab. Jika hatiku sudah mantap, aku akan segera berjilbab. Lagipula aku masih melaksanakan shalat, puasa dan semua perintah wajib kok..”
Wahai saudariku… Sadarkah engkau, siapa yang memerintahmu untuk mengenakan jilbab? Dia-lah Allah, Rabb-mu, Rabb seluruh manusia, Rabb alam semesta. Engkau telah melakukan berbagai perintah Allah yang berpangkal dari iman dan ketaatan, tetapi mengapa engkau beriman kepada sebagian ketetapan-Nya dan ingkar terhadap sebagian yang lain, padahal engkau mengetahui bahwa sumber dari semua perintah itu adalah satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Seperti shalat dan amalan lain yang senantiasa engkau kerjakan, maka berjilbab pun adalah satu amalan yang seharusnya juga engkau perhatikan. Allah Ta’ala telah menurunkan perintah hijab kepada setiap wanita mukminah. Maka itu berarti bahwa hanya wanita-wanita yang memiliki iman yang ridha mengerjakan perintah ini. Adakah engkau tidak termasuk ke dalam golongan wanita mukminah?
Ingatlah saudariku, bahwa sesungguhnya keadaanmu yang tidak berjilbab namun masih mengerjakan amalan-amalan lain, adalah seperti orang yang membawa satu kendi penuh dengan kebaikan akan tetapi kendi itu berlubang, karena engkau tidak berjilbab. Janganlah engkau sia-siakan amal shalihmu disebabkan orang-orang yang dengan bebas di setiap tempat memandangi dirimu yang tidak mengenakan jilbab. Silakan engkau bandingkan jumlah lelaki yang bukan mahram yang melihatmu tanpa jilbab setiap hari dengan jumlah pahala yang engkau peroleh, adakah sama banyaknya?
2. “Iman kan letaknya di hati. Dan yang tahu hati seseorang hanya aku dan Allah.”
Duhai saudariku…Tahukah engkau bahwa sahnya iman seseorang itu terwujud dengan tiga hal, yakni meyakini sepenuhnya dengan hati, menyebutnya dengan lisan, dan melakukannya dengan perbuatan?
Seseorang yang beramal hanya sebatas perbuatan dan lisan, tanpa disertai dengan keyakinan penuh dalam hatinya, maka dia termasuk ke dalam golongan orang munafik. Sementara seseorang yang beriman hanya dengan hatinya, tanpa direalisasikan dengan amal perbuatan yang nyata, maka dia termasuk kepada golongan orang fasik. Keduanya bukanlah bagian dari golongan orang mukmin. Karena seorang mukmin tidak hanya meyakini dengan hati, tetapi dia juga merealisasikan apa yang diyakininya melalui lisan dan amal perbuatan. Dan jika engkau telah mengimani perintah jilbab dengan hatimu dan engkau juga telah mengakuinya dengan lisanmu, maka sempurnakanlah keyakinanmu itu dengan bersegera mengamalkan perintah jilbab.
3. “Aku kan masih muda…”
Saudariku tercinta… Engkau berkata bahwa usiamu masih belia sehingga menahanmu dari mengenakan jilbab, dapatkah engkau menjamin bahwa esok masih untuk dirimu? Apakah engkau telah mengetahui jatah hidupmu di dunia, sehingga engkau berkata bahwa engkau masih muda dan masih memiliki waktu yang panjang? Belumkah engkau baca firman Allah ‘Azza wa Jalla yang artinya,
“Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, jika kamu sesungguhnya mengetahui.” (Qs. Al-Mu’minuun: 114)
“Pada hari mereka melihat adzab yang diancam kepada mereka, (mereka merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) waktu pelajaran yang cukup.” (Qs. Al-Ahqaaf: 35)
Tidakkah engkau perhatikan tetanggamu atau teman karibmu yang seusia denganmu atau di bawah usiamu telah menemui Malaikat Maut karena perintah Allah ‘Azza wa Jalla? Tidakkah juga engkau perhatikan si fulanah yang kemarin masih baik-baik saja, tiba-tiba menemui ajalnya dan menjadi mayat hari ini? Tidakkah semua itu menjadi peringatan bagimu, bahwa kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang sekarat atau pun orang yang lanjut usia? Dan Malaikat Maut tidak akan memberimu penangguhan waktu barang sedetik pun, ketika ajalmu sudah sampai. Setiap hari berlalu sementara akhiratmu bertambah dekat dan dunia bertambah jauh. Bekal apa yang telah engkau siapkan untuk hidup sesudah mati? Ketahuilah saudariku, kematian itu datangnya lebih cepat dari detak jantungmu yang berikutnya. Jadi cepatlah, jangan sampai terlambat…
4. “Jilbab bikin rambutku jadi rontok…”
Sepertinya engkau belum mengetahui fakta terbaru mengenai ‘canggih’nya jilbab. Dr. Muhammad Nidaa berkata dalam Al-Hijaab wa Ta’tsiruuha ‘Ala Shihhah wa Salamatus Sya’ri tentang pengaruh jilbab terhadap kesehatan dan keselamatan rambut,
“Jilbab dapat melindungi rambut. Penelitian dan percobaan telah membuktikan bahwa perubahan cuaca dan cahaya matahari langsung akan menyebabkan hilangnya kecantikan rambut dan pudarnya warna rambut. Sehingga rambut menjadi kasar dan berwarna kusam. Sebagaimana juga udara luar (oksigen) dan hawa tidaklah berperan dalam pertumbuhan rambut. Karena bagian rambut yang terlihat di atas kepala yang dikenal dengan sebutan batang rambut tidak lain adalah sel-sel kornea (yang tidak memiliki kehidupan). Ia akan terus memanjang berbagi sama rata dengan rambut yang ada di dalam kulit. Bagian yang aktif inilah yang menyebabkan rambut bertambah panjang dengan ukuran sekian millimeter setiap hari. Ia mendapatkan suplai makanan dari sel-sel darah dalam kulit.
Dari sana dapat kita katakan bahwa kesehatan rambut bergantung pada kesehatan tubuh secara umum. Bahwa apa saja yang mempengaruhi kesehatan tubuh, berupa sakit atau kekurangan gizi akan menyebabkan lemahnya rambut. Dan dalam kondisi mengenakan jilbab, rambut harus dicuci dengan sabun atau shampo dua atau tiga kali dalam sepekan, menurut kadar lemak pada kulit kepala. Maksudnya apabila kulit kepala berminyak, maka hendaklah mencuci rambut tiga kali dalam sepekan. Jika tidak maka cukup mencucinya dua kali dalam sepekan. Jangan sampai kurang dari kadar ini dalam kondisi apapun. Karena sesudah tiga hari, minyak pada kulit kepala akan berubah menjadi asam dan hal itu akan menyebabkan patahnya batang rambut, dan rambut pun akan rontok.” (Terj. Banaatunaa wal Hijab hal. 66-67)
5. “Kalau aku pakai jilbab, nanti tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku. Jadi, aku pakai jilbabnya nanti saja, sesudah menikah.”
Wahai saudariku… Tahukah engkau siapakah lelaki yang datang meminangmu itu, sementara engkau masih belum berjilbab? Dia adalah lelaki dayyuts, yang tidak memiliki perasaan cemburu melihatmu mengobral aurat sembarangan. Bagaimana engkau bisa berpendapat bahwa setelah menikah nanti, suamimu itu akan ridha membiarkanmu mengulur jilbab dan menutup aurat, sementara sebelum pernikahan itu terjadi dia masih santai saja mendapati dirimu tampil dengan pakaian ala kadarnya? Jika benar dia mencintai dirimu, maka seharusnya dia memiliki perasaan cemburu ketika melihat auratmu terbuka barang sejengkal saja. Dia akan menjaga dirimu dari pandangan liar lelaki hidung belang yang berkeliaran di luar sana. Dia akan lebih memilih dirimu yang berjilbab daripada dirimu yang tanpa jilbab. Inilah yang dinamakan pembuktian cinta yang hakiki!
Maka, jika datang seorang lelaki yang meminangmu dan ridha atas keadaanmu yang masih belum berjilbab, waspadalah. Jangan-jangan dia adalah lelaki dayyuts yang menjadi calon penghuni Neraka. Sekarang pikirkanlah olehmu saudariku, kemanakah bahtera rumah tanggamu akan bermuara apabila nahkodanya adalah calon penghuni Neraka?
6. “Pakai jilbab itu ribet dan mengganggu pekerjaan. Bisa-bisa nanti aku dipecat dari pekerjaan.”
Saudariku… Islam tidak pernah membatasi ruang gerak seseorang selama hal tersebut tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah. Akan tetapi, Islam membatasi segala hal yang dapat membahayakan seorang wanita dalam melakukan aktivitasnya baik dari sisi dunia maupun dari sisi akhiratnya. Jilbab yang menjadi salah satu syari’at Islam adalah sebuah penghargaan sekaligus perlindungan bagi kaum wanita, terutama jika dia hendak melakukan aktivitas di luar rumahnya. Maka dengan perginya engkau untuk bekerja di luar rumah tanpa jilbab justru akan mendatangkan petaka yang seharusnya dapat engkau hindari. Alih-alih mempertahankan pekerjaan, engkau malah menggadaikan kehormatan dan harga dirimu demi setumpuk materi.
Tahukah engkau saudariku, siapa yang memberimu rizki? Bukankah Allah -Rabb yang berada di atas ‘Arsy-Nya- yang memerintahkan para malaikat untuk membagikan rizki kepada setiap hamba tanpa ada yang dikurangi barang sedikitpun? Mengapa engkau lebih mengkhawatirkan atasanmu yang juga rizkinya bergantung kepada kemurahan Allah?
Apakah jika engkau lebih memilih untuk tetap tidak berjilbab, maka atasanmu itu akan menjamin dirimu menjadi calon penghuni Surga? Ataukah Allah ‘Azza wa Jalla yang telah menurunkan perintah ini kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan mengadzabmu akibat kedurhakaanmu itu? Pikirkanlah saudariku… Pikirkanlah hal ini baik-baik!
7. “Jilbab itu bikin gerah, dan aku tidak kuat kepanasan.”
Saudariku… Panas mentari yang engkau rasakan di dalam dunia ini tidak sebanding dengan panasnya Neraka yang akan kau terima kelak, jika engkau masih belum mau untuk berjilbab. Sungguh, dia tidak sebanding. Apakah engkau belum mendengar firman Allah yang berbunyi,
“Katakanlah: ‘(Api) Neraka Jahannam itu lebih sangat panas. Jika mereka mengetahui.’” (Qs. At-Taubah: 81)
Dan sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,

“Sesungguhnya api Neraka Jahannam itu dilebihkan panasnya (dari panas api di bumi sebesar) enam puluh sembilan kali lipat (bagian).” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 2843) dan Ahmad (no. 8132). Lihat juga Shahih Al-Jaami' (no. 6742), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Manakah yang lebih sanggup engkau bersabar darinya, panasnya matahari di bumi ataukah panasnya Neraka di akhirat nanti? Tentu engkau bisa menimbangnya sendiri…

8. “Jilbab itu pilihan. Siapa yang mau pakai jilbab silakan, yang belum mau juga gak apa-apa. Yang penting akhlaknya saja benar.”

Duhai saudariku… Sepertinya engkau belum tahu apa yang dimaksud dengan akhlak mulia itu. Engkau menafikan jilbab dari cakupan akhlak mulia, padahal sudah jelas bahwa jilbab adalah salah satu bentuk perwujudan akhlak mulia. Jika tidak, maka Allah tidak akan memerintahkan kita untuk berjilbab, karena dia tidak termasuk ke dalam akhlak mulia.

Pikirkanlah olehmu baik-baik, adakah Allah memerintahkan hamba-Nya untuk berakhlak buruk? Atau adakah Allah mengadakan suatu ketentuan yang tidak termasuk dalam kebaikan dan mengandung manfaat yang sangat besar? Jika engkau menjawab tidak ada, maka dengan demikian engkau telah membantah pendapatmu sendiri dan engkau telah setuju bahwa jilbab termasuk ke dalam sekian banyak akhlak mulia yang harus kita koleksi satu persatu. Bukankah demikian?

Ketahuilah olehmu, keputusanmu untuk tidak mengenakan jilbab akan membuat Rabb-mu menjadi cemburu, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya,

“Sesungguhnya Allah itu cemburu dan seorang Mukmin juga cemburu. Adapun cemburunya Allah disebabkan oleh seorang hamba yang mengerjakan perkara yang diharamkan oleh-Nya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4925) dan Muslim (no. 2761)]

9. “Sepertinya Allah belum memberiku hidayah untuk segera berjilbab.”

Saudariku… Hidayah Allah tidak akan datang begitu saja, tanpa engkau melakukan apa-apa. Engkau harus menjalankan sunnatullah, yakni dengan mencari sebab-sebab datangnya hidayah tersebut.

Ketahuilah bahwa hidayah itu terbagi menjadi dua, yaitu hidayatul bayan dan hidayatut taufiq. Hidayatul bayan adalah bimbingan atau petunjuk kepada kebenaran, dan di dalamnya terdapat campur tangan manusia. Adapun hidayatut taufiq adalah sepenuhnya hak Allah. Dia merupakan peneguhan, penjagaan, dan pertolongan yang diberikan Allah kepada hati seseorang agar tetap dalam kebenaran. Dan hidayah ini akan datang setelah hidayatul bayan dilakukan.

Janganlah engkau jual kebahagiaanmu yang abadi dalam Surga kelak dengan dunia yang fana ini. Buanglah jauh-jauh perasaan was-wasmu itu. Tempuhlah usaha itu dengan berjilbab, sementara hatimu terus berdo’a kepada-Nya, “Allahummahdini wa saddidni. Allahumma tsabit qolbi ‘ala dinik (Yaa Allah, berilah aku petunjuk dan luruskanlah diriku. Yaa Allah, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

-Bersambung Insya Allah-
Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Murojaah: Ust. Aris Munandar hafidzahullah
***
Artikel muslimah.or.id

Shalat Tarawih (1): Jumlah Raka’at Pilihan Nabi

Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat  setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan.[1]
Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja.[2]
Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam.[3]
Imam Asy Syafi’i, mayoritas ulama Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa lebih afdhol shalat tarawih dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’ar Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan shalat ‘ied.[4]
Keutamaan Shalat Tarawih
Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi.[5] Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya.[6]
Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil.[7]
Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.”[8] Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.
Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih.[9]
Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.”[10]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ ، فَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا ، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّوْا مَعَهُ ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ، فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَىَّ مَكَانُكُمْ ، لَكِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam keluar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid, orang-orang kemudian mengikuti beliau dan shalat di belakangnya. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan beliau. Dan pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk shalat dan mereka shalat bersama beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama’ah hingga akhirnya beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah beliau selesai shalat Fajar, beliau menghadap kepada orang banyak membaca syahadat lalu bersabda: “Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut shalat tersebut akan diwajibkan atas kalian, sementara kalian tidak mampu.”[11]
As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.” [12]
Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.”[13]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.”[14]
Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
Juga terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari[15]. Di antara dalilnya adalah ‘Aisyah mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan shalat dua rak’at yang ringan.”[16] Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan 2 raka’at ringan terlebih dahulu.
-Bersambung insya Allah-

Dzikir-Dzikir di Bulan Ramadhan

Dzikir Ketika Melihat Hilal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat hilal beliau membaca,
اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالإِِيمَانِ ، وَالسَّلامَةِ وَالإِِسْلامِ ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ
Allahumma ahillahu ‘alayna bilyumni wal iimaani was salaamati wal islaami. Robbii wa Robbukallah. [Ya Allah, tampakkan bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah]” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ad Darimi. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan  bahwa hadits ini hasan karena memiliki penguat dari hadits lainnya)
Ucapan Ketika Dicela atau Diganggu (Diusilin) Orang Lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
“Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Inni shoo-imun, inni shoo-imun [Aku sedang puasa, aku sedang puasa]“.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). An Nawawi mengatakan, “Termasuk yang dianjurkan adalah jika seseorang dicela oleh orang lain atau diajak berkelahi ketika dia sedang berpuasa, maka katakanlah “Inni shoo-imun, inni shoo-imun [Aku sedang puasa, aku sedang puasa]“, sebanyak dua kali atau lebih. (Al Adzkar, 183)
Do’a Ketika Berbuka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka membaca,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah [Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah]” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Adapun mengenai do’a berbuka yang biasa tersebar di tengah-tengah kaum muslimin: “Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu….”, perlu diketahui bahwa ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta oleh para ulama pakar hadits. (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy)
Do’a Kepada Orang yang Memberi Makan dan Minum
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan,
أَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ سْقَانِى
“Allahumma ath’im man ath’amanii wasqi man saqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku] (HR. Muslim no. 2055)
Do’a Ketika Berbuka Puasa di Rumah Orang Lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disuguhkan makanan oleh Sa’ad bin ‘Ubadah, beliau mengucapkan,
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ
Afthoro ‘indakumush shoo-imuuna wa akala tho’amakumul abroor wa shollat ‘alaikumul malaa-ikah [Orang-orang yang berpuasa berbuka di tempat kalian, orang-orang yang baik menyantap makanan kalian dan malaikat pun mendo'akan agar kalian mendapat rahmat].” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Do’a Setelah Shalat Witir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa pada saat witir membaca surat “Sabbihisma Robbikal a’laa” (surat Al A’laa), “Qul yaa ayyuhal kaafiruun” (surat Al Kafirun), dan “Qul huwallahu ahad” (surat Al Ikhlas). Kemudian setelah salam beliau mengucapkan
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ
“Subhaanal malikil qudduus”, sebanyak tiga kali dan beliau mengeraskan suara pada bacaan ketiga. (HR. Abu Daud dan An Nasa-i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan di akhir witirnya,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Allahumma inni a’udzu bika bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” [Ya Allah, aku berlindung dengan keridhoan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan kesalamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri]. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa-i dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Do’a di Malam Lailatul Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata, “Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ  تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ [Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku].” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.com)
Dipublikasikan oleh muslim.or.id

Waktu-Waktu Terkabulnya Do’a

Sungguh berbeda Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan makhluk-Nya. Dia Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Lihatlah manusia, ketika ada orang meminta sesuatu darinya ia merasa kesal dan berat hati. Sedangkan Allah Ta’ala mencintai hamba yang meminta kepada-Nya. Sebagaimana perkataan seorang penyair:
الله يغضب إن تركت سؤاله  وبني آدم حين يسأل يغضب
Allah murka pada orang yang enggan meminta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta ia marah
Ya, Allah mencintai hamba yang berdoa kepada-Nya, bahkan karena cinta-Nya Allah memberi ‘bonus’ berupa ampunan dosa kepada hamba-Nya yang berdoa. Allah Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
يا ابن آدم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان منك ولا أبالي
Wahai manusia, selagi engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, aku mengampuni dosamu dan tidak aku pedulikan lagi dosamu” (HR. At Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits hasan shahih’)
Sungguh Allah memahami keadaan manusia yang lemah dan senantiasa membutuhkan akan Rahmat-Nya. Manusia tidak pernah lepas dari keinginan, yang baik maupun yang buruk. Bahkan jika seseorang menuliskan segala keinginannya dikertas, entah berapa lembar akan terpakai.
Maka kita tidak perlu heran jika Allah Ta’ala melaknat orang yang enggan berdoa kepada-Nya. Orang yang demikian oleh Allah ‘Azza Wa Jalla disebut sebagai hamba yang sombong dan diancam dengan neraka Jahannam. Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Berdoalah kepadaKu, Aku akan kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang menyombongkan diri karena enggan beribadah kepada-Ku, akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (QS. Ghafir: 60)
Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Maha Pemurah terhadap hamba-Nya, karena hamba-Nya diperintahkan berdoa secara langsung kepada Allah tanpa melalui perantara dan dijamin akan dikabulkan. Sungguh Engkau Maha Pemurah Ya Rabb…
Berdoa Di Waktu Yang Tepat
Diantara usaha yang bisa kita upayakan agar doa kita dikabulkan oleh Allah Ta’ala adalah dengan memanfaatkan waktu-waktu tertentu yang dijanjikan oleh Allah bahwa doa ketika waktu-waktu tersebut  dikabulkan. Diantara waktu-waktu tersebut adalah:
1. Ketika sahur atau sepertiga malam terakhir
Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang berdoa disepertiga malam yang terakhir. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya:
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون
Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdoa memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18)
Sepertiga malam yang paling akhir adalah waktu yang penuh berkah, sebab pada saat itu Rabb kita Subhanahu Wa Ta’ala turun ke langit dunia dan mengabulkan setiap doa hamba-Nya yang berdoa ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا ، حين يبقى ثلث الليل الآخر، يقول : من يدعوني فأستجيب له ، من يسألني فأعطيه ، من يستغفرني فأغفر له
Rabb kita turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir pada setiap malamnya. Kemudian berfirman: ‘Orang yang berdoa kepada-Ku akan Ku kabulkan, orang yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberikan, orang yang meminta ampunan dari-Ku akan Kuampuni‘” (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758)
Namun perlu dicatat, sifat ‘turun’ dalam hadits ini jangan sampai membuat kita membayangkan Allah Ta’ala turun sebagaimana manusia turun dari suatu tempat ke tempat lain. Karena tentu berbeda. Yang penting kita mengimani bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, karena yang berkata demikian adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam diberi julukan Ash shadiqul Mashduq (orang jujur yang diotentikasi kebenarannya oleh Allah), tanpa perlu mempertanyakan dan membayangkan bagaimana caranya.
Dari hadits ini jelas bahwa sepertiga malam yang akhir adalah waktu yang dianjurkan untuk memperbanyak berdoa. Lebih lagi di bulan Ramadhan, bangun di sepertiga malam akhir bukanlah hal yang berat lagi karena bersamaan dengan waktu makan sahur. Oleh karena itu, manfaatkanlah sebaik-baiknya waktu tersebut untuk berdoa.
2. Ketika berbuka puasa
Waktu berbuka puasa pun merupakan waktu yang penuh keberkahan, karena diwaktu ini manusia merasakan salah satu kebahagiaan ibadah puasa, yaitu diperbolehkannya makan dan minum setelah seharian menahannya, sebagaimana hadits:
للصائم فرحتان : فرحة عند فطره و فرحة عند لقاء ربه
Orang yang berpuasa memiliki 2 kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabb-Nya kelak” (HR. Muslim, no.1151)
Keberkahan lain di waktu berbuka puasa adalah dikabulkannya doa orang yang telah berpuasa, sebagaimana sabda  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
ثلاث لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل و المظلوم
‘”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzhalimi” (HR. Tirmidzi no.2528, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih At Tirmidzi)
Oleh karena itu, jangan lewatkan kesempatan baik ini untuk memohon apa saja yang termasuk kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Namun perlu diketahui, terdapat doa yang dianjurkan untuk diucapkan ketika berbuka puasa, yaitu doa berbuka puasa. Sebagaimana hadits
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)” (HR. Abu Daud no.2357, Ad Daruquthni 2/401, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232)
Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan lafazh berikut:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
adalah hadits palsu, atau dengan kata lain, ini bukanlah hadits. Tidak terdapat di kitab hadits manapun. Sehingga kita tidak boleh meyakini doa ini sebagai hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Oleh karena itu, doa dengan lafazh ini dihukumi sama seperti ucapan orang biasa seperti saya dan anda. Sama kedudukannya seperti kita berdoa dengan kata-kata sendiri. Sehingga doa ini tidak boleh dipopulerkan apalagi dipatenkan sebagai doa berbuka puasa.
Memang ada hadits tentang doa berbuka puasa dengan lafazh yang mirip dengan doa tersebut, semisal:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim
Dalam Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341), dinukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani: “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga di-dhaif-kan oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Atau doa-doa yang lafazh-nya semisal hadits ini semuanya berkisar antara hadits dhaif atau munkar.
3. Ketika malam lailatul qadar
Malam lailatul qadar adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Malam ini lebih utama dari 1000 bulan. Sebagaimana firmanAllah Ta’ala:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Malam Lailatul Qadr lebih baik dari 1000 bulan” (QS. Al Qadr: 3)
Pada malam ini dianjurkan memperbanyak ibadah termasuk memperbanyak doa. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ummul Mu’minin Aisyah Radhiallahu’anha:
قلت يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني
“Aku bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah, menurutmu apa yang sebaiknya aku ucapkan jika aku menemukan malam Lailatul Qadar? Beliau bersabda: Berdoalah:
اللهم إنك عفو تحب العفو فاعف عني
Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni ['Ya Allah, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dan menyukai sifat pemaaf, maka ampunilah aku'']”(HR. Tirmidzi, 3513, Ibnu Majah, 3119, At Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih”)
Pada hadits ini Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha meminta diajarkan ucapan yang sebaiknya diamalkan ketika malam Lailatul Qadar. Namun ternyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan lafadz doa. Ini menunjukkan bahwa pada malam Lailatul Qadar dianjurkan memperbanyak doa, terutama dengan lafadz yang diajarkan tersebut.
4. Ketika adzan berkumandang
Selain dianjurkan untuk menjawab adzan dengan lafazh yang sama, saat adzan dikumandangkan pun termasuk waktu yang mustajab untuk berdoa.  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ثنتان لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا
Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”)
5. Di antara adzan dan iqamah
Waktu jeda antara adzan dan iqamah adalah juga merupakan waktu yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة
Doa di antara adzan dan iqamah tidak tertolak” (HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan Shahih”)
Dengan demikian jelaslah bahwa amalan yang dianjurkan antara adzan dan iqamah adalah berdoa, bukan shalawatan, atau membaca murattal dengan suara keras, misalnya dengan menggunakan mikrofon. Selain tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah  Shallallahu’alaihi Wasallam, amalan-amalan tersebut dapat mengganggu orang yang berdzikir atau sedang shalat sunnah. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
لا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة
Ketahuilah, kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Al Qur’an,’ atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud no.1332, Ahmad, 430, dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Nata-ijul Afkar, 2/16).
Selain itu, orang yang shalawatan atau membaca Al Qur’an dengan suara keras di waktu jeda ini, telah meninggalkan amalan yang di anjurkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu berdoa. Padahal ini adalah kesempatan yang bagus untuk memohon kepada Allah segala sesuatu yang ia inginkan. Sungguh merugi jika ia melewatkannya.
6. Ketika sedang sujud dalam shalat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد . فأكثروا الدعا
Seorang hamba berada paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia sedang bersujud. Maka perbanyaklah berdoa ketika itu” (HR. Muslim, no.482)
7. Ketika sebelum salam pada shalat wajib
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
قيل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الدعاء أسمع قال جوف الليل الآخر ودبر الصلوات المكتوبات
Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, kapan doa kita didengar oleh Allah? Beliau bersabda: “Diakhir malam dan diakhir shalat wajib” (HR. Tirmidzi, 3499)
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Zaadul Ma’ad (1/305) menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘akhir shalat wajib’ adalah sebelum salam. Dan tidak terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib. Ahli fiqih masa kini, Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata: “Apakah berdoa setelah shalat itu disyariatkan atau tidak? Jawabannya: tidak disyariatkan. Karena Allah Ta’ala berfirman:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
Jika engkau selesai shalat, berdzikirlah” (QS. An Nisa: 103). Allah berfirman ‘berdzikirlah’, bukan ‘berdoalah’. Maka setelah shalat bukanlah waktu untuk berdoa, melainkan sebelum salam” (Fatawa Ibnu Utsaimin, 15/216).
Namun sungguh disayangkan kebanyakan kaum muslimin merutinkan berdoa meminta sesuatu setelah salam pada shalat wajib yang sebenarnya tidak disyariatkan, kemudian justru meninggalkan waktu-waktu mustajab yang disyariatkan yaitu diantara adzan dan iqamah, ketika adzan, ketika sujud dan sebelum salam.
8. Di hari Jum’at
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر يوم الجمعة ، فقال : فيه ساعة ، لا يوافقها عبد مسلم ، وهو قائم يصلي ، يسأل الله تعالى شيئا ، إلا أعطاه إياه . وأشار بيده يقللها
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menyebutkan tentang hari  Jumat kemudian beliau bersabda: ‘Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang ia minta’. Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut” (HR. Bukhari 935, Muslim 852 dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu)
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan hadits ini beliau menyebutkan 42 pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud. Namun secara umum terdapat 4 pendapat yang kuat.
Pendapat pertama, yaitu waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits:
هي ما بين أن يجلس الإمام إلى أن تقضى الصلاة
Waktu tersebut adalah ketika imam naik mimbar sampai shalat Jum’at selesai” (HR. Muslim, 853 dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu).
Pendapat ini dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al Baihaqi.
Pendapat kedua, yaitu setelah ashar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan hadits:
يوم الجمعة ثنتا عشرة يريد ساعة لا يوجد مسلم يسأل الله عز وجل شيئا إلا أتاه الله عز وجل فالتمسوها آخر ساعة بعد العصر
Dalam 12 jam hari Jum’at ada satu waktu, jika seorang muslim meminta sesuatu kepada Allah Azza Wa Jalla pasti akan dikabulkan. Carilah waktu itu di waktu setelah ashar” (HR. Abu Daud, no.1048 dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu. Dishahihkan Al Albani di Shahih Abi Daud). Pendapat ini dipilih oleh At Tirmidzi, dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pendapat ini yang lebih masyhur dikalangan para ulama.
Pendapat ketiga, yaitu setelah ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini didasari oleh riwayat dari Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul Zamlakani menguatkan pendapat ini.
Pendapat keempat, yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan semua pendapat yang ada. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada dua waktu yang disebutkan”. Dengan demikian seseorang akan lebih memperbanyak doanya di hari Jum’at tidak pada beberapa waktu tertentu saja. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu ‘Abdil Barr.
9. Ketika turun hujan
Hujan adalah nikmat Allah Ta’ala. Oleh karena itu tidak boleh mencelanya. Sebagian orang merasa jengkel dengan turunnya hujan, padahal yang menurunkan hujan tidak lain adalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, daripada tenggelam dalam rasa jengkel lebih baik memanfaatkan waktu hujan untuk berdoa memohon apa yang diinginkan kepada Allah Ta’ala:
ثنتان ما تردان : الدعاء عند النداء ، و تحت المطر
Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun” (HR Al Hakim, 2534, dishahihkan Al Albani di Shahih Al Jami’, 3078)
10. Hari Rabu antara Dzuhur dan Ashar
Sunnah ini belum diketahui oleh kebanyakan kaum muslimin, yaitu dikabulkannya doa diantara shalat Zhuhur dan Ashar dihari Rabu. Ini diceritakan oleh Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu:
أن النبي صلى الله عليه وسلم دعا في مسجد الفتح ثلاثا يوم الاثنين، ويوم الثلاثاء، ويوم الأربعاء، فاستُجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين فعُرِفَ البِشْرُ في وجهه
قال جابر: فلم ينزل بي أمر مهمٌّ غليظ إِلاّ توخَّيْتُ تلك الساعة فأدعو فيها فأعرف الإجابة
Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam berdoa di Masjid Al Fath 3 kali, yaitu hari Senin, Selasa dan Rabu. Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu diantara dua shalat. Ini diketahui dari kegembiraan di wajah beliau. Berkata Jabir : ‘Tidaklah suatu perkara penting yang berat pada saya kecuali saya memilih waktu ini untuk berdoa,dan saya mendapati dikabulkannya doa saya‘”
Dalam riwayat lain:
فاستجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين الظهر والعصر
Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu di antara shalat Zhuhur dan Ashar” (HR. Ahmad, no. 14603, Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid, 4/15, berkata: “Semua perawinya tsiqah”, juga dishahihkan Al Albani di Shahih At Targhib, 1185)
11. Ketika Hari Arafah
Hari Arafah adalah hari ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Pada hari tersebut dianjurkan memperbanyak doa, baik bagi jama’ah haji maupun bagi seluruh kaum muslimin yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Sebab Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خير الدعاء دعاء يوم عرفة
Doa yang terbaik adalah doa ketika hari Arafah” (HR. At Tirmidzi, 3585. Di shahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
12. Ketika Perang Berkecamuk
Salah satu keutamaan pergi ke medan perang dalam rangka berjihad di jalan Allah adalah doa dari orang yang berperang di jalan Allah ketika perang sedang berkecamuk, diijabah oleh Allah Ta’ala. Dalilnya adalah hadits yang sudah disebutkan di atas:
ثنتان لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا
Doa tidak tertolak pada dua waktu, atau minimal kecil kemungkinan tertolaknya. Yaitu ketika adzan berkumandang dan saat perang berkecamuk, ketika kedua kubu saling menyerang” (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”)
13. Ketika Meminum Air Zam-zam
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ماء زمزم لما شرب له
Khasiat Air Zam-zam itu sesuai niat peminumnya” (HR. Ibnu Majah, 2/1018. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah, 2502)
Demikian uraian mengenai waktu-waktu yang paling dianjurkan untuk berdoa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala mengabulkan doa-doa kita dan menerima amal ibadah kita.
Amiin Ya Mujiibas Sa’iliin.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

Selamat Jalan Sang Guru Ahli Makrifah Billah

Ditulis Oleh: Munzir Almusawa   
Monday, 02 August 2010
Selamat Jalan Sang Guru Ahli Makrifah Billah


Telah berpulang ke Rahmat Allah swt Al Arif Billah Al Maghfur lah, Alhabib Husein bin Umar bin Hud Alattas, putra tertua dari Guru besar para ulama dan habaib yaitu Al Arif billah Alhabib Umar bin Hud alattas.

Alhabib Husein wafat dalam usia sepuh, dan hari ini pemakaman beliau dilingkungan pemakaman Al Arif billah Alhabib Ahmad bin alwi Alhaddad kalibata (Hb Kuncung), tepatnya ba’da asar, Senin 2 Agustus 2010 bertepatan dg 21 Sya’ban, tahlil akan dimulai esok ba’da asar (Selasa, Rabu dan Kamis), dan khatam ba;da Jumat, dikediaman beliau di Gg 100, Lenteng Agung Jakarta selatan.

Hamba luhur yg melewati hidupnya dg zuhud dan wara’, yaitu sangat menjaga nafkahnya dg nafkah yg halal, beliau membuat minyak wangi dg tangannya sendiri untuk sebagian dijual dan sebagian untuk dibagikan, selalu memuliakan tamu-tamunya, banyak berdatangan setiap harinya para tamu, dan tak pernah sepi kediaman beliau dg para tamu yg masing-masing mempunyai hajat untuk didoakan, masalah keluarga, masalah pekerjaan, masalah perdagangan, masalah dunia dan akhirat, beliau menjadi penenang dan penyejuk bagi para tamu yg datang dg gundah, kecuali mereka pulang dg ceria, dihibur, ditenangkan dan didoakan, beliapun mempunyai usaha kopi yg ditanam di perkebunan sendiri, beliau pula yg menumbuk dan menghaluskannya dg pekerjaan tangan beliau sendiri, untuk sebagian dijual dan sebagian dibagikan untuk hadiah, budi pekerti beliau termasyhur dg kelembutan dan luhur, namun kedalaman ilmu syariah beliau tak tampak padahal beliau dibesarkan dalam Tarbiyah luhur di Hadhramaut mulai masa kecil hingga dewasa, kerendahan hati dan tawadhu beliau sangat masyhur, dan selalu berusaha menyembunyikan diri dari kemasyhuran.

Saya sering berkunjung pada beliau mulai th 1992, memohon doa, mengadu, dan selalu disambut dan disayangi oleh beliau, dan tiadalah saya pulang kecuali beliau mengantar saya sampai ke pintu halaman rumah beliau bahkan terkadang mengantar sambil berpegangan tangan dg beliau hingga jauh dari kediaman beliau sampai ke jalan utama.

Rabbiy.. telah bersabda Nabi Mu Muhammad saw : “wafatlah para shalihin satu demi satu, hingga tersisa sampah masyarakat yg tak lagi Allah swt perdulikan apapun yg menimpa mereka” (Shahih Bukhari)

Wahai Rabbiy, muliakan ruh Alhabib Husein bersama hamba-hamba Mu yg terluhur di alam barzakh, dan luhur kan pula kami untuk bisa bergabung bersama mereka kelak, dan limpahkan keberkahan dan kemuliaan pada keluarga besar beliau dunia dan akhirat, dan perbanyak dan gantikan para kekasih Mu di wilayah kami dan dimuka Bumi ini agar kami tidak menjadi masyarakat yg tak lagi Kau perdulikan keadaan kami karena sirnanya para shalihin diantara kami, amiin.

NB
Shalat jenazah dan tahlil akan diadakan oleh Majelis Rasulullah saw pada malam ahad selepas majelis kita di mampang Prapatan, lalu menuju makam beliau dikalibata untuk shalat jenazah dimakam beliau sekaligus haul ayahanda saya Almarhum Al habib Fuad bin Abdurrahman Almusawa, lalu dilanjutkan dg ziarah ke Luarbatang.
Terakhir Diperbaharui ( Monday, 02 August 2010 )

Senin, 02 Agustus 2010

Sahabat Sejati, Hanya yang Berdimensi Ukhrawi

Temanmu adalah yang membuatmu menangis karena nasehat, bukan yang membuatmu tertawa disebabkan lelucon
Hidayatullah.com— “Seribu teman masih terlalu sedikit, sedangkan satu musuh sudah terlalu banyak," demikian seharusnya perilaku sosial orang dalam masyarat.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup dengan kesendiriannya. Mereka membutuhkan orang lain sebagai kawan, sahabat untuk saling melengkapi, membantu antar satu sama lain yang bisa menjalin persahatan hingga akhir. Istilahnya, teman bisa dicari dalam sehari namun persahabatan tak cukup dibangun hanya  seribu  waktu dan sejuta masa.

Ungkapan-ungkapan bijak ini bukanlah suatu yang mengada-ngada. Tapi memang, itulah kenyataannya. Seseorang akan sangat terbantu masalahnya, manakala ia memiliki banyak kawan. Misal, ketika ia membutuhkan pekerjaan, maka, dengan mudahnya ia bisa meminta pertolongan melalui teman-temannya untuk memberi informasi ketika lowongan itu ada. Ketika satu tempat gagal, ia akan menghubungi sahabatnya yang berada di lokasi lain. Begitu seterusnya, hingga ia memperoleh apa yang ia butuhkan. Ini masih seputar permasalahan ekonomi, belum merambat ke permasalah lain, seperti curhat, konsultasi, dan lain sebagainya. Sahabat sangat berperan penting untuk mencairkan permasalahan-permasalahan tersebut.

Sebaliknya, ketika seseorang memiliki musuh, dunia akan terasa sangat sempit, karena setiap kali kita melangkahkan kaki ke luar rumah, kita selalu merasa dihantui oleh rasa takut, khawatir akan bahaya ancaman musuh yang setiap saat bisa menghampiri. Dunia seluas inipun akan terasa tak seubahnya daun kelor, kecil lagi sempit. Itulah perbedaan antara memiliki teman dan musuh.

Sekalipun demikian kian, kitapun harus selektif dalam memilih teman, sebab, bukan mustahil sahabat yang kita anggap bisa membawa rahmat, justru menimbulkan mafsadat. Karena pada realitasnya, banyak orang yang 'mencuri' perilaku buruk dari teman karibnya. Yang menjadi masalah, kebanyakan mereka tidak menyadari sama sekali akan hal itu. Ingatlah akan warning Rosulullah yang menyatakan bahwa dalam hal bergaul dengan orang lain, kita tak ubahnya mendekati dua orang. Yang pertama, pandai besi, dan yang kedua penjual minyak wangi.

Ketika kita berakrab-akrab dengan pandai besi, sedikit demi sedikit kita akan terkena panasnya percikan api yang keluar dari besi. Sebaliknya, ketika kita berdekat-dekat dengan penjual wewangian, secara spontanitas, kitapun akan mendapatkan aroma harumnya juga. Begitu pula perihalnya dalam memilih sahabat. Karena itu, kita harus berhati-hati.

Teman Baik
Memiliki teman baik adalah impian semua orang. Tak satupun manusia sudi memiliki sahabat yang rela 'memakan' sahabatnya sendiri. Namun, kenyataannya tidak jarang orang salah kaprah dalam memaknai teman baik.

Ada sebagian mereka yang berpendapat bahwa teman baik itu adalah teman yang seia-sekata. Artinya, siap membantu dan mendukung dalam segala hal. Adalagi yang mendefinisikan, bahwa teman baik adalah teman yang setia dalam suka maupun duka.

Apapun definisi yang digunakan dalam memaknai teman baik, itu sah-sah saja, karena setiap orang pasti memiliki alasan tertentu mengapa ia memiliki pemahaman yang demikian. Namun, sebagai muslim, kita harus memiliki pemahaman yang pas, yang sejalan dengan ajaran Islam, sebab,  tidak semua pengertian mengenai teman baik, itu sebanding lurus dengan ajaran agama ini.

Islam memiliki 'rambu-rambu' yang jelas dalam memaknai teman baik dan buruk. Sebab itu, belum tentu teman yang katanya seia dan sekata itu teman yang baik menurut pandangan Islam, karena, terlebih dahulu akan ditinjau, dalam hal apa mereka menerapkan definisi ini. Ketika mereka menegakkannya dalam hal amar ma'ruf nahi munkar, maka Islam membenarkannya. Tetapi, ketika hal itu dalam masalah kekufuran dan kejahatan, tentu hal ini tidak dibenarkan.

Firman Allah, “Dan saling membantulah kalian dalam hal kebaikkan, dan janganlah kalian saling membantu dalam hal keburukkan. “ (Al-Ma'idah: 2).

Karenanya, jangan sampai kita terkecoh, dengan alasan teman akrab, kitapun rela membantu teman kita, sekalipun dalam kejelekkan. Sekiranya itu terjadi, sejatinya kita telah berbuat kedzaliman pada teman, orang lain, dan pastinya, terhadap diri kita sendiri, “man a'annaka 'ala syarri dzalamaka” (barang siapa yang telah membantumu dalam hal keburukkan, maka sesungguhnya dia telah mendzalimu). Dampaknya, kita akan kebagian ‘bunga' dosa, sebagai buah atas keikutsertaan kita dalam mensukseskan misi jahat tersebut.

Hal ini berdasar pada hadits Nabi yang berbunyi, “Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikkan maka ia akan mendapatkan ganjaran setimpal dengan apa yang dilakukan oleh si pelaku”.
Mafhum mukhalafah dari hadits ini, mereka yang membantu kejelekkan, pun akan mendapatkan balasan yang setimpal.

Dan yang lebih penting lagi, teman dalam perspektis Islam, tidak hanya terbatas di dunia semata. Namun, Ia mencakup dimensi akhirat. Persahabatan yang baik, yang mengharap ridha Allah, akan mengundang  syafaat Allah di hari kiamat kelak.

Ini sebagaimana sabda Rosul yang menjelaskan bahwa kelak di akhirat akan ada beberapa kelompok manusia yang akan mendapat naungan Allah dimana pada saat itu tidak ada naungan selain naungan-Nya, dan salah satu diantara mereka  adalah orang-orang yang bersahabat dan berpisah karena Allah.

Sebaliknya, persahabatan yang mengundang murka Allah, kelak, pada hari kiamat, justru akan menjadi sebab permusuhan mereka di akhirat, sekalipun mereka di dunia sangat kompak/setia, bagai kancing dan baju, kata orang. Mereka akan saling menyalahkan satu sama lain, saling menghujat, dan menuntut.

Firman Allah, “Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (Az-Zuhruf: 67)
Dalam surat Al-Furqan, Allah juga berfirman, “Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang dzalim menggigit dua jarinya, (menyesali perbuatannya) seraya berkata, “Wahai! Sekiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama Rosul (27) wahai! Celaka aku! Sekiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku.” (Al-Furqan: 27-28).
Lalu, bagaimanakah profil teman baik itu, yang kelak, di akhiratpun akan tetap menjadi sahabat karib kita?

Dalam Al-Quran, Allah telah menggambarkan dengan gamblangnya sosok-sosok yang patut kita dekati sebagai teman dekat. Allah juga telah menjamin, bahwa hanya merekalah orang-orang yang baik untuk dijadikan teman.

Firman-Nya, “Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rosul-Nya (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Al-An'am: 69)

Bukti konkrit akan kebenaran mereka sebagai pribadi-pribadi yang sholeh, tercermin pada perilaku mereka yang senantiasa menyeru manusia kepada kebaikkan dan mencegah dari kemungkaran. Dan ciri itu pula yang melekat pada sosok teman yang baik itu, “Khaorul ash-haabi man yadulluka 'alal khairi” (Sebaik-baik teman adalah yang menunjukkanmu kepada kebaikan). Sahabat yang mengingatkan kita kepada kebaikan ketika kita lalai, mencegah kita untuk berbuat keji ketika kita terbawa arus ke sana, adalah hakekat teman sejati itu. Dan sungguh bukan termasuk sahabat yang membawa rahmat, bila sahabat kita tersebut ikut bergembira, tertawa merayakan kesuksesan kita dalam menjalankan kemaksiatan, “Shadiquka man abkaka laa man adh-hakaka” (Temanmu adalah yang membuatmu menangis -karena nasehat- bukan yang membuatmu tertawa -disebabkan lelucon-).

Akhirnya, kita berdo'a kepada Allah, semoga Dia senantiasa mempertemukan kita dengan para sahabat, yang mereka senantiasa mengajak kita mendekatkan diri kepada Allah, sehingga persahabatan kita pun dinaungi rahmat-Nya, yang kemudian menghantarkan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan naungan pada hari dimana tidak ada naungan, selain naungan-Nya. [Robin S/hidayatullah.com]

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog