(Oleh: Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani*)
"Sesungguhnya sekelompok orang akan membaca al-Qur’an,
(tetapi) tidak melewati tenggorokan mereka,
mereka menembus dan keluar dari Islam
sebagaimana anak panah menembus
dan keluar dari binatang buruan yang dipanah."
(tetapi) tidak melewati tenggorokan mereka,
mereka menembus dan keluar dari Islam
sebagaimana anak panah menembus
dan keluar dari binatang buruan yang dipanah."
Hadits di atas dikeluarkan oleh ad-Darimi (I/68-69)
dan Bahsyal di dalam Tarikh Wasith (hal:198-tahqiq ‘Awwad) dari dua
jalan dari ‘Umar bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah al-Hamdani yang
berkata:
“Bapakku telah bercerita kepadaku”, dia berkata:
“Bapakku telah bercerita kepadaku”, dia berkata:
“Kami sedang duduk di
depan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat subuh, apabila dia
telah keluar kami akan berjalan bersamanya menuju masjid. Kemudian
Abu Musa al-Asy’ari datang kepada kami, lalu dia berkata:
“Apakah Abu ‘Abdurrahman (‘Abdullah bin Mas’ud -pent) telah keluar kepada kamu?”
Kami menjawab:
“Belum”.
Maka diapun duduk
bersama kami sampai ‘Abdullah bin Mas’ud keluar. Tatkala dia telah
keluar, kami semua berdiri ke arahnya, kemudian Abu Musa berkata
kepadanya:
“Wahai Abu
‘Abdurrahman, sesungguhnya tadi di masjid aku telah melihat suatu
perkara yang aku mengingkarinya, tetapi aku tidak berpendapat
-alhamdulillah- kecuali kebaikan.”
‘Abdullah bin Mas’ud bertanya:
“Apa itu?”.
Abu Musa menjawab:
“Jika engkau berumur panjang, maka engkau akan melihatnya.”
Abu Musa berkata lagi:
“Di masjid aku telah
melihat sekelompok orang dalam keadaan duduk berhalqah-halqah
(berkelompok-kelompok, setiap kelompok duduk melingkar), mereka
menantikan shalat. Pada setiap halqah (kelompok yang duduk
melingkar) ada seorang laki-laki. Dan di tangan mereka ada batu-batu
kerikil, kemudian laki-laki tadi berkata: “Bertakbirlah seratus
kali!”, maka merekapun bertakbir seratus kali. Kemudian laki-laki
tadi berkata lagi: “Bertahlillah seratus kali!”, maka merekapun
bertahlil seratus kali. Kemudian laki-laki tadi berkata lagi:
“Bertasbihlah seratus kali!”, maka merekapun bertasbih seratus
kali."
‘Abdullah bin Mas’ud bertanya:
“Kemudian apa yang telah engkau katakan kepada mereka?”.
Abu Musa menjawab:
“Aku tidak mengatakan kepada mereka sesuatupun karena menanti pendapatmu.”
‘Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Apakah engkau tidak
memerintahkan mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka,
dan engkau memberikan jaminan untuk mereka bahwa kebaikan-kebaikan
mereka tidak akan disia-siakan sedikitpun?”.
Kemudian ‘Abdullah bin
Mas’ud berjalan, dan kamipun berjalan bersamanya. Sampai dia
mendatangi satu halqah di antara halqah-halqah itu dan melihat
mereka, lalu berkata:
“Apakah ini, yang aku melihat kamu sedang melakukannya?”
Mereka menjawab:
“Wahai Abu ‘Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kerikil yang dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”.
‘Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Hitung saja
kesalahan-kesalahanmu, aku menjamin bahwa kebaikan-kebaikanmu tidak
akan disia-siakan sedikitpun. Kasihan kamu hai umat Muhammad!
alangkah cepatnya kebinasaanmu! Mereka ini, para sahabat Nabi masih
banyak, dan pakaian-pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana
beliau belum retak. Demi (Allâh) Yang jiwaku di tangan-Nya,
sesungguhnya kamu berada di atas satu agama yang lebih benar daripada
agama Muhammad, atau kamu orang-orang yang membuka pintu
kesesatan?!”.
Mereka menjawab:
“Demi Allah hai Abu ‘Abdurrahman! kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”.
‘Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Alangkah banyaknya
orang yang menghendaki kebaikan (tetapi) tidak mendapatkannya.
Sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah menceritakan
kepada kami: (kemudian dia menyebutkan hadits di atas). Demi Allah
aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka adalah dari kamu!”.
Kemudian dia berpaling dari mereka.
‘Amr bin Salamah berkata:
“Kemudian kami melihat
kebanyakan orang-orang pada halqah-halqah itu bersama Khawarij
memerangi kami pada peperangan Nahrawan.”
Aku (Syeikh al-Albani rahimahullâh) berkata:
“Rangkaian (nash)
tersebut adalah menurut riwayat ad-Darimi dan itu yang lebih
lengkap, tetapi di dalam matan hadits (teks hadits) tidak ada
kalimat:
mereka menembus dan keluar dari Islam
sebagaimana anak panah menembus
dan keluar dari binatang buruan yang dipanah
sebagaimana anak panah menembus
dan keluar dari binatang buruan yang dipanah
Dan ini isnadnya shahih, tetapi perkataan “‘Umar bin Yahya” aku menyangka merupakan kesalahan dari para penyalin yang menulis naskah. Yang benar adalah “‘Amr bin Yahya”, dia adalah ‘Amr bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah bin al-Harits al-Hamdani.[1]
Demikian dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam
kitabnya al-Jarh wat-Ta’dil (III/1/269), dan dia menyebutkan
sekelompok orang-orang terpercaya di kalangan para perawi yang
meriwayatkan dari ‘Amr bin Yahya, di antara mereka adalah Ibnu
‘Uyainah. Dan dia meriwayatkan dari Ibnu Ma’in yang berkata tentang
‘Amr bin Yahya: “Shalih”.
Dan demikian pula Ibnu Abi Hatim menyebutkan dengan
benar di kalangan para perawi dari bapaknya, dia berkata (di dalam
III/2/176):
“Yahya bin ‘Amr bin
Salamah al-Hamdani, ada yang mengatakan al-Kindi. Dia meriwayatkan
dari bapaknya, (perawi) yang meriwayatkan darinya adalah Syu’bah,
ats-Tsauri, al-Mas’udi, Qais bin ar-Rabi’ dan anaknya (yaitu) ‘Amr bin
Yahya.”
Tetapi Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan celaan dan
pujian, tetapi pujian terhadapnya cukup dengan periwayatan Syu’bah
darinya, karena sesungguhnya Syu’bah menyaring orang-orang yang dia
meriwayatkan dari mereka, sebagaimana hal itu disebutkan di dalam
biografinya. Dan kemungkinan dia disebutkan di dalam kitab ats-Tsiqat
(orang-orang terpercaya) karya Ibnu Hibban, karena al-’Ajali juga
telah memasukkannya di dalam kitab Tsiqatnya dan berkata:
“Seorang dari Kufah, terpercaya”.
Adapun ‘Amr bin Salamah, maka dia seorang yang
terpercaya, biografinya ada di dalam kitab at-Tahdzib, dinyatakan
terpercaya oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu Hibban (V/172), tetapi terlewatkan
darinya bahwa al-’Ajali berkata di dalam kitab Tsiqatnya (364/1263):
“Seorang dari Kufah, seorang Tabi’i, terpercaya”.
Aku dahulu menyebutkan di dalam (kitabku) ar-Radd
‘alasy Syeikh al-Habasyi hal:45 bahwa Tabi’in dalam kisah ini adalah
‘Ammarah bin Abi Hasan al-Mazini, tetapi itu kekeliruan yang tidak
perlu dijelaskan sebabnya, maka hendaklah itu dibenarkan. Dan hadits
ini mempunyai jalan lain dari Ibnu Mas’ud di dalam kitab Musnad
(I/404), di dalamnya ada tambahan, dan isnadnya bagus. Dan telah
datang pula di dalam hadits sekelompok sahabat yang diriwayatkan
oleh Muslim di dalam Shahihnya (III/109-117).
Aku memberikan perhatian dengan mentakhrij
(menyebutkan Ahli Hadits yang meriwayatkan) dari jalan ini hanyalah
karena ada kisah Ibnu Mas’ud dengan orang-orang yang mengadakan
halqah-halqah. Karena sesungguhnya di dalam kisah itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang selalu mengamalkan thariqah-thariqah
dan halqah-halqah dzikir yang menyelisihi sunnah.
Karena sesungguhnya apabila yang ada pada mereka
itu diingkari oleh orang yang mengingkari, mereka akan menuduhnya
telah mengingkari dzikir dari dasarnya! Padahal mengingkari dzikir
dari dasarnya adalah suatu kekafiran yang seorang muslim tidak akan
terjatuh ke dalamnya (tidak mungkin melakukannya -pent) di dunia
ini.
Padahal yang diingkari hanyalah apa-apa yang
ditambahkan pada dzikir yang berupa tata-cara dan
perkumpulan-perkumpulan yang tidak disyari’atkan di zaman Nabi
shallallâhu 'alaihi wasallam. Kalau bukan itu maka apakah yang
diingkari oleh Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu terhadap orang- orang
di halqah-halqah itu? Tidak lain kecuali bentuk berkumpul pada hari
tertentu dan dzikir dengan jumlah yang tidak ada (dalilnya), tetapi
hal itu semata-mata batasan yang dibuat oleh Syeikh yang
mengadakan halqah, dan hal itu dia perintahkan kepada mereka dari
dirinya sendiri, seolah-olah dia adalah pembuat syari’at dari Allâh
Ta’ala! (Padahal Allâh berfirman:-pent)
Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allâh
yang mensyari’atkan agama untuk mereka yang tidak diizinkan oleh Allâh?
(Qs. Asy-Syurâ/26: 21)
yang mensyari’atkan agama untuk mereka yang tidak diizinkan oleh Allâh?
(Qs. Asy-Syurâ/26: 21)
Selain itu terlebih lagi bahwa sunnah yang pasti/shahih dari beliau shallallâhu 'alaihi wasallam yang berupa perbuatan dan perkataan, tasbih itu hanyalah dengan ujung-ujung jari, sebagaimana hal itu telah diterangkan di dalam kitab ar-Radd ‘ala al-Habasyi dan lainnya.
Dan di antara faedah-faedah yang bisa diambil dari
hadits dan kisah ini adalah bahwa yang prinsip bukanlah banyaknya
ibadah, tetapi adalah ibadah itu haruslah di atas (sesuai dengan)
sunnah, jauh dari bid’ah. Dan hal itu juga telah diisyaratkan juga
oleh Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu dengan perkataannya:
Sederhana di dalam sunnah lebih baik daripada
bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.
bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.
Dan di antaranya (faedah-faedah itu) adalah bahwa bid’ah yang kecil menghantarkan kepada bid’ah yang besar. Tidakkah engkau lihat bahwa orang-orang yang mengikuti halqah-halqah itu kemudian mereka menjadi bagian (firqah) Khawarij yang diperangi oleh Khalifah ar-Rasyid (Khalifah yang lurus) Ali bin Abi Thalib? Maka adakah orang yang mengambil pelajaran?!
*)Diterjemahkan oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah V/11-14, hadits no:2005
[1] Dahulu aku menyangka dia adalah ‘Amr bin ‘Ammarah
bin Abi Hasan al- Mazini, tetapi kemudian menjadi jelas bagiku
bahwa itu adalah kesalahan yang aku telah ruju’ darinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar