(Oleh: Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali *)
Aku (Syeikh Salim al-Hilali) berkata:
“Atsar (riwayat) yang agung ini
memuat prinsip-prinsip yang besar, yang hal itu tidak diketahui
kecuali oleh orang-orang yang berittiba’, yaitu orang-orang yang
tidak mendahului Allâh dan Rasul-Nya, dan ucapan mereka adalah
sami’na wa atha’na (kami mendengar dan taat).
1. |
Allâh yang telah men syari’atkan tujuan tidak melupakan sarana. |
Tatkala Allâh mensyari’at kan
dzikir, Dia tidak melupakan sarananya. Sesungguhnya kebiasaan
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam menghitung tasbih dengan
tangan kanannya, dan beliau bersabda bahwa sesungguhnya
tangan-tangan itu akan diminta untuk berbicara.
|
|
2. | Bid’ah idhafiyah adalah sesat. |
Yaitu bid’ah yang bersandar
pada dalil dari sisi asal, tetapi tidak bersandar (pada dalil)
dari sisi kaif/kaifiyah (keadaan; cara) dan shifat
(bentuk; sifat; keterangan; tanda), sehingga dinamakan
idhafiyah karena tidak murni pada salah satu dari dua
sisi: penyelisihan yang nyata atau kesesuaian yang
benar.
Orang-orang tersebut tidak
mengucapkan kekafiran, dan tidak melakukan perbuatan
yang asing, bahkan mereka berdzikir kepada Allâh yang hal
itu perkara yang disyari’atkan berdasarkan nash. Tetapi
mereka menyelisihi kaifiyah dan shifat yang telah
dijalani oleh Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam , sehingga
para sahabat mengingkari mereka dan memerintahkan
supaya mereka menghitung kesalahan-kesalahan mereka.
|
|
3. |
Allâh Ta'âla tidak diibadahi kecuali dengan apa yang
telah Dia syari’atkan, tidak diibadahi dengan hawa-nafsu,
kebiasaan dan bid’ah.
|
4. | Bid’ah mematikan sunnah |
Sekelompok orang dari
mubtadi’in (Ahli Bid’ah) itu menciptakan shifat dzikir yang
tidak diriwayatkan dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wasallam sehingga mereka mematikan petunjuk Muhammad
shallallâhu 'alaihi wasallam. Prinsip ini telah difahami oleh
Salafush Shalih, dan mereka mengetahui secara yakin bahwa
sunnah dan bid’ah tidak akan berkumpul. Seorang Tabi’in
yang agung (yaitu) Hasan bin ‘Athiyah rahimahullâh
berkata:
Tidaklah suatu kaum membuat bid’ah di dalam agama mereka,
kecuali dicabut dari sunnah mereka yang semisal dengannya”. (Riwayat ad-Darimi dengan sanad yang shahih) |
|
5. |
Bid’ah adalah penyebab kebinasaan, karena ia
menyeret untuk meninggalkan sunnah dan yang demikian adalah
kesesatan yang jauh.
Seorang sahabat (yaitu) ‘Abdulah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu berkata:
Seandainya kamu meninggalkan sunnah Nabimu,
pastilah kamu sesat. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim) Dan apabila umat telah sesat niscaya ia binasa karenanya. Oleh karena itulah ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu berkata kepada halqah-halqah itu:
Hai umat Muhammad,
alangkah cepatnya kebinasaan kamu. Pemahaman ‘Abdullah bin Mas’ud ini mempunyai pelajaran yang khusus yang nampak dari rangkaian riwayat, (dimana) Abu Musa al-Asy’ari radhiyallâhu'anhu tidak mengingkari mereka karena menunggu pendapat atau perintah ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu.
Tetapi sikap Ibnu Ummu ‘Abd (‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu) tersebut bukanlah pilih kasih atau basa-basi, bahkan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu
ridha untuk dirinya terhadap apa yang hal itu diridhai
oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam untuk diri beliau
dan untuk umatnya.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
"Aku ridha untuk umatku
apa yang telah diridhai oleh Ibnu Ummu ‘Abd (‘Abdullah bin Mas’ud)." (HR. al-Hakim dan lainnya dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no:1225, ad-Darus Salafiyah-Kuwait) |
6. |
Bid’ah menghantarkan kepada kekafiran.
Karena seorang mubtadi’ (Ahli
Bid’ah) mengangkat dirinya sebagai pembuat syari’at dan
tandingan bagi Allâh, sehingga dia mengkoreksi terhadap
Ahkamul Hakimin (Allâh), dan dia menyangka bahwa dia
berada di atas satu agama yang lebih benar daripada agama
Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam.
|
7. |
Bid’ah membuka dua daun pintu perselisihan.
Dan itu adalah pintu kesesatan.
Barangsiapa yang membuat sunnah (tata-cara/jalan/kebiasaan)
yang buruk di dalam Islam maka dia mendapatkan dosanya
dan dosa orang yang mengamalkannya sampai hari
kiamat, tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.
Karena orang yang menunjukkan kepada keburukan
sekedudukan dengan pelakunya.
|
8. |
Menganggap kecil urusan bid’ah akan menyeret kepada kefasikan dan kemaksiatan.
Tidakkah engkau lihat rombongan
itu terjerumus ke dalam barisan Khawarij pada
peperangan Nahrawan, mereka memerangi para sahabat radhiyallâhu'anhum yang dipimpin oleh Ali radhiyallâhu'anhu, dan beliau berhasil menghancurkan mereka ke akar-akarnya pada peperangan itu.
Salah seorang ulama’ muslimin
yang utama yaitu al-Hasan bin ‘Ali al-Barbahari
(termasuk di antara pengikut imam Ahlu Sunnah Ahmad bin
Hambal rahimahullâh) berkata:
“Berhati-hatilah
engkau dari perkara-perkara kecil yang baru (dalam
agama), karena sesungguhnya bid’ah-bid’ah yang kecil
akan berulang sampai menjadi besar. Demikian pula
setiap bid’ah yang diada--adakan di umat ini, dahulu
permulaannya kecil, yang menyerupai kebenaran sehingga
orang yang masuk ke dalamnya terpedaya dengan nya,
kemudian dia tidak mampu untuk keluar darinya.
Sehingga bid’ah itu menjadi besar, dan menjadi agama yang
dianut. Maka dia (orang yang masuk tersebut) menyelisihi
jalan yang lurus kemudian keluar dari Islam.
Maka perhatikan -mudah-mudahan
engkau dirahmati Allâh- setiap orang yang engkau dengar
perkataannya dari orang-orang di zamanmu khususnya.
Janganlah engkau terburu-buru dan janganlah engkau
memasuki sesuatu darinya sampai engkau bertanya dan
melihat: apakah ada seseorang dari kalangan sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam atau salah seorang dari para ulama’ yang membicarakannya?
Jika dalam hal itu engkau mendapati riwayat dari mereka (para sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam),
maka pegangilah dan janganlah engkau meninggalkannya karena
sesuatu, dan janganlah engkau memilih sesuatu yang
lain yang mengakibatkan engkau terjerumus ke dalam
neraka.” (Thabaqat al-Hanabilah, al-Qadhi Muhammad bin Abu
Ya’la II/18-19, Darul Ma’rifah Beirut).
|
9. |
Amalan-amalan yang shalih (tergantung) dengan niat yang shalih.
Dan niat yang baik tidak akan
menjadikan yang batil manjadi haq, karena niat semata
tidak cukup untuk menjadikan perbuatan menjadi benar. Tetapi
niat yang baik haruslah ditambah dengan mengikuti
syari’at.[3]
|
10. |
Apa yang ditambahkan pada suatu kebaikan bukanlah kebaikan.
Karena sesungguhnya apa yang ditambahkan pada suatu
kebaikan adalah keburukan. Perkara ini bisa disaksikan
dalam segala hal, karena sesungguhnya suatu perkara itu
apabila melebihi batasnya, ia akan berubah menjadi kebalikannya.
Keberanian apabila melebihi batasnya akan menjadi
serampangan, apabila berkurang akan menjadi pengecut.
Kedermawanan apabila melebihi batasnya akan menjadi
boros, apabila berkurang akan menjadi bakhil dan pelit.
Kalau begitu, maka sebaik-baik urusan adalah
tengah-tengahnya.
‘Abdullah bin Mas’ud bukanlah sahabat yang pertama kali mengingkari bid’ah-bid’ah. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu'anhu
termasuk sahabat yang keras mengingkari bid’ah-bid’ah
dan meng-hajr (memboikot) para Ahli Bid’ah. Suatu ketika
‘Abdullah bin Umar mendengar seorang laki-laki bersin
kemudian dia mengucapkan “alhamdulillah wash shalatu was
salamu ‘ala Rasulillah”, maka ‘Abdullah bin Umar berkata
kepadanya:
“Tidak begitu Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah mengajari kami, tetapi beliau bersabda:
Apabila salah seorang dari kalian bersin,
maka hendaklah dia memuji Allâh (mengucap kan al-hamdulillah) Dan beliau tidak bersabda: “dan hendaklah dia mengucapkan shalawat untuk Rasulullah”. (HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim) Dari Salim yang berkata:
“Sesungguhnya aku sedang duduk bersama Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu
di dalam masjid, tiba-tiba datang kepadanya seorang laki-laki
dari penduduk Syam. Kemudian laki-laki tadi
bertanya kepadanya tentang bertamattu’ menjalankan
‘umrah sampai haji? (Yaitu berniat melakukan umrah
dengan cara thawaf lalu sa’i kemudian tahallul. Dari sini dia
bebas dari larangan-larangan haji. Kemudian pada
tanggal 8 dzulhijjah dia berniat untuk hajji lalu pergi
ke Arafah).
Maka Ibnu ‘Umar berkata:
“Bagus, baik”.
Kemudian laki-laki tersebut berkata:
“Tetapi jika bapakmu melarangnya”.
Maka Ibnu ‘Umar berkata:
“Celaka engkau,
walaupun bapakku telah melarangnya, tetapi Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam telah melakukannya dan
memerintahkannya. Maka engkau akan mengambil perkataan
bapakku atau perintah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam
?!”.
Dia menjawab:
“Perintah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam “.
Kemudian Ibnu ‘Umar berkata:
“Pergilah dariku.”
(Diriwayatkan oleh ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’ani al-Atsar dengan sanad yang shahih)
|
*) Terjemahan tulisan dari Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah ini merupakan sambungan dari dari artikel yang berjudul Akibat Perbuatan Ghuluw dan Bid'ah terjemahan dari tulisan Syeikh al-Albani rahimahullâh.
Dalam tulisan ini dijelaskan tentang faedah-faedah hadits dari kitab
beliau al-Bid’ah wa Atsaruha as-Sayyi’ fil Ummah hal:15-20. Syeikh
Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah adalah murid Syeikh al-Albani rahimahullâh.
[1] Lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim al-Jauziyah I/85, Darul Kitab al-’Arabi-Beirut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar