Selasa, 02 Agustus 2011

Membangun Kejujuran dan Keikhlasan

PDF Print E-mail
“Yang ‘ku takuti hanya satu, Tuhan, Yang menciptakan aku. Dia Yang Menghidupkan dan Dia pula Yang Mematikan. Satu nasihat ibuku yang aku pegang, agar aku selalu berkata jujur dan berbuat jujur.”


Pada Ahad (10/7) 2011, di Masjid At-Tin, TMII, Jakarta Timur, digelar Haflah Dzikir dan Haul Akbar Majelis Al-Khidmah. Dalam taushiyahnya yang diterjemahkan K.H. Yahya Mutamakkin, Habib Zein Bin Sumaith mengatakan, majelis yang didirikan dan diasuh Al-Maghfurlah Syaikh K.H. Muhammad Oetsman Al-Ishaqi dan Syaikh K.H. Ahmad Asrori Al-Ishaqi ini adalah majelis yang dibangun dengan persaudaraan yang mengikat bathiniyah jama’ah dengan gurunya dan jama’ah yang lain, sehingga perkumpulan ini kelak insya Allah menjadi perkumpulan yang jama’ahnya layak berkumpul bersama para awliya`, wa bil khusus dengan Syaikh Asrori, di surga.

Mengawali ceramahnya, Habib Zein mengingatkan jama’ah tentang berwasilah kepada ulama. “Maka siapakah wasilah kita kepada Allah Ta’ala? Siapa lagi kalau bukan Rasulullah Muhammad SAW. Lalu siapakah yang menjadi wasilah kita kepada Rasulullah SAW? Tidak lain adalah para awliya’ dan ulama, yang menjadi para pewarisnya,” katanya.
Ia melanjutkan, akhir zaman ini penuh dengan hiruk-pikuk fitnah dan musibah, yang berujung kepada rentannya nilai-nilai agama dalam rumah tangga kaum muslimin. Anak-anak perempuan, bahkan istri, yang menampakkan auratnya di jalan-jalan, seakan tengah menyeru kepada kemaksiatan dan perzinaan. Begitu pula, banyak anggota keluarga muslimin yang tidak mengenal agamanya, tidak tahu bagaimana praktek shalat, membaca Al-Qur’an, bahkan berwudhu. Mereka muslim, tapi tak tahu aturan-aturan agama yang dianutnya, bahkan mereka pun menerjang batas-batas hukum agama dan kepantasan yang ada dalam agama. Pantaslah kiranya Rasulullah SAW mengingatkan dengan sabdanya, “Bersegeralah kalian dengan melakukan amal-amal yang baik, karena akan datang fitnah di suatu zaman yang datang laksana potongan malam yang pekat dan gelap gulita. Seorang yang pada paginya beriman sorenya menjadi kafir. Sorenya dia masih beriman lalu pada paginya menjadi kafir.”
Ini menjadi tanggung jawab kaum muslimin di Indonesia juga, tanggung jawab para ulamanya, atas kekurangtahuan pemahaman itu, sehingga tersebar kebodohan dan kerusakan di sekitarnya.
Habib Zein juga mengingatkan para dai dan muballigh tentang dakwah. “Menyeru umat kepada Allah tidak membutuhkan keindahan bahasa dan kefasihan lidah, tetapi keikhlasan dan adab,” kata Habib Zein. Ia mengisahkan kehidupan Sulthanul Awliya` Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
Alkisah, putranya yang tengah menuntut ilmu ke berbagai negeri pulang dari tanah rantau ke kampung halaman. Putranya ini membina majelis dakwah, namun menemukan suatu hal yang berbeda dengan majelis ayahnya, sang Sulthanul Awliya`. Maka sang putra ini bertanya kepada ayahnya, “Wahai Ayah, bagaimana majelismu begitu banyak dihadiri orang. Apa yang membuatmu seperti itu?”
Sang ayah, yang juga digelari “Rajawali Kaum Sufi”, berkata, “Ini semua berkah dari keikhlasan menuntut ilmu, kejujuran untuk mendapatkannya, dan juga keikhlasan dan kejujuran dalam mendakwahkannya.”
Hati anaknya pun menjadi tersentuh dan kemudian mengikuti apa yang diajarkan ayahnya.
Begitu pula dengan kisah Syaikh Al-Jilani saat usia belia. Konon, setelah ayahnya meninggal dunia, ibunya mengatur bahagian waris buat anak-anaknya. Bagian Al-Jilani kecil sebanyak 20 dinar. Ibunya memberikannya dan Al-Jilani pun menerima bagiannya itu.
Al-Jilani muda memilih menggunakan uang itu untuk merantau menuntut ilmu. Ibunya menasihatinya saat ia akan pergi, “Jujurlah, Nak. Bagaimanapun keadaanmu, engkau harus jujur.”
Ibunya menjahitkan uang milik Al-Jilani itu dalam sebuah kantung rahasia yang diletakkan dekat ketiaknya. Lalu berangkatlah Al-Jilani.
Di tengah perjalanan, Al-Jilani dihadang oleh gerombolan penyamun. Bukan hanya dirinya, hampir semua kafilah dagang dan siapa saja yang melewati jalan itu dihadang oleh para penyamun. Tibalah giliran Al-Jilani diinterogasi. “Apa yang kamu punya, wahai anak kecil?”
Al-Jilani menjawab, “Aku hanya punya 20 dinar, yang aku simpan dalam kantung ini,” sambil menunjukkan satu-satunya barang paling berharga yang dimilikinya. “Hei bocah, apa engkau tidak takut kepada kami? Apa kau tak takut barangmu kami ambil dan engkau kubunuh?” kata salah seorang penyamun lainnya keheranan.
Melihat hal itu, kepala gerombolan penjahat ini mendatanginya bersama yang lain lalu berkata, “Hei bocah, kenapa engkau memberi tahu kami apa yang engkau miliki, sementara orang lain malah ketakutan menyembunyikannya?”
Al-Jilani menjawab, “Yang aku takuti hanya satu, Tuhan, Allah, Yang menciptakan aku. Dia Yang Menghidupkan dan Dia pula Yang Mematikan. Satu nasihat ibuku yang aku pegang saat aku akan pergi, agar aku selalu berkata jujur dan berbuat jujur.”
Maka menangislah seluruh penyamun itu. Mereka lalu bertaubat di hadapan Al-Jilani, yang masih belia. Bahkan berbai’at menjadi muridnya.
Demikianlah, setiap perkataan yang keluar murni dari dalam hati mampu mengguncang bathin yang mendengarnya, seperti yang dicontohkan dalam sepenggal kisah kehidupan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani ini.
Riyadhah Semua itu hanyalah dapat diperoleh dengan kesungguhan, keikhlasan, berlatih ruhani (riyadhah), dan bersungguh-sungguh dalam jalan jasmani dan ruhani (mujahadah), seperti yang dikatakan Al-Imam Abdullah Al-Haddad.
Rasulullah SAW adalah contoh yang sempurna dalam mujahadah. Saking sempurnanya, shalatnya pun menjadi kenikmatan baginya, seperti yang beliau katakan, “Kujadikan dan kudapati kesenanganku saat ketenggelamanku dalam shalat.”
Mujahadah ini juga tampak pada kisah-kisah kehidupan para sahabat yang utama. Sayyidina Abu Bakar RA berkat kejujurannya dan kesetiaannya kepada Nabi SAW digelari “Ash-Shiddiq”. Begitu pula Sayyidina Umar RA, dalam menunjukkan yang haq, digelari “Al-Faruq”. Sayyidina Utsman bin Affan RA, dalam menyambung tali silaturahim, digelari “Dzun Nurayn”. Demikian juga Sayyidina Ali Karramallahu Wajhahu, yang menyikapi hidup dengan begitu zuhud, sehingga Sayyidah Fathimah pernah berkata, “Aku dinikahi oleh seorang laki-laki yang menyukai hidup faqir.” Sayyidina Ali juga orang yang paling halus hatinya saat melihat kelemahan manusia, namun paling kuat menentang kezhaliman dan kebathilan.
Secara khusus, Habib Zein juga mengajak jama’ah mendoakan Hadhratusy Syaikh K.H. Ahmad Asrori Al-Ishaqi, keluarga, dan seluruh jama’ahnya, agar ditetapkan iman dan Islam, diberikan keluasan hati dan rizqi, serta berkhidmah dengan sebaik-baiknya khidmah buat bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya.
Acara haflah dzikir dan haul tahunan, yang rutin diadakan pada Ahad kedua bulan Sya’ban, kali ini pada 10 Juli 2011, diawali dengan pembacaan dzikir, manaqib, dan Maulid, yang dimulai sejak pukul 06.30 hingga usai menjelang zhuhur. Acara yang dipusatkan di Masjid Agung At-Tin TMII ini juga dihadiri banyak tokoh habaib dan ulama. Tampak hadir di antaranya Habib Umar Al-Jufri dari Madinah, Habib Husein Al-Junaid dan Syaikh Abdurrahman bin Muhammad Amin dari Serawak, Malaysia, Prof. Dr. K.H. Ali Musthafa Ya’qub, Prof. Dr. H. Mukri Wibowo, Drs. H. Ahmad Jauhari (mewakili Menteri Agama), para ulama dan kiai lainnya dari Jabodetabek dan berbagai daerah Nusantara lainnya.
Ahmad Baihaqi

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog