Selasa, 02 Agustus 2011

85 Tahun Mengabdi untuk Bangsa

PDF Print E-mail
NU akan memperkuat komitmennya dalam menjaga empat pilar demokrasi, yaitu Negara Kesatuan RI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

Ada yang baru dan unik di Harlah ke-85 NU, yang digelar pada 17 Juli 2011 di Jakarta. Di antara peserta parade, yang terdiri dari Badan Otonom PBNU, terdapat pasukan Datasemen Khusus 99. Berseragam semi-militer lengkap dengan ikat kepala warna hitam, pasukan khusus ini tampak penuh semangat mengikuti semua rangkaian harlah.

Ketua Umum GP Ansor, Nusron Wahid, menjelaskan, Densus 99 terdiri dari 204 personel yang memiliki kemampuan bela diri mumpuni dan dibekali ilmu kebal. Detasemen di bawah pimpinan Gus Nuruzzaman ini, menurutnya, juga memiliki keahlian dalam menjinakkan bom.
Densus 99 dirikan tepat pada hari lahir Ansor yang ke-77, pada 24 April 2011, di Kabupaten Cirebon, terdorong karena banyaknya fenomena radikalisasi keagamaan, banyaknya ledakan bom atas nama agama.
Menurut Nusron, Densus 99 masih berbasis di Kabupaten Cirebon. Ini karena memang inisiatif pendirian kali pertama dilakukan di salah satu kabupaten di Jawa Barat itu. Densus ini disiapkan khusus untuk menghadapi kelompok-kelompok garis keras yang berusaha untuk memecah keutuhan NKRI.
Perbedaan Densus 88 dan Densus 99, selain yang satu militer dan yang satu sipil, adalah juga terletak pada fungsinya. Densus 99 disiapkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan deradikaliasi agama, melakukan edukasi kepada masyarakat supaya terbebas dan tidak terprovokasi dari berbagai tindak kekerasan.
Di luar Densus 99, GP Ansor masih memiliki tujuh pasukan Barisan Serba Guna. Antara lain Zulfikar Marching Band, Banser untuk Lalu Lintas (Balalin), Banser untuk Laskar Pemadam Kebakaran (Balakar), Banser Tanggap Bencana (Bagana), Banser Pengaman, dan Banser Kepanduan. Ketujuh pasukan ini juga turut mempresentasikan kemampuan khususnya dalam peringatan Harlah NU.
Acara puncak Harlah NU sendiri dimulai pukul 10.00 WIB. Acara dibuka dengan pertunjukan musik dari Hadrah Massal, gambus kolaborasi orkestra, musik religi, tari religi. Selanjutnya, pukul 12.00 WIB ada atraksi dari Banser, Pagarnusa, Drumband, dan budaya-budaya Nusantara, diteruskan dengan dzikir bersama yang dipimpin oleh para kiai.
Adapun acara inti dimulai tepat pukul 13.00 WIB, diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an, dilanjutkan dengan sambutan Ketua Panitia Harlah, H. As'ad Said Ali, sambutan Ketua Umum PBNU K.H. Said Aqil Siraj, amanat dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan diakhiri dengan doa oleh K.H. Mustofa Bisri.
Dalam amanatnya, Presiden SBY menyatakan sangat menghargai sikap Nahdlatul Ulama, yang secara jelas anti kekerasan, anti terorisme, dan anti separatisme. "Sikap NU yang jelas itu juga sangat diperlukan, agar Indonesia tetap dapat menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah dari berbagai ancaman, termasuk separatisme," kata Presiden dalam sambutan peringatan Hari Lahir ke-85 NU, di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu siang (17/7).
Sikap NU tersebut, kata Presiden, turut memelihara keamanan, ketenteraman, dan keselamatan rakyat Indonesia dari ancaman terorisme dan aksi-aksi kekerasan. Selain itu juga menunjukkan keteladanan dan kepeloporan NU dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam yang benar dan membumikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
NU, menurut SBY, memiliki reputasi baik dalam sejarah perjuangan bangsa. Dan, seperti yang dikatakan Ketua Umum PBNU Said Agil Siraj, NU tidak pernah berbuat onar apalagi memberontak terhadap negara dan pemerintahan yang sah. "Ini sungguh sangat mulia," Presiden menambahkan.
"Saya juga senang bahwa NU akan terus bekerja sama dan berdampingan dengan pemerintah," kata Presiden SBY. "Dikatakan NU mendukung penuh kebijakan dan program pemerintah yang nyata-nyata bermanfaat bagi rakyat, tetapi NU akan mengkritisi dan mengoreksi pemerintah dan lembaga-lembaga negara manakala tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Saya menyambut baik sikap dan peran NU seperti itu."
Sementara itu, melalui peringatan ini, NU, kata Ketua Umum PBNU, Said Agil Siraj, akan memperkuat komitmennya dalam menjaga empat pilar demokrasi, yaitu Negara Kesatuan RI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.
Hal senada juga disampaikan oleh H. As'ad Said Ali, ketua Panitia Harlah. Ia mengatakan, NU terus mendukung upaya deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah. "Ada atau tidak ada terorisme, ada radikalisme atau tidak, bom meledak atau tidak, bagi NU, NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945 adalah final," kata As’ad.
Pada puncak Harlah NU ini, Presiden didampingi oleh Ibu Negara Ani Yudhoyono, Menteri Agama Suryadharma Ali, dan beberapa anggota Kabinet Indonesia Bersatu II lainnya, termasuk jajaran teras pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Selain itu, kegiatan ini diikuti juga oleh kurang lebih 150.000 warga NU dari seluruh Indonesia, undangan-undangan dari lembaga-lembaga tinggi negara, duta-duta dari negara-negara sahabat, pemimpin ormas dan orpol, serta lembaga-lembaga lain mitra NU.
Persiapan Satu Bulan PenuhSebelum peringatan puncak digelar, terlebih dahulu dilaksanakan serangkaian kegiatan dalam rangka peringatan Hari Lahir NU ke-85. Kegiatan itu berlangsung selama kurang lebih satu bulan, mulai dari hari Sabtu 16 Rajab1432 H/18 Juni 2011 M sampai dengan Ahad,15 Sya’ban 1432 H/17 Juli 2011.
Rangkaian kegiatan tersebut antara lain Launching Harlah ke-85. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 18 Juni 2011, tepat pada hari lahir organisasi yang ditulangpunggungi oleh kalangan ulama ini. Diselenggarakan di Gedung PBNU, Jln. Kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat.
Selanjutnya kegiatan diteruskan dengan penyelenggaraan seminar-seminar yang mengangkat dan mereaktualisasikan masalah-masalah strategis yang tengah menjadi perhatian bangsa dari sudut pandang NU. Tema-tema tersebut antara lain Deradikalisasi Menurut Islam Ahlussunnah wal Jama’ah Perspektif NU, dilangsungkan di Semarang, Kembali ke Pesantren, Kembali ke Cita-cita Luhur Bangsa, di Bandung; Reorientasi Kebijakan Ekonomi dan Membangun Spirit Kewirausahaan; Konsolidasi Demokrasi: Menuju Demokrasi Substansial Berorientasi Kemashlahatan Bangsa, di Jakarta.
Panitia juga menggelar pameran produk ekonomi kreatif dan pagelaran budaya Islam Nusantara. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada para pelaku ekonomi berlatar belakang NU, khususnya, yang banyak bergerak di bidang ekonomi kreatif. Pameran ini sekaligus merupakan respon positif NU terhadap pengembangan ekonomi kreatif, yang menjadi salah perhatian Presiden SBY. Kegiatan ini berlangsung di Cendrawasih Hall, Jakarta Convention Centre. Lebih dari 200 pelaku ekonomi kreatif dari berbagai daerah mengambil bagian dalam kegiatan ini.
Dalam pagelaran budaya, seni budaya yang ditampilkan adalah seni yang bernapaskan Islam, yang digeluti warga NU. Kesempatan manggung diberikan terutama kepada kelompok seni yang menonjol unsur kreativitasnya. “Kami berharap, pagelaran ini dapat menunjukkan pentingnya memelihara dan mengembangkan seni budaya bernuansa Islami sebagai bagian dari pengembangan peradaban di negeri ini,” kata As’ad.
Panitia Harlah juga menggelar Prakarsa Perdamaian Dunia Islam. Gagasan kegiatan ini sudah pasti tidak lepas dari amanat UUD 1945 untuk ikut menciptakan perdamaian dunia. Dalam kesempatan harlah ini NU mencoba mendorong proses percepatan tercapainya perdamaian di Afghanistan.
“Peran yang tepat diambil NU adalah memfasilitasi berlangsungnya silaturahim dan pertemuan antar-tokoh masyarakat dan faksi-faksi yang sempat saling berbenturan di Afghanistan agar mereka dapat saling bertukar pikiran dan mengembangkan gagasan untuk menciptakan perdamaian di negaranya,” kata As`ad.
Tokoh-tokoh masyarakat dan agama dari negara itu diharapkan dapat menghadiri pertemuan tersebut. Kegiatan ini berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta.
Sebagai wujud dari upaya untuk membangun perdamaian dan memilin perikatan agama untuk menanggulangi radikalisasi pemahaman Islam di berbagai kawasan, dalam kesempatan harlah ini NU juga menyelenggarakan pertemuan atau konferensi para sufi dunia. Kegiatan ini, yang juga dilaksanakan di Hotel Borobudur, Jakarta, mengambil tema Membangun Peradaban Dunia Islam yang Penuh Damai, Adil, dan Santun, melalui Implementasi Ajaran-ajaran Al-Thariqah Al-Mu’tabarah.
Di antara narasumber yang memberikan kontribusi dalam kegiatan ini adalah Sayyid Muhammad Kabir At-Tijani (Maroko), Habib Umar bin Hafidz (Dar Al-Musthafa, Hadhramaut, Yaman), Syaikh Hisyam Kabbani (Amerika Serikat), Habib Hasan bin Salim Al-‘Athas (Singapura), Sayyid Rojab Dib An-Naqsabandi (Syiria), Sayyid Ahmad bin Muhammad Al-Maliki (Makkah, Arab Saudi), Syaikh Muhammad Fadlil Al-Jaelani (Turki), Syaikh Jibril Fuad Al-Haddad (Brunei), Prof. Dr. Najmuddin Qurdy (Mesir).
Sedangkan pesertanya adalah para mursyid thariqah dari Jamiyyah Ahluth Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah seluruh Indonesia, utusan luar negeri, pengamat dalam dan luar negeri, serta mursyid thariqah mu’tabarah di Indonesia.
Puncaknya adalah Rapat Akbar, yang diselenggarakan pada 17 Juli 2011 di Gelora Bung Karno.
Rangkaian kegiatan ini menggambarkan khidmat NU kepada kalangan nahdliyin sebagai konstituennya, pengabdian kepada bangsa dan negara, serta mendorong persatuan dan kemandirian bangsa dalam rangka ikut menciptakan perdamaian dunia.

Peran Domestik dan Internasional
Keterbelakangan yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul pada 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional.
Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana. Setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren, yang selama itu gigih melawan kolonialisme, merespons Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan sebutan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatut Tujjar itu, Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi, juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Sa`ud hendak menerapkan asas tunggal, yakni Madzhab Wahabi, di Makkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama itu banyak diziarahi, karena dianggap bid`ah, gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Tapi, sebaliknya, kalangan pesantren, yang selama itu membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban dan agama tersebut.
Sikap yang berbeda itu membuat kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minat yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban dan agama, kalangan pesantren membuat delegasi sendiri, yang dinamai “Komite Hejaz”, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tentangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud akhirnya mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Makkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing, dan kita masih bisa melihat sebagian besar warisan peradaban dan agama itu. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama “Nahdlatul Ulama” (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari, sebagi rais akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan, dan politik.

Muhammad Sobihullah

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog