وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (QS. Shad: 26)
Para ulama yang terkenal telah sepakat bahwa memberikan fatwa secara sembarangan, apalagi jika hal itu menyimpang dari ajaran yang benar, adalah perbuatan haram. Atas dasar itulah, maka setiap mujtahid (orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari kesimpulan hukum) wajib mengikuti dalil, sedangkan orang yang taqlid (mengikuti pendapat ulama) wajib mengikuti pendapat yang shahih dan kuat dalam madzhab imam mujtahidnya.
Al-Hafizh ibnu Abdil Barr, dalam Jami’ Bayan al-’Ilm wa Fadhlih, juz’ 2 halaman 112, telah meriwayatkan perkataan Sulaiman at-Taymiy, “Jika kamu mengambil rukhshah (keringanan) setiap orang ‘alim, maka terkumpullah padamu segala kejahatan (dosa).” Kemudian katanya, “Ini kesepakatan (ijma’), dan saya tidak mengetahui ada orang yang menentangnya.”
Imam Nawawi rohimahullah, dalam kitab Syarh al-Muhadzdzab, mengatakan, “Jika seseorang dibolehkan mengikuti madzhab apa saja yang dikehendakinya (tidak memegang satu madzhab tertentu), maka akibatnya dia akan terus-menerus mengutip (mengambil) semua rukhshah (keringanan) yang ada pada setiap madzhab demi memenuhi kehendak hawa nafsunya. Dia akan memilih-milih antara yang mengharamkan sesuatu dan yang menghalalkannya, atau antara yang wajib dan yang jawaz (boleh atau sunnah). Hal demikian akan mengakibatkan terlepasnya (dia) dari ikatan taklif (beban syari’at).”
يحرم التساهل في الفتوى. ومن عرف به حرم استفتاؤه
Beliau juga berkata dalam Syarh al-Muhadzdzab juz’ 1 halaman 46, “Diharamkan sembarangan memberikan fatwa. Dan orang yang dikenal sembarangan memberikan fatwa itu haram dimintai fatwanya.”
Asy-Syathibiy dalam al-Muwaafaqoot mengatakan, “… maka sesungguhnya perbuatan itu mengakibatkan (kebiasaan) mencari-cari keringanan dari para ulama madzhab tanpa bersandar pada dalil syara’. Menurut ibnu Hazm, para ulama sepakat bahwa kebiasaan itu merupakan kefasiqan yang tidak halal untuk dilakukan.”
من أخذ بكل زلل العلماء ذهب دينه
Adz-Dzahabiy mengutip perkataan Isma’il al-Qodhiy, “Siapa yang mengambil setiap kekeliruan para ulama, maka hilanglah agamanya.”
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ قَطُّ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ بِهَا لِلَّهِ
Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memilih diantara dua pilihan melainkan beliau akan memilih perkara yang lebih mudah (ringan) selama hal itu tidak mengandung dosa. Jika perkara itu mengandung dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhkan diri dari padanya. Dan tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam marah terhadap suatu perkara, melainkan bila beliau melihat larangan Allah dilanggar, maka beliau akan marah karena Allah.” (HR. Bukhari no. 5661)
Sebagian orang membolehkan seseorang mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan dasar hadits dari Siti ‘A-isyah rodhiyallohu ‘anha, “Setiap kali Rasulullah saw dihadapkan kepada dua pilihan, beliau selalu mengambil yang paling mudah di antara keduanya.” Pendalilan seperti ini sangatlah keliru.
قَوْله : ( بَيْن أَمْرَيْنِ ) أَيْ مِنْ أُمُور الدُّنْيَا ، يَدُلّ عَلَيْهِ قَوْله “مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا” لِأَنَّ أُمُور الدِّين لَا إِثْم فِيهَا
Al-Hafizh ibnu Hajar al-’Asqolaniy, dalam Fathul Bari, mengatakan, “Dua perkara tersebut berhubungan dengan urusan duniawi. Hal itu ditunjukkan oleh kata-kata selanjutnya: ‘Jika bukan perbuatan dosa.’ Karena jika (perkara) yang dimaksud adalah urusan agama, maka tidak ada dosanya.”
Bukankah Nabi Muhammad tidak pernah dihadapkan pada berbagai madzhab atau pendapat sehingga harus memilih mana yang paling mudah? Yang ada di hadapan Nabi Muhammad SAW adalah wahyu yang mengatakan bahwa Allah menyuruh beliau melakukan ini atau melarang melakukan ini. Sama sekali tidak disebutkan terdapat dua atau tiga pendapat dalam suatu masalah. Maka jelaslah bahwa dua hal yang dimaksud itu adalah urusan duniawi.
Rasulallah SAW pernah bertamu pada seseorang. Lalu seseorang ini berkata kepada Rasulallah SAW : “Apakah aku harus menyediakan cuka (makanan asam) atau daging?” Dalam keadaan seperti itulah (urusan duniawi) Rasulullah SAW akan memilih dan mengatakan, “Berikanlah kepadaku yang paling mudah bagimu.”
Kita tidak mengingkari keluwesan syari’at Islam. Misalnya orang yang sakit diperbolehkan melakukan sholat dengan duduk, sambil berbaring, atau dengan cara lain sesuai dengan kemampuannya; atau orang yang akan berwudhu tetapi dia tidak mendapatkan air atau takut berbahaya jika menggunakan air, maka dia diberi keringanan untuk menggunakan tanah (tayammum) sebagai ganti air. Hal yang kita ingkari adalah menjadikan ungkapan-ungkapan seperti itu sebagai alat menghalalkan yang haram atau sebaliknya, atau mencari-cari keringanan yang bathil. Menggunakan rukhshah (keringanan) dari Allah itu berbeda dengan mencari-cari pendapat yang ringan atau pendapat yang sesuai nafsu.
Para ulama itu, boleh jadi mereka benar pendapatnya dalam suatu masalah, tetapi salah dalam masalah lainnya. Jika kita bukan pada derajat mujtahid, maka taqlidlah kepada ulama mujtahid, dan ulama itu akan bertanggung jawab atas segala fatwanya. Tetapi jika kita mengambil pendapat ulama yang satu dalam suatu hal, lalu mengambil pendapat ulama lainnya dalam hal lain, maka ini bukanlah taqlid yang benar. Bisa jadi apa yang kita kumpulkan sesuai fikiran kita itu adalah pendapat-pendapat mereka yang keliru. Jika berkumpul seluruh kekeliruan mereka pada kita, maka hilanglah agama kita, dan mereka tidak akn bertanggung jawab atas pilihan kita, karena kita mengambilnya bukan dengan cara taqlid, melainkan kita menggunakan nafsu kita sendiri.
Imam Syafi’i akan bertanggung jawab atas seseorang yang mengikuti madzhabnya, yaitu yang mengambil segala rukhshoh-rukhshohnya dan azimah-azimahnya dalam semua urusan agamanya; dan beliau juga akan bertanggung jawab atas mujtahid-mujtahid yang menggunakan kaidah-kaidah beliau secara benar. Tetapi beliau tidak akan bertanggung-jawab atas mereka yang mengambil agamanya secara serampangan dengan mengikuti nafsunya belaka dan bukan dengan kaidah-kaidah yang benar, yaitu mereka yang mengumpulkan pendapat-pendapat para imam dan memilih yang menurutnya benar tanpa kaidah yang benar menurut suatu madzhab. Maka golongan terakhir ini tidak dapat disebut bermadzhab. Karena orang yang bermadzhab itu mengambil segala rukhshoh-rukhshohnya dan azimah-azimahnya dalam semua urusan agamanya, atau kalaupun berijtihad, ia berijtihad setelah memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan kaidah-kaidah yang benar dalam satu madzhab tertentu.
Ingatlah bahwa bermadzhab itu adalah beriltizam atau berkomitmen dengan suatu madzhab tertentu, dan bukan mencampur-campur pendapat berbagai madzhab. Siapa yang mencampur-campur pendapat berbagai madzhab, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman, dan ini adalah perbuatan mungkar. Imam Isma’il al-Qodhiy menyebut orang-orang seperti ini sebagai zindiq dan hilang agamanya. Maka jelaslah betapa besar dosa orang-orang seperti ini. Na’udzu billahi min dzalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar