Minggu, 08 Mei 2011

Dzikir Berjama’ah, Bid’ah ataukah Disyari’atkan

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (152)
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah: 152)
Dalam tafsir Jalalain dijelaskan:
{ فاذكرونى } بالصلاة والتسبيح ونحوه { أَذْكُرْكُمْ } قيل معناه ( أجازيكم ) وفي الحديث عن الله « من ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي ومن ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير من ملئه » { واشكروا لِي } نعمتي بالطاعة { وَلاَ تَكْفُرُونِ } بالمعصية .
(Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku) yakni dengan shalat, tasbih dan lain-lain (niscaya Aku ingat pula kepadamu). Ada yang mengatakan maksudnya ‘niscaya Aku balas amalmu itu’. Dalam sebuah hadits qudsi diketengahkan firman Allah, “Barang siapa yang mengingat-Ku dalam dirinya niscaya Aku akan ingat dia dalam diri-Ku dan barang siapa mengingat-Ku di hadapan khalayak ramai, maka Aku akan mengingatnya di hadapan khalayak yang lebih baik!” (Dan bersyukurlah kepada-Ku) atas nikmat-Ku dengan jalan taat kepada-Ku (dan janganlah kamu mengingkari-Ku) dengan jalan berbuat maksiat dan durhaka kepada-Ku.
Ayat ini mengatakan “Fadzkuruunii”, yang merupakan perintah kepada orang banyak atau jamak, “Maka ingatlah oleh kalian akan Aku!” Lalu dilanjutkan dengan, “Adzkurkum”, yang artinya, “Niscaya Aku mengingat kalian.” Mahasuci Allah dari sifat lupa. Maka sebagian pendapat menafsirkan “Adzkurkum” sebagai “Ajaaziikum” (niscaya Aku membalas kebaikan kalian). Ini termasuk methode ta’wil.
Hadits Qudsi yang dimaksud dalam tafsir tersebut adalah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Allah berfirman:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka, jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari.” (Shahih Bukhari no. 6856)
قَوْله ( وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأ ) بِفَتْحِ الْمِيم وَاللَّام مَهْمُوز أَيْ جَمَاعَة
Al-Hafizh ibnu Hajar al-’Asqolani menjelaskan dalam Fat-hul Baari bahwa yang dimaksud dengan “Mala-in” (khalayak ramai) adalah jama’ah. Sehingga jelaslah bahwa berdzikir atau mengingat Allah  di hadapan khalayak ramai itu maksudnya adalah berdzikir dengan cara berjama’ah.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (28)
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi: 28)
Imam ath-Thabari menjelaskan dalam kitab tafsir beliau:
(واصْبِرْ) يا محمد(نَفْسَكَ مَعَ) أصحابك( الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ ) بذكرهم إياه بالتسبيح والتحميد والتهليل والدعاء والأعمال الصالحة من الصلوات المفروضة وغيرها(يُرِيدُونَ) بفعلهم ذلك(وَجْهَهُ) لا يريدون عرضا من عرض الدنيا
(Dan tenangkanlah) wahai Muhammad (akan dirimu bersama) shahabat-shahabatmu (yang menyeru Robbnya di pagi hari dan senja hari) dengan berdzikir kepada-Nya, bertasbih, bertahmid, bertahlil, berdoa, beramal shalih berupa sholat fardhu dan lainnya, (mereka mengharapkan) dengan perbuatan mereka itu (wajah-Nya), bukanlah mereka mengharapkan penawaran berupa penawaran duniawi.
Imam al-Haitsamy menulis dalam Majmu’ az-Zawaa-id mengenai ayat ini:
عن عبد الرحمن بن سهل بن حنيف قال نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم وهو في بعض أبياته (واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي) خرج يلتمس فوجد قوما يذكرون الله منهم ثائر الرأس وحاف الجلده وذو الثوب الواحد فلما رآهم جلس معهم فقال الحمد لله الذى جعل في أمتى من أمرنى أن أصبر نفسي معهم.
رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح
Dari Abdurrahman bin sahl ra, bahwa ayat ini turun sedangkan Nabi saw sedang berada di salah satu rumahnya, maka beliau saw keluar dan menemukan sebuah kelompok yang sedang berdzikir kepada Allah swt dari kaum dhuafa, maka beliau saw duduk bersama mereka seraya berkata : Alhamdulillah, Yang telah menjadikan pada ummatku yang aku diperintahkan untuk bersabar dan duduk bersama mereka”. Riwayat Imam Tabrani dan periwayatnya Shahih (Majmu’ Zawaid Juz 7 hal 21)
أخبرنا عمر بن محمد الهمداني ، قال : حدثنا أبو طاهر ، قال : حدثنا ابن وهب ، قال : أخبرني عمرو بن الحارث ، عن دراج أبي السمح ، عن أبي الهيثم ، عن أبي سعيد ، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : « يقول الله جل وعلا : سيعلم أهل الجمع اليوم من أهل الكرم » ، فقيل : من أهل الكرم يا رسول الله ؟ ، قال : « أهل مجالس الذكر في المساجد »
Bersabda Rasulullah SAW: Berfirman Allah Jalla wa ‘Ala, “Akan tahu nanti orang-orang yang berkumpul di hari qiamat akan siapa itu Ahlul Karom (orang-orang mulia).” Maka para shahabat bertanya, “Siapa itu Ahlul Karom, wahai Rasulallah?” Bersabda Rasul, “Ahli majlis-majlis dzikir di Masjid-Masjid.” (Shahih Ibnu Hibban no. 817)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ ح و حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ مَنْصُورٍ وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Bakr telah mengabarkan kepada kami Ibn Juraij katanya; (Dan diriwayatkan dari jalur lain) telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Manshur dan lafadz darinya, dia berkata; telah mengabarkan kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepada kami Ibn Juraij telah mengabarkan kepadaku ‘Amru bin Dinar, bahwa Abu Ma’bad mantan budak Ibn Abbas mengabarinya, bahwa Ibn Abbas pernah mengabarinya; Bahwa mengeraskan suara dzikr sehabis shalat wajib, pernah terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. kata Abu Ma’bad; Ibn Abbas mengatakan; Akulah yang paling tahu kalau orang-orang itu telah selesai menunaikan shalat, yaitu ketika aku mendengar suara dzikir itu. [Shahih Bukhori no. 796 dan Shahih Muslim no. 919]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rah.a mengatakan dalam Fat-hul Bari, “Dalam hadits tersebut terkandung makna bolehnya mengeraskan dzikir setelah mendirikan shalat.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (tokoh Wahhabi) menerangkan tentang komentar Ibnu Hajar tersebut di atas sebagai berikut: “Seandainya Ibnu Hajar menyatakan: ‘Dalam hadits ini menunjukkan disyariatkannya dzikir dengan suara keras, niscaya tentu lebih benar lagi.”
Maka jelaslah sekarang bahwa dzikir berjama’ah dengan mengangkat suara adalah disyari’atkan. Sayyidina Abdullah bin Abbas mengetahui bahwa jama’ah telah selesai shalat dari suara dzikir mereka yang terdengar setiap selesai shalat berjama’ah. Siapa yang membantahnya dengan perkataan ulama, maka ia telah lupa bahwa dalam beragama itu haruslah dilakukan dengan berdasarkan dalil syar’i yaitu dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabdanya sebagai berikut:
“Aku tinggalkan di kalangan kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat, selama kalian berpegang dengan keduanya. Yaitu Kitab Allah (yakni Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya (Yakni Al-Hadits).” (HR. Malik dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhu)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam membimbing kita untuk berpegang dengan Sunnah para Khulafa’ur Rasyidin dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits, yaitu pemahaman dan pengamalan beliau-beliau terhadap keduanya. Hal ini telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sebagai berikut:
“Maka sesungguhnya siapa dari kalian yang hidup sepeninggalku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin sepeninggalku. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya juz 4 hal. 200 bab Fi Luzumil Sunnah no. 4607 dari Irbadh bin Sariyah, dan Ahmad dalam Musnadnya juz 4 hal. 126 – 127, At-Tirmidzi bab Ma Ja`a fil Akhadzi bis-Sunnah wajtanabul Bida` juz 5 hal. 44 no. 2676, Ibnu Majah bab Ittiba’u Sunnatal Khulafaa’ juz 1 hal. 15 – 16 no. 42 – 44 dan Ibnu Jarir dalam Jamu’ul Bayan 212, Ad-Darimi dan Al-Baghawi dan Ibnu Abi `Ashim dalam As-Sunnah juz 1 hal. 205 no. 102)
Dengan demikian, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan pernyataan para Ulama’ untuk menghukumi suatu masalah tanpa meneliti dalil yang dikemukan dalam pernyataan itu. Karena setiap Ulama’ tidak akan lepas dari kemungkinan salah dalam fatwanya, sebagaimana biasanya manusia biasa. Tabiat salah pada manusia itu telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabda beliau sebagai berikut:
“Semua anak Adam banyak bersalah, dan sebaik-baik orang yang banyak bersalah adalah yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad )
Maka dengan berdasarkan sabda beliau ini, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menyatakan:
“Semua omongan, bisa diambil dan bisa ditolak. Kecuali omongan penghuni kubur ini”. Sembari beliau mengisyaratkan jari telunjuknya ke kubur Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .(Atsar riwayat Ibnu Abdul Hadi dalam Irsyadus Suluk juz 1 hal. 227 dan Ibnu Abdil Bar dalam al-Jami` juz 2 / 91)
Semoga Allah menjernihkan hati mereka yang membid’ahkan dzikir berjama’ah dan melindungi kita dari syubhat-syubhat yang ditebarkan oleh orang-orang yang membid’ahkan dzikir berjama’ah. Aamiin.

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog