أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Rabb kita Tabaaraka wa Ta’ala turun di setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman: “Siapa yang berdo’a kepadaKu pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu pasti Aku penuhi dan siapa yang memohon ampun kepadaKu pasti Aku ampuni.” (Shahih Bukhari no. 1077, 5846, 6940)
Kaum musyabbihah menerima kata ‘yanzilu’ (turun) secara zhahirnya dan haqiqahnya. Sedangkan kaum khawarij dan mu’tazilah mengingkari keshahihan hadits-hadits seperti ini.
Adapun kaum salaf menerima ayat dan hadits seperti ini tanpa tasybih (menyamakan Allah dengan makhluqnya) dan tanpa mempertanyakan bagaimana. Inilah yang disebut tafwidh, yaitu menyerahkan maknanya kepada Allah. Artinya, mereka mengakui bahwa ayat dan hadits seperti ini adalah ayat dan hadits mutasyabihat yang mana ta’wil yang paling benar itu hanya Allah saja yang tahu. Adapun ahludz dzikr atau ahlul ‘ilm itu, mereka hanya bisa mengusahakan ta’wil yang mendekati tanpa tahu mana ta’wil yang benar-benar pas.
Sedangkan kaum musyabbihah seperti salafy wahhabi itu menerima ayat ini sebagai ayat muhkamat yang tidak mengandung ta’wil, sehingga mereka menerimanya secara tekstual bahwa Allah turun, hanya saja menurut mereka turunnya Allah tidak seperti turunnya makhluq. Sungguh, madzhab seperti ini berbeda sekali dengan madzhab tafwidh kaum salafush shalih.
Sedangkan di zaman ini, dimana pemahaman musyabbihah telah merajalela melalui salafy wahhabi, maka madzhab ta’wil itu lebih dapat menyelamatkan.
“Harga tiket pertandingan tersebut terlalu mahal, sehingga Presiden turun langsung untuk memerintahkan ketua PSSI agar menurunkan harga tiket.”
Kita dapat memahami bahwa Presiden bukanlah turun dari suatu tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Tetapi beliau menangani secara langsung, beliau bicara langsung, beliau menginstruksikan langsung di hadapan publik. Jadi, turun di sini merupalan kiasan yang sangat dipahami.
Allah berfirman dalam Hadits Qudsi:
وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari.” (Shahih Bukhari no. 6856)
Apakah seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara memindahkan jasadnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, selangkah demi selangkah? Nyatanya hamba mendekatkan dirinya kepada Allah dengan ibadah, dengan shalat, dzikir, doa, shadaqoh, dsb. Hal ini merupakan kiasan yang dapat dipahami maknanya. Dengan cara yang sama kita memahami firman Allah, “Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, ” dan “Aku mendatanginya dalam keadaan berlari.”
Hal ini menunjukkan bahwa jika kita mendekat kepada Allah dengan ibadah, maka Allah lebih dekat lagi dengan lebih memperhatikan kita, lebih memperhatikan segala keadaan kita, lebih memperhatikan segala kebutuhan kita, lebih memperhatikan apa yang kita minta. Jika kita beribadah kepada Allah dengan segera tanpa menunda-nunda, Allah lebih cepat lagi mengabulkan doa-doa dan permohonan kita, bahkan sebelum bibir kita bergerak untuk memohon kepada-Nya.
Dengan cara yang sama pula kita dapat memahami hadits, “Rabb kita Tabaaraka wa Ta’ala turun di setiap malam ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman: ‘Siapa yang berdo’a kepadaKu pasti Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu pasti Aku penuhi dan siapa yang memohon ampun kepadaKu pasti Aku ampuni.’”
Allah tak terikat ruang dan waktu. Allah menugaskan para malaikat-Nya untuk memperhatikan hamba-hamba-Nya yang bangun di malam hari untuk beribadah kepada-Nya seraya menyuruh para malaikat-Nya berseru, “Siapa yang berdo’a (kepada Allah) pasti dikabulkan baginya dan siapa yang memohon ampun (kepada Allah) pasti diberikan ampunan baginya dan siapa yang meminta (kepada Allah) pasti diberi.” Sebagaimana diriwayatkan dalam Sunan al-Kubro an-Nasa-i (juz 6 hlm. 124) dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id.
سمعت أبا هريرة وأبا سعيد يقولان قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّه عزوجل يُمْهِل حَتَّى يَمْضِي شَطْر اللَّيْل الاول ثُمَّ يَأْمُر مُنَادِيًا ينادي يَقُول هَلْ من دَاعٍ فَيُسْتَجَاب لَهُ هل من مستغفر يغفر له هل من سائل يعطى
Jadi, makna turun di sini adalah Allah lebih dekat dan lebih memperhatikan permohonan hamba-hamba-Nya. Allah itu dekat. Ingatlah akan hal ini. Jika ada yang menanyakan tentang Allah, maka jawablah bahwa Allah itu dekat. Apa pun pertanyaannya seputar Allah, maka jawaban utamanya adalah, “Allah itu dekat.” Jika ada yang menanyakan makna hadits seperti ini atau ayat yang seperti ini, maka ingatlah olehmu, bahwa Allah itu dekat. Sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur`an:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah: 186)
Dalam tafsir Jalalain dijelaskan bahwa Allah dekat dengan hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Maka pahamlah kita bahwa Allah Mahadekat, Allah Mahamengetahui. Allah selalu memperhatikan hamba-hamba-Nya. Anda Mungkin berada di dekat seseorang, tetapi orang itu belum tentu benar-benar mengetahui keadaan Anda. Itulah tembok tebal yang memisahkan Anda dengan orang tersebut. Tetapi Allah Mahamengetahui keadaan Anda, bahkan apa yang tersirat di dalam hati Anda, tidak ada hijab antara Anda dengan Allah, inilah dekat yang sesungguhnya.
Anda mungkin dekat dengan seseorang, tetapi belum tentu orang itu memperhatikan kebutuhan Anda. Tetapi Allah Mahamengetahui kebutuhan Anda dan memenuhinya. Inilah dekat yang sesungguhnya.
Maka jelaslah bahwa ta’wil bukanlah hal bid’ah. Karena para ulama terdahulu dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun menggunakan methode ta’wil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar