Dengan penuh kesabaran ia melayani kebutuhan mereka akan bimbingan dan penjelasan tentang persoalan-persoalan agama. Peringatan Maulid banyak dilakukan di mana-mana dan oleh berbagai kalangan. Bila yang mengadakannya adalah jama’ah majelis ta’lim pada umumnya, atau pengurus masjid, mushalla, atau lembaga-lembaga pendidikan Islam, itu hal yang biasa. Tetapi bila yang menyelenggarakan kegiatan itu para pengojek sepeda motor, tentu itu sangat menarik. Dan itulah yang dilakukan para pengojek di kawasan Menteng Atas pada hari Sabtu malam Ahad tanggal 3 April 2010.
Mereka yang tergabung dalam wadah Majelis Dzikir Bhakti Sosial Perkumpulan Pengojek Pohon Jambu tidak hanya mengadakan peringatan Maulid, tapi juga mengikuti pengajian secara rutin. Setiap malam Jum’at mulai pukul sembilan malam, mereka, yang jumlahnya sekitar 50 orang, mengikuti majelis ta’lim yang didahului dengan pembacaan Ya-Sin dan Ratib Al-Haddad. Kegiatan ini telah berlangsung sekitar tiga tahun. Dari waktu ke waktu semangat belajar mereka terus terpelihara. Bahkan peserta majelis ta’lim ini sedikit demi sedikit terus bertambah.
Yang memberikan pelajaran kepada mereka adalah Ustadz H. Ahmad Subhan Fauzi, yang dengan tekun terus membimbing mereka. Dengan penuh kesabaran ia melayani kebutuhan mereka akan bimbingan dan penjelasan tentang persoalan-persoalan agama, meskipun pengajian baru dimulai sekitar pukul sembilan, setelah mereka bekerja.
Setelah Mimpi, Baru Berani
Ustadz H. Ahmad Subhan Fauzi lahir di Jakarta, 18 April 1978. Ia putra H. Ahmad Fauzi Ramli bin K.H. Ramli dan Hj. Rogayah. Sang kakek, yang akrab dipanggil “Mu’alim Ramli”, adalah ulama yang cukup dikenal di Jakarta.
Ia anak kedelapan dari sembilan bersaudara, semuanya masih ada.
Selepas SD, Subhan kecil dikirim oleh orangtuanya untuk belajar di Pesantren Sunan Pandan Aran, Yogyakarta, asuhan K.H. Mufid Mas`ud. Tujuan sang ayah adalah agar ia dapat mempelajari Al-Quran dan ilmu-ilmu Al-Quran dengan baik. Kurang lebih empat tahun ia menimba ilmu di sini.
Selama belajar di Pandan Aran ia merasakan kekaguman yang mendalam kepada gurunya yang istiqamah dalam mengajar dan mendidik santri-santrinya. Ia sangat kagum karena gurunya ini dapat menyimak bacaan Al-Quran dari delapan orang santri sekaligus dalam waktu bersamaan padahal bacaan mereka berbeda-beda. Apabila ada yang salah, ia akan tahu meskipun semuanya membaca bersama-sama. Hal lain yang diingatnya adalah perkataan sang guru bahwa modal seorang ustadz dan dai bila ingin bermanfaat di tengah-tengah masyarakat adalah hafal Juz Amma dan beberapa surah penting. Karena itu santri-santri di sini setidaknya hafal Juz Amma dan 10 surah penting.
Selesai belajar di sini, orangtuanya melakukan istikharah agar mendapatkan pentunjuk ke mana lagi sang anak harus melanjutkan pelajarannya.
Tak lama kemudian sang ayah mimpi bertemu K.H. Mahrus Ali, pengasuh Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, yang memberikan isyarat agar anaknya belajar di pesantren yang dipimpinnya ini untuk memperdalam kitab-kitab kuning. Maka berangkatlah Ustadz Subhan ke sana.
Di pesantren salaf yang termasyhur ini, ia belajar selama sekitar empat tahun. Sedikit demi sedikit ia dapat memahami kitab-kitab dari berbagai disiplin ilmu. Saat ia masih menimba ilmu di sini sang ayah meninggal dunia tahun 1996. Setelah itu ia memutuskan pindah ke Pesantren Kempek, Cirebon, untuk mengaji dan bertabarruk kepada K.H. Umar Sholeh. Selama di Kempek ia juga mengaji kepada Habib Utsman Yahya (K.H. Syarif Utsman Yahya), biasanya setelah ashar, dan juga kepada guru-guru yang lain. Kurang lebih tiga tahun ia menimba ilmu dan pengalaman di salah satu pesantren terkenal di Kota Udang ini.
Dalam hal membaca Al-Quran dengan benar-benar memperhatikan tajwid dan makharijul huruf, Pesantren Kempek memang sangat terkenal. Banyak pengalaman berkesan berkaitan dengan itu. Di pesantren ini, untuk belajar membaca, atau lebih tepatnya menepatkan bacaan Al-Fatihah, butuh waktu berbulan-bulan. Padahal, yang belajar itu bukan orang yang baru belajar membaca Al-Quran, melainkan telah bertahun-tahun belajar dan telah sangat lancar membaca Al-Quran.
Begitulah juga yang dialami Ustadz Subhan. Ia juga harus berbulan-bulan mempelajarinya. Karena sangat senangnya, ia pun memotong ayam ketika telah dapat menyelesaikannya. Itulah salah satu pengalaman yang sangat berkesan baginya selama belajar di Kempek.
Sepulangnya dari Pesantren Kempek, ia sempat pula kuliah di Dewan Dakwah Islamiyah, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Tapi karena sesuatu dan lain hal, di semester kedua ia memutuskan untuk berhenti. Kemudian ia menimba ilmu selama sekitar enam bulan kepada Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Sebenarnya pengalaman-pengalaman belajar di berbagai pesantren maupun di luar pesantren telah memberikan modal yang cukup memadai baginya untuk terjun membina masyarakat. Namun ia masih merasa belum puas. Ia ingin mendapatkan ilmu dan pengalaman di lur negeri. Pilihannya jatuh pada Hadhramaut, negeri yang dalam kurun terakhir ini menjadi salah satu kiblat terpenting dalam mempelajari ilmu-ilmu agama.
Di negeri para habib ini ia belajar di Rubath Tarim, yang kala itu dipimpin oleh ulama terkemuka Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri, kakak Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, yang juga seorang alim terkenal. Namun selama tiga bulan pertama, Ustadz Subhan tidak berani sowan kepada Habib Hasan. Ia merasa belum siap untuk berjumpa dengannya.
Dalam rentang waktu tiga bulan itu ia mimpi bertemu Habib Hasan Asy-Syathiri, Habib Salim Asy-Syathiri, dan Habib Abdullah bin Syihab, yang dalam mimpinya mereka tersenyum kepadanya. Setelah itu barulah ia berani bertemu dan bersalaman dengan Habib Hasan.
Sembuh karena Sentuhan Tangan
Pengalaman yang paling berkesan baginya adalah sewaktu mengalami sakit pinggang. Ia merasakan sakit yang luar biasa sehingga sampai menangis di kamarnya yang dulunya merupakan bekas kamar Habib Ja`far Al-Aydrus, ulama terkemuka Tarim. Karena tak kuat menahan sakit, sampai-sampai ia ingin segera pulang ke Indonesia.
Suatu ketika di hari ‘Idul Adha, karena penyakitnya itu ia tak dapat mengikuti shalat ‘Id bersama teman-teman dan para gurunya.
Ketika mereka semua sedang shalat ‘Idul Adha, tiba-tiba datang ke kamarnya seorang habib separuh baya, padahal pintu kamarnya ia kunci.
Habib itu bertanya, “Mengapa kamu tidak shalat?”
“Saya sedang sakit, ya Habib. Saya ingin pulang ke Indonesia saja.”
Dalam keadaan setengah sadar ia merasakan, bajunya dibuka oleh habib itu. Lalu perutnya dipegang dan diusap-usap.
Tidak lama kemudian cucu Habib Jafar, yaitu Habib Ali bin Ahmad bin Abdul Qadir Al-Aydrus, yang sekarang tinggal di Seiwun, datang mengetuk pintu.
Ustadz Subhan pun bertanya kepadanya, “Tadi siapa yang masuk kamar, ya Habib Ali?” “Saya tidak tahu. Saya baru datang dan pintu ini kan tadi kamu kunci.”
Maka Ustadz Subhan pun menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya.
Ternyata Habib Ali tahu orang yang dimaksudkannya. Habib tadi adalah salah seorang anak Habib Ja`far yang sudah meninggal dunia yang di masa hidupnya tinggal di Seiwun.
Alhamdulillah, sejak saat itu hingga sekarang Ustadz Subhan tidak pernah lagi mengalami sakit pinggang. Bahkan menurut pemeriksaan kakaknya sendiri, yang seorang dokter, penyakitnya itu tak ada lagi.
Semua Ilmu Diijazahkan
Ada lagi hal lain yang ia rasakan sebagai keberkahan menempati kamar Habib Ja`far. Setiap bulan Maulid, banyak ulama dari mana-mana, di antaranya murid-murid Habib Abdullah Asy-Syathiri, Habib Ja`far Al-Aydrus, mendatangi kamar itu dan membaca qashidah. Ia bersama kawannya, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Adrus, Otista, selalu meminta doa kepada mereka. Alhamdulillah ia merasakan keberkahan. Meskipun selama belajar di sana kesungguhan belajarnya biasa-biasa saja karena masalah-masalah yang dihadapi, termasuk sakit yang diderita, ia benar-benar merasakan keberkahan ilmu dan guru-guru yang mengajarnya.
Ketika akan pulang ke Indonesia, ada rombongan yang pulang terlebih dahulu. Ia sebenarnya ingin pulang bersama mereka. Tetapi karena belum mempunyai uang yang cukup, akhirnya mereka bertolak lebih dahulu. Ternyata mereka tidak sempat bertemu dengan Habib Hasan Asy-Syathiri sebelum kembali ke tanah air. Dua minggu kemudian barulah ia mendapatkan kesempatan pulang. Alhamdulillah sebelum pulang, ia dapat bertemu dengan Habib Hasan, yang saat itu sedang sakit.
Ketika itu, Habib Hasan bertanya kepadanya, “Anakku, kamu akan pulang bersama siapa?” “Sendiri, ya, Habib,” jawabnya.
“Kamu mau minta apa dari saya.”
“Saya minta jubah dan sarung yang Habib pakai saat rauhah tadi pagi.”
“Kamu mau yang baru atau yang sudah saya pakai?”
“Yang bekas antum pakai, ya, Habib.”
“Apa lagi yang engkau minta, anakku?”
“Saya minta agar ilmu yang didapatkan selama di Tarim diberikan keberkahan.”
Kemudian Habib Hasan bertanya tentang pelajaran-pelajarannya, sudah sampai mana, kitab-kitab apa yang dipelajari, dan siapa yang mengajarnya. Lalu ia bertanya, “Berapa umurmu?”
“Umur saya 25 tahun. Saya ingin menikah, ya Habib.”
“Ya, saya izinkan kamu pulang,” kata Habib Hasan seraya berpesan kepadanya agar bila menikah kelak, pada saat walimahnya, kaum laki-laki dan kaum perempuan tidak disatukan, melainkan dipisahkan, agar mendapatkan keberkahan. Itulah salah satu pesannya.
Pesan selanjutnya, jangan lepas thariqah Alawiyin apabila ingin mendapatkan keberkadan dan sirr dari Alawiyin.
Terakhir ia mengatakan, semua yang telah ia pelajari di Rubath Tarim, ia ijazahkan kepada Ustadz Subhan.
Pengalaman yang masih diingatnya pula adalah ketika akan menunaikan ibadah haji bersama kawan-kawan sekamarnya sesama santri dari Jakarta. Saat itu terlontar keinginan dari mereka untuk merokok di Makkah.
Tanpa mereka duga, ternyata ketika pergi menemui Habib Hasan untuk meminta izin menunaikan haji dan memohon doa, keinginan itu diketahui Habib Hasan. Mereka yang punya niat untuk merokok, dijewer telinganya. Dikatakannya, “Kalau kalian mau balik lagi ke Tarim, jangan merokok selama di Makkah.”
Akhirnya ketika berada di Makkah, setiap kali mereka akan merokok, selalu terbayang wajah Habib Hasan, sehingga mereka tak berani merokok selama di Makkah, juga di Madinah.
Selama belajar di Hadhramaut, ia dan pelajar-pelajar yang lain disuruh menghafal beberapa kitab matan sebagaimana kebiasaan di pesantren-pesantren di Indonesia. Di antaranya kitab Al-Arba`in An-Nawawiyyah (hadits), Safinah An-Najah, Az-Zubad (keduanya fiqih), Aqidatul Awam (tauhid), Alfiyyah (nahwu).
Yang mengesankan selama belajar di Tarim, guru-gurunya, yang memang para ulama besar di sana, mengajarkan ilmu-ilmu dengan sangat mendetail, sampai ke akar-akarnya, terutama dalam ilmu fiqih. Juga dalam hal pengamalan sunnah, misalnya dalam hal bersiwak. Jika ada di antara para murid yang datang belajar tidak membawa siwak, pasti disuruh pulang untuk mengambil siwak.
Nikah Dulu
Menjelang kepulangannya ke tanah air, Ustadz Subhan sempat mengunjungi Habib Umar bin Ali Al-Masyhur, salah seorang murid Habib Abdullah Asy-Syathiri. Kepadanya, ia bertanya, apa yang pertama-tama harus dilakukannya ketika kembali ke Jakarta.
Dijawab, “Yang pertama mesti dilakukan ketika sampai adalah shalat dua rakaat. Kalau isyaratnya yang didapat adalah bertemu dengan perempuan, ente harus menikah terlebih dahulu. Tetapi bila tidak demikian, berdakwahlah terlebih dahulu.”
Ternyata setelah melakukan shalat dua rakaat ketika sampai, isyaratnya adalah untuk menikah dulu. Maka ia segera melakukan sunnah Rasulullah itu.
Tak lama setelah itu keberkahan ilmu pun dirasakan olehnya. Perlahan-lahan kegiatannya semakin banyak dan kepercayaan masyarakat terus meningkat.
Pertama kali mendapatkan amanah untuk mengajar adalah di Masjid At-Taqwa, dekat Asy-Syafi`iyyah, Bukit Duri, Jakarta Selatan. Sedangkan ceramah yang pertama kali disampaikannya setelah menikah adalah ketika diundang oleh ibu-ibu PKK Kecamatan Tebet.
Mulai saat itu mengalir permintaan mengajar dan berceramah dari berbagai tempat. Majelis utamanya adalah majelis ta’lim yang didirikannya yang bernama “Majelis Ta’lim wa Mudzakaran Ba Alawi”. Yang memberikan nama adalah gurunya sendiri, Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri. Pada awalnya majelis ta’limnya belum memiliki nama. Maka ia pun menelepon Habib Salim.
Awalnya Habib Salim memberikan dua pilihan nama: Al-Barkah dan Ba Alawi. Ustadz Subhan tidak memilih nama Al-Barkah, karena menurutnya nama itu sudah banyak. Tetapi untuk mengambil nama Ba Alawi, ia pun ragu, karena nama itu identik dengan para habib. Ia tidak ingin dianggap mengaku-aku. Namun Habib Salim mengatakan, "Kamu kan belajar sama saya dan belajar kepada habaib yang lain? Tidak apa-apa. Kalau orang tanya, katakan saja bahwa saya yang memberikan nama."
Begitulah, sejak itu ia pun memantapkan langkah mengasuh majelis-majelis ta’limnya yang terus bertambah. Di antaranya majelis ta’lim para pengojek itu.
AY |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar