NU akan kerdil kalau terlibat politik praktis, dan sebaliknya akan besar kalau meninggalkan politik.
Nama Prof. Dr. K.H. Said Agil Siradj bukanlah nama yang asing di negeri ini, apalagi bagi warga Nahdlatul Ulama (NU). Lebih dari lima belas tahun dia aktif berkecimpung di organisasi massa terbesar di Indonesia itu. Oleh sebab itu, ketika terpilih menjadi ketua umum PBNU pada muktamar NU di Makassar akhir bulan Maret yang lalu, menurutnya, itu adalah hal yang sangat wajar. “Saya sudah dikenal oleh warga NU lebih dari lima belas tahun,” ujarnya mengawali perbincangan ketika menerima alKisah dini hari pada 1 April 2010 di kediaman pribadinya, Jalan Warung Silah, Ciganjur, Jakarta Selatan. Keletihan masih tampak jelas di wajah doktor lulusan Universitas Ummul Qura, Makkah, ini. Silih berganti tamu datang menemuinya, mulai dari warga biasa sampai para pejabat. Semua disambutnya dengan tangan terbuka dan penuh keramahan. “Orang tidak mengira saya dan Mas Slamet yang akan maju ke putran kedua, karena dari awal para pengamat, media maupun mereka yang mengikuti perkembangan muktamar, memprediksi saya dan Gus Solah (K.H. Salahuddin Wahid) yang akan bertemu di putaran kedua, tapi kenyataan berbicara lain,” ujar putra Kempek, Palimanan, Cirebon, kelahiran 3 Juli 1953 ini.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada muktamirin yang telah memberikan kepercayaan kepada saya, insya Allah amanah itu akan saya lakukan dengan sebaik mungkin dan saya memberi apresiasi kepada muktamirin yang telah menggunakan rasio yang obyektif. Saya telah lima belas tahun di PBNU dan sudah cukup banyak yang saya perbuat selama itu. Rasio yang obyektif maksudnya karena saya sudah lama di PBNU, sedangkan rival saya, Mas Slamet Effendi Yusuf, dari luar, mantan politisi. Para muktamirin telah menggunakan pilihan yang tepat. Pilih mana, apakah mantan politisi, atau orang yang sudah berkiprah begitu lama di PBNU,” tuturnya.
“Saya selama ini juga tidak pernah terjebak dalam kepentingan politis. Saya tidak tahu mengapa Gus Solah tidak mendapat suara yang signifikan, karena prediksi banyak orang yang akan bertarung adalah saya dan Gus Solah, nyatanya pada putaran kedua saya dan Mas Slamet.”
Kembali ke Pesantren
Akar Nahdlatul Ulama adalah pesantren, warga nahdliyin dengan pesantren ibarat ikan dengan air. Hal itulah yang Kiai Said Agil ingin revitalisasi. Menurutnya NU harus kembali ke jati dirinya sebagai organisasi yang mandiri, bermanfaat, memberikan kontribusi konkret kepada bangsa, dan hadir dalam setiap kegiatan yang menyejahterakan rakyat. “Motto saya dan selalu saya garis bawahi adalah kembali ke pesantren, kembali kepada dakwah, pendidikan, kemadirian, kesederhanaan, persaudaraan yang amat kuat, itu adalah nilai-nilai jati diri pesantren, dan kita harus kembali ke situ. NU akan menopang kebhinekaan, akan melawan sektarianisme, ekstremisme, dan terorisme. NU akan memberikan sumbangan keagamaan dan kebangsaan.”
Menurutnya nanti ke depan dia akan membuat tim manajemen yang tangguh, manajemen yang bisa mengaplikasikan ide-ide menjadi sesuatu yang konkret, jadi bukan sekadar slogan atau lips service. Dalam pemikirannya, NU harus menjadi pemersatu umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dia tidak ingin mengulangi kejadian masa lalu di mana NU telah terfragmentasi oleh kepentingan partai. “Kita harus belajar dari sejarah masa lalu di mana ketika umat Islam terkotak-kotak oleh berbagai golongan politik akan muncul kelompok yang tidak berpolitik sebagai penyelamat. Ahlusunnah wal Jamaah (Aswaja), yang tidak berpolitik, muncul ketika umat Islam terkotak-kotak ke dalam golongan politik seperti Syi’ah, Mu’tazillah, Qadariyah, dan yang lainnya,” ujar guru besar UIN Jakarta ini.
Menurutnya ulama-ulama Ahlusunnah adalah ulama yang tidak berpolitik. “Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Asyari, Maturizi, semuanya bukan ulama politik, mereka adalah ulama yang mementingkan dakwah dan pembinaan umat.”
Keinginan Prof. Said Agil untuk menjauhkan NU dari politik bukanlah keinginan tanpa alasan. Dia sudah merasakan bagaimana tarikan-tarikan yang terjadi di tubuh NU ketika banyak pengurusnya terjun ke gelanggang politik praktis.
“Pada aplikasinya dari bawah sampai ke atas mari kita bersihkan NU dari kesan politik praktis, mari kita selamatkan NU. NU akan besar kalau meninggalkan politik, dan akan kerdil kalau terlibat politik praktis. Jangan sampai terulang lagi ada yang mendukung si A, si B, atau si C, apalagi kalau ketuanya sampai terlibat menjadi calon untuk jabatan tertentu. Itu akan berbahaya. Karena politik itu pasti ada kepentingan, sedangkan membangun peradaban jauh dari kepentingan kelompok, partai, etnis, dan sebangsanya.”
Manajemen Khittah
Prof. Said Agil mengingatkan, dalam pengelolaan NU ada yang disebut manajemen khittah. Dalam manajemen khittah ini NU diharuskan berkomunikasi dengan pemerintah, tanpa tergantung kepada figur presidennya, begitu pula dengan semua komponen bangsa yang lainnya, seperti jaksa, pengacara, TNI, Polri, hakim, wartawan, LSM, DPR.
Menurutnya semua harus diajak berkomunikasi. “Karena di situlah kekuatan NU, dan saya akan bersungguh-sungguh menjalankan khittah ini,” ujar doktor tasawuf filsafat ini.
“Setiap program yang menyangkut hajat orang banyak, menyangkut kesejahteraan rakyat, NU harus terlibat dalam aksi konkretnya, terlibat di lapangan, bukan hanya pada level kebijakan. Siapa pun penguasa dan dari mana pun partainya, kalau melaksanakan program untuk rakyat, NU akan terlibat, apakah itu pendidikan, kesehatan, lingkungan, pertanian, dan saya yakin itu akan saling mendukung,” ujarnya.
NU dan pemerintah saling membutuhkan. Harus bergandengan tangan, lebih-lebih dalam dunia pendidikan. “Misalkan saja madrasah atau pesantren NU tutup satu tahun saja, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dan bagaimana repotnya pemerintah. Pesantren yang sederhana saja itu merupakan kontribusi yang luar biasa bagi umat. Dan peran itu akan semakin kita kembangkan.” Prof. Said Agil mengidentifikasi beberapa kelemahan NU yang menurutnya disebabkan oleh masalah eksternal dan internal. Misalnya saja ketika berbicara tentang sistem ekonomi, belum ada kontribusi NU dalam bidang ini, walau diakui menurutnya salah seorang pakar ekonomi syari’ah adalah murni orang pesantren tanpa sentuhan pendidikan luar, yaitu K.H. Ma’ruf Amin. Tapi belum ada yang lain yang menonjol dalam bidang ekonomi.
“Dalam masalah ekonomi, NU juga mempunyai perhatian besar. Hanya saja harus diakui bahwa ketika NU dipinggirkan dan tidak punya cantolan dalam waktu yang cukup lama, agak susah bagi warga NU, yang kebanyakan berada di akar rumput, seperti petani, nelayan, buruh, untuk bangkit dan naik, karena zaman Orde Baru tidak boleh ada menteri dari NU, tidak boleh ketua partai orang NU termasuk pengurus MUI, putuslah NU dengan pengambilan kebijakan strategis, dan itu berdampak besar pada warga NU.... Ini yang saya sebut sebagai faktor eksternal,” ujarnya.
“Sedangkan faktor internal, karena warga NU itu sangat banyak, ibarat memberi minyak wangi pada lapangan bola. Kalau kita hitung, berapa banyak lembaga pendidikan NU, berapa banyak pesantren NU, poliklinik NU, tapi belum seimbang dengan jumlah warga NU. Kita lihat contoh yang spesifik di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, semua madrasah yang ada di sana milik NU, NU punya pom bensin, tambak udang, rumah sakit. Tapi kan ini hanya satu kabupaten, mungkin ini bisa dijadikan sebagai pilot project.”
Banyak hal yang akan dikonkretkan oleh ketua umum PBNU terpilih ini, tentu dengan mensinergikan semua potensi dan kekuatan yang ada di tubuh NU. Dengan jama’ah yang begitu besar, dia yakin, ke depan NU akan lebih berperan besar dalam berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan, dengan syarat tidak terjebak politik praktis. “Saya menginginkan nanti semua pelatihan, pengkaderan, berjalan di seluruh Indonesia, termasuk pengkaderan ulama muda untuk seluruh Indonesia kembali digiatkan. NU tidak pernah kehabisan sumber daya manusia, itu yang harus dikelola dengan baik. Kita mempunyai begitu banyak orang yang potensial. Namun ketika NU terjebak pada politik, orang ragu-ragu, jadi besar risikonya politik praktis itu. Saya setuju kalau orang NU harus paham politik, tapi jangan menjadikan NU sebagai target politik. Kalau ingin meraih karier politik, bukan NU tempatnya. Ada partai politik yang tersedia, berkiprahlah di sana.”
Sedangkan agenda yang dulunya berjalan baik akan diteruskannya, seperti akan terus menjadi mediator perdamaian di berbagai belahan dunia, seperti di Moro, Pattani, Asia Tengah, termasuk menjadi mediator bagi Sunni dan Syi’ah. “Saya beberapa kali menghadiri forum dialog Sunni dan Syi’ah, dan terakhir diadakan di Qatar,” katanya.
Klarifikasi Isu
Ketika banyak orang mengaitkan dirinya dengan pemikiran liberal dan Syi’ah, Prof. Said Agil tidak pernah merasa terganggu dengan hal itu. Dia sering menanggapi dengan senyum khasnya. “Ya tidak benar dong orang menuduh saya liberal, karena liberal itu bebas tanpa batas. Saya masih mengikatkan diri pada Al-Quran, hadits, ijma’ ulama. Dan itu tidak tepat disebut liberal,” ujarnya santai.
“Di mana pun forum saya selalu berbicara dengan dalil, ini Al-Quran-nya, ini haditsnya, dan ini pendapat berbagai ulama. Kalau orang liberal, mereka bebas, tanpa ikatan. Bahwa ketika mengkontekskan khazanah kitab kuning dengan kondisi aktual, saya berbeda dengan kiai lain, itu benar. Itu pun perbedaannya sedikit, saya tetap mengkontekskan dengan ulama lain, apakah itu Al-Ghazali, As-sya’ari, juga ulama-ulama besar lainnya.”
Tentang pemikiran liberal yang berkembang di kalangan generasi muda NU, menurut guru besar tasawuf filsafat ini, itu bukan liberal murni. “Itu hanya kenakalan intelektual yang suatu saat akan kembali lagi ke pangkuan NU, lha wong mereka saja dengan kiai masih cium tangan. Liberal kok cium tangan, itu bisa batal liberalnya,” ujar Kiai Said Agil tertawa.
Menurutnya, yang liberal itu tidak percaya agama, tidak punya ikatan apa pun, bebas. Selama masih percaya doktrin agama, itu bukan liberal, misalnya masih percaya shalat lima waktu dan mengikuti rakaat yang ditentukan agama, padahal itu kan doktrin yang kalau dilogikakan tidak ketemu. “Selama masih percaya itu, batal liberalnya.”
Lalu tentang isu Syi’ah, menurutnya itu bermula dari pernah hadirnya dia di suatu acara Syi’ah sebagai pembicara tahun 1997 dan setiap saat VCD-nya diputar ulang, disebarkan terus. “Syi’ah itu ada definisinya, orang yang meyakini imam setelah Rasulullah SAW itu adalah Ali dengan ada teks, nash, wasiat, dan petunjuk dari Nabi, padahal saya tidak pernah percaya hal itu. Orang Syi’ah saja tidak pernah menganggap saya Syi’ah.
Orang Syi’ah percaya, setelah Ali itu imamnya adalah Hasan, setelah itu Husein, setelah itu Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Ja’far Shadiq, Musa Al-Khazim, sampai Hasan Asyari dan Imam Mahdi. Saya tidak pernah percaya hal itu, saya juga tidak percaya ada wasiat itu. Itu rukun orang Syi’ah, imam yang 12, yang mereka percayai adalah maksum, imam itu mendapatkan ilham. Saya tidak pernah percaya hal itu. Masa’ orang tidak pernah percaya hal itu dibilang Syi’ah?” ujarnya sambil tersenyum.
Di akhir perbincangan, Prof. Said Agil kembali menegaskan komitmennya untuk membawa NU menjaga dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menopang kebhinekaan, tidak sektarian dan tidak primordial, tidak ekstrem, tidak radikal, akan membendung gerakan liberal murni, gerakan sekuler, berpaham Ahlusunnah wal Jama’ah, dan menjadi rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).
IMR
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar