Orang Tua Bermasalah,
Bayi Disandera
Manusia rupanya sudah hilang rasa perikemanusiaannya. Bagaimana tidak, hanya gara-gara utang orang tuanya, sang bayi ‘disandera’ sebagai jaminan. Peristiwa semacam ini sudah terjadi berulang kali. Bahkan, baru-baru ini terjadi di Semarang dan Surabaya. Bagaimana pandangan Islam terhadap masalah ini?
AYU dan suaminya, warga Kalicari, Semarang hanya bisa mengelus dada. Anaknya yang berusia dua bulan 'disita' seseorang sebagai jaminan karena keduanya tak sanggup mengembalikan uang. Kejadian ini berawal saat suami Ayu membuka usaha rongsokan beberapa tahun silam. Usaha menerima dan menjual kembali barang 'sampah' itu berkembang dan terus berkembang.
Merasa butuh tambahan modal, suami Ayu yang enggan disebut namanya itu menghubungi sejumlah orang agar menanamkan modalnya. Usaha itu berhasil. Tak berselang lama, sejumlah orang menanamkan uangnya dengan bunga 10 persen per bulan. Tambahan modal itu membuat usaha rongsokan kian bagus. Suami Ayu sanggup memberi keuntungan sebagaimana dijanjikan kepada penanam modal yang jumlahnya tak diketahui pasti itu. Bisnis rongsokan plus investasi kian berkibar.
USAHA BANGKRUT
Beberapa bulan lalu meski jumlah setoran modal mencapai Rp 1,2 miliar, pelan-pelan usaha suami Ayu bangkrut. Para penanam modal pun berang. Berkali-kali mereka menagih keuntungan kepada keluarga Ayu, tapi selalu kandas. Akhirnya, saat Ayu melahirkan putra keduanya, seseorang berinsial A mengambil alih bayi yang baru lahir dua bulan lalu itu.
"Bayi itu diasuh keluarga A di Lampersari, Semarang. Seharusnya hal ini tidak terjadi, karena sejak awal suami Ayu dan penanam modal tak ada perjanjian bahwa anak bisa jadi jaminan," kata Kepala Biro PBHI Semarang, Kahar Muamalsyah. Setelah menjadi polemik, akhirnya bayi itu dilepas. Aipda Agus Susanto yang dituding menyita bayi itu sempat marah.
"Saya tidak pernah melarang mereka mengambil anaknya. Kalau mau dibawa sekarang, silakan. Saya tidak pernah berpikiran bayi itu jaminan utang," kata Agus di hadapan kedua orangtua bayi, Ayu dan Kenang, di rumah Agus, Jalan Bancarsari I No. 4C, Lampersari, Semarang, Jumat (25/5/). Ayu dan Kenang datang dengan ditemani Kepala Biro PBHI Semarang, Kahar Muamalsyah dan seorang staf PBHI. Dia diterima langsung oleh Agus dan keluarganya. Agus yang tengah menemui orangtua bayi, Ayu dan Kenang itu menyatakan, dirinya tidak pernah menghubung-hubungkan bayi itu dengan utang. Keluarganya merawat bayi karena kasihan.
"Orangtua bayi itu orang miskin dan punya utang hingga Rp 1,2 miliar. Sampai kapan pun, utang itu tidak bakal lunas. Makanya saya rawat bayinya agar beban mereka berkurang," tegasnya.
KARENA BIAYA PERSALINAN
Lain lagi dengan yang dialami Bambang Kusbiantoro (32) dan Mirza Indah (23). Bayinya tertahan di Rumah Sakit Islam Surabaya karena Bambang dan Mirza, pasutri yang tinggal kos di Jl. Wonorejo Selatan No. 7 Surabaya itu tak mampu membayar biaya persalinan istrinya. Karena itu, bayi yang baru dilahirkan satu bulan lalu itu harus tertahan di rumah sakit.
Sebenarnya drama bayi “tertahan” di rumah sakit ini bukan kali ini. Sebelumnya di di Rumah Bersalin (RB) Citra Lestari di Jalan Raya Citayam, Depok juga pernah mengalai hal serupa. Bayi mungil dari hasil perkawinan Rodjizah (19) dan Hamdani (25) harus tertahan selama tiga bulan lamanya. Persoalannya, pasutri asal Serambi Makkah, Aceh itu tak mampu membayar perawatan sebesar Rp 4,5 juta.
Kondisi ekonomi yang pas-pasan, tentu saja membuat Rodjizah dan Hamdani belum mampu membayar uang sebesar itu. Pihak rumah bersalin terpaksa menahan bayi yang baru lahir itu untuk tetap di rumah sakit hingga sampai orang tuanya bisa melunasi sejumlah uang kepada pihak rumah bersalin. Malangnya bayi itu tertahan di rumah bersalin itu berlangsung hingga tiga bulan lamanya. Ini memang sungguh menyedihkan. Akibat persoalan ekonomi, bayi-bayi itu untuk sementara, harus berpisah dengan orangtuanya yang tidak mampu menebus biaya kelahirannya.
Sedangkan menurut Bambang, drama buah hatinya yang tertahan di RSI itu berawal dari dirinya yang tak mampu membayar biaya persalinan istrinya selama mendapat perawatan di RSI, 28 April silam. Namun, kisah itu telah berakhir. Kini, bayi itu telah kembai ke pelukan Bambang dan Mirza.
“Ya sukurlah, bayi kami telah kembali,” ujar Bambang singkat. Biaya yang harus dikeluarkan Bambang saat itu sebesar Rp 2,1 juta. Namun, bagi Bambang yang mengaku bekerja sebagai sales kartu kredit di sebuah bank niaga ini, biaya itu masih mahal.
Hingga akhirnya, pada Rabu (23/5) lalu, lewat bantuan para donatur, bayi itu akhirnya bisa diambil dari RSI. Tentunya setelah segala pembayaran yang dibebankan kepada Bambang dan Mirza kepada pihak RSI telah dilunasi.
Dr H Sri Darmawanti, direktur medis Rumah Sakit Islam Surabaya mengatakan, sebenarnya pihak rumah sakit tidak membebankan sepenuhnya biaya perawatan ibu pasien dan bayinya. Bahkan kata Sri, pihak rumah sakit telah banyak memberikan keringanan kepada orang tua si jabang bayi agar bayi itu segara dibawa pulang.
Sebenarnya biaya perawatan ibu dan bayi Sabtu (28/4) hingga Rabu (16/5) dikenakan biaya sebesar Rp 2,7 juta. Tapi karena orang tua tidak mampu, akhirnya pihak rumah sakit memberi keringanan menjadi Rp 2.070.000 ribu rupiah.
“Meski sudah mendapat keringanan, tapi Bambang dan Mirza seperti masih tak mampu membayar. Mereka keberatan dengan jumlah yang ditawarkan masih relatif mahal. Bambang dan Mirza meminta untuk beri keringanan lagi,” tegasnya.
Karena belum bisa membayar juga, pihak rumah sakit pun kembali melakukan terobosan. Pihak RSI kemudian meminta Bambang untuk mengurus kartu miskin. Namun, Bambang tak juga membuat kartu miskin. Alasannya, KTP-nya sudah mati sejak lama. Menurut Sugustono, Kabiro Umum dan Rehabilitasi P3 A (Pusat Perlindungan Perempuann dan Anak) Sidoarjo, amat menyayangkan terjadinya penahanan bayi yang dilakukan RSI.
“Tak seharusnya hal itu terjadi. Tidak etis bila bayi yang baru lahir itu harus menanggung beban orang tua,” ujarnya. Tapi kalau memang memang terpaksa bayi itu harus jadi jaminan, karena ada alasan tertentu, maka pihak RSI berkewajiban untuk mengurus bayi itu dengan baik layaknya bayi yang lain. Hal ini karena bayi tidak boleh menjadi beban derita orang tua yang tak bisa melunasi utangnya.
“Kalau sampai ketahuan bayi itu diterlantarkan, maka pihak RSI bisa dipidanakan,” katanya. 04/lis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar