Sudah menjadi cita-cita yang terpatri dalam dirinya, suatu saat kelak ia dapat menyebarkan dakwah Islamiyah dan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah ke seluruh pelosok Singapura, tanah kelahirannya. Saifouridzal lahir di tengah-tengah keluarga yang sederhana. Sejak kecil, putra pasangan Haji Rahamat bin Abdullah dan Hajah Norimah binti Mohd Shariff ini sering dibawa ke majelis-majelis yang penuh kebaikan oleh ayahnya. Di antaranya, pada majelis dzikir Thariqah Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, yang pada saat itu dipimpin oleh K.H. Hassan Asy'ari bin Musthafa Bakri, setiap hari Ahad malam Senin, di Masjid Alkaff, dan hari Kamis malam Jum’at, di majelis ta'lim di kediaman K.H. Hassan Asy’ari sendiri, serta banyak lagi majelis yang telah ia kunjungi di masa kecilnya. Minatnya untuk mendalami agama secara khusus sudah tumbuh sejak kecil. Ketika tengah duduk di bangku sekolah pemerintah (sekolah negeri) tingkat SD, ia masuk pada salah satu madrasah di Singapura, Madrasah Wak Tanjong Al-Islamiah (MWTI), tahun 1989, di bawah asuhan Ustadz Haji Mohd Noor bin Taib, yang dijalaninya selama lima tahun.
Sangat Cinta Ilmu Ustadz Hasan memang sosok pemuda yang sangat cinta ilmu. Tidak mengherankan, saat ditanya kenangan apa yang paling berkesan di masa kecilnya, baginya kenangan saat permohonanannya untuk masuk madrasah yang sejak lama diidamkannya diterima oleh pihak madrasah adalah yang paling berkesan dalam kehidupannya.
Pengalaman itu memang menjadi langkah kaki pertama baginya yang sangat menentukan perjalanan hidupnya kemudian dalam menapaki jenjang pendidikan ilmu-ilmu agama selanjutnya.
Karena belum memiliki dasar pengetahuan yang memadai, pada saat diterima di MWTI ia diharuskan untuk memulai pelajaran dari tingkat dasar. Ia diperintahkan untuk menghafal surah-surah pendek (Juz 'Amma) dan bertutur bahasa Arab.
Ia pun terkenang dengan seseorang yang selalu memberinya motivasi, terutama pada saat ia tidak dapat memahami atau menghafal surah, atau tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Arab secara benar, yaitu mudir madrasah MWTI, Ustadz Haji Mohd Noor bin Taib.
Di mata Ustadz Hasan, Ustadz Haji Mohd Noor bin Taib adalah sosok seorang guru yang amat tegas dan dedikasinya sangat tinggi. Sikap sang guru, yang sering memarahi dan menghukum setiap murid karena tugas yang diberikan tidak diselesaikan, ia anggap sebagai sebuah dorongan. Hal itu bukanlah untuk menakut-nakuti murid-muridnya, melainkan merupakan cara agar para muridnya mempunyai adab dalam menuntut ilmu maupun pada saat berhadapan dengan guru.
Berbagai kesan yang ia dapat dari sang guru inilah yang mendorong dirinya melanjutkan pendidikan ke sebuah pondok pesantren lainnya untuk memperbaiki kelemahan dan menambah kekurangan yang ada pada dirinya. Ia pun menemui Ustadz Haji Mohd Noor bin Taib untuk keperluan itu dan kemudian mendapat restu darinya.
Sang guru berpesan, “Tatkala menimba ilmu kelak, timbalah ilmu dengan penuh rasa ikhlas, dan jangan pernah bangga dengan ilmu yang didapat. Bila nanti telah selesai menjalani pendidikan di pondok pesantren, janganlah lupa akan semua guru yang telah mendidiknya; dan bila telah kembali ke tanah air, kenanglah madrasah yang pernah berjasa.”
Pesan Ustadz Haji Mohd Noor bin Taib itu tidak pernah dilupakannya. Hingga sekarang, ia selalu menyempatkan diri mengunjungi madrasahnya itu.
Setelah menyelesaikan pendidikan hingga kelas 6 di MWTI, ia semakin bergairah untuk menuntut ilmu.
Terbersit keinginan di dalam hatinya untuk dapat menimba ilmu di luar tanah kelahirannya. Maka orangtuanya kemudian mengemukakan hal itu kepada K.H. Hasan Asy'ari. Ulama inilah yang kemudian mengatur segala sesuatunya hingga ia dapat mencapai keinginannya itu dengan mondok di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, pada tahun 1993.
Sewaktu ia tiba di Pondok Pesantren Zainul Hasan, pengasuh pesantren, yaitu K.H. Hasan Mutawakkil Alallah, putra K.H. Hasan Saifouridzal, menambah namanya, yang semula hanya bernama Hasan menjadi Hasan Saifouridzal, sebagai tabarrukan kepada K.H. Hasan Saifouridzal dan Pondok Pesantren Zainul Hasan.
Menimba ilmu di Pondok Pesantren Zainul Hasan merupakan salah satu episode kehidupannya yang tak terlupakan. Pada saat itu ia mulai dapat belajar mandiri, tanpa didampingi orangtua dan keluarga. Pengalamannya ini menjadi bekal yang berharga bagi kelanjutan pendidikannya kelak.
Di pesantren tersebut, ia belajar dan mengkaji kitab kuning dengan menggunakan bahasa Jawa. Pengalaman yang sangat berkesan baginya. Bahkan, metode yang digunakan di Pesantren Zainul Hasan berikut penggunaan bahasa Jawa yang dipakai saat mengkaji kitab dalam hal-hal tertentu hingga sekarang masih ia praktekkan di majelis-majelisnya. Indahnya Perbedaan Setelah ia menyelesaikan pelajaran di Pesantren Zainul Hasan, orangtuanya datang ke pesantren dan memohon pamit untuk membawa pulang dirinya ke tanah airnya, Singapura. Saat itu, Kiai Mutawakkil, pengasuh pesantren, menasihatinya agar melanjutkan pelajaran ke Hadhramaut. Ia pun meminta bantuan petunjuk dengan beristikharah kepada Allah SWT.
Pada saat lainnya, orangtuanya berjumpa dengan Syaikh Mahmood bin Hasan Al-Khatib, salah seorang anggota keluarga seorang ulama besar Singapura, Al-Marhum Al-'Allamah Syaikh Omar bin Abdullah Al-Khatib, dan membicarakan keinginan putranya untuk melanjutkan pendidikan ke Hadhramaut.
Usai bertemu orangtua Ustadz Hasan, Syaikh Mahmood menyampaikan hal itu kepada Habib Abdul Kader bin Ali bin Esa Al-Haddad.
Gayung bersambut, ia akhirnya mendapat beasiswa dari persatuan komunitas Arab di Singapura, Al-Wehdah. Bahkan kemudian Habib Abdul Kader Al-Haddad yang mengurus segala keperluan dirinya hingga ia dapat sampai ke Darul Musthafa, Hadhramaut.
Setibanya di Hadhramaut, ia belajar untuk lebih mandiri, karena suasananya jauh berbeda dari pesantren. Termasuk para guru yang membimbingnya di sana. “Jika di pesantren, kita lebih mengenali para kiai. Di Hadhramaut, kita menimba ilmu dari para sadatuna Alawiyyin dzurriyatur Rasul SAW,” katanya.
Karena itu, selama di sana ia banyak menyempatkan diri untuk berziarah ke maqam habaib, yang biasanya ia ziarahi setiap Jum’at pagi, bersama para santri Darul Musthafa lainnya, di bawah pimpinan Habib Ali Masyhur bin Muhammad Bin Hafidz, kakak Habib Umar.
Di sana, ia memiliki pengalaman berjumpa dengan orang-orang dari berbagai suku bangsa. Keindahan perbedaan itu sangat terasa baginya. Walau berbeda, sesungguhnya mereka menuju arah satu tujuan, yaitu mendalami ilmu-ilmu agama.
Di sana pula ia baru mengetahui bahwa bahasa Arab mempunyai dialek yang berbeda-beda, yang semuanya penting untuk dipelajari, agar seseorang dapat berkomunikasi dengan bahasa Arab secara tepat.
Cuacanya pun sangat berbeda. Hadhramaut adalah negeri padang pasir, yang memiliki perubahan musim dengan waktu enam bulan musim dingin dan enam bulan musim panas.
Maka demikianlah, hari demi hari ia jalani sebagai salah seorang santri Darul Musthafa, di bawah bimbingan langsung sang murabbi (pendidik), Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz. Begitu banyak kesan mendalam yang ia dapati di Pesantren Darul Musthafa, yang penuh barakah, terutama kalam-kalam Habib Umar, yang hingga sekarang masih segar dalam ingatannya.
Pintu Hati yang Terketuk Ia juga mengenang sistem pembelajaran di Darul Musthafa yang sangat berkesan baginya. Kesan itu begitu kuat ia rasakan, di antaranya disebabkan sosok Habib Umar Bin Hafidz, yang, dalam menyampaikan ilmu ataupun nasihat, selalu penuh semangat.
Di matanya, setiap kali Habib Umar berbicara, seperti ada tenaga luar biasa yang keluar dari diri sang guru. Apalagi saat Habib Umar berdoa, “Setiap pintu hati kita seperti diketuk, dan mengalirlah air mata tanpa kita sadari,” kenangnya terhadap sosok sang guru. Pendek kata, ujung rambut hingga ujung kaki Habib Umar, di mata Ustadz Hasan, penuh dengan hikmah, yang bersumber dari sunnatullah dan sunnaturrasul.
Suatu ketika sewaktu ia sedang berada di rumah sang guru, tiba-tiba aliran listrik terputus dan lampu-lampu di rumah itu pun padam. Padahal, pada saat itu Habib Umar sedang membaca sebuah kitab. Timbul inisiatif dari dirinya untuk membuka jendela agar cahaya lampu dari Darul Musthafa, yang letaknya bersebelahan dengan kediaman Habib Umar, dapat masuk ke rumah Habib Umar.
Baru saja ia membukanya, Habib Umar menyuruhnya untuk menutupnya kembali, seraya mengatakan bahwa cahaya yang masuk ke rumahnya adalah cahaya lampu yang diwakafkan ke Darul Musthafa, jadi bukan cahaya yang diperuntukkan buat menerangi rumahnya. Dari kejadian ini ia kembali mendapat pelajaran yang begitu berharga, yang menunjukkan kewibawaan guru yang mulia itu. Sosok Habib Umar memang sangat membekas kuat di hatinya.
Menurutnya, setiap kalam yang diucapkan Habib Umar tidak terlepas dari ruh kalam para salafush shalih, seperti kalam Al-Imam Al-Haddad atau Al-Imam Al-Ghazali. Di antara perkataan Habib Umar yang selalu ia ingat adalah, “Sebarkan dakwah dengan hati yang tulus dan ikhlas, dan jangan sekali-kali riya’ dalam berdakwah. Jangan mencari kebenaran, pangkat, dan pujian dari makhluk, tetapi carilah kebenaran, pangkat, dan pujian dari Yang Maha Pencipta, Allah Azza wa Jalla.” Kalam gurunya inilah yang tampaknya menjadi semangat untuk berdakwah di Singapura dan menyebarkan panji-panji syari’at Rasulullah SAW.
Mewujudkan Cita-cita Sepulangnya dari Tarim, Hadhramaut, ke tanah airnya di Singapura, ia langsung terjun di dunia dakwah. Karena memang sudah menjadi cita-cita yang terpatri dalam dirinya bahwasanya suatu saat kelak ia dapat menyebarkan dakwah Islamiyah dan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah ke seluruh pelosok Singapura, tanah kelahirannya.
Menuntut ilmu di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo, maupun di Pesantren Darul Musthafa Hadhramaut, benar-benar merupakan bekal penting dalam kehidupannya. Dalam rentang waktu yang tidak singkat, ia harus berjauhan dengan keluarga yang amat dicintainya. Namun demikian, sepenuhnya ia menyadari bahwa itu semua adalah demi kebaikan dirinya.
Tekadnya yang kuat dalam menuntut ilmu didasari pandangan dirinya bahwa setiap penuntut ilmu haruslah ikhlas, harus sering taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), dan harus sering menjalin hubungan dengan gurunya, sebagai pembimbing ruhani dirinya.
Di antara kegiatan dakwahnya saat ini adalah mengajar di beberapa masjid di Singapura, seperti di Masjid Al-Muttaqin, Masjid Abdul Razak, Masjid Al-Ansar, Masjid Mydin Riyadus Salihin, di sebuah surau pada sebuah kampung Melayu, di majelis rauhah di kediaman Habib Abdul Kader bin Ali bin Esa Al-Haddad, seorang tokoh habaib di Singapura, dan di kediamannya sendiri. Majelis rauhah di kediaman Habib Abdul Kader adalah majelis yang telah berjalan lebih dari 20 tahun dan saat ini berada di bawah pimpinan Mufti Negara Singapura, Habib Esa bin Mohd Bin Smith.
Ia juga mengisi waktunya dengan aktif bergerak di sebuah lembaga travel haji, yaitu di TM Fouzy Travel & Tours Ptd Ltd sebagai mutawif haji (pembimbing haji). Lembaga travel tersebut milik Ustadz Tengku Mohd Fouzy, salah seorang ulama senior yang disegani masyarakat Singapura. Karena kedekatannya dengan Ustadz Tengku Mohd Fouzy, jika Ustadz Tengku Mohd Fouzy sedang berhalangan hadir, Ustadz Hasan diminta untuk menggantikannya di setiap majelis pengajian yang ia pimpin.
Baginya, setiap orang yang bersungguh-sungguh terjun di dunia dakwah pasti mendapat rintangan. Banyak pengalaman yang telah ia dapat, berbagai rintangan dan cobaan selama ia menjalani aktivitas dakwah di jalan Allah. Mengenai hal ini, dengan merendah ia mengatakan, “Oleh yang demikian, tidak dapat saya menyatakan suka dan dukanya berdakwah. Hanya Allah SWT yang mengetahuinya.”
Muhammad, atau Fatimah Semua yang telah diraihnya saat ini tak terlepas dari keberkahan doa dan usaha kedua orangtuanya. Sekalipun sang ayah hanya berprofesi sebagai seorang tukang pangkas rambut dan ibunya seorang ibu rumah tangga, dengan keberkahan rizqi yang halal akhirnya ia pun dapat terus melanjutkan pendidikan formalnya, bahkan hingga ke perguruan tinggi. Alhamdulillah, saat ini kedua orangtuanya masih dalam kondisi sehat walafiat.
Akhir 2006, Ustadz Hasan menikah dengan seorang wanita shalihah, Suryati binti Abdul Rahim. Ia sungguh beruntung beroleh istri yang shalihah ini, yang selalu memberinya semangat dalam berdakwah. Saat ini ia tengah menanti kehadiran buah hatinya, yang akan menjadi cahaya mata yang pertama di dalam rumah tangganya.
Berdasarkan perhitungan medis, anak pertamanya ini insya Allah akan lahir pada bulan Oktober 2009. Sekalipun belum terlahir, rupanya keberuntungan sudah berada pada buah hatinya itu. Jauh-jauh hari ia telah mendapat nama dari Habib Umar Bin Hafidz.
Suatu saat, setelah selesai sebuah acara di Masjid An-Nahdhah, Singapura, Habib Umar pulang ke kediaman Habib Abdul Kader, dan ia pun mendampinginya. Saat itu ia memohon barakah doa Haib Umar agar kehamilan istrinya dilindungi Allah, sekaligus memohon kiranya Habib Umar memberikan nama pada bayi tersebut kelak.
Dengan suaranya yang lembut dan senyumannya yang khas, Habib Umar mengatakan, kalau nanti terlahir putra, hendaknya dinamakan Muhammad, dan kalau putri, hendaknya dinamakan Fatimah. IY
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar