Sabtu, 01 Mei 2010

Dr. Muchlis M. Hanafi, M.A: Perjalanan Menyelami Al-Quran





Written by Publisher Team
Friday, 30 October 2009 19:11


Ilmu tafsir akan terus berproses dan berkembang. Inilah yang membuat dirinya tertarik untuk terus mempelajari Al-Quran.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kehidupan Kiai Muchlis sudah akrab dengan pendidikan ilmu agama. Sebagaimana anak-anak Betawi pada umumnya, setelah pulang sekolah, siang hari ia mengaji di sebuah madrasah, di mana bapak dan pamannya sendiri yang mengajar di sana. Selepas maghrib sampai waktu isya, ia mengaji khusus Al-Quran.
Setelah lulus sekolah dasar, ia meminta izin orangtuanya untuk melanjutkan pendidikan ke KMI (Kulliyatul Muallimin al-Islamiyyah) Pondok Modern Gontor. Gayung pun bersambut, orangtuanya mengizinkan. Syarat yang disampaikan kepadanya pada saat itu, “… asal kamu dapat bertanggung jawab pada cita-cita dan kebebasan yang Abah dan Umi berikan.”
Tahun 1983, ia berangkat menuju KMI Pondok Modern Gontor. Setelah diterima pada tingkat tsanawiyah (setingkat pendidikan menengah umum), hari demi hari ia lalui dengan penuh keseriusan dalam mempelajari berbagai disiplin ilmu agama yang diajarkan di sana.
Keseharian dunia pesantren yang kental dengan suasana keilmuan rupanya amat mempengaruhi jiwanya. Hingga, setelah pendidikan tsanawiyahnya ia rampungkan tepat waktu selama tiga tahun, tak sedikit pun terbersit di hati pria kelahiran Jakarta 18 Agustus 1971 ini untuk segera pulang ke rumah. Untuk kedua kalinya, ia meminta izin kepada kedua orangtuanya untuk meneruskan pendidikannya di tempat yang sama.

Tidak Cukup Satu Pesantren
“Saya senang dan bangga mempunyai orangtua yang memberikan kebebasan dan doa yang tulus kepada anaknya. Oleh karenanya, saya harus membuktikan dan bertanggung jawab kepada orangtua saya atas jalan yang saya pilih itu.” Demikian kata hatinya saat dulu H. Muhammad Hanafi dan Hj. Siti Cholis, orangtua Kiai Muchlis Hanafi, memberikan izin kepadanya untuk masuk pesantren. Tak terasa, air mata berlinang membasahi pipinya.
Di dunia ini, segala sesuatu memang tak ada yang sempurna. Setelah lama menggeluti pendidikan di Pondok Pesantren Gontor yang terkenal itu, dirinya merasakan sedikitnya pemahaman yang ia peroleh terhadap kitab-kitab peninggalan para ulama salaf, atau yang biasa disebut kitab kuning. Maka, demi mengisi kekosongan itu, saat liburan panjang Ramadhan tiba, ia mengikuti pengajian sorogan kitab kuning di Pesantren Buntet Cirebon.
Nyantri di Gontor selama enam tahun, ditambah bekal yang ia dapat setelah beberapa kali ia isi liburan panjangnya di Pesantren Buntet Cirebon, tidak membuat dirinya merasa cukup atas ilmu yang telah ia peroleh. Bahkan, ia merasa pengetahuannya masih sangat kurang. Tahun 1989, suami Rifqiyati Mas’ud, Lc., M.A., ini memilih Pondok Ma’had Aly Ilmu Fiqih dan Dakwah di Bangil, Jawa Timur, sebagai tempatnya menuntut ilmu kemudian.
Selain di pesantren itu, untuk memperkaya wawasan keilmuannya, ia juga mengunjungi sejumlah pesantren lainnya. Di antaranya, pada tahun 1990, Pesantren Tahfizh Al-Quran Sunan Pandan Aran Yogyakarta.

Urutan ke-31 dari Rasulullah
Berawal dari menghafal Al-Quran yang menjadi kekhasan di pesantren tersebut, jiwanya amat terpengaruh dengan pemahaman di bidang ilmu-ilmu Al-Quran. Salah satu guru yang memberikan pengaruh kuat pada dirinya di masa-masa saat dirinya menghafal Al-Quran adalah K.H. M. Mufid Mas’ud. Darinya, ia mendapat keteladanan seorang guru yang begitu ikhlas dan istiqamah dalam berkhidmat pada Al-Quran.
Beruntung sekali ia dapat mengambil sanad Al-Quran dari K.H. M. Mufid Mas’ud, seorang yang dikenal luas sebagai tokoh ulama berpengaruh dan pencetak banyak kader penghafal Al-Quran. K.H. M. Mufid Mas’ud sendiri mengambil sanad dari beberapa guru, yaitu K.H. Muntaha Wonosobo, K.H. Abdul Qadir Krapyak, K.H. Abdullah Affandi, dan K.H. Dimyathi Pemalang. Adapun mereka, para guru K.H. M. Mufid Mas’ud tersebut, mengambil sanad Al-Quran dari K.H. Munawir Krapyak.
Mata rantai sanad pembacaan Al-Quran itu terus bersambung hingga kepada Rasulullah SAW. Berdasarkan susunan nama dari sanad Al-Quran itu, Kiai Muchlis sendiri berada di urutan ke-31 dari Rasulullah.
Dalam tradisi keilmuan dunia pondok pesantren, begitu pula pada hampir semua pondok pesantren tahfidzul Quran, tradisi pemeliharaan sanad memang sangat terjaga. Tradisi itu merupakan salah satu keunikan keterpeliharaan Al-Quran itu sendiri yang diwariskan dari generasi ke generasi, melalui jalur orang-orang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. “Dengan begitu, keaslian Al-Quran dapat terus terjaga dengan baik. Dan belajar Al-Quran hendaknya memang dengan muwajahah (berhadapan langsung) kepada seorang guru,” katanya di sela-sela pembicaraan.
Di Pesantren Pandan Aran, hari demi hari ia lalui dengan semangat belajar dan ketaatan penuh kepada gurunya, di samping terus mengisi waktu dengan beribadah kepada Allah SWT. Tak terasa, dua tahun lamanya ia telah menimba ilmu di pesantren tersebut. Alhamdulillah, ia hafal 30 juz Al-Quran.
Setelah hafal seluruh isi Al-Quran, sebagai manusia biasa tentu tak mudah bagi dirinya untuk menjaga dan merawat hafalan itu. Kiatnya agar hafalan itu dapat terus terjaga, ia sering mengadakan sema’an yang dilakukan secara bersama-sama dengan teman-temannya sendiri dengan saling memperdengarkan hafalan secara bergantian.
Ilmu Tafsir itu Dinamis
Tahun 1992, ia memutuskan berangkat ke Kairo untuk menimba ilmu di Universitas Al-Azhar. Tampaknya, kecintaannya pada ilmu-ilmu Al-Quran telah tumbuh sedemikian kuat dalam dirinya. Karena itu saat ia mendaftar di Al-Azhar, pilihannya pun jatuh pada program jurusan ilmu tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran.
Menurutnya, ilmu tafsir itu dinamis. Ilmu tafsir akan terus berproses dan berkembang. Inilah yang membuat dirinya tertarik untuk terus mempelajari Al-Quran. Menurutnya, “Kemuliaan sebuah pekerjaan ditentukan oleh obyeknya. Dan mempelajari Al-Quran adalah pekerjaan yang paling mulia, sebab obyeknya adalah kalamullah.”
Setelah empat tahun pendidikannya di tingkat S-1 selesai di tahun 1996, pada tempat dan jurusan yang sama ia langsung melanjutkan ke jenjang strata berikutnya. Memang, ketentuan di Universitas Al-Azhar, program pascasarjana dan program strata tiga merupakan paket kesatuan yang tak terpisahkan. Di sana, mahasiswa pascasarjana juga tidak diperkenankan untuk mengambil jurusan yang berbeda dari jurusan pada jenjang strata sebelumnya.
Menempuh pendidikan di Al-Azhar Mesir hingga dapat menyelesaikannya pada program pascasarjana tentu bukanlah pekerjaan ringan. Sejak awal masuk, dibutuhkan daya ingat dan kecerdasan yang kuat. Pada program pascasarjana, ada masa penulisan tesis yang disebut Program Tamhidi, di mana waktu yang diberikan pada masa itu adalah selama dua sampai empat tahun. Berkat kesungguhannya, ia dapat menyelesaikan program Tamhidi dalam tempo dua tahun.
Untuk lulus dari program Tamhidi, harus melewati dua tahapan ujian, yaitu ujian tulisan dan ujian lisan. Sistem ujian yang berlaku pada program Tamhidi adalah sistem gugur. Satu tahapan saja tidak lulus, harus mengulang semuanya dari awal. Pada sistem itulah, tidak sedikit di antara rekan-rekan satu angkatannya mengalami kegagalan.
Saat awal ia masuk program ini, rekan seangkatannya berjumlah 35 orang. Berlanjut pada tingkat selanjutnya, tersisa tiga orang. Selangkah lagi tahapan untuk menulis tesis, hanya dia dan seorang rekannya yang tersisa. Demikianlah, setelah lulus dari program Tamhidi ini, ia baru diperkenankan untuk menulis tesis.
Selama kuliah di sana, ia mengisi waktu dengan banyak membaca buku. Di antara buku yang cukup digemarinya adalah karya Syaikh Muhammad Ath-Thahir Ibn Asyur, mantan mufti Tunisia. Di samping banyak membaca, ia juga kerap mendatangi acara-acara kajian keagamaan, khususnya kajian seputar tafsir Al-Quran. Ia sangat bersemangat terutama bila pengisi kajiannya adalah Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi atau Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dua tokoh yang sangat dikaguminya.
Tidak lengkap rasanya bila sebagai mahasiswa tidak mempunyai wadah sebagai ajang berdiskusi. Bersama teman-temannya, ia mendirikan Forum Diskusi Al-Quran (Fordian) dan El-Muntada, atau Forum Mahasiswa Pascasarjana. Prof. Dr. Quraish Shihab sendiri selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam forum ini.
Hubungannya dengan Prof. Quraish semakin dekat dan terus terjaga dengan baik. Lantaran kecerdasan yang dimilikinya, ia diminta untuk membaca ulang beberapa bagian dari Tafsir Al-Mishbah, karya Prof. Quraish, yang ketika itu akan naik cetak. Sebaliknya, sewaktu ia menerjemahkan Tafsir Al-Muntakhab, sebuah tafsir ringkas yang diterbitkan oleh Kementerian Wakaf Mesir, Prof. Quraish-lah yang berkenan menjadi supervisor dalam penerjemahan tersebut.
Hubungan yang dekat itu pun membawa keberkahan tersendiri baginya. Saat akan menulis disertasi, ia ditawari beasiswa oleh Prof. Quraish, dengan syarat, “Anda harus menyelesaikan penulisan disertasi dalam waktu satu tahun ini. Jika sanggup, saya akan memberikannya. Bagaimana, bersedia?”
“Insya Allah saya dapat melakukannya,” jawabnya mantap kepada Prof. Quraish saat itu.
Untuk masuk program S-3, memang tidak ada lagi mata kuliah yang harus diikutinya. Maka setelah penulisan tesis ia rampungkan, ia segera mengajukan proposal untuk penulisan disertasi program doktoralnya.

Penghargaan Tingkat Pertama
Dengan penuh semangat, ia kemudian mengajukan beberapa topik untuk disertasinya. Namun, Prof. Dr. Ibrahim Khalifa, ketua jurusannya pada saat itu, menyarankannya agar mengambil kajian dan riset terhadap kitab Lawami’ al-Burhan wa Qawathi al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an. Materinya, kurang lebih berisikan studi filologi Al-Quran. Ia menerima saran itu. Singkat cerita, tema disertasi tersebut kemudian disahkan.
Ia akui, pada awalnya ia sendiri tidak tertarik dengan tema itu. Di antara sebabnya, dengan mengambil tema tersebut, pengerjaannya dapat memakan waktu yang cukup lama, karena manuskrip kitab sumber kajiannya itu belum pernah dicetak ataupun dikaji, dan belum pernah di-tahqiq (diteliti) oleh satu orang pun. Di samping itu, penulis manuskrip kitab itu sendiri hidup pada abad keenam Hijriyyah. Jadi, merupakan jarak waktu yang relatif sudah sangat jauh untuk dapat memahami kandungan pemikirannya bila tanpa ada bantuan kajian orang lain sebelumnya.
Berangsur-angsur, ketidaksukaan itu berubah menjadi kecintaan. Ketika ia mulai menyelami obyek kajiannya itu lebih jauh, hatinya mulai tertarik dan bahkan ia mulai merasa jatuh cinta. Hampir sepanjang waktunya ia habiskan untuk menekuni isi kitab itu, hingga pada akhirnya ia sendiri merasakan bahwa ia mendapat banyak ilmu dan manfaat dari dalam manuskrip yang tengah ditelitinya itu.
Menurutnya, penulisnya menggunakan pendekatan bahasa yang sangat piawai, lewat penjelasan terhadap asal-usul sebuah kata yang amat bagus. Sentuhan sufistisnya juga begitu indah, dengan mengutip banyak pandangan tokoh-tokoh tasawuf besar, seperti Al-Junaid dan para ulama tasawuf lainnya yang hidup sebelum abad keenam Hijriyyah. Selain itu, manuskrip itu banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Faris, penulis Mu’jam Maqayis fil Lughah.
Tahun 2006, ketekunan dirinya selama itu membuahkan hasil yang membanggakan. Disertasinya, yang ia susun hingga setebal 1.430 halaman, telah mengantarkan dirinya untuk meraih gelar doktor dengan penghargaan tingkat pertama (dukturah ma`a martabat asy-syaraf al-ula), atau biasa disebut summa cumlaude.
Lantaran gelar yang didapat itu disertai dengan predikat tertinggi dan disertasinya dianggap sangat bagus, ia bahkan mendapat nilai tambahan dari tim penguji. Tak cukup sampai di situ, disertasinya direkomendasikan untuk dicetak atas biaya dari universitas dan diikutsertakan dalam program pertukaran hasil riset antar-perguruan tinggi.

Bagaikan Mutiara
Setelah kembali ke kampung halamannya, tekadnya telah bulat untuk terus berkecimpung dalam bidang tafsir Al-Quran. Berbekal ilmu yang didapatnya dari pesantren hingga perguruan tinggi di Mesir, ia kini dipercaya menduduki beberapa jabatan strategis, di antaranya sebagai kepala bidang pengkajian Al-Quran pada Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Badan Litbang dan Diklat di Departemen Agama RI, manajer program Pusat Studi Quran, dan dosen Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di samping itu, ia juga ditunjuk sebagai konsultan di beberapa program pendidikan tinggi dan pesantren, di antaranya pada Program Center of Excellence Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, yang bertujuan untuk mendorong beberapa perguruan tinggi swasta agar dapat menjadi pusat kajian unggulan dalam bidang-bidang tertentu, dan juga konsultan kerja sama luar negeri untuk wilayah Timur Tengah.
Kiai Muchlis juga aktif mengajar di beberapa majelis ta’lim dan forum pengajian, seperti di Masjid Bank Indonesia, Masjid Nurul Firdaus Bekasi, Masjid Agung Sunda Kelapa, dan Masjid Istiqlal. Materi yang disampaikannya seputar kajian Al-Quran, disiplin ilmu yang memang sangat digandrunginya sejak lama.
Ia, yang telah lama menggeluti disiplin ilmu tafsir Al-Quran, lebih cenderung pada tafsir dengan pendekatan tematis, yang menjelaskan bagaimana menghadirkan Al-Quran di tengah permasalahan yang sedang dihadapi umat.
Baginya, Al-Quran bagaikan berlian atau mutiara. Dari sudut mana saja orang memandang, Al-Quran akan memantulkan cahayanya.
“Hendaknya Al-Quran itu dihadirkan, dibaca, dan disimak ayat per ayat beserta maknanya, agar kandungan yang ada di dalamnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berpedoman pada Al-Quran akan menghantarkan kita kepada kebaikan di dunia dan akhirat,” kata ayah tiga anak ini – Fayyadh, Wafa Ahdella, dan Wuddy Samiha – memungkasi pembicaraan. RIS

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog