| |
Written by Publisher Team |
Friday, 04 December 2009 16:48 |
“Saya tidak pernah membayangkan pendidikan saya sampai jenjang perguruan tinggi tingkat doktoral.... Saya yakin, ini semua karena doa dan ridha orangtua.” Medio 2008, dunia internasional menyaksikan drama ambruknya keuangan negara superpower Amerika Serikat, yang berbasis kapitalis. Akibatnya, banyak orang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Kasus yang paling menggemparkan adalah seorang manajer keuangan di California membunuh enam angota keluarganya lalu bunuh diri karena stres tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Kasus lain, seorang janda berusia 90 tahun menembak dadanya sendiri saat petugas datang untuk menyita rumah yang telah ia tempati selama 38 tahun. Di Massachusetts, seorang ibu rumah tangga mengirimkan pesan kepada sebuah perusahaan hipotek, “Jika saat ini Anda menyita rumahku, saya akan mati.” Wanita bernama Carlene Balderrama itu kemudian menembak dirinya hingga tewas. Ia meninggalkan sebuah polis asuransi dan pesan bunuh diri di atas meja. Masih banyak lagi kasus lainnya, yang tak kalah memprihatinkan. Ekonomi Syari’ah Melihat fenomena-fenomena tragis tersebut, tidak mengherankan jika sejumlah pakar ekonomi terkemuka di dunia mengkritik dan meragukan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi. Karena itu, muncullah gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem ekonomi “baru” yang membawa implikasi pada keadilan, pemerataan, dan kemakmuran. Konsep ekonomi baru tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Salah satu sistem ekonomi yang banyak dilirik oleh para ekonom dunia adalah sistem ekonomi Islam. Mereka tertarik karena melihat fakta di lapangan bahwa perbankan berbasis syari’at Islam tidak terpengaruh secara signifikan oleh krisis keuangan Amerika, yang memicu krisis keuangan global. Malah, dalam tiga dasawarsa terakhir, jumlah lembaga finansial Islam yang telah menyebar di 75 negara itu mempunyai aset mencapai lebih dari 300 miliar dolar, dan tumbuh dengan tingkat rata-rata 15 persen per tahun. Di Indonesia sendiri, ekonomi syari’ah ini mulai dipraktekkan oleh beberapa lembaga keuangan sejak tahun 1998. Dan para petinggi negeri ini pun menyambutnya dengan baik, bahkan memfasilitasinya dengan payung hukum. Yaitu Undang-Undang Perbankan Syariah tahun 2008. Salah satu tokoh Islam yang getol mensosialisasikan sistem ekonomi syari’ah ini adalah K.H. Dr. H.M. Anwar Ibrahim. Ia adalah wakil ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional MUI, lembaga yang memberikan fatwa serta mengawasi pelaksanaan ekonomi syari’ah Islam di Indonesia. Di MUI, ia juga menjabat ketua Komisi Fatwa dan ketua Dewan Pembina Badan Wakaf Indonesia. Kiai Anwar juga mengusulkan kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, agar dapat melibatkan beberapa orang Indonesia yang mumpuni di bidang ekonomi syari’ah untuk ikut duduk di lembaga-lembaga pembahas masalah keuangan di dunia Islam di luar negeri, terutama di Majma Fiqh Makkah, yang berada di bawah Rabithah Alam Al-Islamiy, dan Majma Jiqh Madinah, yang berada di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Begitu juga Majma Fiqh yang berada di Mesir, Bahrain, dan Yordania. Menurutnya, sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi syari’ah melarang pinjaman dengan beban bunga, yang berdasarkan fatwa MUI termasuk riba, terlarang dalam Islam. Sementara sistem ekonomi kapitalisme sebaliknya. “Sejak masa Rasulullah SAW, Islam tidak merespons bunga bank. Jadi, kalau orang mau mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, carilah dengan usaha kerja keras sendiri, jangan melalui uang yang beranak uang,” katanya. Bunga bank juga dinilai hanya menguntungkan pemilik modal. Mereka semakin lama semakin kaya. Sedangkan peminjam modal, karena bunga yang diminta juga besar, tentu saja akan semakin tertekan oleh utang yang terus beranak-pinak. Sistem ribawi ini, menurutnya lagi, merupakan pangkal dari hancurnya ekonomi kapitalisme. Karena itu, sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, sudah semestinya Indonesia menerapkan konsep ekonomi Islam. Akad-akad yang diajarkan dalam ekonomi Islam berbeda dengan akad-akad dalam sistem ekonomi konvensional, seperti bank dan lainnya. Produk-produk keuangan berbasis syari’ah antara lain ijarah, yakni perjanjian sewa yang memberikan kepada penyewa untuk memanfaatkan barang yang akan disewa dengan imbalan uang sewa sesuai dengan persetujuan, dan setelah masa sewa berakhir barang dikembalikan kepada pemilik namun penyewa dapat juga memilikinya dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank kepada pihak lain (ijarah wa iqtina). Kemudian musharakah, yakni perjanjian pembiayaan antara bank syari’ah dan nasabah yang membutuhkan pembiayaan, dalam hal ini bank dan nasabah secara bersama membiayai suatu usaha atau proyek yang juga dikelola secara bersama atas prinsip bagi hasil sesuai dengan penyertaan di mana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan di muka. Lalu murabahah, perjanjian yang disepakati antara bank syari’ah dan nasabah, dalam hal ini bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank dan margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan. Murabahah dipandang sebagai cara yang memungkinkan pembeli menghindari pinjaman berbeban bunga. Ketua Komisi Fatwa MUI K.H. Dr. H.M. Anwar Ibrahim adalah salah seorang pakar ekonomi syari’ah di Indonesia. Ia banyak mencurahkan tenaganya untuk meneliti dan mengkaji masalah syari’at Islam, terutama dalam bidang ekonomi. Buah pemikirannya ia tuangkan dalam buku-buku dan makalah. Di antaranya, Murabahah (2002). “Buku ini saya tulis karena keprihatinan saya melihat bangsa Indonesia yang mayoritas muslim namun pada prakteknya dalam soal transaksi penjualan dan pembelian masih menggunakan sistem ekonomi sekuler, di mana dalam prakteknya sistem ekonomi sekuler itu tidak menerapkan kejujuran, transparansi, dan keterbukaan. Sedang dalam sistem ekomoni Islam, kejujuran, transparansi, dan keterbukaan itu ada,” kata Kiai Anwar Ibrahim. Karena buah pemikirannya yang brilian mengenai ekonomi Islam ini, ia sering diundang sebagai pembicara di berbagai forum ilmiah, baik nasional maupun internasional. Keahliannya di bidang syari’ah memang tak diragukan. Maklum saja, suami Masjidah Lubis ini bertahun-tahun menggeluti studi hukum Islam. Ia menamatkan studi magister dan doktoralnya pada bidang ilmu fiqih di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sebenarnya Kiai Anwar Ibrahim bukan orang baru di MUI, ia memulai kariernya sejak 14 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1994, pada masa kepemimpinan K.H. Ibrahim Hosen. “Saat itu saya hanya anggota biasa,” tutur ayah Siti Khadijah ini. Meski hanya menjadi anggota biasa, sejak awal dedikasi terhadap pekerjaannya di MUI sangat tinggi. Dengan penuh amanah dan tanggung jawab, ia menjalani hari-harinya menjadi anggota Komisi Fatwa MUI. Ia sendiri merasa mantap, sebab di lembaga tersebut ilmu yang dipelajarinya betahun-tahun di Al-Azhar dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. “Sejak kecil saya memang bercita-cita dapat berbuat sesuatu bagi banyak orang, dan di MUI ternyata keinginan itu terwujud,” katanya. Dari sekadar menjadi anggota biasa, seiring berjalannya waktu Kiai Anwar pun mulai dipercaya menjadi salah satu pemimpin. Pada masa kepengurusan K.H. Makruf Amin, misalnya, pria kelahiran Palembang 16 November 1941 ini diamanahi menjadi wakil ketua Komisi Fatwa MUI. Tahap demi tahap karier ia lewati, hingga pada tahun 2007 lalu ia didaulat menjadi ketua Komisi Fatwa MUI. Kedudukan Kiai Anwar di komisi yang membidani fatwa berbagai masalah umat ini telah memberinya segudang pengalaman. Ia juga telah terlibat dalam berbagai pengambilan keputusan fatwa penting. Di antaranya fatwa mengenai sesatnya ajaran Ahmadiyah Qadian. Himmah yang Tinggi Kiai Anwar, yang lahir dari keluarga petani, memiliki himmah (semangat) menuntut ilmu yang begitu tinggi. Pada suatu hari setelah lulus sekolah menengah atas, ia mengemukakan keinginannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. “Abah, Umi, aku ingin sekali masuk perguruan tinggi. Apakah Abah dan Umi mengizinkan?” kata Kiai Anwar mengenang. Permintaan itu disetujui kedua orangtuanya. Setiap habis shalat, Kiai Anwar selalu berdoa agar apa yang dicita-citakannya terkabul. “Ya Allah, jika memang niatku ini baik, luluskanlah aku pada saat tes nanti. Namun, jika tidak, aku ikhlas dan ridha jika tidak lulus.” Tes ujian masuk perguruan tinggi yang ia maksud, tepatnya IAIN Palembang, pun segera dilaksanakan. Ketika usai, ia mendengar pengumuman bahwa ia berhasil lulus dengan jurusan yang ia ambil, Fakultas Syariah. Betapa gembiranya dia saat itu. Dari IAIN, pendidikannya terus meningkat ke Universitas Al-Azhar hingga ia mencapai gelar doktor. Sebagai anak petani yang hidup sederhana, di masa kecil Kiai Anwar memang tak pernah membayangkan dirinya bisa sampai jenjang perguruan tinggi tingkat doktoral. “Saya tidak pernah membayangkan itu.... Saya cuma orang kampung, hidup seadanya, bapak saya petani sederhana. Saya yakin, ini semua karena doa dan ridha orangtua,” katanya. RIS |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar