Minggu, 01 November 2009

Shirin Ebadi






►e-ti/ascr
Nama:
Shirin Ebadi
Lahir:
1947
Pendidikan:
Sarjana Hukum Universitas Teheran
Pekerjaan:
Pengajar di Universitas Teheran
Aktivis HAM
Pengacara
Presiden pengadilan kota di Teheran (1975-1979)
Organisasi:
Pendiri dan pemimpin dari Association for Support of Children’s Rights di Iran
Buku:
A Study of Legal Aspects of Children’s Rights in Iran (Tehran, 1994)
History and Documentation of Human Rights in Iran (New York, 2000)


Wanita Muslim Pertama Peraih Nobel

Ahli hukum, hakim, pengajar, penulis, dan aktivis pembela hak asasi manusia Iran, Shirin Ebadi (56) meraih hadiah Nobel Perdamaian 2003. Ia merupakan wanita Muslim pertama peraih penghargaan Nobel, tokoh Muslim ketiga setelah Yasser Arafat (1994) dan Anwar Sadat (1978), dan merupakan wanita kesebelas setelah Jody Williams (1997) dalam 103 tahun sejarah Nobel. Ebadi terpilih dari 165 calon, termasuk Paus Yohanes Paulus II dan mantan Presiden Ceko Vaclav Havel yang sebelumnya diunggulkan.

Sarjana hukum dari Universitas Teheran yang lahir 1947 ini berjuang selama 25 tahun untuk menegakkan keadilan di Iran. Baik dalam tulisan maupun kegiatannya sebagai aktivis HAM, Ebadi dikenal sebagai pribadi yang mengedepankan solusi yang demokratis dan damai atas berbagai masalah serius dalam masyarakat.

Dia aktif dalam debat publik dan sangat dikagumi oleh masyarakat di negaranya karena kegigihannya membela individu maupun kelompok yang menjadi korban kekuasaan politik dan sistem hukum tidak manusiawi yang dilegitimasi dengan atas nama Islam. Berkat kampanye yang dilakukan oleh tokoh seperti Ebadi, hukum keluarga di Iran mengalami reformasi, salah satunya adalah seorang suami tidak lagi secara otomatis dapat menceraikan istrinya tanpa membayar uang tunjangan perceraian.

Sebagai seorang muslimah, Ebadi melihat tidak ada pertentangan fundamental antara Islam dengan hak asasi manusia.

Atas penghargaan yang diterimanya itu, Ebadi menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi muslim dan mendukung demokrasi. “Islam sejalan dengan demokrasi. Bila Anda membaca Al Quran, Anda akan melihat tak ada satu pun ayat yang bertentangan dengan hak asasi manusia,” ujarnya.

Pemerintah Iran secara resmi menyampaikan selamat kepada Shirin Ebadi. Meski demikian, kelompok garis keras Iran mengecam keras pemberian Nobel Perdamaian kepada Ebadi. Mereka mengatakan bahwa penghargaan tersebut merupakan dukungan terhadap gerakan sekuler dan menganggap Komite Nobel Norwegia telah menjadi alat politik dan mencampuri urusan dalam negeri Iran.

Ebadi sendiri menilai bahwa dirinya dipilih bukan karena alasan politik melainkan karena dunia menyadari bahwa perdamaian hanya akan terwujud melalui penghargaan terhadap HAM.

Ebadi menjadi presiden pengadilan kota di Teheran tahun 1975 tapi kehilangan posisi itu dalam revolusi Islam lima tahun kemudian ketika kaum mullah mengambil alih dan memutuskan perempuan tidak bisa memimpin pengadilan. Sejak Revolusi Iran tahun 1979, ia menjadi aktivis pejuang demokrasi, HAM, pengungsi, wanita, dan anak-anak.

Sebagai pengacara ia terlibat dalam beberapa kasus politik yang kontroversial. Ia mewakili para keluarga penulis dan cendekiawan yang dibunuh antara tahun 1999 dan tahun 2000. Ia juga berupaya mengungkap konspirasi di balik serangan terhadap para mahasiswa di Universitas Teheran tahun 2000. Bahkan, ia pernah dipenjara selama beberapa minggu karena membela keluarga korban pembunuhan politik. Bahkan, tahun 2001 lalu, Ebadi sempat dipenjara karena menghadiri konferensi pembaruan Iran di Berlin.

Ia adalah pendiri dan pemimpin dari Association for Support of Children’s Rights. Ia sudah menulis beberapa buku akademik dan artikel yang mengangkat isu hak asasi manusia. Di antara buku-bukunya itu, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalahA Study of Legal Aspects of Children’s Rights in Iran (Teheran, 1994), yang dipublikasikan dengan dukungan dari UNICEF, dan History and Documentation of Human Rights in Iran (New York, 2000). Sedangkan artikel-artikelnya banyak mengangkat isu hukum, perempuan dan anak-anak di Iran sepertiThe Major Legal Problems of Children in Iran, Abolishing Slavery in Any Form, The legal Punishment for Murdering One’s Child, dan sebagainya.

Ebadi mewakili kalangan Islam reform dan melontarkan pemikiran-pemikran baru dalam hukum Islam yang selaras dengan hak asasi manusia seperti demokrasi, persamaan hak dan kewajiban di hadapan hukum, kebebasan beragama, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Ia memperjuangkan hak asasi manusia yang paling mendasar dan percaya bahwa tidak ada masyarakat yang layak dijuluki ‘masyarakat yang beradab’ kecuali hak-hak perempuan dan anak-anak dihormati. Menurutnya, kekuasaan politik tertinggi dalam suatu masyarakat harus dibangun dengan dasar pemilihan yang demokratis. Ia lebih memilih jalur dialog sebagai jalan mengubah perilaku dan menyelesaikan konflik.

Ia mengakui tak mudah menjadi wanita di Iran karena hukum yang berlaku di sana. Meskipun begitu, ia bersyukur karena berbagai kesulitan yang dihadapinya baik sebagai wanita maupun ahli hukum justru meneguhkan perjuangannya yang dengan lantang dan tegas menyuarakan tegaknya demokrasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.

Saat ini, Ebadi bekerja sebagai pengacara dan pengajar di Universitas Teheran. Penganugerahan hadiah Nobel Perdamaian diselenggarakan Oslo, Swedia, 10 Desember 2003. Ebadi juga menerima uang 10 juta Kroner Swedia (sekitar Rp10,8 miliar) berdasarkan keputusan Komite Nobel yang bermarkas di Oslo, dengan anggota dua pria dan tiga perempuan.

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog