Sabtu, 13 Juni 2009

Fam Hadroulmaut 6

Marga Al-Chamur

Yang pertama kali mendapat julukan “Al-Chamur” adalah Waliyyullah Abdullah bin Shaleh bin Hasan bin Husein bin Syaich Abu Bakar bin Salim.

Soal gelar yang disandangnya karena beliau bermukim di “Chamur” yaitu suatu tempat yang tersohor disebelah barat kota Syibam Hadramaut.

Waliyyullah Abdullah bin Shaleh Al-Chamur dilahirkan di “Chamur”. Dikaruniai 7 orang anak lelaki, masing-masing bernama: Ahmad ; Ali ; Abu Bakar ; Umar ; Abdurrahman ; Muhammad dan Idrus. Yang semuanya menurunkan keturunannya.

Waliyyullah Abdullah bin Shaleh Al Chamur pulang ke Rahmatullah di Chamur pada sekitar tahun 1211 Hijriyyah.

Semoga Allah SWT memasukkan beliau dalam surga menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, dan para Sholihin. Amin.

Marga Al-Masyhur

Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Masyhur” adalah waliyyullah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Syahabbuddin Al-Ashghor.

So’al gelar “Al-Masyhur” yang disandangnya, belum ada kepastiannya. Sebagaimana diketahui menurut bahasa Arab “Masyhur” berarti “Tersohor” atau “terkenal”. Maka terkenal / tersohor dibidang apakah gerangan Waliyyullah Muhammad b. Ahmad AI-Masyhur tersebut, Wallahu A’lamu Bissawab

Waliyyullah Muhammad bin Ahmad Al-Masyhur dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 3 orang lelaki yang melanjutkan keturunan Beliau, masing-masing bernama :

  1. Abdurrahman, keturunannya hanya berada di Malibar.
  2. Alwi, leluhur Al-Masyhur yang keturunannya ada di Indonesia berada di kota Surabaya.
  3. Abdullah, dikaruniai 4 orang lelaki, 2 diantaranya yang berketurunan, masing-masing bernama :
    1. Umar, leluhur Al-Masyhur yang ada di Tarim (Hadramaut) salah satu anak cucunya yaitu AI-Allamah Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur ; penulis kitab “Syamsuddahirah“. Kitab tentang susunan Silsilah Nasab Alawiyyin, yang merupakan salah satu pedoman bagi Kantor Pusat Pencatatan Nasab Arrabithah Alawiyyin di Indonesia, yang sekaligus merupakan Nara Sumber yang terpenting dalam penyusunan Monogram Silsilah Nasab Alawiyyin beserta Buku Petunjuknya. Umar bin Abdullah bin Muhammad Al-Masyhur keturunannya selain berada di Hadramaut, berada pula di Malaysia dan di Indonesia (Jawa).
    2. Ahmad, satu-satunya anak lelakinya bernama Muhammad Al Zahir, Lehuhur qabilah “Al-Zahir

Waliyyullah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Syahabuddin Al-Ash’ghor pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 1130 H.

Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para ’syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Muhdhar

Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Muhdhar” adalah waliyyullah Umar bin Syaich Abi Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Al Imam Abdurrahman Assegaf.

So’al gelar “Al-Muhdhar” yang disandang, karena ayah Beliau setelah menamainya dengan Umar maka dijuluki pula “Muhdhar” jadi “Umar AlMuhdhar“. Dengan maksud agar supaya mendapatkan keberkatan dan meniru Leluhur Besar-nya yaitu Waliyyullah Umar A!-Muhdhar bin Al-Imam Abdurrahman Assegaf.

Dimana apa yang telah dicita-citakan ayah Beliau menjadi kenyataan, waliyyullah Umar Al-Muhdhar bin Syaich Abi Bakar bin Salim akhirnya menjadi seorang waliyyullah yang berpredikat seperti leluhurnya waliyyullah Umar AI-Muhdhar bin Abdurrahman Asseggaf.

Waliyyullah Umar Al Muhdhar dilahirkan di kota Inat. Dikaruniai 2 orang anak lelaki masing-masing bernama Ali dan Abubakar, mereka yang menurunkan keturunan Al-Muhdhar.

Keturunan Al-Muhdhar selain disebut “Al-Muhdhar” biasa disebut pula dengan “Al-Mahadir“.

Selain golongan “Al-Muhdhar” dari anak cucu Umar Al-Muhdhar, ada pula golongan Alawiyyin yang dijuluki “Al-Bin Muhdhar“, tetapi mereka dari keturunan anak cucu leluhur “Al-Habsyi

Waliyyullah Umar Al-Muhdhar pulang ke Rahmatullah di kota Inat pada tahun 997 Hijriyyah.

Semoga Allah SWT memasukkan Bcliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya clan para Shalihin. Amin !.

Marga Al-Munawwar

Yang Pertama kali dijuluki (digelari) ” Al-Munawwar ” adalah Waliyyullah Aqil bin Alwi bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Abdullah bin Abubakar bin Alwi bin Ahmad bin Abubakar Assakran bin Abdurrahman Asseggaf.

So’al gelar yang disandangnya disebabkan kehebatan (kuatnya) Iman dan Taqwanya kepada Allah SWT maka Beliau dikarunia “Nur ” yang artinya ” Cahaya “. Dan orang yang dikarunia Cahaya oleh Allah SWT disebut ” Al-Munawwar “.

Waliyyullah Aqil bin Alwi AI-Munawwar dilahirkan di kota Seiwun (Hadramaut). Dikaruniai 3 orang anak lelaki, 2 diantaranya yang bernama Abdurrahman dan Abdullah yang menurunkan keturunan Beliau yang kebanyakan berada di Indonesia.

Waliyyullah Aqil Al-Munawwar pulang ke Rahmatullah dikota Seiwun sekitar tahun 1170 Hijrivvah.

Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Shalihin. Amin !.

Marga Al-Bin-Yahya

Yang pertama kali dijuluki (digelari) ” Al-Bin Yahya ” adalah Waliyyullah Yahya bin Hasan bin Ali Al-An’naz bin Alwi bin Muhammad Mauladdawilah.

So’al gelar atau nama Yahya yang disandangnya, karena atas pemberian dari ayah Beliau. Yang dengan maksud agar supaya mendapat keberkahan dari Nabi Yahya (`alaihissalam ). Dengan pengharapan semoga Allah SWT selalu menjadikan Beliau kelak seorang Waliyyullah yang dapat menerangi kalbu (hati) yang gersang dengan sinar keimanan. Dimana kemudian menjadi suatu kenyataan bahwa Waliyyullah Yahya bin Hasan menjadi seorang Wali sebagaimana pengharapan ayah Beliau tersebut.

Waliyyullah Yahya bin Hasan dilahirkan di kota Tarim (Hadramaut). Dikaruniai 3 orang anak lelaki ; dari ketiga anaknya itu hanya 2 orang yang dapat melanjutkan keturunan Beliau, yaitu masing-masing yang dinamai Hasan dan Ahmad ; dimana keturunan mereka selain berada di Timur Tengah kebanyakan juga berada di Indonesia.

Waliyyullah Yahya bin Hasan Bin Yahya pulang ke Rahmatullah di kota Tarim tahun 956 Hijriyyah.

Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Jalaludin Ar Rumi

Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.

Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.

Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.

Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.

Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.

Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing –yakni Syamsi Tabriz– ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.

Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”

Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.

Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.

Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.

Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.

Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.

Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).

Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.

œ

WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.

Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan, “Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit.”

Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.

Marga Al-Musawa

ulukan (gelar) Al-Musawa disandang oleh dua Waliyyullah, masing-masing adalah :

  1. Waliyyullah Ahmad bin Muhammad bin hma bin Abi Bakar Assakran bin Abdurrahman Aseggaf Beliau dilahirkan di kota Tarim, dikaruniai 3 orang anak lelaki, dua diantaranya yang bernama : Yasin dan Husein yang menurunkan keturunannya yang kebanyakan berada di Indonesia. Waliyyulah Ahmad Al-Musawa bin Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar Assakran pulang ke Rahmatullah di Tarim pada tahun 992 Hijriyyah
  2. Waliyyullah Ahmad AI-Musawa Bahsin bin Abdurrahman bin Husein bin Syaich Abdurrahman Assegaf . Beliau dilahirkan di Tarim, dikaruniai 4 orang anak lelaki, 2 diantaranya yang bernama :
    1. Husein, keturunannya hanya berada di lahij (Yaman) dan
    2. Abdullah, keturunannya di Indonesia hanya berada di kota Semarang.

    Waliyyullah Ahmad Al-Musawa Bahsin pulang ke Rahmatullah di Tarim pada tahun 965 Hijriyyah.

Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Maula Chailah

Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al Maulachailah” adalah Waliyyullah Abdurrahman bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Maula Dawilah.

So’al gelar yang disandangnya karena Beliau bermukim di daerah pegunungan “Chailah” yang tersohor disebelah barat kota Tarim (Hadramaut).

Waliyyullah Abdurrahman Maulachailah dilahirkan di kota Tarim.

Di karuniai 4 orang anak lelaki. Dari ke-4 anak lelakinya hanya seorang yang melanjutkan keturunan Beliau yaitu yang dinamai Sahil, yang dikaruniai anak bernama Muhammad, dan Muhammad bin Sahil dikaruniai 2 orang anak lelaki yang masing-masing bernama :

  • Umar, keturunannya disebut Sahil Chailah, yang hanya berada dikota Tarim (Hadramaut) saja
  • Salim, - menurunkan- keturunan “Al-Maulachailah”, yangkebanyakan keturunannya berada di Indonesia (di Palembang; di Pulau Jawa; di Madura dan di Ampenan Bali)

Waliyyullah Abdurrahman Maula Chailah pulang ke Rahmatullah di kota Tarim pada tahun 914 Hijriyyah.
Semoga Allah SWT memasukkan Beliau Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Bin Djindan (Bin Jindan)

Yang pertama kali dijuluki (digelari) Al Bin Djindan adalah Waliyyullah Djindan bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Syaichan bin Syaich Abi Bakar.

Waliyyullah Djindan dilahirkan di kota Inat (Hadramaut), dikaruniai seorang anak lelaki yang dinamai Abdullah, yang menurunkan keturunan Al-Bin Djindan, yang kebanyakan berada di Indonesia.

Waliyyullah Djindan bin Abdullah Al bin Djindan pulang ke Rahmatullah di Inat sekitar tahun 1140 Hijriyah.

Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para syuhada, para Auliya dan para Sholihin. Amin !.

Marga Al-Baraqbah

Yang pertama kali dijuluki (digelari) “Al-Baraqbah” adalah waliyyullah Umar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.

So’al gelar yang disandangnya belum ada kepastiannya. Seperti diketahui kata “Baragbah” berasal dari kata “Ragbah” yang dalam bahasa Arab berarti Pundak. Jadi bila seseorang misalnya mernpunyai pundak yang kuat maka dijuluki “Baragbah” atau si pundak yang kuat.

Apakah kata “Baragbah” yang dimaksud ada hubungannya dengan gelar yang disandang oleh waliyyullah Umar bin Ahmad Ba-Ragbah tersebut ? ataukah ada hubungannya dengan suatu tempat didekat kota Tarim Hadramaut yang banyak ditumbuhi pohon Kurma dimana terdapat banyak sumur-sumur yang oleh penduduk setempat tempat tersebut dinamakan “Baragbah“. Adakah hubungannya tempat tersebut dengan waliyyullah Umar Baragbah ? Wallahu Alamu Bissawab !

Waliyyullah Umar Baragbah dilahirkan di Tarim dikaruniai seorang anak lelaki yang bernama Abdurrahman, yang merupakan leluhur Al-Baragbah dimana keturunannya kebanyakan di Indonesia.

Waliyyullah Umar Baragbah pulang ke Rahmatullah pada tahun 895 Hijriyyah.

Semoga Allah SWT memasukkan Beliau-Beliau ke dalam Surga dan menghimpunkannya bersama-sama para Nabi, para Syuhada, para Auliya dan para Shalihin. Amin !.

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog