Sabtu, 02 Mei 2009

Habib Zein bin Abdullah Alaydrus

Ulama Yang Zuhud

Ia memiliki sifat-sifat yang mulia. Seorang memiliki khasyah (rasa takut) kepada Allah, zuhud terhadap dunia, qana’ah dalam menerima sesuatu, banyak membaca Al-Qur’an dan dzikir.
Sebagaimana di masa kecilnya, ia selalu tekun melakukan shalat di Masjid Al-Mubarak. Di masjid inilah, Habib Zain bin Abdullah bin Alwi bin Umar bin Ahmad Alaydrus beberapa tahun yang lalu selalu bertindak sebagai imam. Salah satu kebiasaan yang sering ia lakukan adalah tidak keluar dari masjid setelah menunaikan shalat Subuh, kecuali setelah datangnya waktu isyraq (terbitnya matahari). Begitu juga dengan shalat-shalat sunnah yang selalu ia kerjakan. Hal ini berlangsung terus, meskipun usianya telah memasuki masa tua.
Habib Zain dilahirkan di daerah As-Suweiry (dekat kota Tarim), Hadramaut, pada tahun 1289 H. Ayah ia Al-Habib Abdullah, berasal dari kota Tarim, dan kemudian berhijrah ke kota As-Suweiry dengan beberapa temannya atas perintah Al-Imam Al-Habib Thahir bin Husin Bin Thahir Ba’alawy untuk mengawasi gencatan senjata antar kabilah yang terjadi di kota tersebut.
Ia tumbuh dalam suatu keluarga yang penuh keutamaan, ilmu dan akhlak, mencontoh keluarga datuk ia Rasulullah SAW. Al-Habib Abdullah, ayahnya, mencurahkan perhatian yang lebih kepada Habib Zain diantara saudara-saudaranya, karena selain ia adalah anak yang terakhir, juga ia adalah anak yang berperilaku yang mulia dan berhati bersih. Habib Abdullah melihat dengan firasat tajamnya bahwa putranya ini akan menjadi seorang yang mempunyai hal (keadaan) yang tinggi di suatu masa mendatang.
Masa kecilnya dihabiskan dengan penuh kezuhudan dan ibadah. Sejak kecil ia gemar sekali menjaga kewajiban shalat dan menunaikan shalat-shalat sunnah. Tak hanya ibadah shalat, ia juga gemar melakukan puasa sunah, membaca Al-Quran dan dzikir. Suatu kegemaran yang jarang sekali dipunyai oleh anak-anak sebaya dengannya. Tak heran, sedari kecil hingga dewasa, Habib Zain sangat dicintai oleh keluarganya dan masyarakat As-SuweiryPerjalanan
Hijrah
Pada tahun 1301 H, ia melakukan perjalanan hijrah ke Indonesia, disertai saudara-saudaranya Alwi, Ahmad dan Ali. Pada saat itu ia masih berusia 12 tahun. Di Indonesia ia bertemu dengan pamannya Habib Muhammad bin Alwi Alaydrus yang sudah terlebih dahulu menetap disana.
Sebelum ia berhijrah ke Indonesia, ia banyak mengambil ilmu dari keluarganya, dan juga dari para ulama di tempat asalnya Hadramaut, yang memang terkenal pada saat itu dengan negeri yang penuh dengan ulama-ulama besar. Dari daerah tersebut, ia banyak mengambil berbagai macam ilmu-ilmu agama.
Setelah berada di Indonesia, ia menuntut ilmu kepada pamannya Al Habib Muhammad bin Alwi Alaydrus. Setelah dirasakan cukup, ia Al-Habib Zain dikirim oleh pamannya untuk menuntut ilmu kepada salah seorang mufti terkenal di Indonesia saat itu, yaitu Al-Habib Al-Faqih Al-Allamah Utsman bin Abdullah Bin Yahya. Guru ia Al-Habib Utsman Bin Yahya merupakan salah seorang tokoh agama yang cukup mumpuni di bidang fiqih dan ilmu-ilmu keislaman saat itu. Banyak diantara para murid Al-Habib Utsman yang menjadi ulama-ulama besar, seperti Al-Habib Ali bin Abdur Rahman Alhabsyi, Kwitang.
Dalam bimbingan dan didikan guru Al-Habib Utsman Bin Yahya, Habib Zein sebagaimana masa kecilnya ia bersemangat untuk belajar dengan giat dan tekun. Banyak ilmu yang diambil ia dari gurunya, diantaranya adalah ilmu-ilmu bahasa Arab, Fiqih, Fara’idh (ilmu waris), Ushul, Falak, dan sebagainya. Ia mengambil dari gurunya ilmu dan amal dan ia banyak mendapatkan ijazah dari gurunya tersebut. Masa
Dakwah
Pada tahun 1322 H, berdirilah sebuah sekolah agama di kota Jakarta yang dinamakan Jamiat Khair. Beberapa pengurus dari sekolah itu kemudian datang kepada Habib Zain agar mengajar di sana. Akhirnya, ia mengajar di Jamiat Khair dengan kesungguhan, tanpa lelah dan bosan. Pada saat itu, ia merupakan salah seorang staf pengajar kurun waktu pertama sekolah Jamiat Khair, suatu sekolah yang banyak menghasilkan tokoh-tokoh agama dan pergerakan.
Selang beberapa tahun kemudian, ia mendirikan sebuah sekolah kecil di jalan Gajah Mada, Jakarta. Keberadaan sekolah itu disambut dengan gembira oleh masyarakat, yang sangat butuh akan ilmu-ilmu agama. Akan tetapi sayangnya, tak selang berapa lama, dengan kedatangan Jepang, sekolah tersebut ditutup oleh penjajah Jepang.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1326 H, ia mendirikan majlis taklim di Masjid Al-Mubarak, Krukut, Jakarta. Majlis taklim tersebut diadakan siang dan malam, dan banyak dihadiri pria dan wanita.
Sepeninggal pamannya Al-Habib Muhammad, yang juga merupakan khalifah dan imam di Masjid tersebut. Maka ia pun menggantikan posisi pamannya. Di masjid itu, ia mengajarkan ilmu-ilmu agama, diantaranya ilmu Tafsir, Fiqih, Akidah yang lurus, dan ilmu-ilmu lainnya, dengan cara yang mudah dan sederhana.
Begitulah seterusnya ia menjalankan aktivitasnya dalam berdakwah, tanpa lelah dan bosan, selama 70 tahun. Habib Zain juga mengembangkan tarekat sebagaimana tarekat yang dipegang oleh para Datuknya. Ia bermadzhabkan kepada Al-Imam Asy-Sy-Syafi’i dan bersandarkan pada aqidah Asy’ariyyah, salah satu aqidah didalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Itulah yang ia bawa sebagai pegangan hidup, meneruskan dari apa-apa yang telah digariskan oleh datuk-datuk ia para Salaf Bani Alawy.
Di akhir hayatnya, majlis taklim yang ia bina menjadi majlis ilmu yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan. Sebuah majlis yang penuh akhlak dan adab, majlis yang penuh anwar dan asrar, taman ilmu dan hikmah, penuh dengan dzikir dan doa. Sampai akhirnya ia dipanggil oleh Allah SWT untuk menghadap-Nya, dalam usianya 110 tahun. Ia wafat pada hari Sabtu, tanggal 24 Rabi’ul Tsani 1399 H (24 Maret 1979 M), sekitar pukul 3 sore. Jasad ia disemayamkan di pekuburan Condet (depan Al-Hawi), Jakarta.
Derai tangis mengiringi kepergian ia menuju Hadratillah. Habib Husin bin Abdur Rahman Assegaf melantunkan syair perpisahan yang di antara baitnya berbunyi :
Keindahan ufuk itu telah hilang/dan pancaran cahaya bintang itu telah pergi// Ia menerangi kami beberapa saat/dan setelah habisnya malam, ia pun berlalu dan pergi// Itulah Al-Faqid Zain yang pernah menerangi zaman/dan penunjuk hidayah// Sungguh ia adalah pelita bagi ilmu agama dan Al-Qur’an/serta seorang imam, jarang ada yang menyamainya// Khalifah (penerus) bagi para pendahulunya/ia berjalan pada atsar dan jejak langkah mereka//
Seorang ulama min ahlillah telah berpulang, akan tetapi ilmu dan akhlak Habib Zain bin Abdullah akan tetap terus terkenang. Ilmu dan ahlaknya senantiasa menjadi ibrah (tauladan) bagi orang-orang yang mengikuti jejaknya dalam berdakwah di mana pun.

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog