Bersyukur dan bersabar merupakan dua wazhîfah
(tugas) Mukmin dengan fungsi dan momen yang saling bertolak-belakang.
Sabar menjadi perisainya saat mengalami takdir yang tidak mengenakkan
bagi dirinya sehingga tetap sanggup teguh dan bertahan tanpa mencibir
takdir ketika pahitnya hidup menderanya.
Sedangkan, bersyukur, sebuah
ungkapan terima kasih dengan bahasa hati dan lisan serta perbuatan
kepada Allâh Ta'âla atas kebaikan dan segala nikmat yang tercurahkan.
Salah satu petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam
dalam mensyukuri nikmat-Nya, melakukan sujud syukur manakala memperoleh
kenikmatan yang tak biasa, atau selamat dari ancaman musibah yang
mengerikan. Dalam riwayat Abi Bakrah radhiyallâhu'anhu :
أَنَّ النَّبِــيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرٌ سُرَّ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا
Sesungguhnya Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam bila kedatangan perkara yang (sangat) menyenangkan, menunduk untuk bersujud
(Hadits Hasan)
(Hadits Hasan)
Nikmat Allâh Ta'âla bagi setiap manusia sangatlah banyak. Allâh Ta'âla berfirman:
Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh,
tidaklah dapat kamu menghinggakannya
(QS. Ibrâhîm/14:34)
tidaklah dapat kamu menghinggakannya
(QS. Ibrâhîm/14:34)
Nikmat bernafas, kesehatan, makan, minum, bisa buang
hajat merupakan contoh nikmat-nikmat yang sangat berharga. Bila
seseorang tidak terhalangi dari semua itu, ia akan binasa. Akan tetapi,
nikmat-nikmat itu bersifat mustamirrah (kontinyu). Jika
seseorang dianjurkan untuk selalu sujud dalam mensyukurinya, sudah tentu
waktunya akan habis untuk urusan sujud.[1]
Namun dari sekian kenikmatan yang diraih seorang hamba ada yang bersifat mutajaddidah,
sebuah nikmat yang sangat membahagiakan, tapi terjadi secara
insidental, tidak berulang terus-menerus. Misalnya, kelahiran anak,
melangsungkan pernikahan, promosi jabatan, datangnya anggota keluarga
yang sudah sekian lama hilang dan hal-hal lain yang sangat mendatangkan
kebahagiaan dan keceriaan. Disunnahkan bagi orang yang mendapatkannya
untuk bersujud sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allâh Ta'âla.
Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullâh
menerangkan tata cara pelaksanaannya. Beliau mengambil permisalan, jika
seseorang memperoleh anak, ia bersujud seperti dalam shalat dengan
membaca Subhâna Rabbiyal A’lâ (atau bacaan sujud lainnya), kemudian
bersyukur kepada Allâh Ta'âla atas pemberian nikmat itu dan memuji Allâh
Ta'âla dengan berkata (misalnya), “Ya Rabbi, aku bersyukur kepada- Mu
atas nikmat ini”.
Demikian juga bila terhindar dari musibah yang sudah
benar-benar mengancam jiwa raganya. Bentuk musibah banyak sekali.
Semisal, mengalami kecelakaan sampai mobil terguling-guling, namun jiwa
dan raganya selamat. Atas keselamatannya ini, seorang mukmin dianjurkan
juga untuk melakukan sujud syukur kepada Allâh Ta'âla yang telah
menyelamatkannya dari mara bahaya.
Generasi Salaf pun telah mempraktekkannya. Ketika
Ka’b bin Mâlik mendengar kabar Allâh Ta'âla menerima taubatnya, Sahabat
yang mulia ini langsung bersujud syukur. Begitu pula, tatkala Khalifah
Ali bin Abi Thalib menemukan jenazah Dzul Tsadyah, pentolan Khawarij,
beliau bersujud syukur.[2]
Dari sini, menjadi jelas dianjurkannya sujud syukur
saat mendapatkan anugerah besar dari Allâh Ta'âla atau selamat dari mara
bahaya. Inilah contoh nyata dan tuntunan dari Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam bersyukur yang mestinya dilakukan umat. Mari bersama-sama mengutamakan dan mengamalkan petunjuk Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam. Wallâhu a’lam.
[1] | Syarhu Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Muhammad al-‘Utsaimîn, 2/1350 | |
[2] | Lihat Bahjatun Nâzhirîn, Syaikh Salim al-Hilâli, 2/325 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar