Allah SWT berfirman (yang artinya): "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ada dua golongan orang yang akan Allah muliakan derajatnya beberapa tingkat. Pertama adalah orang beriman dan kedua adalah orang berilmu. Sebenarnya ayat ini saja sudah cukup untuk kita jadikan dalil dan alasan mengapa kita menuntut ilmu, disamping juga masih ada ayat-ayat lain maupun hadits-hadits Nabi yang menguatkannya.
Allah akan mengangkat derajat orang beriman dan berilmu, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Karena dalam ayat tersebut Allah tidak menjelaskan secara spesifik tentang dimana Dia akan mengangkat derajat mereka. Di duniakah? Atau di akhirat? Sehingga bisa kita mafhumi bahwa derajat dan kedudukan mereka akan ditinggikan di dunia dan akhirat.
Bagaimana ilmu bisa menjadi sarana untuk meningkatkan derajat kita?
Ilmu itu, jika bermanfaat, akan membimbing dan menghantarkan pemiliknya menuju tangga ma'rifatullah. Sebuah tujuan induk dari segala orientasi ilmu pengetahuan. Dengan begitu ia akan mengenal Tuhannya lebih dekat, mengetahui apa-apa yang menjadi kesenangan-Nya dan apa-apa yang dibenci-Nya. Ia akan semakin bersemangat untuk terus dekat dan mendekat kepada-Nya, dengan amalan-amalan ibadahnya. Dari sinilah kemudian muncul iman, taqwa, khouf (takut pada ancaman Allah) dan roja' (mengharap keridhoan Allah). Dan itu semua berawal dari ilmu.
Inilah titik akhir dari semua tujuan dipelajarinya ilmu pengetahuan. Menghantarkan manusia untuk mengenal Rabb-nya. Dengan begitu maka Allah akan memuliakannya. Dan jika ilmu yang diraih tidak bisa menghantarkannya menuju ma'rifatullah, maka ilmu itu sia-sia, tanpa guna, muspro, dan bahkan berbahaya.
Simaklah ungkapan seorang ulama' berikut ini: "Barangsiapa yang bertambah ilmu pengetahuannya namun tidak bertambah ketakwaannya, maka ia tidak bertambah dekat dengan Allah, bahkan malah bertambah jauh."
Dari sinilah kemudian kita bisa menyibak sebuah tabir hikmah dibalik makna firman Allah:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (QS. Fathir: 28)
Ayat tersebut memakai pola pengkhususan, yaitu dengan kata "innamaa". Sehingga mengisyaratkan makna yang kuat bahwasanya hanya orang-orang berilmu saja yang takut kepada Allah. Namun kembali lagi ke atas, bahwa orang berilmu disini adalah orang yang ilmunya membuatnya semakin mengenal Allah Ta'ala.
Kita semua tentu pernah mendengar nama Imam Malik, seorang ulama' besar abad kedua Hijriyah. Salah satu madzhab fiqih besar dan diakui oleh para ulama', madzhab Maliki, dinisbahkan penamaannya kepada nama beliau. Imam Malik lah yang menulis kitab hadits dengan tematikal fiqih. Kemudian kitab tersebut diminta oleh Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur untuk dijadikan sebagai kitab resmi fiqih di seluruh wilayah Islam hari itu, walaupun pada akhirnya hal itu tidak disetujui oleh Sang Imam.
Imam Malik ini adalah salah satu bukti nyata dimana Allah Ta'ala mengangkat derajat para ahli ilmu diatas hamba-hamba-Nya yang lain. Ia diposisikan sebagai imam besar di kota mulia, Madinah Munawaroh. Saking luasnya pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki, muncul sebuah ungkapan yang masyhur untuk Imam Malik.
"Tidak boleh ada yang berfatwa selama Malik ada di Madinah." Itu bunyi ungkapannya. Dan ini menunjukkan betapa besarnya kapasitas keilmuan seorang Imam Malik.
Banyak orang mencari kemuliaan, namun tak sedikit dari mereka yang justru memperoleh kehinaan. Itu karena jalan yang mereka tempuh salah. Mereka mencari kemulian dengan mencari jabatan. Atau mencari kemuliaan dengan tidak mau mencari ilmu yang dengannya ia bisa mengenal Tuhannya.
Padahal, dalam ilmu lah Allah meletakkan sumber kemuliaan itu. Sehingga ketika ahli ilmu itu memperoleh jabatan dalam hidupnya maka ia akan semakin mulia. Jika tidak, maka sudah sangat cukuplah derajat tinggi yang ditawarkan oleh Allah Ta'ala.
Ada dua golongan orang yang akan Allah muliakan derajatnya beberapa tingkat. Pertama adalah orang beriman dan kedua adalah orang berilmu. Sebenarnya ayat ini saja sudah cukup untuk kita jadikan dalil dan alasan mengapa kita menuntut ilmu, disamping juga masih ada ayat-ayat lain maupun hadits-hadits Nabi yang menguatkannya.
Allah akan mengangkat derajat orang beriman dan berilmu, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Karena dalam ayat tersebut Allah tidak menjelaskan secara spesifik tentang dimana Dia akan mengangkat derajat mereka. Di duniakah? Atau di akhirat? Sehingga bisa kita mafhumi bahwa derajat dan kedudukan mereka akan ditinggikan di dunia dan akhirat.
Bagaimana ilmu bisa menjadi sarana untuk meningkatkan derajat kita?
Ilmu itu, jika bermanfaat, akan membimbing dan menghantarkan pemiliknya menuju tangga ma'rifatullah. Sebuah tujuan induk dari segala orientasi ilmu pengetahuan. Dengan begitu ia akan mengenal Tuhannya lebih dekat, mengetahui apa-apa yang menjadi kesenangan-Nya dan apa-apa yang dibenci-Nya. Ia akan semakin bersemangat untuk terus dekat dan mendekat kepada-Nya, dengan amalan-amalan ibadahnya. Dari sinilah kemudian muncul iman, taqwa, khouf (takut pada ancaman Allah) dan roja' (mengharap keridhoan Allah). Dan itu semua berawal dari ilmu.
Inilah titik akhir dari semua tujuan dipelajarinya ilmu pengetahuan. Menghantarkan manusia untuk mengenal Rabb-nya. Dengan begitu maka Allah akan memuliakannya. Dan jika ilmu yang diraih tidak bisa menghantarkannya menuju ma'rifatullah, maka ilmu itu sia-sia, tanpa guna, muspro, dan bahkan berbahaya.
Simaklah ungkapan seorang ulama' berikut ini: "Barangsiapa yang bertambah ilmu pengetahuannya namun tidak bertambah ketakwaannya, maka ia tidak bertambah dekat dengan Allah, bahkan malah bertambah jauh."
Dari sinilah kemudian kita bisa menyibak sebuah tabir hikmah dibalik makna firman Allah:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama." (QS. Fathir: 28)
Ayat tersebut memakai pola pengkhususan, yaitu dengan kata "innamaa". Sehingga mengisyaratkan makna yang kuat bahwasanya hanya orang-orang berilmu saja yang takut kepada Allah. Namun kembali lagi ke atas, bahwa orang berilmu disini adalah orang yang ilmunya membuatnya semakin mengenal Allah Ta'ala.
Kita semua tentu pernah mendengar nama Imam Malik, seorang ulama' besar abad kedua Hijriyah. Salah satu madzhab fiqih besar dan diakui oleh para ulama', madzhab Maliki, dinisbahkan penamaannya kepada nama beliau. Imam Malik lah yang menulis kitab hadits dengan tematikal fiqih. Kemudian kitab tersebut diminta oleh Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur untuk dijadikan sebagai kitab resmi fiqih di seluruh wilayah Islam hari itu, walaupun pada akhirnya hal itu tidak disetujui oleh Sang Imam.
Imam Malik ini adalah salah satu bukti nyata dimana Allah Ta'ala mengangkat derajat para ahli ilmu diatas hamba-hamba-Nya yang lain. Ia diposisikan sebagai imam besar di kota mulia, Madinah Munawaroh. Saking luasnya pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki, muncul sebuah ungkapan yang masyhur untuk Imam Malik.
"Tidak boleh ada yang berfatwa selama Malik ada di Madinah." Itu bunyi ungkapannya. Dan ini menunjukkan betapa besarnya kapasitas keilmuan seorang Imam Malik.
Banyak orang mencari kemuliaan, namun tak sedikit dari mereka yang justru memperoleh kehinaan. Itu karena jalan yang mereka tempuh salah. Mereka mencari kemulian dengan mencari jabatan. Atau mencari kemuliaan dengan tidak mau mencari ilmu yang dengannya ia bisa mengenal Tuhannya.
Padahal, dalam ilmu lah Allah meletakkan sumber kemuliaan itu. Sehingga ketika ahli ilmu itu memperoleh jabatan dalam hidupnya maka ia akan semakin mulia. Jika tidak, maka sudah sangat cukuplah derajat tinggi yang ditawarkan oleh Allah Ta'ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar