Benarkah Nabi diutus di Makkah karena masyarakat di sana paling bejat?
Memang benar, seluruh dunia saat itu, termasuk negeri Arab, berada dalam kegelapan. Tetapi jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, keadaan mereka masih jauh lebih baik. Mereka punya banyak kelebihan yang tak dimiliki bangsa lain.
Sebagaimana kita tahu, pada masa Nabi terdapat dua adikuasa. Pertama, Persia, yang menyembah api dan menganut ajaran Mazdakiah, mengenai kebebasan seks, yang masih berbekas pada masyarakatnya, sehingga permaisuri pun harus menjadi milik bersama. Kedua, Romawi, yang Nasrani, yang juga masih dipengaruhi budaya Kaisar Nero, yang memperkosa ibunya sendiri dan membakar habis kotanya. Kedua adikuasa ini bersitegang memperebutkan wilayah Hijaz. Karenanya tidak mungkin Islam hadir di keduanya atau salah satunya.
Selain itu, Makkah (pusat Hijaz) adalah tempat bertemunya para kafilah Selatan dan Utara, Timur dan Barat. Penduduk Makkah juga melakukan "perjalanan musim dingin dan musim panas" ke daerah Romawi dan Persia. Ini akan memudahkan penyebaran pesan.
Memang, pertanyaan "Mengapa mesti Jazirah Arab yang dipilih sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW dan pertumbuhan Islam?" adalah pertanyaan yang sering kita dengar dan jawabannya sering kali sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini.
Orang yang wawasannya terbatas dan pemahamannya tidak cermat, termasuk sebagian orang yang sebenarnya punya bekal ilmu agama, sering mengatakan seperti berikut ini, "Karena masyarakat Arab pada waktu itu berada pada puncak kebejatan moral dan akhlaq, wajar jika pada akhirnya Allah pun menentukan Jazirah Arab sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW dan pertumbuhan Islam."
Apalagi bagi kita, bangsa Indonesia, yang akhir-akhir ini terkadang mengalami atau mendengar hal-hal negatif mengenai sikap dan perilaku sebagian orang Arab terhadap bangsa Indonesia yang menjadi TKW dan TKI di sana. Adanya kabar penyiksaan tenaga kerja Indonesia yang menjadi korban majikannya yang notabene orang Arab Saudi seolah semakin menguatkan pendapat itu.
Pernahkah kita memikirkan bahwa dari jawaban itu sesungguhnya lahir sebuah ketimpangan. Kita mengaku sangat mencintai Rasulullah SAW tapi di sisi lain kita membenci sebuah negeri tempat beliau pernah dilahirkan dan membenci bangsa tempat beliau berasal. Padahal, di antara konsekuensi mencintai Rasulullah SAW ialah mencintai kaum dan tempat Rasulullah SAW lahir, bukan dari segi individu dan jenisnya, tetapi dari segi hakikat semata. Ini karena hakikat Arab Quraisy telah mendapatkan kehormatan, sebab Rasulullah SAW menjadi bagian dari kabilah tersebut. Apalagi dalam hadits pun dikatakan bahwa kita harus mencintai Arab karena tiga hal: karena beliau orang Arab, karena AI-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, dan karena bahasa penghuni surga kelak adalah bahasa Arab.
Namun, apakah benar itu jawaban yang tepat tentang rahasia mengapa mesti Jazirah Arab yang dipilih sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW dan pertumbuhan Islam? Ulama besar abad ini asal Syiria, Dr. Said Ramadhan Al-Buthi, mencoba menyingkap hikmah itu melalui kitabnya, Fiqh As-Sirah.
Sebelum berbicara tentang Sirah Nabi dan tentang Jazirah Arab, tempat beliau lahir dan tumbuh dewasa, ia lebih dulu menjelaskan hikmah Ilahiyah yang menentukan diutusnya Rasulullah SAW di bagian dunia ini dan pertumbuhan dakwah Islam di tangan bangsa Arab sebelum bangsa lainnya. Dalam rangka menjelaskan hal ini, ia mengajak kita mengetahui karakteristik bangsa Arab dan tabiat mereka sebelum Islam. Juga menggambarkan letak geografis tempat mereka hidup dan posisi negerinya di antara negeri-negeri sekitarnya. la juga menggambarkan kebiasaan, tabiat, serta peradaban dan kebudayaan bangsabangsa lain pada waktu itu, seperti Persia, Romawi, Yunani, dan India.
Persia, Romawi, Yunani, India
Pada waktu itu dunia dikuasai oleh dua negara adidaya, Persia dan Romawi. Dunia terbagi menjadi dua belahan yang mereka kuasai. Kemudian menyusul India dan Yunani.
Persia adalah ladang subur berbagai khayalan (khurafat) keagamaan dan filsafat yang saling bertentangan. Di antaranya adalah Zoroaster, yang dianut oleh kaum penguasa. Di antara falsafahnya adalah menganggap utama perkawinan seseorang dengan ibunya, anak perempuannya, atau saudara perempuannya. Sehingga Yazdajird II, yang memerintah pada pertengahan abad kelima Masehi, mengawini anak perempuannya. Belum lagi penyimpangan-penyimpangan akhlaq yang beraneka ragam lainnya.
Di Persia juga terdapat ajaran Mazdakiah, yang menurut Imam Syahrustani dalam kitabnya, Al-Mihal wa An-Nihal, didasarkan filsafat lain, yaitu menghalalkan wanita secara bebas, membolehkan pemilikan harta kepunyaan orang lain secara zhalim, dan menjadikan manusia sebagai serikat seperti perserikatan mereka dalam masalah air, api, dan rumput. Artinya, jika air, api, dan rumput menjadi milik bersama yang berhak digunakan dan dinikmati siapa saja, manusia pun demikian pula. Manusia-manusia yang lemah dapat digunakan oleh siapa saja yang lebih kuat tanpa ada aturan sama sekali. Ajaran ini memperoleh sambutan luas dari kaum pengumbar hawa nafsu.
Bagaimana dengan bangsa Romawi? Bangsa ini pun tidak kalah rusaknya. Negerinya telah dikuasai sepenuhnya oleh semangat penjajahan. Terdapat pertentangan agama antara negeri ini dengan Nasrani Syam dan Mesir. Romawi mengandalkan kekuatan militer dan ambisi kolonialnya dalam melakukan petualangan yang naif demi mengembangkan agama Kristen dan mempermainkannya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya yang serakah. Negara ini pada waktu yang sama tak kalah bejatnya dari Persia. Kehidupan nista, kebejatan moral, dan pemerasan ekonomi telah menyebar ke seluruh penjuru negeri akibat melimpahnya penghasilan dan menumpuknya pajak.
Keadaan Yunani tak lebih baik. Negeri ini juga tenggelam dalam lautan khurafat dan mitos-mitos yang tidak pernah memberikan manfaat. Demikian pula dengan India, sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Abul Hasan An-Nadwi, telah disepakati oleh para penulis sejarahnya bahwa negeri ini saat itu sedang berada pada puncak kebejatan dari segi agama, akhlaq, ataupun sosial. Masa tersebut bermula sejak awal abad keenam Masehi. India bersama negara-negara tetangganya memiliki andil dalam kemerosotan moral dan sosial.
Di samping itu harus diketahui bahwa ada satu hal yang menjadi sebab utama terjadinya kemerosotan, keguncangan, dan kenestapaan pada umat-umat tersebut, yaitu peradaban dan kebudayaan yang didasarkan pada nilai-nilai materialistis semata, tanpa ada nilai-nilai moral yang mengarahkan peradaban dan kebudayaan tersebut ke jalan yang benar. Sedangkan peradaban dalam segala bentuk dan penampilannya tidak lain hanyalah sarana dan penyebab.
Jika pemegang sarana dan penyebab itu tidak memiliki pemikiran dan nilainilai moral yang benar, peradaban yang ada di tangan mereka akan berubah menjadi perantara untuk jatuh ke lembah kesengsaraan dan kehancuran. Tetapi jika pemegangnya memiliki pemikiran yang benar, yang hanya bisa diperoleh melalui wahyu Ilahi, semua nilai peradaban dan kebudayaan itu akan menjadi sarana yang baik bagi kebudayaan yang melahirkan kebahagiaan dengan rahmat di segala bidang.
Jazirah Arab
Sementara itu, masyarakat di Jazirah Arab hidup dengan tenang, jauh dari bentuk keguncangan tersebut. Mereka tidak memiliki kemewahan dan peradaban Persia, yang memungkinkan mereka kreatif dan pandai menciptakan kemerosotankemerosotan, filsafat keserbabolehan dan kebejatan moral yang dikemas dalam bentuk agama. Mereka juga tidak memiliki kekuatan militer seperti Romawi, yang mendorong mereka melakukan ekspansi ke negara-negara tetangga. Mereka tidak memiliki filosofi dan dialektika Yunani, yang menjerat mereka menjadi bangsa mithos dan khurafat.
Karakteristik mereka seperti bahan baku yang belum diolah dengan bahan lain, masih menampakkan fitrah kemanusiaan dan kecenderungan yang sehat dan kuat, serta cenderung kepada kemanusiaan yang mulia, seperti setia, penolong, dermawan, dan sifat-sifat kesucian lainnya.
Jadi, kalau sebelumnya kita mengatakan bahwa Jazirah Arab yang dipilih sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW dan pertumbuhan Islam karena masyarakat Arab pada waktu itu, masa Jahiliyyah, berada pada puncak kebejatan moral dan akhlaq, sekarang kita tahu bahwa itu tidaklah benar. Karena, kalaupun dikatakan bahwa Jazirah Arab ketika itu sangat marak akan perzinaan, misalnya, bentuk perzinaan tersebut tidak sebejat bentuk perzinaan yang telah dipraktekkan oleh bangsa Persia, misalnya, yang seorang ayah boleh menzinai anak perempuannya sendiri. Atau seorang anak laki-laki boleh menzinai saudara perempuannya, bahkan ibunya.
Dan kalaupun dikatakan bahwa di Jazirah Arab ketika itu banyak terjadi peperangan, perang yang mereka lakukan adalah demi menjaga kehormatan dan harga diri kabilahnya. Bukan untuk menjajah atau mengambil hak orang lain, sebagaimana peperangan yang dikibarkan oleh Romawi kepada bangsa-bangsa lain di sekitarnya.
Maka, kalau puncak kebobrokan moral dan akhlaq suatu bangsa dijadikan sebagai tolok ukur penetapan tempat kelahiran Rasulullah SAW dan agama yang dibawanya, Persia atau Romawi tentu lebih pantas untuk itu.
Jika telah kita ketahui kondisi bangsa Arab di Jazirah Arab sebelum Islam dan kondisi umat-umat lain di sekitarnya, dengan mudah kita dapat menjelaskan hikmah Ilahiyah yang telah menentukan Jazirah Arab sebagai tempat kelahiran Rasulullah SAW dan kerasulannya dan mengapa bangsa Arab ditunjuk sebagai generasi perintis yang membawa cahaya dakwah kepada dunia menuju Islam, yang memerintahkan seluruh manusia di dunia ini agar menyembah Allah semata.
Jadi bukan seperti bangsa-bangsa lain yang, karena memiliki agama bathil dan peradaban palsu, sulit diluruskan dan diarahkan oleh sebab kebanggaan mereka terhadap kerusakan yang mereka lakukan dan anggapan mereka sebagai sesuatu yang benar. Sedangkan orang-orang yang masih hidup di masa pencarian, mereka tidak akan mengingkari kebodohan dan tidak akan membanggakan suatu peradaban dan kebudayaan karena tidak memilikinya.
Jika Allah menghendaki terbitnya dakwah Islam ini dari suatu tempat, yaitu Persia, Romawi, atau India, niscaya untuk keberhasilan dakwah ini Allah SWT mempersiapkan berbagai sarana di negeri tersebut, sebagaimana Dia mempersiapkan sarana di Jazirah Arab. Dan Allah tidak akan pernah kesulitan untuk melakukannya, karena Dia Pencipta segala sesuatu, Pencipta segala sarana, termasuk sebab.
Tetapi hikmah pilihan ini sama dengan hikmah dijadikannya Rasululah SAW seorang ummi, tidak menulis dan tidak pula membaca, agar manusia tidak ragu terhadap kenabiannya, dan agar mereka tidak memiliki banyak sebab keraguan terhadap dakwahnya. Adalah termasuk kesempurnaan hikmah Ilahiyah jika bi'ah (lingkungan) tempat diutusnya Rasulullah dijadikan juga sebagai bi ah ummiyah (lingkungan yang ummi), bila dibandingkan dengan umat-umat lainnya yang ada di sekitarnya, yakni tidak terjangkau sama sekali oleh peradabanperadaban tetangganya.
Demikian pula sistem pemikirannya, tidak tersentuh sama sekali oleh filsafatfilsafat membingungkan yang ada di sekitarnya. Akan timbul keraguan di dada manusia apabila mereka melihat Nabi SAW pandai membaca dan menulis dan pandai bergaul dengan kitab-kitab, sejarah umat-umat terdahulu, dan semua peradaban negara-negara sekitamya.
Dan dikhawatirkan pula akan timbul keraguan di dada manusia manakala melihat munculnya dakwah Islamiyah di antara umat-umat yang memiliki peradaban budaya dan sejarah seperti Persia, Yunani, ataupun Romawi. Sebab orang yang ragu dan menolak mungkin akan menuduh dakwah Islam sebagai mata rantai pengalaman budaya dan pemikiran-pemikiran filosof yang akhirnya melahirkan peradaban yang unik dan perundang-undangan yang sempurna.
Al-Qur'an telah menjelaskan hikmah ini dengan ungkapan yang jelas dalam firman-Nya yang artinya, "Dialah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mereka diajar akan kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS AI-Jumu`ah: 2).
Allah telah menghendaki Rasul-Nya seorang yang ummi, dan kaum tempat Rasul diutus juga kaum yang secara umum ummi, agar mukjizat kenabian dan syari'at Islamiyah menjadi jelas dalam jalan pikiran, tidak ada penghamburan antara dakwah Islam dan dakwah-dakwah manusia yang bermacam-macam. Ini, sebagaimana tampak jelas, merupakan rahmat yang besar bagi hambaNya.
Ya, turunnya Islam di negeri Arab memang bukan kebetulan. Ada sekian banyak skenario samawi yang akhir-akhir ini mulai terkuak. Meski tandus, tidak ada pohon dan air, misalnya, negeri ini menyimpan banyak alasan untuk mendapatkan kehormatan itu. Beberapa di antaranya yang bisa kita gali adalah:
Rumah Ibadah Pertama
Pertama, di Jazirah Arab terdapat rumah ibadah pertama. Tanah Syam (Palestina) merupakan negeri para nabi dan rasul. Hampir semua nabi yang pernah diutus ada di tanah itu. Sehingga hampir semua agama dilahirkan di tanah ini. Yahudi dan Nasrani adalah dua agama besar dalam sejarah manusia yang dilahirkan di negeri Syam.
Namun sesungguhnya rumah ibadah pertama di muka bumi justru tidak di Syam, melainkan di Jazirah Arab. Rumah Allah (Baitullah) dibangun pertama kali di tengah gurun pasir Jazirah Arab. Rumah ibadah pertama itu menurut riwayat dibangun jauh sebelum adanya peradaban manusia. Adalah para malaikat yang turun ke muka bumi atas izin Allah untuk membangunnya. Lalu mereka bertawaf di sekeliling Ka'bah itu sebagai upaya pertama menjadikan rumah itu sebagai pusat peribadatan umat manusia hingga hari Kiamat menjelang.
Ketika Adam AS diturunkan ke muka bumi, beliau diturunkan di negeri yang sekarang dikenal sebagai India. Sedangkan istrinya diturunkan di dekat Ka'bah. Lalu atas izin Allah keduanya dipertemukan di Jabal Rahmah, beberapa kilometer dari tempat dibangunnya Ka'bah. Maka jadilah wilayah sekitar Ka'bah itu sebagai tempat tinggal mereka dan Ka'bah sebagai tempat pusat peribadahan umat manusia. Dan di situlah seluruh umat manusia berasal dan di tempat itu pula manusia sejak dini sudah mengenal sebuah rumah ibadah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya, "Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk manusia beribadah adalah rumah yang di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi manusia. (QS Ali Imran: 96). •
Posisi Strategis
Kedua, Jazirah Arab adalah wilayah yang memiliki posisi strategis. Bila kita cermati peta dunia, kita akan mendapati adanya banyak benua yang menjadi titik pusat peradaban manusia. Dan Jazirah Arab terletak di antara tiga benua besar yang sepanjang sejarah menjadi pusat peradaban manusia.
Sejak masa Rasulullah SAW, posisi Jazirah Arab adalah posisi yang strategis dan tepat berada di tengah-tengah berbagai pusat peradaban dunia. Bahkan di masa itu, bangsa Arab mengenal dua jenis mata uang sekaligus, yaitu dinar dan dirham. Dinar adalah jenis mata uang emas yang berlaku di Barat, yaitu Romawi dan Yunani, sedang dirham adalah mata uang perak yang dikenal di negeri Timur, seperti Persia. Dalam literatur fiqih Islam, baik dinar maupun dirham sama-sama diakui dan digunakan sebagai mata uang yang berlaku.
Ini menunjukkan, Jazirah Arab punya akses yang mudah, baik ke Barat maupun ke Timur. Bahkan juga ke Utara maupun ke Selatan, yaitu Syam di Utara dan Yaman di Selatan. Dengan demikian, ketika Muhammad SAW diangkat menjadi nabi dan diperintahkan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, beliau sangat terbantu dengan posisi Jazirah Arab, yang memang sangat strategis dan tepat berada pada pertemuan semua peradaban.
Coba bayangkan bila Islam diturunkan di wilayah-wilayah yang sangat jauh dari berbagai belahan dunia yang lain, seperti Kutub Utara, misalnya, yang sangat dingin itu. Tentu akan sangat lambat sekali dikenal di berbagai peradaban dunia. Juga tidak bisa kita bayangkan bila Islam diturunkan di daerah-daerah terpencil di Afrika, misalnya, atau di benuabenua lain yang jauh dari peradaban manusia. Tentu Islam hingga hari ini masih mengalami kendala dalam penyebaran.
Jazirah Arab memiliki akses jalan darat dan laut yang sama-sama bermanfaat yang membuat para dai Islam bisa menelusuri kedua jalur itu dengan mudah. Sehingga di abad pertama Hijriyyah sekalipun, Islam sudah masuk ke berbagai pusat peradaban dunia. Bahkan menurut Hamka, berdasarkan sumber-sumber sejarah non-Barat, di abad itu Islam sudah sampal ke negeri Nusantara ini.
Akhlaq Mulia
Ketiga, kesucian bangsa Arab. Stigma yang selama ini terbentuk di benak tiap orang adalah bahwa orang Arab di masa Rasulullah SAW itu Jahiliyyah.
Keterbelakangan teknologi dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai contoh untuk menjelaskan makna Jahiliyyah. Padahal yang dimaksud dengan Jahiliyyah sesungguhnya bukan ketertinggalan teknologi, juga bukan kesederhanaan kehidupan suatu bangsa. Jahiliyyah dalam pandangan Al-Qur'an adalah lawan dari Islam. Maka hukum Jahiliyyah adalah lawan dari hukum Islam. Semangat Jahiliyyah adalah lawan dari semangat Islam.
Bangsa Arab saat itu memang sedikit terbelakang secara teknologi dibandingkan peradaban lainnya. Mereka hidup di gurun pasir yang masih murni dengan menghirup udara segar. Maka berbeda dengan moralitas bangsa lain yang sudah semakin terkotori oleh budaya kota, bangsa Arab hidup dengan kemurnian nilai kemanusiaan yang masih asli. Maka sifat jujur, amanah, saling menghormati, dan adil adalah ciri mendasar watak bangsa yang hidup dekat dengan alam ini. Sesuatu yang telah sulit didapat dari bangsa lain yang hidup di tengah hiruk pikuk kota.
Sebagai contoh mudah, bangsa Arab punya akhlaq mulia sebagai penerima tamu. Pelayanan kepada seorang tamu, yang meski belum dikenal, merupakan bagian dari harga diri seorang Arab sejati. Pantang bagi mereka menyia-nyiakan tamu yang datang. Kalau perlu semua persediaan makan yang mereka miliki pun diberikan kepada tamu. Pantang pula bagi bangsa Arab menolak permintaan orang yang kesusahan.
Ketika bangsa lain mengalami degradasi moral seperti minum khamar dan menyembah berhala, bangsa Arab hanyalah menjadi korban interaksi dengan mereka. Ya, 360 berhala yang ada di sekeiiling Ka'bah tidak lain karena pengaruh interaksi mereka dengan peradaban lain yang amat menggemari patung. Bahkan sebuah berhala yang paling besar, yaitu Hubal, tidak lain merupakan sebuah patung yang didatangkan oleh bangsa Arab dari peradaban luar. Maka budaya paganisme yang ada di Arab tidak lain hanyalah pengaruh buruk yang diterima sebagai imbas dari pergaulan mereka dengan budaya Romawi dan Yunani.
Sifat jujur, amanah, terbuka, dan menghormati sesama merupakan akhlaq dan watak dasar yang tidak bisa hilang begitu saja. Dan watak dasar seperti ini dibutuhkan untuk seorang dai, apalagi generasi dai pertama. Mereka tidak pernah merasa perlu untuk memutar balik ayat Allah, sebagaimana Yahudi dan Nasrani melakukannya. Sebab mereka punya nurani yang sangat bersih dari noda kotor. Yang mereka lakukan adalah taat, tunduk, dan patuh kepada apa yang Allah perintahkan.
Begitu cahaya iman masuk ke dalam dada yang masih bersih dan suci, sinar itu membentuk proyeksi iman dan amal yang luar biasa. Berbeda dengan bani Israil, yang dadanya sesak dengan noda Jahiliyyah, sehingga ayat-ayat yang turun selalu mereka tolak dan para nabi yang diutus selalu mereka dustai. Bangsa Arab tidak melakukan hal itu saat iman sudah masuk ke dalam dada. Hanya bangsa yang hatinya masih bersih yang mampu menjadi tiang pancang peradaban manusia dan titik tolak penyebar agama terakhir ke seluruh penjuru dunia.
Bahasa Terkaya
Keempat, faktor bahasa. Sudah menjadi ketetapan Allah SWT untuk mengirim nabi dengan bahasa umatnya, agar tidak terjadi kesalahan dalam komunikasi antara nabi dan umatnya. Namun ketika semua nabi telah terutus untuk masing-masing umat manusia, Allah menetapkan adanya nabi terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia. Dan kelebihannya adalah bahwa risalah yang dibawa nabi tersebut akan tetap abadi hingga selesainya kehidupan di muka bumi ini.
Untuk itu diperlukan sebuah bahasa khusus yang bisa menampung informasi risalah secara abadi. Sebab para pengamat sejarah bahasa sepakat bahwa tiap bahasa itu punya masa keberadaan yang terbatas. Lewat dari masanya, bahasa itu akan tidak lagi dikenal orang atau bahkan hilang dari sejarah sama sekali.
Tidak usah jauh-jauh untuk memahami hal ini. Perhatikan saja bahasa kita, bahasa Indonesia. Coba Anda bandingkan bahasa Indonesia yang sekarang kita gunakan dan yang kita baca dalam berbagai tulisan di buku-buku maupun media yang lain saat ini dengan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu lima puluh tahun yang lalu, apalagi seratus tahun yang lalu. Berbeda sekali. Bisa dibayangkan bagaimana bahasa Indonesia beberapa ratus tahun yang lalu. Pasti sangat sulit kita pahami meskipun tentu masih ada bagian-bagian yang bisa kita mengerti.
Maka harus ada sebuah bahasa yang bersifat abadi dan tetap digunakan oleh sejumlah besar umat manusia sepanjang masa. Bahasa itu ternyata menurut pakar bahasa adalah bahasa Arab, sebagai satu-satunya bahasa yang pernah ada di muka bumi yang sudah berusia ribuan tahun dan hingga hari ini masih digunakan oleh sejumlah besar umat manusia.
Bukan hanya digunakan, tetapi maknanya juga tetap sama. Cobalah Anda perhatikan, AI-Qur'an yang diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu, maknanya secara umum dan segi bahasa tetap dapat dipahami oleh orang yang mengerti bahasa Arab di masa sekarang sebagaimana ia dimengerti oleh orang-orang di masa lalu hingga orang-orang yang hidup di masa awal Islam. Tentu saja untuk memahami makna yang sebenarnya ayat-ayat Al-Qur'an tidak mudah, dibutuhkan berbagai ilmu untuk itu. Namun ini tak terkait dengan masa. Orang-orang sekarang maupun orang-orang di masa lalu membutuhkan banyak bekal ilmu untuk bisa memahami makna ayat-ayat AI-Qur'an dengan benar, tidak cukup hanya ilmu bahasa Arab. Tetapi, sekali lagi, itu tidak terkait dengan waktu.
Itulah rahasia mengapa Islam diturunkan di Arab dengan seorang nabi yang berbicara dalam bahasa Arab. Sejak zaman Nabi Ibrahim AS bahasa itu sudah digunakan. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa bahasa Arab adalah bahasa umat manusia yang pertama.
Sebagai bahasa yang tertua di dunia, wajarlah bila bahasa Arab memiliki jumlah kosakata yang paling besar. Para ahli bahasa pernah mengadakan penelitian yang menyebutkan bahwa bahasa Arab memiliki sinonim yang paling banyak dalam penyebutan nama-nama benda. Misalnya untuk seekor unta, orang Arab punya sekitar 800 kata yang identik dengan unta. Untuk kata yang identik dengan anjing, ada sekitar 100 kata. Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa'Arab dalam hal kekayaan perbendaharaannya. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaikan dan Al-Qur'an diturunkan.
Tanpa Kemajuan Materiil
Kelima, Arab adalah negeri tanpa kemajuan materiil sebelumnya. Seandainya sebelum turunnya Nabi Muhammad SAW bangsa Arab sudah maju dari sisi peradaban materi, bisa jadi orang akan menganggap bahwa Islam hanyalah berfungsi pada sisi moral. Orang akan beranggapan bahwa peradaban Islam hanya peradaban spiritualis, yang hanya mengacu pada sisi ruhaniyah seseorang.
Islam diturunkan di Jazirah Arab, yang tidak punya peradaban materi, lalu tiba-tiba berhasil membangun peradaban materi di seluruh dunia, maka tahulah orang-orang bahwa Islam itu bukanlah ajaran yang bersifat parsial, yang sepotong-sepotong belaka. Mereka yakin bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang multidimensi. Ajaran Islam mengandung masalah materi dan ruhani.
Ketika sisi aqidah dan fikrah (pemikiran) bangsa Arab sudah tertanam dengan Islam, ajaran Islam kemudian mengajak mereka membangun peradaban materi yang menakjubkan dalam catatan sejarah manusia. Pusat-pusat peradaban dibangun bangsa-bangsa yang masuk Islam dan menjadikan peradaban mereka semakin maju.
Logikanya, bila di tanah gersang padang pasir itu bisa dibangun peradaban besar dengan berbekal ajaran Islam, tentu membangun peradaban yang sudah ada bukan hal sulit. Karena itulah, di negeri-negeri Islam yang peradaban sebelumnya sudah maju, seperti Mesir, Persia, dan India, kehadiran Islam semakin memajukan peradaban mereka. Mengapa? Karena, Islam tetap mempertahankan milik mereka yang baik dan hanya menghapuskan yang tidak baik.
Sama seperti yang terjadi di Jazirah Arab. Yang dihapus adalah hal-hal yang buruk saja, seperti aqidah yang salah dan kebiasaan-kebiasaan yang keliru. Sedangkan sifat-sifat mereka yang baik, seperti setia, jujur, amanah, saling menghormati, memuliakan tamu, dan sebagainya, tetap dipelihara, bahkan diperkuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar