Penegakan nilai-nilai Islam di muka bumi ini sejak awal telah membawa semangat egaliter.
Memasuki bulan April, gaung emansipasi kembali terasa. Bulan yang telah menjadi saksi lahirnya seorang tokoh perubahan wanita pribumi bernama R.A. Kartini. Masyarakat Indonesia memperingati hari kelahirannya, 21 April, sebagai Hari Kartini.
Berbagai karnaval, diskusi, seminar,
talkshow hingga sarasehan begitu semarak. Baik sekadar untuk memperingati dan mengenang perjuangan R.A. Kartini, maupun demi mencetak Kartini-Kartini masa kini.
Kartini adalah potret pejuang gerakan emansipasi sejati, demi peradaban bangsa yang ramah terhadap wanita. Namun demikian, Kartini sejatinya bukan pejuang emansipasi semata, tetapi pada saat yang sama ia juga pejuang gerakan reformasi pemikiran dan pendidikan. Dengan kegelisahannya yang memilukan ia bergulat dan mencoba keluar dari pikiran dan tradisi feodal serta kungkungan budaya patriarki di sekitarnya.
Potret ini tentu sebuah loncatan baru bagi Kartini, agar masyarakat mampu menjadi kelas-kelas terdidik.
Upaya reformasi peradaban itu dilakukan Kartini dengan cara yang cerdas. Ia, yang tidak bisa bersekolah formal, dengan cerdik melakukannya secara otodidak.
Sayangnya, menurut ulama perempuan terkemuka sekaligus guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta (dahulu IAIN), Prof. Dr. Huzaimah Tahido Yanggo, M.A., Indonesia hanya mengenal satu sosok wanita berjasa, R.A. Kartini. Ia meyakini, banyak perempuan-perempuan perkasa lainnya yang tidak terekspos media. Ada Cut Nyak Dhien, misalnya, walaupun pola gerakannya berbeda, dan lain-lain.
Bahkan jauh sebelum mereka, sekitar 14 abad silam, di Tanah Arab, Nabi Muhammad SAW telah membicarakan emansipasi dan kesataraan bagi wanita.
Pengakuan Islam terhadap wanita begitu besar. Dengan tegas Prof. Huzaimah, yang juga mantan ketua Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri Jakarta, menegaskan, Islam tidak membedakan perempuan dengan laki-laki berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasarkan kualitas ketaqwaan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Al-Hujurat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Rasulullah Tokoh Pembebasan Wanita
Pengakuan Islam terhadap wanita juga tertulis begitu indah dalam surah Al-Ahzab ayat 35.
Ayat ini lahir dilatarbelakangi pertanyaan kritis Ummul Mu’minin, Ummu Salamah, kepada Baginda Nabi Muhammad SAW seputar posisi kaumnya dalam Islam.
Alkisah, suatu ketika Ummu Salamah, yang tak lain istri Rasulullah, menghampiri Baginda Nabi dan bertanya, “Kami telah menyatakan beriman kepada Islam, dan melakukan hal-hal sebagaimana engkau lakukan. Jadi mengapa hanya kalian, laki-laki, yang disebut dalam Al-Qur’an, sementara perempuan tidak?”
Tidak lama kemudian, ketika berkhutbah di atas mimbar, Rasulullah mengatakan bahwa Islam memandang laki-laki dan perempuan sebagai makhluk mulia, tidak ada superioritas antara satu dan yang lainnya. Allah SWT juga menyebutkan perempuan berdampingan dengan laki-laki dalam setiap wahyu-Nya. Keduanya akan mendapatkan pahala yang sama di sisi Allah SWT sesuai dengan yang diusahakannya. “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Maka sejak itu sebutan untuk kaum muslimin secara umum dalam Al-Qur’an berubah menjadi
muslimin wal muslimah. Dan perlakuan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW terhadap kaum wanita pada masa itu sungguh berbeda dengan perlakuan masyarakat Arab pra-Islam.
Semula perempuan dianggap mahluk Tuhan yang hina, bahkan dalam strata sosial derajat perempuan menempati urutan paling bawah sekaligus tidak bisa mendapatkan pendidikan selayaknya kaum Adam. Sangat terbelakang. Begitu banyak kisah ratusan bayi perempuan masa Jahiliyyah yang dikubur hidup-hidup karena dianggap telah menjadi aib.
Kedatangan Islam mendobrak segalannya. Nabi memperlakukan wanita sebagai mitra pria yang sejajar, saling mendukung, bukan sebagai budak, yang hanya melayani. Rasulullah menggambarkan wanita sebagai sosok yang aktif, sopan, dan terpelihara akhlaqnya. Maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah tokoh pembebasan wanita pertama, pelopor emansipasi.
Aisyah RA
Di masa Rasulullah, banyak sahabat perempuan yang aktif berdiskusi di masjid, menguasai tafsir dan ta’wil Al-Qur’an, serta meriwayatkan ribuan hadits. Mereka mampu menjadi ahli agama sebagaimana sahabat laki-laki pada umumnya.
Pada zamannya, Aisyah RA, yang memiliki julukan “Humairah” (Yang Pipinya Kemerah-merahan), dikenal sebagai wanita yang sangat cerdas sejak muda. Begitu cerdasnya, hingga Rasulullah sendiri memberikan kepercayaan kepadanya untuk memberikan jawaban atas sebagian masalah umat. Tidak kurang dari 1.210 hadits Nabi yang telah diriwayatkan oleh Aisyah RA, dan sekitar 300 di antaranya telah diriwayatkan kembali secara bersama oleh ahli hadits Al-Bukhari dan Muslim.
Aisyah RA bisa dikatakan sebagai representasi ulama perempuan di masa itu. Ia dikenal sebagai wanita yang memiliki pengetahuan luas dalam bidang hadits, fiqih, sejarah, tafsir, dan astronomi. Aisyah RA, yang juga diberi gelar “Ummu Al-Mu’minin” (Ibu Orang-orang Beriman), telah banyak menyerap langsung ilmu dari Rasulullah. Tidak aneh jika kemudian ia menjadi tempat bertanya bagi banyak sahabat dan menjadi guru para tabi’in.
Pada masa Nabi Muhammad SAW posisi wanita justru mengalami mobilitas vertikal. Gerak mereka dan kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang keulamaan atau keilmuan, terbuka luas. Sumbangan mereka bahkan sangat signifikan dalam upaya transformasi masyarakat ke arah yang lebih egaliter.
Wanita memiliki peran dan kewajiban yang sama dengan pria, termasuk yang berkaitan dengan urusan publik, namun tetap sejalan dengan Al-Qur’an dan sunnah. Istri Baginda Nabi, ada yang terlibat dalam peperangan dan urusan kenegaraan. Itu karena ajaran Islam dijalankan secara konsekuen berdasarkan pesan Al-Qur’an.
Mengenai pendidikan, Nabi Muhammad tidak pernah membuat garis perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Seperti yang pernah diucapkannya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibn Majah, Al-Baihaqi, dan Ibn Abd Al-Barr, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.”
Menurut Prof. Huzaimah, sebagian besar ulama menafsirkan, kata “muslim” mencakup lelaki dan perempuan. Sehingga menuntut ilmu itu wajib bagi keduanya. Dalam riwayat lain, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah”.
Pendidikan membuat wanita di masa Rasulullah menjadi bagian dari sebuah masyarakat yang kritis dan cerdas.
Rabi’ah Al-Adawiyyah
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, wanita juga tidak hanya menjadi mufasir atau muhadist, tetapi juga menjadi pakar dan pengawal tasawwuf. Prototipe sufi perempuan tentu saja Rabi’ah Al-Adawiyyah (100-180 H/ 718-796 M). Banyak sumber meriwayatkan, keilmuan dan kesufian Rabi’ah melampaui kolega laki-laki.
Cinta yang dalam kepada Allah SWT membuat Rabi’ah tidak menikah. “Bagaimana mungkin aku mampu menjadi seorang istri mendampingi suami di ranjang sedangkan waktu malam aku habiskan untuk melaksanakan shalat dan waktu siang untuk berpuasa? Bukankah sikapku akan berubah apabila aku menikah, dari bebas melakukan ibadah berubah menjadi tidak bebas untuk beribadah?”
Rabi’ah tegas menolak setiap lelaki yang datang, termasuk pinangan Raja kota Bashrah, Muhammad Bin Sulaiman Al-Hasyimi. Padahal, apabila menerimanya, mungkin ia akan hidup bergelimang harta dan berstatus sebagai permaisuri. Nyatanya, Rabi’ah bukanlah wanita materialistis yang mendamba materi. Ia seorang sufi perempuan yang begitu mencintai Ilahi.
Pendiriannya tidak main-main, ia juga menolak pinangan dari Abdul Wahid bin Zaid, murid Hasan Al-Basri, ulama yang sangat terkenal dengan kezuhudannya, melalui utusannya.
Abdul Wahid, ulama besar di Bashrah, sering datang ke majelis dzikir dan ta’lim yang diselenggarakan Rabi’ah, sekaligus menjadi teman diskusinya. Ia menyangka, Rabi’ah akan bersedia menikah dengannya.
Namun reaksi Rabi’ah ternyata di luar dugaan. Mengetahui hal itu denyut jantung Rabi’ah berdebar semakin kencang. Kedua matanya seakan-akan menyala menahan amarah. Tiba-tiba Rabi’ah memandang Abdul Wahid ibarat mayat hidup tak bernyawa. “Sebagai seorang murid setia ulama besar Hasan Al-Basri tidak selayaknya engkau mempunyai pikiran tentang pernikahan itu. Apakah Abdul Wahid telah melupakan apa yang telah diajarkan oleh gurunya? Katakanlah kepada Abdul Wahid bahwa mulai hari ini aku tidak bersedia lagi bertemu dengannya.”
Hanya Hasan Al-Basri yang memahami pendirian Rabi’ah, yang juga terkenal sebagai pendidik hidupnya ini. Walaupun demikian, ia tetap mengajukan pertanyaan mengapa Rabi’ah urung menikah.
Jawabannya sederhana namun begitu indah, “Nikah itu sangat penting bagi orang yang mempunyai pilihan. Sedangkan aku tidak mempunyai pilihan. Aku sudah bernadzar dan mengambil keputusan untuk menghabiskan waktuku untuk beribadah kepada Allah SWT. Aku telah memutuskan hidup di bawah perintah-Nya.”
Demikianlah Rabiah menghabiskan 80 tahun masa hidupnya di dunia dengan menjauhi hal duniawi dan hanya merindukan saat-saat bertemu Rabb-nya.
Selain mereka, ada juga Sayyidah Nafisah binti Hasan Al-Anwar bin Zaid bin Hasan bin Ali dan Sayyidah Fathima Az-Zahra, putri Rasululullah SAW (145 H-208 H/ 762-823 M).
Sayyidah Nafisah terkenal sebagai seorang yang zuhud, rajin beribadah, baik yang wajib maupun yang sunnah. Wanita yang telah hafal Al-Qur’an sejak usia muda ini menguasai ilmu hadist dan tafsir. Bahkan cicit Rasulullah ini pernah menjadi guru ulama terkenal Imam Syafi’i ketika mengikuti halaqah di kota Fustat, Mesir. Imam Syafi’i dan banyak ulama lain hampir setiap hari datang ke rumahnya untuk mengaji kepadanya.
Dalam catatan riwayat hidup ulama laki-laki yang terkenal seperti Imam Syafi’i, tidak jarang terdapat keterangan tentang guru-guru perempuan mereka. “Tidak terdapat tanda-tanda bahwa mereka segan atau malu belajar kepada pakar-pakar perempuan tersebut.”
Kembali ke pra-Islam
Sayangnya, beberapa abad sepeninggal Rasulullah, posisi sosial wanita, yang semula membaik, kembali mengalami krisis. Tidak hanya kualitas, namun juga kuantitas. Bukannya stabil secara sosial, posisi perempuan malah berbalik kembali ke nilai-nilai pra-Islam.
Ada empat faktor yang, menurut Prof. Huzaimah, menyebabkan mundurnya peran wanita.
Pertama, faktor kultural atau budaya. “Budaya kita, baik di Arab maupun Indonesia, menganut sistem patriarki, sistem tata kekeluargaan yang mementingkan garis turunan bapak.”
Sistem ini membentuk peran antara perempuan dengan laki-laki berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki sebagai kepala keluarga memiliki peran di publik, mencari nafkah. Sementara perempuan sebagai istri memiliki tugas di ranah domestik, mengurus rumah. Posisi ini menuntut perempuan betanggung jawab sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga: menyapu, mengepel, memasak, mencuci, dan mengurus anak, sehingga mengungkung dirinya dari kegiatan publik.
Peran ini bukanlah kodrat atau bahkan kewajiban dari Allah SWT, melainkan konstruksi sosial-budaya patriarki. Secara fisik, laki-laki dan perempuan memang berbeda. Ini merupakan kodrat. Kodrat perempuan menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Sementara laki-laki memiliki jakun, jenggot, dan sebagainya. Dan perbedaan kodrat tersebut bukan alasan untuk mendiskriminasikan peran dan kesempatan perempuan.
Mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya merupakan tugas bersama, suami dan istri tidak bisa dibebani berdasarkan jenis kelamin semata, hanya porsinya yang berbeda. Terjadi bias dalam kehidupan sehari-hari. Suami memaksa istrinya untuk tinggal di rumah dengan berbagai tugasnya.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan, “
Rabbigfirli wa liwalidaya war hamhuma kama rabbayani shagira”. Bagian kalimat “
kama rabayani” menjelaskan keduanya: ayah dan ibu, yang telah mendidik sejak kecil. Doa itu tidak membedakan khusus untuk ibu saja, yang telah mendidik sejak kecil, ”
kama robakni”. “Apakah adil bila sang anak mendoakan kepada keduanya akan tetapi yang sepenuhnya bertanggung jawab mendidik hanya sang ibu?” kata Prof. Huzaimah.
Peran dalam kehidupan rumah tangga, laki-laki memiliki tugas sebagai kepala keluarga dengan beban mencari nafkah. Ini logis, dengan alasan kodrat perempuan tersebut, sehingga tidak masuk akal bila dalam keadaan mengandung tua ia juga dibebani menjadi kepala keluarga yang harus mencari nafkah. Terjadi kerja sama saling mengisi antara keduannya.
Ini bukan diskriminasi, seperti yang dituduhkan aktivis feminisme Barat, namun pembagian tugas dan peran. Perbedaan jenis kelamin untuk saling melengkapi, membantu, dan tolong menolong. Islam tidak pernah memberatkan umatnya. Ada perbedaan yang jelas antara kodrat dan konstruksi sosial-budaya. Kemudian budaya patriarki pada akhirnya berimbas pada minimnya kesempatan perempuan memperoleh pendidikan.
Sehingga lemahnya pendidikan menjadi faktor penting kedua dalam menghambat kemandirian wanita. Kesempatan bagi mereka untuk mendalami pengetahuan, baik keagamaan maupun pengetahuan umum, secara mendalam, sehingga kemudian dapat dikatakan sebagai seorang yang alim (orang yang berilmu), terhadang oleh berbagai persoalan.
Budaya patriarki sering kali menganggap wanita tidak layak mendapatkan pendidikan yang tinggi, dengan alasan bahwa mereka pada akhirnya mesti kembali ke urusan domestik. Hal inilah yang menyebabkan wanita hampir tidak mendapatkan prioritas dalam kesempatan pendidikan. “Lantas bagaimana seorang ibu bisa mendidik anak-anaknya bila ia tidak memiliki pendidikan yang memadai, hendak menjadi apa mereka ke depan yang nota bene generasi penerus?” kritik Prof. Huzaimah.
Islam sendiri dengan tegas mewajibkan menuntut ilmu bagi muslim dan muslimah. Sementara UU Indonesia juga mengatur wajib belajar sembilan tahun bagi warga negaranya, baik laki-laki maupun perempuan.
Kalaupun pada akhirnya wanita Indonesia saat ini memiliki kesempatan besar dalam mengakses pendidikan, budaya patriarki lagi-lagi menghambat kebebasan mereka. Kurikulum pendidikan Indonesia, menurut Prof. Huzaimah, bias gender. Contohnya, pada pelajaran Bahasa Indonesia pada Tingkat Dasar, berbagai literatur memberikan contoh: ibu memasak di dapur, ayah membaca koran. Nina bermain boneka, Andi bermain bola. “Apakah tidak ada contoh lain, yang adil gender, memasak bukan tugas perempuan semata, begitu pun membaca koran,” kata Huzaimah.
Rendahnya wanita berpendidikan juga menyebabkan rendahnya partisipasi mereka dalam kehidupan keagamaan. Di Indonesia, hanya ada beberapa nama ulama perempuan yang melengenda, sebut saja misalnya Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946), istri pendiri Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.
Ia termasuk wanita yang mempelopori agar kaumnya membuang kepercayaan kolot, dengan memperjuangkan hak-hak kaum wanita yang setara dengan kaum pria.
Pengorbanannya sangat besar, terutama ketika kala itu harus menghadapi berbagai rintangan dan celaan dari kaum tua yang menganggap sepak terjangnya “terlalu bebas dan melanggar kesusilaan”.
Kemudian Rahmah El-Yunusiah (1900-1969), ulama asli Padang Panjang yang sangat alim keilmuannya. Rangkayo Rasuna Said (1910-1965), wanita asli Maninjau, Sumatera Barat, adalah pelopor gerakan kaum muda Minangkabau sekaligus pembaharu dan pemikir yang progresif.
Yang tidak kalah diperhitungkan adalah Sholihah Wahid Hasjim (1922-1994), istri K.H. A. Wahid Hasjim, putra Hadlratusy Syaikh K.H. Hasjim Asj’ari, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama. Keilmuannya pada masa itu sulit ditandingi, apalagi peran dan kiprahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Saat ini kita mengenal Prof. Tuti Alawiyah. Putri ulama terkenal Betawi K.H. Abdullah Sya’fi’i ini dikenal sebagai muballighah sukses. Dakwahnya telah melanglang buana. Ia juga pendiri organisasi Badan Kontak Majelis Ta’lim (BKMT) Indonesia. Melalui majelis ta’im ia menyuarakan pentingnya pendidikan wanita seperti halnya pria. Salah satu prestasinya, ia pernah menjabat menteri negara pemberdayaan perempaun di era Pak Habibie.
Berikutnya yang masih sezaman dan bisa dikategorikan sebagai ulama perempuan kontemporer adalah Prof. Huzaimah T. Yanggo, M.A. Narasumber alKisah ini adalah ulama perempuan berpendidikan akademis yang sangat diperhitungkan keilmuannya. Berbagai karyanya juga telah mewarnai khazanah keislaman di Indonesia. Tidak hanya karya fiqih perbandingan, sesuai dengan bidangnya, namun juga karya tafsir, yang diselesaikan bersama kolegannya, Dr. Faizah Ali Sibromalisi, putri bungsu K.H. Ali Sibromalisi Kuningan, yang juga cucu ulama Betawi kenamaan Guru Mughni.
Deretan nama ulama perempuan tersebut belumlah berimbang dengan ulama laki-laki. “Tidak perlu melakukan penelitian untuk membuktikan hal ini. Berapa banyak perempuan yang menjadi pemuka agama, jumlahnya masih sangat di bawah ulama laki-laki. Terlebih ulama perempuan yang memiliki karya ilmiah,” kata Prof. Huzaimah.
Faktor ketiga, tantangan yang muncul dari diri sendiri. Tidak sedikit wanita merasa ragu dan kurang percaya diri dengan kemampuannya untuk tampil sebagai wanita mandiri. Ketika lingkungan telah mendukung dan mempercayai kapasitasnya sebagai pemimpin, misalnya, ia merasa tidak memiliki potensi untuk itu dan lebih memilih pasif. Ia juga tidak memiliki keberanian keluar dari jalur
mainstream.
Keempat, dukungan keluarga, masyarakat, negara, dan tatanan global. Wanita telah memiliki kemampuan dan keahlian seperti pria, bahkan terkadang melebihi, sayangnya lingkungan sekitar tidak memberikan kesempatan, karena dilihat sebagai perempuan. Kesempatan itu diberikan kepada pria.
Tokoh sekaliber Prof. Huzaimah pun pernah merasakan kisah menyedihkan terkait posisinya sebagai perempuan sekitar 20 tahun silam.
Suatu ketika ia pernah diminta menggantikan koleganya untuk menghadiri undangan di sebuah lembaga ilmu pengetahuan.
“Ketika mencoba memasuki ruangan, saya dihadang oleh panitia dan diminta keluar. Alasanya, karena saya seorang perempuan.
Meski saya membawa undangan, mereka tidak menghiraukan saya. Meski telah berargumen sekian lama untuk meminta memasuki acara, tetap saja usaha saya sia-sia.
Untungnya, saya berjumpa dengan Salim Seggaf Al-Jufri, menteri sosial. Ia adalah murid saya ketika di Al-Khairat Palu, Sulawesi. Salim-lah yang mengizinkan saya masuk dan memberikan kursi, itu pun di posisi buncit,” tutur Prof. Khuzaimah mengenang.
Jelas, menurutnya, ini harus diberantas. “Tidak mudah memang. Butuh kerja sama dan bantuan semua pihak dan waktu lama. Namun kalau kita tidak memulainya saat ini, lantas tunggu kapan lagi?”
Kartini Masa Kini
Di abad ke-21 ini, secara umum dunia wanita masih terkungkung dan belum sepenuhnya merdeka. Hal tersebut juga terjadi di beberapa negeri Islam dan negeri mayoritas berpenduduk Islam, termasuk di Indonesia. Perkembangan ulama perempuan berjalan begitu lambat.
Situasi seperti ini tentunya tidak harus terjadi. Adannya ulama perempuan yang memiliki kepekaan pada hak wanita akan membuat suara dan peran perempuan, yang selama ini termarginalkan, dapat terangkat ke permukaan.
Penegakan nilai-nilai Islam di muka bumi ini sejak awal telah membawa semangat egaliter. Yakni bahwa semua manusia mempunyai hak yang sama untuk menjadi manusia yang bermartabat, termasuk mendapat pendidikan dan pengakuan akan keahliannya.
Pengakuan terhadap keulamaan perempuan dan sekaligus upaya melakukan penyemaian berangkat dari nilai kesetaraan dan keadilan, sebagai nilai fundamental Islam, agama pembawa rahmatan bagi alam semesta.
Prof. Huzaimah berharap, momentum Perayaan Hari Kartini menjadi tonggak kelahiran Kartini-Kartini masa kini, ulama perempuan yang mumpuni. Wanita pernah memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan Islam, dan sekarang waktunya untuk kembali berperan lebih dari yang telah ada. Tentunya tetap dalam koridor Al-Qur’an dan sunnah. Semoga....
Siti Eliza