Orang yang masih diperangi masih ada kesempatan untuk bertaubat, tapi orang yang sudah dibunuh telah kehilangan kesempatan untuk bertaubat.
Baru-baru ini ramai diperdebatkan ihwal kesalahan beberapa terjemahan Al-Qur’an oleh Departemen Agama. Salah satu contoh yang disuguhkan adalah terjemahan Surah At-Tawbah Ayat 5, "Bunuhlah mereka di mana saja kamu temui mereka." Padahal, menurut pihak yang mengkritik, terjemahannya semestinya "Perangilah", bukan “Bunuhlah”.
Dengan segala kerendahan hati, saya, yang merasa masih banyak kelemahan, mencoba memberikan kontribusi, dengan sedikit ilmu bahasa yang saya miliki berusaha menganalisis terjemahan itu.
Memaknai sebuah kata yang ada dalam kalimat tidak bisa terlepas dari konteksnya. Baik konteks kebahasaan maupun konteks di luar kebahasaan.
Kita ambil konteks kebahasaannya saja. Maka kita perlu melihat ayat itu secara utuh. Dalam Al-Quran dan Terjemahnya Departeman Agama yang diterbitkan Gema Risalah Press Bandung, Edisi 1992, pada Surah At-Tawbah Ayat 5, tertulis, “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikian shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesunggunya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Konteks kata-kata yang sangat membantu untuk menentukan apakah makna yang tepat bunuhlah atau perangilah adalah kata-kata yang muncul setelah kata bunuhlah berikut ini: tangkaplah, kepunglah, intailah, bertaubat, mendirikian shalat, menunaikan zakat, berilah kebebasan, berjalan.
Orang yang diperangi masih bisa ditangkap, dikepung, diintai, bertaubat, mendirikian shalat, menunaikan zakat, mendapatkan kebebasan, dan berjalan. Lha, kalau orang yang sudah dibunuh kok ditangkap, dikepung, diintai, bertaubat, mendirikian shalat, menunaikan zakat, mendapatkan kebebasan, dan berjalan? Orang yang masih diperangi masih ada kesempatan untuk bertaubat, tapi orang yang sudah dibunuh telah kehilangan kesempatan untuk bertaubat. Bukankah perbedaan maknanya sangat jauh?
Al-Qur’an, sebagai firman Allah SWT, tidak mungkin salah. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami bernar-benar memeliharanya.” (QS Al-Hijr: 9). Yang berkemungkinan salah adalah terjemahannya, atau pemahaman atas terjemahan itu.
Kita berterima kasih kepada Departemen Agama, yang telah bekerja keras menerjemahkan Al-Qur’an. Namun, mereka yang terlibat dalam penerjemahan itu tentu bukanlah orang-orang yang tidak luput dari kesalahan. “Setiap anak Adam pasti pernah berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah). Oleh karena itu, saya mengimbau Departemen Agama, atau sekarang Kementerian Agama, terimalah masukan-masukan itu jika memang benar.
Sebaliknya, kepada seluruh umat Islam, pahamilah, belajar agama melalui buku memang bagus. Namun belajar agama harus dengan guru, ustadz, ulama, dan lain-lain. Dengan demikian, insya Allah, Anda tidak akan salah memahami yang Anda baca.
Terakhir, yang juga harus dipahami, memaknai ayat di atas harus melihat pula konteks ayat-ayat sebelumnya. Sebab, perintah perang di situ ada setelah sebelumnya umat Islam diperangi.
Jadi, ayat itu digunakan dalam keadaan perang. Dalam keadaan damai, seperti sekarang di negeri kita, Indonesia, tidaklah relevan menggunakan ayat itu sebagai dasar untuk memerangi orang lain. Dalam keadaan damai, Islam memerintahkan umatnya untuk hidup berdampingan secara damai dengan mereka.
Wallahu a’lam bishshawwab.
ES
*Opini, pernyataan, atau apa pun yang ada dalam rubrik Uneg-uneg adalah opini atau pernyataan pribadi. Bukan representasi redaksi alKisah. Dan terbuka untuk komentar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar