Ketua Dewan Transisi Nasional Libya (NTC), Mustafa Abdul Jalil.
REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI – Seiring dengan berkelanjutannya perang saudara di Libya, seruan bantuan militer kian intensif dilakukan oleh Dewan Transisi Nasional anti-Qaddafi (NTC). Sang pemimpin dewan pemberontak ini adalah Mustafa Abdul Jalil, seorang hakim terhormat yang hingga kini masih menjabat sebagai Menteri Kehakiman di bawah rezim Qaddafi. Pembelotannya ke Timur Libya (Benghazi) merupakan landmark dalam pemberontakan Libya, tetapi apakah Abdul Jalil ternoda oleh kedekatannya dengan rezim Qaddafi?
Situs resmi Dewan Transisi Nasional Libya (NTC) adalah sebuah langkah kecil dalam menghilangkan mitos yang mengkhawatirkan dan samar-samar bahwa "tidak ada yang tahu tentang ini pemberontak". Diakui bahwa situs ini menjalankan agenda partisan yang dapat dimengerti dan kontennya jauh dari kekerasan. Tampilan online mereka yang dapat dilihat siapa saja yang terkoneksi internet, merupakan gambaran komprehensif tentang siapa—yang disebut—pemberontak ini dan apa yang mereka inginkan.
Jika dilirik sepintas, halaman situs ini menunjukkan bahwa dari 13 anggotanya yang terdaftar, beberapa diantaranya memperoleh gelar doktor (PhD) dari luar Libya dan sebagian besar berlatar belakang hukum. Oleh sebab itu, tak mengherankan jika ketua dewannya (Mustafa Abdul Jalil), seorang hakim tinggi Libya yang sebagian besar tugasnya diabdikan di kampung halamannya, di Bayda, Timur Libya.
Jalil bertugas di Bayda sejak 1978 hingga akhirnya ditunjuk sebagai Menteri Kehakiman pada 2007—sebuah langkah yang jelas-jelas membawanya ke bawah kepak sayap rezim Kolonel Qaddafi, yang berbasis di bagian barat Libya. Tentu saja, hal ini bukanlah semata-mata penyebab resmi Abdul Jalil ditempatkan dalam posisi tertinggi di NTC.
Abdul Jalil secara luas dikenal di timur Libya—dan di kalangan media asing—berkat pemberontakannya yang menakjubkan melawan rezim Qaddafi. Ia dikirim ke Benghazi untuk menenangkan pemberontakan yang meletus pada Februari lalu, namun setelah melakukan negosiasi dengan pihak pemberontak, menteri berusia 59 tahun ini malah mengumumkan pengunduran dirinya sebagai protes atas kekerasan yang dilakukan terhadap demonstran.
Tindakan dramatis Jalil ini menandai gelombang pemberontakan yang kian menyesakkan nafas Libya. Abdul Jalil adalah anggota pertama rezim Qaddafi yang berbalik arah melawan pemimpin Libya. Namun tindakan itu bukannya tanpa sebab. Setahun sebelumnya, pada Januari 2010, Abdul Jalil telah berupaya mengundurkan diri, menentang rezim Qaddafi dalam masalah tahanan-tahanan politik.
Upaya pengunduran diri pertamanya dinyatakan di hadapan publik—di televisi negara—dan merupakan tantangan paling berani terhadap otoritas Qaddafi dari salah seorang anggota rezimnya yang terkemuka. Namun pengunduran dirinya waktu itu ditolak, kemungkinan besar karena tekanan putra Qaddafi, Saif Al-Islam, yang berusaha mengecat pernis reformasi pada kulit pemerintahan ayahnya yang lapuk.
Memang, Abdul Jalil memiliki reputasi sebagai pembaharu, yang tak diragukan lagi menjadi penyebab pengangkatannya sebagai menteri dan semakin meningkatkan pengaruh Saif Al-Islam. Bocoran kabel diplomatik Amerika menunjukkan bahwa Jalil bersedia bekerjasama dengan AS, dan bahkan ia sangat disukai oleh para stafnya di kementerian kehakiman. Sebuah anomali luar biasa di kantor kementerian mana pun di dunia.
Kelompok HAM internasional, Human Rights Watch (HRW), kerap memuji Abdul Jalil karena tindakannya yang membongkar praktek-praktek kotor rezim Qaddafi menarik perhatian dan secara umum menimbulkan pencerahan. "Saya belum pernah melihat seorang Menteri Kehakiman Arab yang secara terbuka mengkritik lembaga keamanan paling berkuasa di negerinya," kata Heba Morayef, seorang pejabat HRW, Kamis (2/6).
Dan sebuah gambar pun muncul, tentang tokoh yang hampir suci, dan dengan berani berjuang bagi kebebasan HAM di Libya dalam lingkaran Qaddafi. Namun siapa yang akan begitu polos menganggap bahwa setiap operator politik di arena yang demikian bisa membawa salinan buku yang tidak sepenuhnya bisa dihapuskan?
Secara tersirat, adalah masuk akal bahwa Abdul Jalil, setelah mendapatkan sedikit porsi dukungan oposisi sebagai hakim yang adil di kawasan timur yang bergolak, akan terkooptasi ke kantor kehakiman untuk memberikan ilusi reformasi. Kritik mungkin berpendapat, inilah yang membuatnya terlibat dalam rezim Qaddafi sebagai siapa saja. Para pembelanya seharusnya menyarankan, dia punya banyak pilihan selain menerima pengangkatan 2007 dan berusaha meraih apa yang bisa dilakukannya.
Satu contoh yang merusak klaim bahwa Abdul Jalil adalah pembawa obor keadilan melawan Qaddafi adalah laporan koran Prancis L'Express, tentang kasus lima perawat Bulgaria yang dihukum mati di Libya karena dituduh sengaja menginfeksi anak dengan virus HIV berdasarkan perintah dari Amerika Serikat. Bukti-bukti keterlibatan para wanita ini sangat kecil, namun demikian Abdul Jalil dua kali memerintahkan eksekusi mereka. Wanita-wanita tersebut kini telah dibebaskan, tetapi banyak suara di Bulgaria menentang NTC, seraya menyebut-nyebut penyiksaan terhadap warga mereka yang menjadi korban otoritas Abdul Jalil.
Dalam keruhnya dunia politik, seseorang takkan pernah benar-benar yakin akan motif dan aspirasi para pemainnya. Dalam kasus Mustafa Abdul Jalil, orang harus mengakui bahwa saat ini ia jelas-jelas lawan Qaddafi, dan seorang pria yang membela keadilan sepanjang karirnya. Perwujudan pasti keadilan tersebut mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan cita-cita kekuatan asing Barat yang saat ini menjagokan dia dan dewannya. Artinya, pemerintah Barat telah menemukan sekutu yang nyaman dalam misi mereka mendongkel Qaddafi, namun tak ada pemberitaan di titik mana NTC kemungkinan akan menyimpang dari target ideal Barat.
Kekuatan asing hanya bisa berharap bahwa sentimen Abdul Jalil masih murni ketika ia berkata tegas. "Kami sama dengan orang-orang di negara lain, dan mencari hal yang sama. Kami ingin pemerintahan yang demokratis, konstitusi yang adil, dan kami tidak ingin terisolasi dari dunia lagi. "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar