Sepintas bencana letusan Merapi sudah dianggap tidak masalah lagi. Karena itu berita-berita tentang Merapi pun sudah hilang. Tapi, sesungguhnya nasib korban Merapi masih jauh dari nyaman, apalagi menyangkut penggerogotan akidah.
Usai shalat Jumat (11/2), Ustadz H Imam Santosa berkemas mempersiapkan diri untuk perjalanan ke Menoreh. Bukit Menoreh adalah daerah perbukitan yang membentang di wilayah utara Kabupaten Kulon Progo, sebagai batas antara kabupaten tersebut dengan Kabupaten Purworejo di sebelah barat dan Kabupaten Magelang di sebelah utara.
Pegunungan Menoreh merupakan kawasan yang secara adminsitratif terletak di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kawasan Menoreh adalah daerah yang membentuk ekosistem yang khas yang menjadi sumber kehidupan mahluk hidup.
Daerah ini merupakan kawasan karst —tanahnya mengandung kapur dimana air mudah merembes ke dalam tanah— yang rentan bencana. Perbukitan Menoreh, penyangga benda cagar budaya, salah satunya Candi Borobudur yang pernah menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia.
Tak menyia-nyiakan waktu, dengan mengendarai Daihatsu Zebra dari kediamannya di Secang Ustadz Imam segera berangkat menuju Menoreh. Rumah Ustadz Imam sendiri terletak di komplek pendidikan Daarussalaam, Karangmalang Secang. Dari situ dia berangkat menuju rumah Ustadz Miftahul Fauzan di Palbapang, Blabak. Adapun ke rumah Ustadz Fauzan tak lain untuk menukar Daihatsu Zebra milik ustadz Imam dengan Mobil Layanan Sehat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Karena mobil APV ini usianya lebih muda sehingga memungkinkan untuk menembus Bukit Menoreh yang jalannya menanjak.
Dari Blabak terus ke Posko Dewan Dakwah untuk Merapi. Posko ini berada di dekat tugu Bambu Runcing Muntilan. Dari Posko DDII mengangkut tiga karung beras, pakaian layak pakai, makanan dan sabun.
Sekarang, Tim DDII berlima di dalam mobil Layan Sehat DDII. Kami menuju Kerug, sebuah desa di kawasan Bukit Menoreh. Bukit yang terkenal dengan cerita-cerita silatnya. Bukit Menoreh adalah basis pertahanan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya ketika berperang melawan Belanda. Bahkan salah satu putra beliau bernama Bagus Singlon atau yang juga terkenal dengan Raden Mas Sodewo (Putra Pangeran Diponegoro dengan RAy Mangkorowati) ikut juga melawan Belanda di wilayah ini. Raden Mas Sodewo atau Ki Sodewo bertempur di wilayah Kulonprogo mulai dari pesisir selatan sampai ke Bagelen dan Samigaluh.
“Makam pengikut dan petilasannya masih ada di sana,” kata Ripto, salah seorang anggota Tim DDII, menunjuk sebuah bukit dari barisan bukit Menoreh.
Alamnya yang perbukitan, membutuhkan fisik prima untuk menjelajahinya. Mungkin karena perlawanan gigih sang Pangeran hingga terbitlah inspirasi cerita silat, cerita bersambung dan komik. Seperti Serial Api di Bukit Menoreh.
Menjelang Kerug jalan terus naik, sisa abu merapi masih bertebaran ditumpuk di pinggir jalan. Azan asar menyambut kami begitu tiba di Rumah Ustadz Muslih. Ustadz Muslih adalah salah seorang dari 60 dai yang mengikuti Training Dai DDII beberapa waktu lalu.
Kami diterima dengan ramah, dia sangat bersahaja. Apa adanya, kali ini menerima kami dengan sarungan dan baju kaos. Namun tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap para tamu. Senyumnya lebar menyambut kami. Sambil menyantap getuk singkong. Ustadz Muslih bercerita. Di sini memang unik, karena Nasrani pun supit (disunat), sering mengadakan acara kebaktian di malam Jum’at, seperti Yasinan. Sering juga menggunakan kata-kata yang berasal dari kebiasaan orang Islam seperti, alhamdulillah atau masya Allah.
“Kok tidak malu pakai cara-cara orang lain,” kata Ust Muslih sambil menggeser tempat duduknya.
Gambaran suasana di desa ini adalah rumah berdiri di antara lembah. Jadi jarak satu dengan yang lainnya berjauhan. Karena memang sulit untuk mendapatkan tanah datar. Sepi.
Bila kemarau panjang atau panen di ladang tiba, kera-kera pun datang dengan bergerombol. Ratusan kera menyerbu ladang, bahkan rumah. ”Kalau yang mengusir perempuan mereka tidak takut,” terang Ustadz Muslih.
Di bak tempat wudhu kami melihat kecebong bergerombol. Gayung yang kami gunakan ternyata bolong, jadi lebih banyak air yang ke luar. Bak air tempat wudhu, kelihatannya sudah lama tak berpintu. Air menjadi problem tersendiri. ”Tidak semua rumah memiliki sumber air,” jelas Ustadz Muslih.
Kalau suasana liburan Ustadz Muslih sering mendapati keluarga Muslim didatangi oleh pelajar atau mahasiswa yang beragama lain. Mereka datang menginap dengan dalih menjalani program ’In House.’
”Selama tiga hari sampai sepekan siswa itu mencekoki penduduk dengan missi mereka,” ungkap Ustadz Muslih.
Entah karena lapar atau suasana gunung, hidangan di meja tinggal separuh. Getuk yang kali ini berbahan singkong pun habis. Ya biasanya kami memakan getuk dari ubi. Tapi kali ini dari singkong. Dorongan teh manis membuat obrolan semakin asyik. Gerimis mulai turun satu-satu.
“Di Kerug kami adalah Mumi,” lanjut Ustadz Muslih.
“Mumi?” kami kaget tanpa ada yang mengomando.
”Ya Muslim minoritas,” katanya kalem.
Ada sebuah desa di situ yang penghuninya sudah dan hanya menyisakan seorang janda tua. Dulu Muslih harus berhati-hati, karena mereka –selain menggunakan kekuatan finansial— juga mendapat dukungan dari penguasa pusat. Penuturan Muslih mengingatkan kami pada sebuah bangunan sekolah yang berdiri megah. Pun, sebelum mencapai rumah Ustadz Muslih, kami sempat terpana dengan sebuah bangunan gereja yang berdiri megah. Kontras dengan masjid tak berlangit-langit yang kami gunakan untuk shalat asar barusan.
Eh, ternyata getuk singkong cuma pembuka, lalu kami diminta untuk pindah ruangan. Ternyata nasi, ikan, tempe dan telur sudah siap menunggu. Hidangan ala kadarnya ini terasa nikmat, ketika disuguhkan dengan penuh keikhlasan. Subhanallah.
Sebelum menurunkan bantuan, kami mengutarakan rencana bahwa akan ada program sunatan massal. Program ini kerjasama DDII dengan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee). Rencana supitan massal ini disambut hangat oleh Ustadz Muslih. Lalu, kami menurunkan bantuan di sela-sela gerimis.
Dari kediaman Ustadz Muslih, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Ustadz Khudori. Kali ini Ustadz Muslih bertindak sebagai navigator. Jalan sempit dan licin membuat Ustadz Imam harus ekstra hati-hati mengendalikan mobil Layan Sehat.
Ternyata Ustadz Khudori ini selain pengusaha slondok juga beternak sapi dan kambing. Dia merasa senang ikut training dai ”Semua materi ceramah sudah saya sampaikan ke jamaah,” katanya semangat.
Cuaca mulai kurang bersahabat, mendung. Mengingat jalan licin dan sempit kami tidak berlama-lama khawatir kemalaman. Ketika tengah berpamitan, tiga kantong kresek slondok masuk ke mobil.
Syukran jazakumullah khoir, Ustadz Khudori.
Rinai kabut di seputar bukit menoreh menemani kami pulang. Dalam perjalanan pulang Ripto menunjuk daerah wilayah dakwah Ustadz Muslih. Selain jauh medannya pun sulit. Kami membayangkan dia pulang tengah malam, tanpa penerangan lampu. Jalan menanjak, jurang dan hujan. Allahu Akbar.
”Sampe orang-orang itu kasihan sama Ustadz Muslih, karena dia tidak punya penghasilan tapi hidupnya total untuk dakwah, dia si pembabat alas,” ungkap Ripto.
Hari ini memang tidak banyak yang bisa kami berikan. Tapi, rasa persaudaraan. Bahwa masih ada orang lain yang peduli itulah yang menyenangkan seorang Muslih.
Keikhlasan memang perlu stamina karena perjalanan masih panjang. (Eman Mulyatman)
Informasi dan Komunikasi Kiprah Dai; 021-33413279
Usai shalat Jumat (11/2), Ustadz H Imam Santosa berkemas mempersiapkan diri untuk perjalanan ke Menoreh. Bukit Menoreh adalah daerah perbukitan yang membentang di wilayah utara Kabupaten Kulon Progo, sebagai batas antara kabupaten tersebut dengan Kabupaten Purworejo di sebelah barat dan Kabupaten Magelang di sebelah utara.
Pegunungan Menoreh merupakan kawasan yang secara adminsitratif terletak di Kabupaten Magelang dan Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dan Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kawasan Menoreh adalah daerah yang membentuk ekosistem yang khas yang menjadi sumber kehidupan mahluk hidup.
Daerah ini merupakan kawasan karst —tanahnya mengandung kapur dimana air mudah merembes ke dalam tanah— yang rentan bencana. Perbukitan Menoreh, penyangga benda cagar budaya, salah satunya Candi Borobudur yang pernah menjadi salah satu dari 7 keajaiban dunia.
Tak menyia-nyiakan waktu, dengan mengendarai Daihatsu Zebra dari kediamannya di Secang Ustadz Imam segera berangkat menuju Menoreh. Rumah Ustadz Imam sendiri terletak di komplek pendidikan Daarussalaam, Karangmalang Secang. Dari situ dia berangkat menuju rumah Ustadz Miftahul Fauzan di Palbapang, Blabak. Adapun ke rumah Ustadz Fauzan tak lain untuk menukar Daihatsu Zebra milik ustadz Imam dengan Mobil Layanan Sehat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Karena mobil APV ini usianya lebih muda sehingga memungkinkan untuk menembus Bukit Menoreh yang jalannya menanjak.
Dari Blabak terus ke Posko Dewan Dakwah untuk Merapi. Posko ini berada di dekat tugu Bambu Runcing Muntilan. Dari Posko DDII mengangkut tiga karung beras, pakaian layak pakai, makanan dan sabun.
Sekarang, Tim DDII berlima di dalam mobil Layan Sehat DDII. Kami menuju Kerug, sebuah desa di kawasan Bukit Menoreh. Bukit yang terkenal dengan cerita-cerita silatnya. Bukit Menoreh adalah basis pertahanan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya ketika berperang melawan Belanda. Bahkan salah satu putra beliau bernama Bagus Singlon atau yang juga terkenal dengan Raden Mas Sodewo (Putra Pangeran Diponegoro dengan RAy Mangkorowati) ikut juga melawan Belanda di wilayah ini. Raden Mas Sodewo atau Ki Sodewo bertempur di wilayah Kulonprogo mulai dari pesisir selatan sampai ke Bagelen dan Samigaluh.
“Makam pengikut dan petilasannya masih ada di sana,” kata Ripto, salah seorang anggota Tim DDII, menunjuk sebuah bukit dari barisan bukit Menoreh.
Alamnya yang perbukitan, membutuhkan fisik prima untuk menjelajahinya. Mungkin karena perlawanan gigih sang Pangeran hingga terbitlah inspirasi cerita silat, cerita bersambung dan komik. Seperti Serial Api di Bukit Menoreh.
Menjelang Kerug jalan terus naik, sisa abu merapi masih bertebaran ditumpuk di pinggir jalan. Azan asar menyambut kami begitu tiba di Rumah Ustadz Muslih. Ustadz Muslih adalah salah seorang dari 60 dai yang mengikuti Training Dai DDII beberapa waktu lalu.
Kami diterima dengan ramah, dia sangat bersahaja. Apa adanya, kali ini menerima kami dengan sarungan dan baju kaos. Namun tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap para tamu. Senyumnya lebar menyambut kami. Sambil menyantap getuk singkong. Ustadz Muslih bercerita. Di sini memang unik, karena Nasrani pun supit (disunat), sering mengadakan acara kebaktian di malam Jum’at, seperti Yasinan. Sering juga menggunakan kata-kata yang berasal dari kebiasaan orang Islam seperti, alhamdulillah atau masya Allah.
“Kok tidak malu pakai cara-cara orang lain,” kata Ust Muslih sambil menggeser tempat duduknya.
Gambaran suasana di desa ini adalah rumah berdiri di antara lembah. Jadi jarak satu dengan yang lainnya berjauhan. Karena memang sulit untuk mendapatkan tanah datar. Sepi.
Bila kemarau panjang atau panen di ladang tiba, kera-kera pun datang dengan bergerombol. Ratusan kera menyerbu ladang, bahkan rumah. ”Kalau yang mengusir perempuan mereka tidak takut,” terang Ustadz Muslih.
Di bak tempat wudhu kami melihat kecebong bergerombol. Gayung yang kami gunakan ternyata bolong, jadi lebih banyak air yang ke luar. Bak air tempat wudhu, kelihatannya sudah lama tak berpintu. Air menjadi problem tersendiri. ”Tidak semua rumah memiliki sumber air,” jelas Ustadz Muslih.
Kalau suasana liburan Ustadz Muslih sering mendapati keluarga Muslim didatangi oleh pelajar atau mahasiswa yang beragama lain. Mereka datang menginap dengan dalih menjalani program ’In House.’
”Selama tiga hari sampai sepekan siswa itu mencekoki penduduk dengan missi mereka,” ungkap Ustadz Muslih.
Entah karena lapar atau suasana gunung, hidangan di meja tinggal separuh. Getuk yang kali ini berbahan singkong pun habis. Ya biasanya kami memakan getuk dari ubi. Tapi kali ini dari singkong. Dorongan teh manis membuat obrolan semakin asyik. Gerimis mulai turun satu-satu.
“Di Kerug kami adalah Mumi,” lanjut Ustadz Muslih.
“Mumi?” kami kaget tanpa ada yang mengomando.
”Ya Muslim minoritas,” katanya kalem.
Ada sebuah desa di situ yang penghuninya sudah dan hanya menyisakan seorang janda tua. Dulu Muslih harus berhati-hati, karena mereka –selain menggunakan kekuatan finansial— juga mendapat dukungan dari penguasa pusat. Penuturan Muslih mengingatkan kami pada sebuah bangunan sekolah yang berdiri megah. Pun, sebelum mencapai rumah Ustadz Muslih, kami sempat terpana dengan sebuah bangunan gereja yang berdiri megah. Kontras dengan masjid tak berlangit-langit yang kami gunakan untuk shalat asar barusan.
Eh, ternyata getuk singkong cuma pembuka, lalu kami diminta untuk pindah ruangan. Ternyata nasi, ikan, tempe dan telur sudah siap menunggu. Hidangan ala kadarnya ini terasa nikmat, ketika disuguhkan dengan penuh keikhlasan. Subhanallah.
Sebelum menurunkan bantuan, kami mengutarakan rencana bahwa akan ada program sunatan massal. Program ini kerjasama DDII dengan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee). Rencana supitan massal ini disambut hangat oleh Ustadz Muslih. Lalu, kami menurunkan bantuan di sela-sela gerimis.
Dari kediaman Ustadz Muslih, kami melanjutkan perjalanan ke rumah Ustadz Khudori. Kali ini Ustadz Muslih bertindak sebagai navigator. Jalan sempit dan licin membuat Ustadz Imam harus ekstra hati-hati mengendalikan mobil Layan Sehat.
Ternyata Ustadz Khudori ini selain pengusaha slondok juga beternak sapi dan kambing. Dia merasa senang ikut training dai ”Semua materi ceramah sudah saya sampaikan ke jamaah,” katanya semangat.
Cuaca mulai kurang bersahabat, mendung. Mengingat jalan licin dan sempit kami tidak berlama-lama khawatir kemalaman. Ketika tengah berpamitan, tiga kantong kresek slondok masuk ke mobil.
Syukran jazakumullah khoir, Ustadz Khudori.
Rinai kabut di seputar bukit menoreh menemani kami pulang. Dalam perjalanan pulang Ripto menunjuk daerah wilayah dakwah Ustadz Muslih. Selain jauh medannya pun sulit. Kami membayangkan dia pulang tengah malam, tanpa penerangan lampu. Jalan menanjak, jurang dan hujan. Allahu Akbar.
”Sampe orang-orang itu kasihan sama Ustadz Muslih, karena dia tidak punya penghasilan tapi hidupnya total untuk dakwah, dia si pembabat alas,” ungkap Ripto.
Hari ini memang tidak banyak yang bisa kami berikan. Tapi, rasa persaudaraan. Bahwa masih ada orang lain yang peduli itulah yang menyenangkan seorang Muslih.
Keikhlasan memang perlu stamina karena perjalanan masih panjang. (Eman Mulyatman)
Informasi dan Komunikasi Kiprah Dai; 021-33413279
Tidak ada komentar:
Posting Komentar