Selasa, 02 November 2010

Sabar Menghadapi Ujian Hidup

Rasa-rasanya hidup ini bagi sebagian orang makin sulit. Sering terdengar keluh kesahnya: “Hidup ini makin susah, sulit cari kerjaan, beratnya kena PHK, harga obat makin mahal, pendidikan mahal, dan sebagainya”. Itulah ungkapan-ungkapan dari mereka yang diuji duniawinya dengan kesulitan hidup.
Sesungguhnya ujian dan cobaan yang datang bertubi-tubi yang  menerpa hidup manusia merupakan satu ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Tidak satu pun di antara kita yang mampu menghalau ketentuan tersebut.

“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang bersamanya: Bilakah datang pertolongan Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amatlah dekat.” (Q.S. Al-Baqarah: 214)

Bagi orang-orang mukmin sabar adalah solusi, dalam menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan hidup di dunia ini. Kesabaran merupakan perkara yang amat dicintai oleh Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya: “…Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Q.S. Ali Imran: 146)

Kita sering mendengar ketika ada yang mendapat ujian atau menahan amarah, dihibur orang lain dengan ucapan: ”Sabarlah , …. Apakah pengertian sabar itu? Abu Zakaria Ansari berkata, “Sabar merupakan kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang disenanginya maupun yang dibencinya.” Abu Ali Daqaq mengatakan, “Hakikat sabar ialah keluar dari suatu bencana sebagaimana sebelum terjadi bencana itu.” Dan Imam al-Ghazali mengatakan, “Sabar ialah suatu kondisi jiwa yang terjadi karena dorongan ajaran agama dalam mengendalikan hawa nafsu. Dengan demikian, sabar dapat berarti konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan dan tabah dalam menghadapi cobaan selama dalam perjuangan untuk mencapai tujuan. Karena itu, sabar erat hubungannya dengan pengendalian diri, sikap, dan emosi. Apabila seseorang telah mampu mengawal mengendalikan nafsunya, maka sikap atau sifat sabar akan tercipta.
Sabar juga dapat diartikan teguh hati tanpa mengeluh, saat ditimpa bencana. Jadi yang dimaksud dengan sabar menurut pengertian Islam ialah rela menerima sesuatu yang tidak disenangi dengan rasa ikhlas serta berserah diri kepada Allah. Dan dapat pula dikatakan bahwa secara umum sabar itu ialah kemampuan atau daya tahan manusia menguasai sifat destruktif yang terdapat dalam tubuh setiap orang. Jadi, sabar mengandungi unsur perjuangan, tidak menyerah, dan tidak menerima begitu saja. Sabar akan membentuk jiwa manusia menjadi kuat dan teguh tatkala menghadapi bencana (musibah). Jiwanya tidak tergoncang, tidak gelisah, tidak panik, tidak hilang keseimbangan, tidak berubah pendirian. Tak ubahnya laksana batu karang di tengah lautan yang tidak bergeser sedikit pun tatkala dipukul ombak dan gelombang yang bergulung-gulung.

Sifat sabar itu hanya dikurniakan Allah kepada manusia, tidak kepada makhluk yang lain. Sebab, di samping manusia mempunyai hawa nafsu, ia juga dianugerahi akal untuk mengendalikan hawa nafsu itu supaya jangan sampai merusak atau merugikan. Adapun makhluk hewani hanya dilengkapi dengan hawa nafsu, tidak mempunyai akal. Oleh sebab itu ia tidak mampu bersikap sabar. Malaikat juga tidak memerlukan sifat sabar, karena ia tidak memiliki hawa nafsu.

Selama roda kehidupan terus berputar, seorang takkan pernah luput dari ujian dan cobaan. Dengan berbagai musibah yang datang silih berganti ini, hendaknya seorang bermuhasabah diri dan makin mendekatkan diri kepada Allah swt. Karena tidak ada yang bisa memberikan solusi terbaik dari berbagai ujian dan cobaan hidup melainkan hanya Allah swt. Rasulullah saw. menggambarkan kriteria seorang mukmin dalam menyikapi ketentuan Allah swt. beliau bersabda: “Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya. Dan tidaklah didapatkan pada seorang pun hal tersebut melainkan pada diri seorang mukmin : Jika dia merasakan kesenangan maka dia bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika kesusahan menerpanya, maka dia bersabar. Dan itu lebih baik baginya.” (H.R. Muslim).

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin r.a. menerangkan tentang hadits di atas: (Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya), maksudnya: “Sesungguhnya Rasulullah saw. menampakkan kekaguman beliau dengan pandangan kebaikan terhadap orang mukmin.” Maka sesungguhnya seluruh urusan itu (dianggap) baik baginya dan tidak terdapat hal tersebut kecuali pada diri seorang mukmin. Kemudian Rasulullah saw. memberikan rincian tentang perkara kebaikan tersebut dengan sabdanya: Jika dia merasakan kesenangan maka dia bersyukur. Dan itu lebih baik baginya. Jika kesusahan menerpanya, maka dia bersabar. Dan itu lebih baik baginya. Beliau (Asy Syaikh Al Utsaimin) berkata: “Ini adalah keadaan seorang mukmin. Setiap manusia berada dalam ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa kesenangan maupun kesusahan. Dan manusia dalam menyikapi ujian dan cobaan ini terbagi menjadi dua golongan: mukmin dan non mukmin (kafir).

Adapun golongan mukmin; menganggap baik segala ketentuan Allah baginya. Jika kesusahan yang menimpanya, maka dia bersabar atas ketentuan-ketentuan Allah dan senantiasa mengharapkan pertolongan-Nya serta mengharapkan pahala Allah. Semua itu merupakan perkara yang baik baginya dan dia memperoleh ganjaran kebaikan selaku orang-orang yang bersabar. Jika kesenangan yang mendatanginya, maka dia bersyukur lagi menjalankan ketaatan kepada Allah swt.

Seorang mukmin ketika mendapat ujian berupa kesusahan dapat diibaratkan seperti seorang anak sekolah yang akan naik kelas. Untuk naik kelas dia harus diuji dulu. Belajar yang keras harus dilaluinya untuk membantunya naik kelas. Yang pasti, Allah hanya akan memberi ujian kepada seorang hamba sesuai dengan tingkat keimanan masing-masing. Adapun golongan non mukmin; (Sungguh) berada dalam kejelekan, wal’iyyadzubillah. Jika kesusahan itu menimpanya, maka dia tidak sabar, berkeluh kesah, mencemooh, mengutuk, mencerca masa (waktu) bahkan mencela Allah swt. Jika kesenangan menghampirinya, dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan ini akan menjadi balasan siksaan di akhirat. Maka kondisi orang kafir tetap jelek, baik mendapatkan kesusahan maupun kesenangan.

Alangkah indahnya perangai seorang mukmin ketika menghadapi ketentuan-ketentuan yang berlaku padanya; bersabar dan bersyukur. Dua perangai tersebut, yaitu syukur dan sabar merupakan amalan yang agung, bahkan keduanya termasuk dalam perangai keimanan. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salaf: “Iman itu dua bagian, bagian pertama adalah sabar dan bagian kedua adalah syukur.” Dan mereka menyandarkan perkataan tersebut dengan firman Allah swt. “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (Q.S. Ibrahim:5)

Perlu diketahui dalam Islam, sabar itu tidak mempunyai batas, dan dengan demikian kalimat yang sering diungkapkan oleh banyak orang “sabar itu ada batasnya” adalah suatu kekeliruan. Tumbuhnya kesabaran di bumi hati seseorang bagaikan tumbuhnya sulur-sulur keimanan, yang menjulur ke langit, yang menguatkan tangga-tangga makrifah, yang diturunkan para malaikat untuk menyambut makhluk yang berjalan dengan kesabaran menuju penyaksian kepada-Nya. Karena itulah sabar pun tak berbatas karena dasar dan langit-langitnya berada dalam kekuasaan Allah swt. (As)

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog