Sabtu, 24 Juli 2010

"Kembalinya" Sang Preman Kampung

Ada banyak  rekor kenakalanku. Memalak orang, gonta-ganti wanita, adu jotos dan tukang rusuh di arena konser. Termasuk mengancam guru
Hidayatullah.com--Setan dan hawa nafsu adalah musuh nyata bagi manusia. Siapa yang tidak mampu mengendalikan keduanya, bisa dipastikan orang tersebut akan terjelembab ke dalam lembah kesesatan, yang akan menggiring kepada kemaksiatan. Dari sanalah ujungnya akan melahirkan kehinaan hidup di dunia dan  di akhirat kelak.

Begitu pula kisah yang aku alami beberapa tahun silam. Terlahir di tengah keluarga yang penuh dengan nuansa mistis yang mengandung kemusyrikan, menyebabkanku tumbuh menjadi pribadi yang pongah, congkak, yang jauh dari nilai-nilai keislaman.

Ayahku adalah sosok yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai orang yang mampu menyembuhkan penyakit. Setahu saya, banyak sekali ritual-ritual yang pernah dilakukannya; mulai dari baca mantra-mantra, tidur di kuburan, hingga menyendiri (bertapa) di hutan-hutan, ataupun di lautan. Entah apa yang melatarbelakanginya, yang terpenting, ritual macam itulah yang sering saya saksikan, tak terkecuali di rumah kami senduri.

Mungkin, karena kasih sayangnya yang begitu besar padaku, beliau menurunkan beberapa ilmunya tersebut padaku. Aku diberi bacaan-bacaan agar memiliki kekebalan tubuh, mudah mendapatkan uang, ditakuti lawan, dan masih banyak lagi macam khasiatnya. Bahkan, akupun pernah diberi sabuk yang di dalamnya telah diisi sesuatu, yang katanya, mampu menghindarkan diri dari mara bahaya.

Efek dari ini semua, tumbuh kesombongan dalam diri. Aku merasa menjadi orang yang paling hebat, lagi paling kuat. Parahnya lagi, teman-teman gaulku adalah mereka yang memang doyan membuat kericuhan di masyarakat.

Singkatnya, kami akhirnya menjadi preman-preman kampung juga. Dampaknya tentu bisa ditebak, kenakalanku semakin menjadi-jadi.  Berbagai macam kemaksiatan pernah kulakoni.

Mulai dari tawuran antar desa, minum-minuman, judi, hingga gonta-ganti pacar. Perlu diketahui, mudahnya aku berpaling dari cewek satu ke cewek yang lain, itu dikarenakan aku memasang pelet pada mereka. Tujuan utamanya, karena saya merasa gengsi terhadap teman-teman yang sudah pada memiliki gebetan. Selanjutnya, menjadikan mereka sebagai sumber mata pencaharian.

Ada lagi rekor kenakalanku. Memalak orang dengan meminta paksa duitnya adalah keahlian kami mendapatkan uang.

Tidak hanya itu, sering kali ketika ada konser-konser, kami menjadi pelaku utama terjadi kerusuhan dan sumber onar tersebut. Bahkan mengakibatkan tawuran antar pemuda, ataupun antar desa. Perilaku buruk ini juga merambat ke sekolahan. Di sana, aku juga masuk nominasi anak nakal, bandel, tukang membuat ulah, sering membolos, dan lain sebagainya.

Tak jarang juga, saya dan teman-teman sepakat untuk mengancam guru yang kami anggap sebagai ‘batu sandungan’ kami dalam menjalankan misi. Salah satu korbannya adalah guru Bimbingan Konsling (BK). Terhitung, sampai tiga kali guru BK diganti, lantaran selalu kami cegat di jalan dan kami ancam.

Namun ada sebuah pepatah yang mengatakan, “Setiap perkataan itu ada jawaban, dan setiap perbuatan itu pasti ada balasannya”. Begitu pula yang terjadi padaku dan teman-teman.

Buah dari perilaku buruk tersebut, kami memiliki beberapa musuh, yang kapan saja, siap menerkam kami, ketika ada kesempatan. Sering kali waktu yang mereka gunakan untuk melampiaskan kebencian mereka adalah kami sedang berangkat dan pulang sekolah.

Pernah pada suatu hari, aku berangkat dengan salah satu teman menuju sekolah. Di tengah jalan, kami di hadang segerombolan pemuda. Temanku tersebut dilepaskan. Tapi tidak untukku. Mereka jadikanku bulan-bulanan. Hantaman demi hantaman menjalar di tubuh, hingga aku terkulai. Hal macam ini sering kali kualami.

Karena itu pula, saya minta izin pada orangtua untuk pindah sekolah. Tentu saja dengan alasan yang telah saya rekayasa, “Yaa..merasa kurang nyaman saja,” kilahku. Ternyata, meskipun sudah pindah sekolah, tetap saja rasa jenuh mengikuti kegiatan di lembaga formal ini menyeliputi diri.

Gonta-ganti sekolah, pun kerap aku lakukan, hingga ayah akhirnya menyerahkan seutuhnya padaku, di mana hendak berlabuh, dalam menentukan sekolah.

“Kalau kurang sreg dengan sekolah pilihan bapak, sekarang, tentukan sendiri, cari sendiri sekolah yang kamu kehendaki, tapi dengan catatan, cari yang murah,” ujar beliau  ketika aku ajukan ‘proposal’ pindah sekolah untuk yang kesekian kalinya.

Secercah Cahaya

Mendengar keputusan ayah tersebut, sebenarnya aku tambah kalut. “Mencari di mana sekolah ini?” ujarku mambatin. Alhamdulillah, melalui perantara paman, aku diarahkan untuk sekolah dan mondok di salah satu pesantren yang ada di Jawa Tengah.

Awalnya, aku elergi dengan tempat tersebut. Lebih-lebih ketika sang pimpinan menjelaskan kajian, yang menurut saya, sangat memojokkanku. Bukan apa-apan, karena semua tausyiahnya sangat bertentangan dengan apa yang telah kuyakini dan aku perbuat selama ini.

 Namun,  entah karena kesabaran beliau, atau pancaran “cahaya” kebaikan beliau,  akupun akhirnya tunduk juga. Sedikit demi sedikit nur ilahi merasuk, menyinari sanubari, sehingga tersikaplah noda hitam yang selama ini menyelimuti hati.

Akupun mulai belajar serius tentang agama. Setelah itu, aku baru menyadari betapa besar kekeliruan-kekeliruan, dosa-dosa, yang dulu pernah kulakukan. Hatiku merintih dan merinding karenanya.

Sesak dada karena penyasalan sering kali aku alami. Aku sering merenung dan berucap, “Yaa Allah, alangkah buruknya perilakuku dulu. Ampunilah hambamu ini yaa Allah.”

Jeritan hati macam ini sering kualami, manakala kegelapan dan kesunyian malam telah tiba.

Tantangan Menghadang

Setelah belajar di pesantren dan sedikit banyak memahami hukum-hukum Islam, aku menyadari bahwa ke depan, aku akan menghadapi benturan-benturan ideologi yang sekarang ini aku pegang teguh. Termasuk  di lingkungan keluarga dan tentu saja orang-orang yang dulu pernah bergaul denganku.

Apa yang menjadi prediksiku tersebut, benar-benar menjadi kenyataan. Ketika aku mencoba mengingatkan orangtuaku akan kekeliruannya, yang menurut pemahamanku saat ini adalah perbuatan syirik, beliau merasa tersinggung, dan menuduhku yang bukan-bukan.

“Jangan-jangan pondokmu itu aliran Wahabi, sehingga kamu memiliki pemikiran demikian? ” tuduhnya padaku.

Perlu diketahui, bahwasanya ayahku itu juga keluaran pesantren, yang juga memiliki kemampuan membaca kitab-kitab kuning. Karena argumen-argumen baliau yang begitu kuat –meskipun keliru menurut pandangan Islam- akupun tidak bisa membantah, karena minimnya stok pengetahuanku tentang hukum-hukum Islam.

Ujian selanjutnya berasal dari teman-temanku dulu. Mereka masih sering mengajakku minum, sekalipun telah kututurkan keenggananku dengan lemah lembut. Hasilnya, mereka justru mendampratku dengan kata-kata –menurut saya- sangat mengiris hati. “Kamu kok sombong sekali sih,” gerutu mereka.

Dan yang terakhir, gangguan tersebut, datang dari makhluk halus. Mungkin karena dulu pernah berakrab-akrab dengan mereka melalui jimat-jimat, pelet, sabuk ‘sakti’, akhirnya, kini, setelah semua aku tinggalkan, mereka tidak terima, dan mencoba menggangguku.

Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah sematalah, aku bisa mempertahankan tekadku, untuk merengguh keridhaan-Nya, meskipun harus melalui berbagai cobaan, yang terkadang sangat menyakitkan.

Kini, aku seperti kembali. Ya, kembali ke jalan yang benar. Dan aku telah duduk di bangku terakhir di bangku perkuliahan di salah satu Sekolah Tinggi Agama Islam yang berada di Jawa Timur.

Besar harapanku, kelak, orang-orang dekatku; sahabat-sahabat, terutama orangtuaku sendiri –terutama ayah-- bisa mengikuti jejakku, yang berpijak pada Al-Quran dan As-sunnah, bukan pada syaithan ataupun hawa nafsu yang membabi buta.

Yaa robbi ihdinaa shiraathal mustaqiem, shiraatha al-ladzi an’amta ‘alaihim ghairi al- maghdhu bi ‘alaihiim wa  laa al-dhalliin.” (Wahai Tuhanku, tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat. Bukan orang yang mereka murkai atau orang yang sesat). Amiin, amiin, yaa rabbal ‘aalimiin. [Robin S/kisah ini disampaikan langsung pada hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog