Di Universitas Waseda terdapat kurang lebih seribu mahasiswa Cina, di antara mereka terdapat tiga puluh sembilan orang yang beragama Islam. Merekalah yang menerbitkan surat kabar berbahasa Cina, At-Tayqazh al-Islamy. Hubungan Islam dengan Jepang masih terbilang belia jika dibandingkan hubungan agama ini dengan negara-negara yang lain di seluruh dunia. Namun sayangnya tidak ada catatan jejak sejarah yang jelas mengenai kontak antara Islam dan Jepang pertama kali, serta kapan persisnya Islam masuk ke negeri itu. Hanya terdapat sedikit sekali catatan sejarah yang merekam hubungan antara Islam dan Jepang sebelum mereka menerapkan kebijakan membuka negaranya pada tahun 1853. Meski demikian, diyakini, sudah banyak orang Islam yang datang ke kota Nagasaki berabad-abad sebelumnya. Agama Islam diketahui untuk pertama kali oleh penduduk Jepang pada tahun 1877 sebagai sebagian pemikiran agama Barat. Di sekitar tahun itu, kisah kehidupan Nabi Muhammad diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Ini menempatkan agama Islam dalam kancah pemikiran intelektual orang Jepang. Tapi baru sebatas sebagai pengetahuan dan pemikiran.
Persahabatan dengan Turki
Di awal masa kebangkitan Jepang tahun 1868, yang disebut Meiji, ada dua negara Asia yang bersatu dan menikmati kemerdekaan, yaitu Utsmaniyah dan Jepang. Kedua negara tersebut, yang tadinya sama-sama mendapat tekanan dari negara-negara Barat, akhirnya sepakat untuk membina hubungan yang kuat. Kedua negara tersebut pun kemudian saling mengunjungi.
Hal yang paling penting adalah pengiriman armada Sultan Abdul Hamid II ke Jepang pada tahun 1890, yang dipimpin Laksamana Laut Utsman Basya, dengan perwira lebih dari enam ratus, berasal dari Turki, Arab, Albania, Bosnia, dan lain-lain, dengan armada laut bernama Eltogrul.
Sesampainya di Jepang, Kaisar menyambut mereka. Setelah itu mereka pulang kembali ke Turki melalui jalur yang sama.
Namun, tak jauh dari tepi laut Jepang dekat wilayah Osaka, kapal tersebut terserang badai sehingga karam.
Dalam musibah tersebut, tentara Turki yang meninggal lebih dari lima ratus lima puluh orang. Di antara mereka adalah saudara Sultan dan Utsman Basya. Kaisar pun melakukan upacara untuk memberikan penghormatan kepada mereka yang meninggal.
Orang-orang yang selamat dari badai dibawa oleh dua kapal Jepang untuk diantarkan ke Istambul, sedangkan orang-orang yang meninggal dimakamkan di dekat wilayah tersebut. Museum pun dibangun di pinggirnya. Sampai hari ini, orang-orang Jepang dan Turki senantiasa melakukan peringatan atas musibah tersebut lima tahun sekali, walaupun pemerintahan mereka telah berganti. Ini merupakan bukti ketulusan warga Jepang dalam menjalin persahabatan dangan Turki.
Setahun setelah kejadian itu, seorang jurnalis Jepang, Osotara Noda, dengan sukarela mengumpulkan sumbangan dari Jepang untuk diberikan kepada seluruh keluarga yang tertimpa musibah kapal karam tersebut. Dia pergi ke Istambul pada tahun 1891 untuk memberikan sumbangan yang terkumpul kepada Kesultanan Utsmaniyah dan diterima langsung oleh Sultan Abdul Hamid II.
Ketika tinggal di Istambul, Osotara Noda bertemu seorang muslim Inggris yang berasal dari Liverpool, namanya Abdullah Ghullam.
Setelah terjadi dialog antara mereka, Osotara Noda masuk Islam. Namanya pun diganti menjadi Abdul Halim.
Orang-orang Pertama
Abdul Halim Noda adalah muslim Jepang pertama. Langkahnya diikuti oleh Yamada, yang datang ke Istambul pada tahun 1893, yang juga membawa sumbangan untuk keluarga yang tertimpa musibah kapal karam tersebut.
Setelah ia tiba di Istambul, Sultan Abdul Hamid II meminta kepadanya untuk mengajarkan bahasa Jepang kepada para perwira Utsmani.
Di Istambul, Yamada memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Khalil atau Abdul Khalil. Ia menjadi muslim Jepang kedua.
Adapun Muslim Jepang ketiga adalah Ahmad Ariga. Sebelum memeluk Islam, ia beragama Kristen dan bermata pencaharian sebagai pedagang.
Ketika ia berkunjung ke kota Bombay pada tahun 1900, pandangannya senantiasa mengarah pada sebuah masjid. Akhirnya, ia pun kemudian memeluk Islam di masjid tersebut.
Setelah itu ia kembali ke Jepang dan menjadi seorang dai serta ikut bergabung dalam salah satu kelompok yang berusaha menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jepang.
Pada fase ini, para pedagang muslim dari India menetap di seluruh wilayah Tokyo, Yokohama, dan Kobe. Mereka adalah komunitas muslim pertama yang menetap di Jepang.
Pada tahun 1902, seorang utusan Sultan Abdul Hamid II yang bernama Muhammad Ali berkunjung ke Jepang dalam rencananya membangun sebuah masjid di Yokohama.
Beberapa tahun kemudian, perwira Basya diutus Sultan Abdul Hamid II untuk mengawasi perang antara Jepang dan Rusia (1904-1905). Ia menetap di Jepang selama dua tahun, kemudian menjumpai Kaisar dan menulis buku yang terdiri dari dua jilid berbahasa Turki.
Setelah perang antara Jepang dan Rusia berakhir, tersebarlah berita besar tentang perhatian Jepang terhadap Islam dan dunia Islam. Berita ini mendorong kaum muslimin untuk menyebarkan Islam di Jepang.
Disebutkan, sebelumnya para perwira Mesir secara sukarela ikut membantu Jepang dalam mengalahkan Rusia. Setelah perang berakhir, di antara mereka banyak yang menikahi wanita Jepang. Sebagian dari mereka ada yang kembali lagi ke Mesir, sebagian lagi menetap di Jepang.
Di penghujung tahun 1905 atau awal tahun 1906, Sir Firaz Husain, seorang dai India, berkunjung ke Jepang. Ia memberikan ceramah tentang Islam di Nagasaki dan Tokyo, kemudian membangun masjid pertama di wilayah Osaka untuk para keluarga muslim Rusia setelah perang berakhir di tahun 1905. Tahun 1906, suatu berita menyebar di dunia Islam tentang akan diadakannya konferensi di Tokyo dengan mengikutsertakan warga Jepang yang berbeda agama untuk memilih agama yang benar. Maka kaum muslimin dari berbagai negeri pun sangat antusias untuk menghadiri konferensi tersebut. Sayyid Ahmad Al-Jarjawy, seorang pengacara muslim, mengatakan, ia pergi menghadiri konferensi tersebut dan menulis sebuah buku dengan judul Perjalanan Menuju Jepang pada tahun 1907. Ia datang ke Jepang ditemani beberapa orang, di antaranya Sulaiman Al-Shiny (Cina), Mukhlis Mahmud (Rusia), Husain Abdul Mun’im (India). Mereka mendirikan Asosiasi Dakwah Islam di Tokyo. Di tangan mereka, sebanyak dua belas ribu warga Jepang masuk Islam. Namun validitas data ini masih diperdebatkan.
Berbagai Media Dakwah
Abdurrasyid Ibrahim, dai Rusia, salah seorang yang mempertanyakan validitas itu, kemudian berkunjung ke Jepang. Ia, yang menetap di Jepang selama enam bulan, sempat menemui beberapa warga Jepang, dari para menteri hingga petani. Dengan perantaraannya, banyak cendekiawan di kalangan pemikir, wartawan, dan perwira yang masih muda, memeluk agama Islam. Ia pun pernah berkunjung ke Cina, Korea, India, dan Arab Saudi. Ia menulis buku sebanyak seribu halaman berbahasa Utsmani.
Di samping seorang dai, Abdurrasyid juga seorang politikus sekaligus sastrawan yang berwawasan. Pada masa tersebut, Muhammad Barakatillah dari Bahubal, India, datang ke Jepang. Ia adalah orang pertama yang mengajarkan bahasa Urdu di Universitas Bahasa Asing Tokyo selama tiga tahun. Ia menerbitkan majalah Ukhuwah Islamiyah antara 1910 hingga 1912. Dengan perantaraannya, sebagian warga Jepang pun masuk Islam.
Seorang dai lainnya, Ahmad Fadhly, kemudian menetap di Jepang dan menikahi gadis Jepang. Ia menulis buku berjudul Di Balik Kemajuan Jepang pada tahun 1911. Ia pun menerjemahkan buku berbahasa Jepang yang berjudul Jiwa Jepang, yang menjelaskan kepribadian warga Jepang. Ditemani Abdurrasyid, ia mengunjungi Universitas Waseda, kemudian menerjemahkan ceramah tentang Islam yang disampaikan Abdurrasyid selama tiga jam di universitas tersebut.
Abdurrasyid mengatakan, di Universitas Waseda terdapat kurang lebih seribu mahasiswa Cina, di antara mereka terdapat tiga puluh sembilan orang yang beragama Islam. Merekalah yang menerbitkan surat kabar berbahasa Cina dengan nama At-Tayqazh al-Islamy.
Di masa itu, seorang Jepang bernama Hasan Hatano masuk Islam dengan perantaraan Barakatillah. Hatano kemudian menerbitkan majalah bergambar yang terbit setiap bulan dengan bahasa Inggris, Islamic Brotherhood. Hatano juga menerbitkan majalah Islam, yang berbahasa Jepang dan Inggris.
Pada tahun 1909, seorang muslim Jepang bernama Umar Yamaoka menunaikan ibadah haji. Ia adalah orang Jepang pertama yang menunaikan ibadah haji. Abdurrasyid Ibrahim pun menemaninya dalam mengunjungi beberapa tempat suci hingga Istambul.
Ia menerbitkan majalah Dunia Islam di Prancis pada tahun 1911, yang memberitakan masuk Islam-nya dua orang Jepang yang menetap di Cina, dan berkeinginan untuk menyebarkan Islam d Jepang setelah pulang ke negerinya.
IY, dari berbagai sumber |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar