|
|
|
|
Written by Publisher Team |
Friday, 06 November 2009 16:27 |
Seorang berkopiah putih, dengan sangat khusyu’, dan dengan lafal yang sangat bagus, membacakan ayat Al-Quran. Ia bukan pria Arab, juga bukan orang Indonesia, melainkan orang Barat yang sudah masuk Islam.
Bismillahirrahmanirrahim. Dalam sebuah tabloid, saya dapati tulisan berikut: ".... Barat tak bisa lepas dengan masa lalunya. Islam juga tak bisa lepas dari sejarahnya sendiri. Karena itu, konflik Barat-Islam tersebut panjang, seperti teori Huntington, yang menyebutnya sebagai 'the clash of civilizations', sebagai gambaran dimulainya pertentangan Barat-Islam itu sejak Perang Salib pada abad ke-12. ..." Mungkin, tidak hanya Samuel Huntington yang menyuguhkan ramalan tentang konflik antara Barat dan Islam. Barangkali, terutama setelah melihat tindakan-tindakan Amerika Serikat terhadap negara-negara Islam, misalnya tindakan AS menyerang Afghanistan dan kemudian Irak, ada juga tokoh-tokoh lain yang percaya bahwa, pasca-Perang Dingin, kekuatan yang Barat anggap sebagi musuh adalah Islam.
Benarkah dikotomi Barat-Islam, dalam arti musuh? Atau, sesungguhnya itu hanya ada pada tataran persepsi?
Dalam konteks sejarah masa lalu, pada masa Perang Salib misalnya, mungkin pendikotomian Barat-Islam bisa diterima. Tapi untuk saat ini, persepsi Barat versus Islam tidak lagi benar, dalam arti tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Jika persepsi itu benar, mana mungkin Islam, dan kegiatan-kegiatan keislaman, bisa berkembang di negara-negara Barat.
Di Amerika Serikat, misalnya, tepatnya di Washington D.C., telah berdiri Islamic Centre. Tidak beda dengan umat Islam di Indonesia, negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, umat Islam di Amerika pun melakukan kegiatan-kegiatan keislaman yang sama, misalnya melakukan penghitungan-penghitungan untuk menentukan 1 Syawwal.
Anak-anak muslim Indonesia yang tinggal di New York juga tidak ketinggalan. Mereka aktif menyemarakkan suasana Ramadhan dengan tampil dalam berbagai acara Islami di sejumlah jaringan televisi di Amerika Serikat. Berceramah, menyanyikan lagu-lagu qashidah, dan sebagainya.
Tidak hanya di Amerika Serikat. Di Eropa, Islam, dan kegiatan-kegiatan keislaman, juga berkembang. ‘Idul Fithri di Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lainnya, juga dirayakan dengan berbagai kegiatan Islami. Misalnya, shalat ‘Id, silaturahim, dan sebagainya.
Bukti yang juga tidak terbantahkan tentang perkembangan Islam di negara-negara Barat adalah jumlah penganut agama itu. Hampir satu dasawarsa yang lalu saja, pasca-Peristiwa 11 September, sudah ada 6.000.000 umat Islam di Amerika Serikat.
Mereka yang sebelumnya mencari tahu tentang Islam dengan dasar kebencian berubah menjadi menyakini ajaran Islam. Tak lama setelah peristiwa itu, ribuan warga Amerika Serikat mendapatkan hidayah, masuk Islam.
Ada 20.000-an warga AS masuk Islam setiap tahunnya setelah Peristiwa 11 September, demikian menurut sebuah penelitian di AS. Pasca 9/11 adalah era pertumbuhan Islam yang paling cepat dalam sejarah AS.
Itu baru umat Islam di Amerika. Belum lagi muslim di negara-negara Barat yang lain. Jurang Kesombongan Dalam Al-Quran surah Al-Hujurat (49: 13) disebutkan, Allah SWT menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia saling mengenal. Dan, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Dalam hadits Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr RA, juga dikatakan, Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak memandang tubuh dan rupa kalian, melainkan hati.” Eksistensi bangsa-bangsa Barat adalah sunatullah. Dan, menjadi tugas setiap muslim untuk memperlihatkan Islam, yang rahmatan lil al’amin, kepada mereka, yang secara kebetulan Islam masih menjadi agama minoritas di negara-negara itu.
Janganlah kita terperosok ke dalam jurang kesombongan, dengan mencitrakan Barat sebagai non-Islam. Seorang individu non-Barat yang mengaku dirinya Islam tapi tingkat ketaqwaannya sangat rendah tentu saja lebih rendah di sisi Allah SWT daripada muslim Barat yang beriman dan menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya.
Jadi, untuk saat ini, sama sekali tidak tepat membuat dikotomi permusuhan Barat-Islam. Muslim Barat yang saya ceritakan pada eye-catching tulisan ini, dan jutaan muslim Barat yang lain, adalah bukti hidup atas kebenaran pernyataan itu.
Sayang, keadaan ini ternodai oleh rezim Israel, misalnya, yang telah menistakan kemuliaan dan kesucian Masjid Al-Aqsha di Tanah Suci Al-Quds, pada hari Ahad, 25 Oktober 2009, dengan menyerbu tempat suci umat Islam tersebut.
Amerika, sebagai negara yang cukup keras berusaha untuk membangun hubungan baik dengan dunia Islam, tentu sangat layak untuk menegur Israel. Sebab, jika hal seperti itu terus dilakukan oleh negeri zionis tersebut, dan Amerika hanya diam, upaya positif AS itu bisa-bisa gagal. Amerika Serikat sudah mulai harus berpikir bahwa dunia Islam adalah mitra yang sangat strategis, lebih strategis daripada sebuah negara kecil Israel. Wallahu’alam bishawab. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar