studi atas kitab inilah sejarah ringkas syekh paseban assyattari
rahimahullah ta’ala anhu.
Kitab Inilah Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu mungkin merupakan satu-satunya sumber tertulis yang meriwayatkan sejarah hidup Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu, seorang tokoh ulama Islam aliran Syattariyyah, secara lengkap. Ia adalah ulama terakhir yang menjalankan kaidah-kaidah Islam menurut pandangan aliran Syattariyyah secara murni, di pertengahan Abad XIX. Seperti yang diketahui bersama, pertengahan abad XIX merupakan masa akhir pergulatan ideologi keislaman antara kaum tuo yang diwakili tarekat Syattariyyah dan Naqsyabandiyyah dengan kaum muda (non tarekat). Di masa itu, kaum tuo sepertinya tidak memiliki kekuatan untuk mengimbangi agresitas kaum muda yang kian hari kian meningkat, baik itu dari segi gerakan maupun jumlah pengikutnya. Gerakan-gerakan yang dilakukan kaum muda tersebut pada akhirnya membentuk semangat kebersamaan bagi kaum muslim, tidak saja di Minangkabau, namun di seluruh kawasan Nusantara, dalam menentang kolonialisme.
Kitab Inilah Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Ta’ala Anhu berukuran 14 x 20 cm, memiliki tebal 108 halaman. Ditulis dengan tinta berwarna hitam dengan huruf Arab, dan berbahasa Arab dan Melayu. Jumlah baris dalam setiap halamannya rata-rata 16,7 dan panjang baris rata-ratanya 8,78 cm. Jumlah kuras sebanyak 7 kuras, dan jumlah lembaran per kurannya adalah 8 lembar. Alas naskah berupa kertas berukuran folio, dan di setiap halamannya diberi blok teks yang berukuran 9,7 x 15,5 cm. Kitab ini tergolong baru, informasi yang terdapat di bagian kolofon, kitab ini selesai ditulis pada tanggal 19 Oktober 2001. Di halaman dua terdapat segi empat yang membentang membelah blok teks. Di dalam segi empat tersebut tertulis Bismillahirrahmannirahim dengan tulisan Arab. Untuk tanda baca, penulis menggunakan tiga jenis tanda baca, yakni; tanda (.) untuk menandakan kalimat berhenti, dan pengganti peran tanda (,) untuk berhenti sejenak dan tanda (:) dipergunakan untuk mengahiri suatu kalimat, yang selanjutnya diikuti dengan kalimat dialog.
Tidak banyak memang, bukti-bukti yang dapat menunjukkan keberadaannya, setidaknya sebuah surau tuo yang terletak di Kampung Koto Tangah, Koto Panjang Tabing Padang, yang oleh penduduk setempat dikenal dengan Surau Paseban, dan beberapa manuscript yang tersimpan di dalam surau tersebut, adalah saksi bisu, dari keberadaan ulama yang kharismatik itu. Sehingga penulis merasa berkepentingan untuk memperkenalkannya ke khalayak umum. Dengan harapan, semoga tulisan ini dapat menjadi sumber inspirasi, tambahan pengetahuan dan wawasan bagi generasi muda, dan melengkapi bahan-bahan kepustakaan tentang kesejarahan Islam di Sumatra Barat.
Syekh Paseban, Riwayat Seorang Guru.
Syekh Paseban, lahir di Kampung Koto Panjang, Koto Tangah, Padang, tahun 1234 Hijriah (1817 Masehi). Nama kecilnya adalah Karaping, gelar Sidi Alim, bersuku Piliang. Setelah beranjak dewasa, ia diantar oleh kedua orang tuanya untuk belajar mengaji ke Tanjung Medan, Ulakan. Adalah Syekh Habibullah (khalifah keenam dari Syekh Burhanuddin Ulakan) yang menjadi ulama di Tanjung Medan pada waktu itu. Dengan Syekh Habibullah ia menekuni bidang Quranulkarim. Namun walaupun telah tiga kali menamatkan Qur’an, ia tidak mampu memahami dan menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh karena mendapat kesulitan dalam memahami pelajaran yang diberikan guru, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Di kampung ia menjadi preman (parewa), bergaul dengan guru-guru silat.
Beberapa lama kemudian, akhirnya ia berniat untuk kembali mempelajari ilmu agama. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi ke Malalak (w. 1356 H/1837) dan berguru dengan Angku Syekh Malalak Limo Puluah. Setahun belajar di Malalak, ia tetap mendapatkan kesulitan dalam memahami pelajaran, atas dasar itu pula, oleh sang guru, Angku Syekh Malalak Limo Puluah, diambil kebijaksanaan untuk memindahkannya ke Pakandangan, untuk berguru kepada Syekh Surau Gadang Pakandangan. Di Pakandangan inilah, akhirnya ia mampu memahami dan menguasai ajaran-ajaran Islam yang diberikan oleh guru. Sesuatu yang tak lazim memang, karena di Pakandangan ini, ia hanya membutuhkan waktu tiga bulan untuk dapat menguasai seluruh ajaran yang diberikan Angku Syekh Surau Gadang Pakandangan, seperti: Tafsir, Fiqh, Nahwu, Syarf.
Melihat kemajuan yang luar biasa itu, oleh guru, Angku Syekh Surau Gadang, ia diperintahkan untuk pindah mengaji ke Padang Gantiang, Batusangkar, untuk berguru kepada Syekh Padang Gantiang, yang tak lain adalah guru dari Syekh Surau Gadang Pakandangan. Pertimbangan itu diambil oleh Syekh Surau Gadang Pakandangan karena semua ilmu yang dimilikinya telah diajarkan dan dikuasai oleh “Karaping” sehingga tidak ada lagi yang dapat diberikannya, oleh sebab itu, belajar kepada guru yang lebih tua, diharapkan akan dapat menambah ilmu dan pengetahuan Karaping.
Di Padang Ganting, ia selain belajar menjadi murid, juga diizinkan mengajar dan diberi murid sebanyak enam puluh orang. Setiap harinya, di siang hari ia mengajar murid-muridnya dan pada sore harinya ia belajar kepada Angku Syekh Padang Ganting. Oleh Syekh Padang Gantiang, ia diajarkan ilmu Nahwu, Syarf, Tafsir, Fiqh, Mantiq Ma’ana, Uslul Tauhid. Tak lama kemudian, karena telah berhasil menguasai ilmu-ilmu yang diberikan, Angku Syekh Padang Ganting, ia berbai’at dan talakin zikir kepada tarekat dan guru, dan mulai saat itu resmilah ia menjadi khalifah Angku Syekh Padang Ganting. Oleh orang kampungnya sendiri ia dikenal dengan sebutan Syekh ahli Tafsir dan ahli tarekat Syattariyyah.
Masih di Padang Gantiang, suatu hari, datang seorang dari Nagari Sungai Abang meminta Syekh Padang Gantiang untuk mengajar di Sungai Abang, oleh Syekh Padang Gantiang diperintahnyalah Karaping menerima permintaan orang tersebut untuk mengajar di sana. Dan esoknya, Karaping berangkat ke Sungai Abang dan mengajar di sana. Di Sungai Abang, ia mendapatkan murid yang tidak sedikit, sebagian besar murid-muridnya itu berasal dari daerah rantau Pariaman, dan ada juga yang berasal dari daerah darek. Tak beberapa lama kemudian, timbul rasa rindu dalam dirinya kepada kampung halaman yang telah lama ditinggalkannya. Selanjutnya, ia memutuskan untuk pulang ke kampungnya di Nagari Koto Tangah dan mengajar di sana. Di Koto Tangah, Karaping mendirikan sebuah surau di atas tanah bekas Rumah Tahanan (penjara = Paseban), itulah awal nama “Paseban” diberikan padanya.
Di Koto Tangah inilah Syekh Paseban memperoleh banyak pengalaman. Ia pernah dijebloskan ke dalam penjara oleh seorang Camat yang baru saja bertugas di Nagari Koto Tangah. Kesalahan yang dituduhkan kepadanya pada waktu itu adalah tidak pernah membayar rodi, padahal menurut peraturan yang ada, ulama dibebaskan dari rodi. Namun, sepertinya hal ini memang sengaja dilakukan oleh sang Camat, alasannya adalah untuk menutupi rasa malu yang terimanya karena Syekh Paseban telah mempermalukan gurunya yakni Inyiak Rasul, dan berarti juga mempermalukan dia (Camat). Memang pada waktu itu, gelombang reformasi keislaman di Mekkah juga dapat di rasakan di Koto Padang. Inyiak Rasul yang merupakan ulama dari golongan muda, mengkritik kebiasaan mancaliak bulan untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan yang sering dilakukan oleh kelompok Islam konservatif (Syattariyyah). Menurut Inyiak Rasul, kebiasaan itu sangat berbahaya dan tidak berlaku lagi di zaman sekarang, karena sekarang telah tercipta ukuran waktu yang akurat yaitu “kalender” sehingga telah dapat diketahui awal dan akhirnya Ramadhan. Namun, pendapat Inyiak Rasul tersebut di tolak secara halus oleh Syekh Paseban. Ia –Syekh Paseban– mengatakan sangat ingin cara yang mudah tersebut, ia pun mengakui bahwa kegiatan mancaliak bulan sangat berbahaya, namun sebelumnya, terlebih dahulu ia meminta kepada Inyiak Rasul untuk membunyikan hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa untuk mengetahui awal dan akhir Ramadhan cukup dengan hanya melihat kalender (ilmu hisab), tidak melihat bulan. Mendengar tanggapan Syekh Paseban tersebut, Inyiak Rasul terdiam karena memang tidak ada hadits yang menyebutkan hal itu. Dan akhirnya seluruh penduduk mengikut Syekh Paseban.
/…..Maka diundangnya Syekh Paseban ke kantornya menghadiri pertemuan itu. Dalam pertemuan itu, mula pertama memberi pengajian Inyiak Rasul. Dalam pengajian itu akhirnya sampai ke soal puasa “Yang kita sayangkan di masa sekarang zaman telah maju tetapi sebahagian kita masih suka juga di zaman bodoh. Apa sebabnya? Kalau dahulu kita akan masuk puasa tilik dahulu bulan, kalau sudah tampak baru kita puasa. Melihat bulan itu ke tempat yang tinggi, ke atas bukit, itu pekerjaan berbahaya mendatangkan penyakit. Mana contohnya? Kita pergi ke atas bukit di situ tidak ada dangau tempat berteduh. Dalam kita menanti-nanti bulan, ada badai gadang dan hujan, kita dangau tidak ada, terpaksalah basah kuyub tiba di rumah bangkit Kuro. Padahal sekarang telah ada almanak, telah tentu satu Ramadhan tidak mendaki bukit dan tidak berhujan-hujan dan tidak kedinginan. Tidaklah bodoh namanya itu yang mudah sudah ada kita pakai juga yang sukar lagi berbahaya.”
Maka mengusul Syekh Paseban kata beliau “itu keterangan tuanku betul. Ya, masih bodoh juga sebahagian kami betul itu. Berbahaya pergi melihat bulan itu ke tempat yang tinggi ke atas bukit, tempat yang sunyi tidak ada dangau, kalau tiba badai dan hujan lebat ya bangkai dingin dibuatnya. Maka mendengar keterangan tuanku ingin pula hati kami kepada yang mudah itu. Tetapi sebelum kami pindah kepada yang mudah itu kami ingin dahulu mendengar hadits Nabi Muhammad yang menyuruh memasuki puasa dengan melihat hisab.” Mendengar usul dari Syekh Paseban itu maka Inyiak Rasul terdiam sebab tidak ada haditsnya yang menyuruh memasuki puasa dengan melihat hisab…/ (Inilah Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Taala Anhu: Hal. 26-27).
Lama kelamaan, pengikut Syekh Paseban pun bertambah banyak, bukan saja orang dari Nagari Koto Tangah melainkan juga dari berbagai pelosok Nagari di Minangkabau, seperti Pauah, Solok, Batu Sangkar, Bukittinggi, Padang Panjang, Sungai Abang dan lainnya. Popularitasnya sebagai seorang ulama pun semakin meningkat, bahkan ada pameo pada waktu itu untuk “para ulama baru” apabila mereka belum pernah berguru kepada Syekh Paseban maka diragukan kompetensinya sebagai seorang ulama. Ia bahkan pernah dimintai pertolongan oleh Komandan tentara Belanda untuk membantu Belanda menghentikan aktivitas pergolakan yang dimotori oleh PKI di daerahnya, Koto Tangah.
/….Maka pada suatu pagi sedang beliau Syekh Paseban sedang mengajar, datanglah serombongan tentara Belanda yang dikepalai oleh “Uyus” itulah nama pangkat Komandannya. Hampir tiba mereka dituturan surau, dikhabarkan orang kepada beliau bahwa tentara Belanda akan naik ke atas surau. Maka beliau lekas keluar. Tiba di muka jenjang Uyus akan menginjak anak jenjang “tunggu! Tunggu di situ!” Kata beliau. Uyus berdiri di muka jenjang. “Apa khabar?” Kata beliau. Menjawab Uyus “kedatangan kami minta bantuan pendeta, menolong mengamankan keadaan ini kalau tidak kami akan melakukan tindakan keras.” Berkata Syekh Paseban “nanti malam saya urus.” Malamnya pergilah beliau ke lapau. Di halaman Surau Gadang Koto Panjang sedang rami. Maka beliau berkata waktu itu “kalau kalian ingin Negeri aman, pulang-pulangkanlah surat merah itu kalau tidak lepas tanggung jawab aku. Tentara Belanda akan bertindak keras.” Sudah berkata beliau kembali ke surau. Maka beresok harinya dipulang-pulangkan oranglah Surat Merah itu. Maka pemimpin Komunis sesudah itu banyak yang terbunuh dan tertangkap seperti si Pati dan si Lanjai…/ (Ibid: 32).
Sebagai tanda terima kasihnya, karena telah ditolong oleh Syekh Paseban, Pemerintah Belandapun bekeinginan memberikan tanda jasa untuk Syekh Paseban, namun, keinginan tersebut ditolaknya mentah-mentah, alasannya karena ia tidak ingin penghargaan duniawi. Penghargaan yang kekal telah diberikan Tuhan kepadanya.
Sebagai seorang ulama, Syekh Paseban tentu memiliki keinginan untuk menunaikan ibadah haji, untuk menyempurnakan rukun Islamnya. Akhirnya niat tersebut dikabulkan oleh Allah SWT, ia pun berangkat menunaikan ibadah haji. Sebelum Syekh Paseban berangkat ke Negeri Mekkah, ia mengangkat beberapa orang muridnya untuk dijadikannya khalifahnya. Maka, bertepatan tanggal 27 Rajab 1356 Hijrah (1937 Masehi) mengangkat tiga orang khalifah yakni: Angku Fakih Lutan, Angku Inyik Adam, keduanya dari Koto Tangah, dan Angku Haji Abdul Majid dari Pauh Kembar. Sedangkan Haji Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib (Penulis naskah SP) tidak sempat diangkat sebagai khalifah, karena pada waktu syekh Paseban hendak berangkat haji ke Mekkah, umur Imam Maulana masih sangat kecil, yakni 12 tahun.
/…Orang yang akan menjadi khalifah beliau, Syekh Paseban adalah bertiga orang (Pertama) Pakih Lutan. (Kedua) Pakih Adam. (Ketiga) Haji Abdul Majid Pauh Kambar…/ (Ibid: 77).
Angku Fakih Lutan dan Angku Inyiak Adam ditugaskan dalam urusan adat, sedangkan Angku Haji Abdul Majid, ditugaskan untuk urusan agama. Selain keempat orang tersebut, Syekh Paseban juga menunjuk beberapa orang sebagai penasehat. Mereka antara lain, Angku Qadi Talang dari Solok, Angku Syekh Datuk dari Lumindai, Angku Surau Gadang dari Tanjung Medan Ulakan, Angku Ibrahim dari Mudik Padang.
Sebelum keberangkatannya, Syekh Paseban menitipkan beberapa pesan kepada mereka (para khalifah dan penasehat), pertama, bahwa sekiranya ia meninggal di Mekkah, maka kuburkanlah ia di Mekkah, karena ia tidak mau mayatnya dikuburkan di kampungnya, karena apabila ia dikuburkan di kampungnya, maka mungkin kuburnya akan diziarahi orang juga.
/…Kalau ada sesuai dengan qhadar Tuhan, tinggal saya di Mekkah hendaknya. Kalau saya berbalik pulang akan berdosa pula orang Koto Tangah, sebab kalau saya kembali pulang tentu kubur saya diziarahi [pulang] pula. Maka dikata orang yang anti kuno, orang ziarah aku itu orang menyembah kubur…/ (Ibid: 88).
Kedua, ia pun meminta kepada keempat khalifahnya untuk selalu menjaga kitab-kitab yang ada di suraunya, ia tidak merestui apabila kitab-kitab itu keluar dari suraunya. Barang siapa yang memerlukan kitab-kitab itu, ia izinkan untuk menyalinnya, namun jangan sekali-kali membawa keluar kitab-kitabnya itu dari suraunya.
Tujuan Syekh Paseban ke tanah suci yang lainnya adalah selain memang ingin menunaikan ibadah haji, ia ingin sekali “membuka kaji” di Mekkah, untuk itu di antara kitab-kitabnya, ada beberapa kitab yang sengaja dibawanya ke Mekkah. Di Mekkah, ternyata niat untuk “membuka kaji” tidak kesampaian. Kaum reformis Mekkah mengeluarkan larangan terhadap setiap bentuk ajaran-ajaran Islam kuno untuk dikembangkan. Bahkan kitab-kitab ajaran Islam kuno itupun telah dibakar dan para ulamanya yang tidak mau bekerja sama dengan kaum Islam moderat di bunuh. Bukan itu saja, karena faktor usia membuat ia tidak dapat secara penuh melakukan ibadah haji. Di asrama, Syekh Paseban sering jatuh sakit, sehingga ia harus dirawat oleh tim kesehatan (mantri) secara intensif. Akhirnya Syekh Paseban meninggal dunia. Sesuai dengan permintaannya, maka oleh sanak keluarganya jasadnya dikuburkan di Mekkah.
Wallahu a‘lam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar