Minggu, 01 November 2009

Saudah binti Zam’ah Muhajirah janda Muhajir

Dia adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdu Syams bin Abdud dari suku Quraisy Al-Amiriyah. Ibunya adalah Asy-Syumusy binti Qais bin Zaid bin Amr dari Bani Najjar. Ia adalah wanita yang cerdas dan berpostur tinggi besar. Saudah pernah menikah dengan Sakran bin Amr, saudara Suhail bin Amr Al-Amiri. Saudah dan suaminya beserta delapan orang dari Bani Amir lainnya adalah di antara mereka yang berhijrah meninggalkan rumah dan hartanya dengan berlayar menyeberangi lautan dan rela menempuhnya meskipun maut siap menghadang, demi menyelamatkan agama mereka. Siksaan dan tekanan yang mereka rasakan sudah begitu hebat karena penolakan mereka terhadap kesesatan dan kemusyrikan. Begitu hilang penderitaan yang dialaminya selama di pengasingan di negeri Habsyi, kini dia harus merasakan cobaan sebagai janda karena suaminya meninggal.

Keadaan inilah yang membuat Nabi merasa iba kepadanya. Oleh karena itu, ketika Khaulah binti Hakim menceritakan keadaan Saudah di depan Nabi, beliau mengulurkan tangannya dengan penuh belas kasih untuk menjadikan Saudah sebagai pendamping beliau guna meringankan penderitaan yang dirasakan Saudah, apalagi saat itu Saudah sudah tua dan membutuhkan pendamping yang selalu menjaganya.
Jika kita mau menyimak catatan-catatan sejarah hidup Rasulullah, tidak seorang sahabat pun yang berani berbicara kepada Rasulullah tentang masalah pernikahan beliau setelah wafatnya Khadijah, seorang wanita suci yang beriman kepada beliau ketika orang banyak masih kafir, seorang wanita yang rela membantu beliau dengan hartanya ketika orang banyak masih enggan memberinya, dan seorang wanita yang lewat dirinyalah beliau dikaruniai puta-putri oleh Allah.
Suatu ketika Khaulah binti Hakim berinisiatif untuk menanyakan kepada Rasulullah dengan begitu hati-hati, “Tidakkah engkau ingin menikah lagi wahai Rasulullah?” dengan masih menampakkan kesedihan yang beliau rasakan, beliau menjawab, “Siapa yang bisa menggantikan Khadijah, wahai Khaulah?” Khaulah menjawab, “Jika engkau menghendaki ada yang perawan ada yang janda.” Beliau bertanya, “Siapa yang perawan?” Khaulah menjawab, “Anak seorang makhluk Allah yang paling engkau cintai, Aisyah binti Abu Bakar.” Setelah diam beberapa saat, beliau kembali bertanya, “Siapa yang janda?” Ia menjawab, “Saudah binti Zam’ah, ia adalah wanita yang telah beriman pada engkau dan berjuang bersama engkau.”
Ternyata Rasulullah menyetujui saran Khaulah. Tidak lama kemudian, beliau pun menikahi Aisyah dan Saudah pada hari yang sama. Namun saat itu yang langsung hidup serumah dengan Nabi adalah Saudah. Setelah kurang lebih tiga tahun hidup bersama Saudah, barulah beliau hidup serumah dengan Aisyah.
Banyak penduduk Makkah yang heran dengan pernikahan Rasulullah dengan Saudah. Mereka bertanya-tanya dengan penuh keraguan, “Bagaimana mungkin seorang janda yang telah tua dan tiadk menarik bisa menggantikan kedudukan Khadijah seorang tokoh wanita Quraisy?.” Akan tetapi, sebenarnya yang terjadi tidaklah demikian, Saudah dan siapa pun tidak bisa menggantikan kedudukan Kahdijah di hati Rasululah. Rasulullah menikahi Saudah semata karena kebaikan dan sifat kasih sayang beliau.
Sementara Saudah ternyata mampu menyesuaikan dirinya selama berada dalam rumah tangga nabi. Ia mampu mengasuh dan merawat putri-putri beliau. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya dapat menghibur hati Nabi sekaligus menggantikan wajahnya yang tidak begitu menarik dan tubuhnya yang gemuk.
Setelah tiga tahun Saudah menjadi istri Nabi satu-satunya masuklah Aisyah ke dalam rumah tangga Nabi dan seterusnya Hafshah, Zainab, Ummu Salamah, dan lainnya.
Saudah menyadari bahwa Nabi menikahi dirinya karena rasa iba dengan kondisinya setelah ditinggal mati suaminya. Hal ini terbukti ketika Nabi pernah berniat untuk menceraikan Saudah, beliau khawatir kalau hal itu akan menyakiti hatinya. Ketika Nabi menyampaikan maksudnya untuk menceraikannya tampak di wajah Saudah perasaan tertekan dan sedih. Saudah berkata, “Biarkanlah aku tetap sebagai istri engkau. Demi Allah aku tidak akan banyak menuntut sebagaimana istri-istri engkau yang lain, namun aku ingin dibangkitkan Allah sebagai istri engkau di hari kiamat.”
Begitulah Saudah, segala sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh keridhaan suaminya yang mulia, Rasulullah Shallahu alaihi wasallam. Hal inilah yang menyebabkan ia memberikan jatah gilirannya kepada Aisyah demi menyenangkan hati Rasulullah. Sementara Rasulullah juga berkenan mengabulkan permintaan Saudah untuk beralih kepada Aisyah. Berkenaan dengan hal ini turun ayat,
QS An Nisa
128. Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[1] atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[2], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[3]. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[1] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya.
[2] Seperti isteri bersedia beberapa haknya dikurangi Asal suaminya mau baik kembali.
[3] Maksudnya: tabi’at manusia itu tidak mau melepaskan sebahagian haknya kepada orang lain dengan seikhlas hatinya, Kendatipun demikian jika isteri melepaskan sebahagian hak-haknya, Maka boleh suami menerimanya.

Saudah tinggal di rumah Nabi dengan penuh keridhaan dan ketenangan serta rasa syukur karena Allah telah menjadikannya istri makhluk-Nya yang terbaik di dunia, sebagai ibunda kaum mukmin, dan sebagai istri Rasulullah kelak di surga.
Saudah binti Zam’ah wafat pada akhir masa kekhalifahan Umar bin Khathab. Aisyah berkata tentang kesannya terhadap Saudah, “Tidak ada wanita yang lebih aku senangi untuk aku tiru perangainya, selain Saudan binti Zam’ah. Ketika usianya telah udzur, Saudah berkata, “Wahai Rasulullah, aku berikan jatah giliranku untuk Aisyah, hanya saja sayangnya dia itu tipe wanita yang mudah marah.”

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog