Minggu, 01 November 2009

Aisyah binti Abu Bakar Wanita yang dibersihkan namanya langsung dari atas langit ke tujuh

Dia adalah gurunya kaum laki-laki, seorang wanita yang suka kebenaran, putri dari seorang laki-laki yang suka kebenaran, yaitu Khalifah Abu Bakar Abdullah bin Abu Quhafah Utsman bin Amir dari suku Quraisy At-Taimiyyah di Makkah, ibunda kaum mukmin, istri pemimpin seluruh manusia, istri nabi yang paling dicintai, putri dari laki-laki yang paling dicintai Rasulullah dan wanita yang dibersihkan namanya dari atas langit ketujuh. Amr bin Ash Radhiyallahu anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallahu alaihi wasallam, “Siapakah orang yang paling engkau cintai wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Aisyah” Amr bin Ash bertanya lagi, “Kalau laki-laki?” Rasul menjawab, “Ayahnya.” Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari Muslim. Baca pula Shahih Bukhari, Kitab Keutamaan Para Sahabat, bab Sabda Nabi, “Sekiranya aku dibolehkan mengangkat seorang khalil (kekasih).”

Dia adalah wanita yang telah membuktikan kepada dunia sejak 14 abad yang lalu bahwa seorang wanita memungkinkan untuk lebih pandai daripada kaum lelaki dalam bidang politik atau strategi perang.
Wanita ini bukan lulusan perguruan tinggi dan juga tidak pernah belajar dari para orientalis dan dunia barat. Ia adalah murid dan alumni madrasah kenabian dan madrasah iman. Sejak kecil ia sudah diasuh oleh seorang yang paling utama yaitu ayahnya, Abu Bakar. Ketika menginjak dewasa ia diasuh oleh seorang nabi dan guru umat manusia, yaitu suaminya sendiri, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Dengan demikian, terkumpullah dalam dirinya ilmu, keutamaan, dan keterangan-keterangan yang menjadi referensi manusia sampai saat ini. Teks Hadits-hadits yang diriwayatkannya selalu menjadi bahan kajian di fakultas sastra, sebagai kalimat yang begitu tinggi nilai sastranya. Ucapan dan fatwanya selalu menjadi bahan kajian di fakultas agama, sedang tindakannya menjadi materi penting bagi setiap pengajar mata pelajaran / mata kuliah sejarah bangsa Arab dan Islam.
Pernikahan Rsulullah dengannya merupakan perintah langsung dari Allah azza wa jalla setelah wafatnya Khadijah. Rasulullah menikahi Aisyah dan Saudah pada waktu yang bersamaan. Hanya saja pada saat itu Rasulullah tidak langsung hidup serumah bersama Aisyah. Setelah kurang lebih tiga tahun hidup serumah dengan Saudah, tepatnya pada bulan Syawal setelah perang Badar, barulah beliau hidup serumah dengan Aisyah. Aisyah menempati salah satu kamar yang terletak di kompleks masjid nabawi, yang terbuat dari batu bata dan beratapkan pelepah kurma. Alas tidurnya hanyalah kulit hewan yang diisi dengan rumput kering, alas duduknya berupa tikar, sedang tirai kamarnya terbuat dari bulu hewan. Di rumah yang sederhana itulah Aisyah memulai kehidupan sebagai istri yang kelak akan menjadi perbincangan dalam sejarah.
Pernikahan bagi seorang wanita adalah sesuatu yang utama dan penting. Setelah menikah seorang wanita akan menjadi istri dan selanjutnya akan menjadi seorang ibu. Kekayaan dunia sebanyak apa pun, kemuliaan setinggi awan, kepandaian yang tak tertandingi, dan jabatan yang begitu tinggi, sekali-kali tidak akan ada artinya bagi seorang wanita jika tidak menikah dan menyanyangi suami, sebab tidaklah mungkin bahagia seseorang yang berpaling dari fitrahnya.
Dalam kehidupan berumah tangga, Aisyah merupakan guru bagi setiap wanita di dunia sepanjang masa. Ia adalah sebaik-baik istri dalam bersikap ramah kepada suami, menghibur hatinya, dan menghilangkan derita suami yang berasal dari luar rumah, baik yang disebabkan karena pahitnya kehidupan maupun karena rintangan dan hambatan yang ditemui ketika menjalankan tugas agama.
Aisyah adalah seorang istri yang paling berjiwa mulia, dermawan, dan sabar dalam mengarungi kehidupan bersama Rasulullah yang serba kekurangan, hingga pernah dalam jangka waktu yang lama di dapurnya tidak terlihat adanya api untuk pemanggangan roti atau keperluan masak lainnya. Selama itu mereka hanya makan kurma dan minum air putih.
Ketika kaum muslim telah menguasai berbagai pelosok negeri dan kekayaan datang berlimpah, Aisyah pernah diberi uang seratus ribu dirham. Uang itu langsung ia bagikan kepada orang-orang hingga tak tersisa sekeping pun di tangannya, padahal pada waktu itu di rumahnya tidak ada apa-apa dan saat itu ia sedang berpuasa. Salah seorang pelayannya berkata, “Alangkah baiknya kalau engkau membeli sekerat daging meski satu dirham saja untuk berbuka puasa!” Ia menjawab, “Seandainya engkau katakan hal itu dari tadi, niscaya aku melakukannya.”
Dia adalah wanita yang tidak disengsarakan oleh kemiskinan dan tidak dilalaikan oleh kekayaan. Ia selalu menjaga kemuliaan dirinya, sehingga dunia dalam pandangannya adalah rendah nilainya. Datang dan perginya dunia tidaklah dihiraukannya.
Dia adalah sebaik-baik istri yang amat memperhatikan dan memanfaatkan pertemuan langsung dengan Rasulullah, sehingga dia menguasai berbagai ilmu dan memiliki kefasihan berbicara yang menjadikan dirinya sebagai guru para sahabat dan sebagai rujukan untuk memahami hadits, sunnah, dan fiqih.
Az-Zuhri berkata, “Seandainya ilmu semua wanita disatukan, lalu dibandingkan dengan ilmu Aisyah, tentulah ilmu Aisyah lebih utama daripada ilmu mereka.”
Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari ayahnya, ia berkata, “Sesungguhnya aku telah belajar banyak dari Aisyah. Belum pernah aku melihat seorang pun yang lebih pandai daripada Aisyah tentang ayat-ayat Alquran yang sudah diturunkan, hukum fardhu dan sunnah, syair, permasalahan yang ditanyakan kepadanya, hari-hari yang digunakan di tanah arab, nasab, hukum, serta pengobatan. Aku berkata kepadanya, “Wahai bibi dari manakah engkau mengetahui ilmu pengobatan?” Aisyah menjawab, “Aku sakit, lalu aku diobati dengan sesuatu, ada orang lain juga diobati dengan sesuatu, dan aku juga mendengar orang banyak, sebagian mereka mengobati sebagian yang lain, sehingga aku mengetahui dan menghapalnya.”
Dalam riwayat lain dari A’masy, dari Abu Dhuha dari Masruq, Abud Dhuha berkata, “Kami pernah bertanya kepada Masruq, ‘Apakah Aisyah menguasai ilmu faraidh?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku pernah melihat para sahabat Nabi yang senior biasa bertanya kepada Aisyah tentang faraidh.’”
Selain memiliki berbagai keutamaan dan kemuliaan, Aisyah juga memiliki kekurangan yakni memiliki sifat mudah cemburu. Bahkan dia termasuk istri nabi yang paling besar rasa cemburunya. Rasa cemburu memang termasuk sifat pembawaan seorang wanita. Namun demikian perasaan cemburu yang ada pada Aisyah masih berada dalam batas yang wajar dan selalu mendapat bimbingan dari Nabi sehingga tidak melampaui batas dan tidak sampai menyakiti istri nabi yang lain.
Di antara kejadian yang paling menggelisahkan yang pernah menimpa Aisyah adalah tuduhan keji -yang terkenal dengan sebutan Haditsul ifki (berita bohong)- yang dituduhkan kepadanya, padahal diri Aisyah sangat jauh dengan apa yang dituduhkan itu. Akhirnya turunlah ayat Alquran yang menerangkan kesucian dirinya. Cobaan yang menimpa wanita yang amat utama ini merupakan pelajaran berharga bagi setiap wanita, karena tidak ada wanita di dunia ini yang bebas dari tuduhan buruk.
Ketika Rasulullah sakit sekembalinya dari haji Wada dan meras bahwa ajalnya sudah dekat, setelah dirasa selesai dalam menunaikan amanat dan menyampaikan risalah, beliau selalu bertanya, “Dimana saya besok? Dimana saya lusa?” Hal ini mengisaratkan bahwa beliau ingin segera sampai pada hari giliran Aisyah. Para istri Nabi yang lain pun bisa mengerti hal itu dan merelakan Nabi untuk tinggal di tempat istri mana yang beliau sukai selama sakit, sehingga mereka semuanya berkata, “Ya Rasulullah, kami rela memberikan jatah giliran kami kepada Aisyah.”
Kekasih Allah itu pun pindah ke rumah istri tercintanya. Di sana Aisyah dengan setia menjaga dan merawat beliau. Bahkan saking cintanya, sakit yang diderita Nabi itu rela Aisyah tebus dengan dirinya kalau memang hal itu memungkinkan. Aisyah berkata, “Aku rela menjadikan diriku, ayahku, dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai Rasulullah.” Tak lama kemudian Rasul pu wafat di atas pangkuan Aisyah.
Aisyah melukiskan detik-detik terakhir dari kehidupan Rasulullah sebagai berikut,”Rasulullah meninggal dunia di rumahku, pada hari giliranku, dan beliau bersandar di dadaku. Sesaat sebelum beliau wafat, Abdur Rahman bin Abu Bakar (saudaraku) datang menemuiku sambil membawa siwak, kemudian Rasulullah melihat siwak itu, sehingga aku mengira bahwa beliau menginginkannya. Siwak itu pun aku minta, lalu kukunyah (supaya halus), kukebutkan, dan kubereskan sebaik-baiknya sehingga siap dipakai. Selanjutnya, siwak itu kuberikan pada Nabi. Beliau pun bersiwak dengan sebaik-baiknya, sehingga belum pernah aku melihat cara bersiwak beliau sebaik itu. Setelah itu beliau bermaksud memberikannya kembali kepadaku, namun tangan beliau lemas. Aku pun mendoakan beliau dengan doa yang biasa diucapkan Jibril untuk beliau dan yang selalu beliau baca bila beliau sedang sakit. Akan tetapi saat itu beliau tidak membaca doa tersebut, melainkan beliau mengarahkan pandangannya ke atas lalu membaca doa, ‘Arrufiiqol a’laa. (Ya Allah, kumpulkanlah aku di surga bersama mereka yang derajatnya paling tinggi, para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin). Setelah selesai mengucapkan doa tersebut, barulah beliau wafat. Segala puji bagi Allah yang telah menyatukan air liurku dengan air liur beliau pada penghabisan hari beliau di dunia.”
Rasulullah dimakamkan di kamar Aisyah, tepat di tempat beliau meninggal. Sepeninggal Rasulullah Aisyah banyak menghabiskan waktunya dengan memberikan ta’lim, baik kepada kaum lelaki maupun wanita (di rumahnya) dsan banyak berperan serta dalam mengukir sejarah Islam sampai wafatnya. Aisyah wafat pada malam Selasa bulan Ramadhan tahun 57 Hijriyah pada usia 66 tahun.

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog