(Oleh: Ustadz Abdullah Taslim, MA)
Pembahasan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh
Ta'âla memiliki kedudukan yang agung dan tinggi dalam Islam, bahkan
merupakan salah satu tonggak utama dan landasan iman kepada Allâh
Ta'âla. Dan seorang hamba tidak mungkin dapat menunaikan ibadah yang
sempurna kepada Allâh Ta'âla sampai dia benar-benar memahami pembahasan
ini dengan baik.[1]
Oleh karena itu, penyimpangan dalam memahami masalah
ini, akibatnya sangatlah fatal, karena kerusakan pada landasan iman ini
akan mengakibatkan rusaknya semua bangunan agama seorang hamba yang
berdiri di atasnya.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau:
“Barangsiapa yang ingin
meninggikan bangunannya, hendaknya menguatkan dan mengokohkan
pondasinya, dan bersungguh-sungguh memperhatikannya. Karena sesungguhnya
ketinggian bangunan sesuai dengan kadar kekuatan dan kekokohan
pondasinya. Maka amal perbuatan dan (tinggi-rendahnya) derajat (dalam
Islam) adalah bangunan yang pondasinya adalah keimanan.
Semakin kuat pondasi
tersebut, maka akan (mampu) menopang bangunan yang berdiri di atasnya.
Kalaupun (terjadi) sedikit kerusakan pada bangunan itu, maka (akan)
mudah diperbaiki. Namun jika pondasinya tidak kuat, maka bangunan tidak
akan (bisa) berdiri tegak (di atasnya) dan tidak kokoh. Dan jika
(terjadi) sedikit (saja) kerusakan pada pondasi tersebut, maka bangunan
akan roboh atau (minimal) hampir roboh.
Orang yang mengenal
(Allâh Ta'âla dan agama-Nya), perhatian (utama)nya (tertuju pada upaya)
perbaikan dan penguatan pondasi (imannya). Sedangkan orang yang jahil
(tidak paham agama) akan (berusaha) meninggikan bangunan, tanpa
(memperhatikan perbaikan) pondasi, sehingga tidak lama kemudian bangunan
tersebut akan roboh."[2]
PENGERTIAN AL-ILHÂD (PENYIMPANGAN) DALAM NAMA DAN SIFAT ALLÂH TA'ÂLA
Perbuatan penyimpangan dalam nama dan sifat Allâh Ta'âla dikenal dengan istilah al-ilhâd. Asal makna al-ilhad secara bahasa adalah menyimpang dan berpaling dari sesuatu.[3]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata,
“Asal (makna) al-ilhâd
dalam bahasa Arab adalah berpaling dari tujuan, dan (berbuat)
menyimpang, aniaya dan menyeleweng. Di antara (contoh penggunaannya)
adalah (kata) al-lahd (liang lahad) dalam kuburan. (Dinamakan demikian)
karena liang lahad tersebut menyimpang dari pertengahan (lubang) kuburan
ke arah kiblat”.[4]
Sedangkan pengertian al-ilhâd (penyimpangan) dalam memahami nama dan sifat Allâh Ta'âla adalah seperti yang dipaparkan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullâh dalam ucapan beliau:
“Hakikat al-ilhâd dalam
masalah ini adalah menyelewengkan nama-nama dan sifat-sifat Allâh dari
(pemahaman) yang benar, atau memasukkan makna asing yang bukan artinya
ke dalam makna nama-nama dan sifat-sifat tersebut, atau memalingkannya
dari maknanya yang sebenarnya. Inilah hakikat al-ilhad (dalam masalah ini). Barangsiapa melakukan perbuatan ini, sungguh dia telah berdusta (besar) atas (nama) Allâh”[5]
ANCAMAN KERAS DAN DOSA YANG SANGAT BESAR KARENA MENYIMPANG DALAM MASALAH INI
Allâh Ta'âla berfirman:
Hanya milik Allâh-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah),
maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu,
dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran)
dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya.
Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan”
(Qs al-A’râf/7:180)
maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu,
dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran)
dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya.
Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan”
(Qs al-A’râf/7:180)
Dalam ayat yang mulia ini, Allâh Ta'âla menyampaikan
dua ancaman keras bagi orang-orang yang menyimpang dalam memahami
nama-nama- Nya yang maha indah dan sifat-sifat maha sempurna yang
dikandung nama-nama tersebut[6]:
1. |
Ancaman yang pertama,
tertuang dalam bentuk perintah: “tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya”[7]. Perintah di sini berarti ancaman keras bagi orang-orang yang melakukan perbuatan buruk ini, sebagaimana makna firman-Nya:
Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang
dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka) (Qs al-Hijr/15:3)[8] |
2. |
Ancaman yang kedua: dalam firman-Nya: “Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan” [9]. Maksudnya, mereka akan mendapat balasan azab dan siksaan yang pedih di dalam neraka karena penyimpangan mereka tersebut[10]. Dalam ayat lain, Allâh Ta'âla berfirman:
Katakanlah:”Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa alasan yang benar, (mengharamkan perbuatan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan argumentasi (dalil) untuk itu dan (mengharamkan perbuatan) berkata (atas nama) Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui (tidak dilandasi dengan pengetahuan yang benar)” (Qs al-A’râf/7:33)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata:
“(Dalam ayat ini), Allâh
Ta'âla menyebutkan urutan perbuatan-perbuatan yang diharamkan-Nya dalam
empat tingkatan, mulai dari yang paling ringan (dibandingkan tiga
tingkatan berikutnya), yaitu perbuatan keji (yang nampak maupun
tersembunyi), kemudian (tingkatan) ke dua yang lebih besar larangannya
dari yang pertama, yaitu perbuatan dosa dan kezhaliman (aniaya),
kemudian (tingkatan) ke tiga yang lebih besar larangannya dari dua
tingkatan sebelumnya, yaitu menyekutukan Allâh Ta'âla (dengan makhluk),
kemudian (tingkatan) ke empat yang lebih besar larangannya dari semua
tingkatan sebelumnya, yaitu berkata atas (nama) Allâh tanpa (landasan)
ilmu. Dan ini meliputi (semua bentuk) ucapan atas (nama) Allâh Ta'âla
tanpa (landasan) ilmu (yang benar) dalam (memahami) nama-nama,
sifatsifat dan perbuatan-perbuatan-Nya, juga dalam (memahami) agama dan
syariat-Nya”[11].
|
BENTUK-BENTUK ILHÂD (PENYIMPANGAN)
DALAM MEMAHAMI NAMA DAN SIFAT ALLÂH TA'ÂLA
Bentuk ilhâd (penyimpangan) dalam memahami nama dan
sifat Allâh Ta'âla bermacam-macam. Sebagian hukumnya sampai pada tingkat
kesyirikan dan ada yang sampai pada tingkat kekafiran, sesuai dengan
petunjuk dalil-dalil syariat yang ada [12].
Macam-macam bentuk ilhâd tersebut adalah sebagai berikut:
1. |
Mengingkari sebagian dari nama-Nya atau
mengingkari sifat-sifat dan hukum-hukum yang dikandung nama-nama
tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh ahlu ta’thil (orang-orang yang
mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allâh Ta'âla) dari kelompok
jahmiyah dan selain mereka.
Perbuatan mereka ini termasuk ilhâd,
karena kita wajib mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allâh Ta'âla serta
sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran- Nya yang dikandung nama-nama
tersebut. Maka mengingkari hal tersebut termasuk penyimpangan dalam
masalah ini.
|
2. |
Menjadikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya
menyerupai nama-nama dan sifat-sifat makhluk, sebagaimana yang
dilakukan oleh ahlu tasybih (orang-orang yang menyerupakan Allâh Ta'âla
dengan makhluk). Perbuatan mereka ini termasuk ilhâd karena perbuatan
menyerupakan Allâh Ta'âla dengan makhluk adalah kebatilan dan keburukan
yang besar.
Allâh Ta'âla berfirman:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,
dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Qs asy-Syûrâ/42:11)
Maka janganlah kamu mengadakan penyerupaan-penyerupaan bagi Allah.
Sesungguhnya Dia mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Qs an-Nahl/16:74) |
3. | Menetapkan bagi Allâh Ta'âla nama yang tidak ditetapkan-Nya bagi diri-Nya, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Nashrani yang menamakan Allâh Ta'âla dengan nama bapak. Juga seperti perbuatan kaum filosof (ahli filsafat) yang menamakan Allâh Ta'âla dengan al-‘illatul fâ’ilah (penyebab yang berbuat). Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad, karena penetapan nama-nama Allah bersifat tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil dari al-Qur’ân dan hadits yang shahih, tidak boleh ditambah dan dikurangi). Sebab, Allâhlah yang maha mengetahui nama-nama dan sifat-sifat yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. |
4. |
Menamai berhala dengan mengambil dari
namanama Allâh Ta'âla , seperti perbuatan orang-orang musyrik yang
mengambil nama untuk berhala mereka al-‘uzza dari nama Allâh al-‘Aziz
(Yang Maha Mulia dan Perkasa), demikian juga nama al-lata dari nama-Nya
“al-Ilah” (Dzat yang berhak diibadahi).
Perbuatan mereka ini termasuk al-ilhad
karena nama-nama yang Allâh Ta'âla tetapkan bagi diri-Nya adalah khusus
untuk diri-Nya semata-mata, sebagaimana firman-Nya:
Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah),
maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu (Qs al-A’râf/7:180)
Sebagaimana hak untuk diibadahi dan
disembah khusus milik Allâh Ta'âla semata, karena hanya Dia-lah semata
yang menciptakan, memberi rezki, memberi kemanfaatan, mencegah
kemudharatan, dan mengatur alam semesta, maka hanya Dia-lah yang khusus
memiliki nama-nama yang maha indah, dan tidak boleh dipalingkan kepada
selain- Nya[13].
|
5. |
Menyebut Allâh Ta'âla dengan sifat-sifat
yang menunjukkan kekurangan dan celaan, padahal Allâh Ta'âla adalah
Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua sifat tersebut, sebagaimana ucapan
sangat kotor dari orang-orang Yahudi yang mengatakan:
Sesungguhnya Allâh miskin dan kami kaya
Juga ucapan kotor mereka:(Qs Ali- ‘Imrân/3:181)
Tangan Allâh terbelenggu
(Qs al-Mâidah/5:64)[14] |
CONTOH-CONTOH PENYIMPANGAN DALAM NAMA DAN SIFAT ALLÂH TA'ÂLA
YANG TERSEBAR DI MASYARAKAT
Banyak contoh perbuatan
ini yang terjadi di masyarakat, karena ketidakpahaman mereka terhadap
urusan agama mereka, terutama masalah yang berhubungan dengan keyakinan
dasar dan keimanan mereka, meskipun kebanyakan penyimpangan tersebut
tidak separah dan tidak sampai pada tingkat kekafiran seperti
bentuk-bentuk penyimpangan di atas. Meskipun demikian, tentu semua ini
harus dij auhi karena sedikit banyak akan merusak keimanan dan
mendangkalkan keyakinan seorang Muslim terhadap Allâh Ta'âla.
Beberapa contoh penyimpangan tersebut, di antaranya:
1. |
Keyakinan sebagian orang yang tidak
paham agama bahwa masing-masing dari Asmâul Husnâ (nama-nama Allâh yang
maha indah) mempunyai khasiat khusus untuk mengobati penyakit tertentu.
Perbuatan ini jelas merusak keyakinan, bahkan mengandung pelecehan
terhadap nama-nama Allâh yang maha indah, disamping itu juga merupakan
perbuatan bid’ah[15] yang sesat serta memalingkan manusia dari dzikir dan ruqyah[16] yang bersumber dari al-Qur’ân dan hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam yang shahih.
|
2. |
Menjadikan nama-nama Allâh sebagai jimat
dengan menulisnya pada kertas atau manik-manik kemudian di gantung pada
kendaraan atau rumah, dengan tujuan untuk penjagaan dan perlindungan
dari pandangan mata jahat, kedengkian, gangguan setan dan lain
sebagainya. Perbuatan ini jelas diharamkan dalam Islam, berdasarkan
keumuman sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang
menggantungkan jimat, maka sungguh dia telah berbuat syirik”[17]
|
3. |
Menulis nama-nama Allâh Ta'âla pada
pigura yang indah dengan tulisan yang dihiasi (kaligrafi) untuk
dijadikan sebagai hiasan dinding, sehingga orang yang melihatnya akan
kagum dengan keindahan tulisan dan hiasannya, bukan pada keindahan
nama-nama-Nya apalagi untuk meningkatkan keimanan.
Perbuatan ini jelas tidak disyariatkan,
karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam
dan para Sahabat. Juga karena nama-nama Allâh Ta'âla terlalu agung dan
mulia untuk dijadikan sebagai hiasan dinding dan rumah.
|
4. |
Menjadikan Asmâul Husnâ (nama-nama Allâh
yang maha indah) sebagai bahan dzikir seharihari dengan membaca semua
nama tersebut. Ada yang membacanya di waktu pagi dan sore, atau setelah
shalat lima waktu, bahkan terkadang ada yang membacanya berulang-ulang
sampai ratusan kali.
Adapun makna ‘berdoa dengan nama-nama
Allâh’ seperti yang diperintahkan oleh Allâh Ta'âla dalam surat al-A’râf
ayat 180, juga sabda Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam : “Sesungguhnya
Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yang barangsiapa menghafal
(dan memahami kandungan)nya maka dia akan masuk surga”[18],
adalah menghapal nama-nama tersebut, memahami kandungan maknanya, dan
mengamalkannya serta berdoa kepada Allâh Ta'âla dengan menyebut nama-Nya
yang sesuai dengan permintaan yang kita sampaikan kepada-Nya.
|
5. |
Termasuk kesalahan besar dalam masalah
ini adalah memberi nama seseorang dengan nama yang berarti penghambaan
kepada selain Allâh Ta'âla, seperi ‘abdun nabi (hambanya Nabi) atau
‘abdul ka’bah (hambanya ka’bah) , ‘abdul Husain (banyak terdapat di
kalangan Syiah) dan lain-lainnya.
Perbuatan ini diharamkan dalam Islam
berdasarkan konsensus para ulama Ahlus sunnah wal jamaah, karena
manghambakan diri kepada selain Allâh Ta'âla adalah perbuatan syirik.
|
6. |
Juga termasuk kesalahan dalam masalah
ini adalah membuang kertas, buku ataupun majalah yang bertulisakan
nama-nama Allâh di sembarang tempat ataupun di tempat sampah yang
bercampur dengan kotoran dan barang-barang buangan.
Perbuatan ini diharamkan dalam Islam,
karena menunjukkan sikap tidak memuliakan dan mengagungkan
nama-nama-Nya. Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam pernah tidak menjawab
salam seorang Sahabat ketika beliau sedang berada di WC[19], dalam rangka memuliakan nama Allâh Ta'âla dengan tidak menyebutkannya sewaktu berada di tempat yang kotor dan najis[20].
|
CARA UNTUK MENYELAMATKAN DIRI DARI PENYIMPANGAN DAN DOSA BESAR INI
Satu-satunya cara untuk selamat dari penyimpangan
besar ini adalah dengan berdoa memohon taufik kepada Allâh Ta'âla agar
kita terhindar dari semua bentuk penyimpangan dan kesesatan dalam
memahami dan mengamalkan agama ini. Kemudian dengan berusaha mengikuti
metode yang benar dalam memahami dan mengamalkan agama Islam, yaitu
manhaj ulama Salaf, Ahlus sunnah wal jama’ah, yang telah
direkomendasikan kebenaran pemahaman dan pengamalam Islam mereka oleh
Allâh Ta'âla dalam firman-Nya yang artinya:
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
dari (kalangan) orang-orang Muhajirin dan Anshar
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya,
dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar
(Qs. at-Taubah/9 :100)
dari (kalangan) orang-orang Muhajirin dan Anshar
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya,
dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar
(Qs. at-Taubah/9 :100)
Oleh karena itulah manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah
digambarkan oleh para ulama sebagai metode berislam yang a’lam wa ahkam
wa aslam[21] (yang
paling sesuai dengan ilmu yang bersumber dari al- Qur’ân dan sunnah Nabi
shallallâhu 'alaihi wa sallam, yang paling bijaksana dan sesuai dengan
hikmah yang agung, serta paling selamat dari kemungkinan menyimpang dan
tersesat dari kebenaran)
Semoga Allâh Ta'âla senantiasa melimpahkan
taufik-Nya kepada kita untuk selalu berpegang teguh dengan metode Ahlus
sunnah wal jama’ah dalam berislam agar kita terhindar dari segala bentuk
kesesatan dan penyimpangan dalam memahami dan mengamalkan agama ini.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permohonan
hamba-Nya. Wallâhu a’lam.
(Majalah-As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar