(Oleh : Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas)
عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،
قَالُوْا : لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟
قَالأَ : لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ
أَوْ لِلمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ
عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ،
قَالُوْا : لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟
قَالأَ : لِلَّهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ
أَوْ لِلمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ
Dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri radhiyallâhu'anhu,
dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bahwasanya beliau bersabda:
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”.
Mereka (para sahabat) bertanya, ”Untuk siapa, wahai Rasûlullâh?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Untuk Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin,
dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”
dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bahwasanya beliau bersabda:
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”.
Mereka (para sahabat) bertanya, ”Untuk siapa, wahai Rasûlullâh?”
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Untuk Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin,
dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan dari jalan
Suhail bin Abi Shalih, dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi, dari Abu
Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri radhiyallâhu'anhu. Hadits ini
diriwayatkan oleh:
- Imam Muslim (no. 55 [95]).
- Imam Abu ‘Awanah (I/36-37).
- Imam al-Humaidi (no. 837).
- Imam Abu Dawud (no. 4944).
- Imam an-Nasâ-i (VII/156-157).
- Imam Ahmad (IV/102-103).
- Imam Ibnu Hibbân. Lihat at-Ta’lîqâtul-Hisân ‘alâ Shahîh Ibni Hibbân (no. 4555) dan Ra-udhatul- ‘Uqalâ` (no. 174).
- Imam al-Baihaqi (VIII/163).
- Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/681 no. 747,749,751,755).
- Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 1260-1268).
- Imam al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (XIII/93, no. 3514).
Hadits ini memiliki syawâhid (penguat) dari beberapa sahabat, yaitu:
- Abu Hurairah; diriwayatkan oleh Imam an-Nasâ-i (VII/157), at-Tirmidzi (no. 1926), Ahmad (II/297), dan Ibnu Nashr al-Marwazi, dalam Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/682 no. 748). At-Tirmidzi berkata,”Hadits hasan shahih.”
- Ibnu Umar; diriwayatkan oleh Imam ad-Dârimi (II/311) dan Ibnu Nashr al-Marwazi (no. 757-758).
- Ibnu ‘Abbas; diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/351) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 11198).
Para ulama ahli hadits menjelaskan bahwa hadits di atas shahih.
BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS
Beliau adalah seorang sahabat Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Abu Ruqayyah, Tamîm bin Aus bin Kharijâh
bin Su-ud bin Jadzimah al-Lakhmi al-Falasthini ad-Dâri. Dahulu, beliau
seorang yang beragama Nasrani dan sebagai rahib dan ahli ibadah penduduk
Palestina. Kemudian pindah ke Madinah lalu masuk Islam bersama
saudaranya, Nu’aim, pada tahun 9H. Beliau menetap di Madinah sampai
akhirnya pindah ke Syam setelah terjadinya pembunuhan Khalifah ‘Utsmân
bin ‘Affân radhiyallâhu'anhu.
Beliau adalah seorang yang tekun
melakukan shalat Tahajjud, selalu menghatamkan Al-Qur‘ân. Beliau pernah
menceritakan tentang kisah Jassasah dan Dajjal kepada Nabi Shallallâhu
'Alaihi Wasallam, kemudian Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
menyampaikan kisah tersebut kepada para sahabat di atas mimbar. Ini
menunjukkan keutamaan beliau. Beliau juga ikut berperang bersama Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Tamim ad-Dâri adalah orang yang pertama
kali memasang lampu di dalam masjid dan membacakan kisah-kisah. Ini
dilakukan pada zaman pemerintahan ‘Umar bin al-Khaththâb
radhiyallâhu'anhu. Beliau meriwayatkan delapan belas hadits dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Satu hadits diantaranya terdapat dalam Shahîh Muslim. Beliau wafat di Palestina pada tahun 40 H. [1]
PENGERTIAN NASIHAT
Kata “nasihat” berasal dari bahasa Arab. Diambil dari kata kerja “nashaha” (نَصَحَ), yang maknanya “khalasha” (خَلَصَ). Yaitu murni serta bersih dari segala kotoran. Bisa juga bermakna “khâtha” (خَاطَ), yaitu menjahit.[2]
Imam al-Khaththabi
rahimahullâhmenjelaskan arti kata “nashaha”, sebagaimana dinukil oleh
Imam an- Nawawi rahimahullâh, “Dikatakan bahwa “nashaha” diambil dari
“nashahar-rajulu tsaubahu” (نَصَحَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ)
apabila dia menjahitnya. Maka mereka mengumpamakan perbuatan penasihat
yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya, dengan usaha
seseorang memperbaiki pakaiannya yang robek.”[3]
Imam Ibnu Rajab rahimahullâh menukil ucapan Imam al- Khaththabi rahimahullâh:
“Nasihat, ialah kata yang menjelaskan sejumlah hal. Yaitu menginginkan kebaikan pada orang yang diberi nasihat”.
Hal ini juga dikemukakan oleh Ibnul-Atsîr rahimahullâh .[4]
Kesimpulannya, nasihat adalah kata yang
dipakai untuk mengungkapkan keinginan memberikan kebaikan pada orang
yang diberi nasihat.
AGAMA ADALAH NASIHAT
Hadits ini merupakan ucapan singkat dan padat, yang
hanya dimiliki Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Ucapan singkat, namun
mengandung berbagai nilai dan manfaat penting. Semua hukum syari’at,
baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang) terdapat padanya. Bahkan satu
kalimat “wa li Kitâbihi” saja, ia sudah mencakup semuanya. Karena Kitab
Allâh mencakup seluruh permasalahan agama, baik ushul maupun furu’,
perbuatan maupun keyakinan.
Allâh Ta'ala berfirman:
Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Kitab ini.
(Qs al-An’âm/6:38)
(Qs al-An’âm/6:38)
Oleh karena itu, ada ulama yang berpendapat hadits ini merupakan poros ajaran Islam.
Dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam menamakan agama sebagai nasihat. Padahal beban syari’at sangat
banyak dan tidak terbatas hanya pada nasihat. Lalu apakah maksud Beliau
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tersebut?
Para ulama telah memberikan jawaban.
Pertama, hal ini bermakna, bahwa hampir semua agama adalah nasihat, sebagaimana halnya sabda Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
الْحَجُّ عَرَفَةُ
Haji itu adalah wukuf di ‘Arafah.[5]
Kedua, agama itu seluruhnya adalah nasihat. Karena setiap amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas, maka tidak termasuk agama.[6]
Setiap nasihat untuk Allâh Ta'ala menuntut
pelaksanaan kewajiban agama secara sempurna. Inilah yang disebut derajat
ihsân. Tidaklah sempurna nasihat untuk Allâh tanpa hal ini. Tidaklah
mungkin dicapai, bila tanpa disertai kesempurnaan cinta yang wajib dan
sunnah, tetapi juga diperlukan kesungguhan mendekatkan diri kepada Allâh
Ta'ala, yaitu dengan melaksanakan sunnah-sunnah secara sempurna dan
meninggalkan hal-hal yang haram dan makruh secara sempurna pula.[7]
Ketiga, nasihat meliputi seluruh bagian Islam, iman, dan ihsân, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits Jibril.
Dengan demikian jelaslah keterangan para ulama tentang maksud sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam “agama itu nasihat”. Karena nasihat, adakalanya bermakna pensifatan sesuatu dengan sifat kesempurnaan Allâh, Kitab-Nya, dan Rasul-Nya. Adakalanya merupakan penyempurnaan kekurangan yang terjadi, berupa nasihat untuk pemimpin dan kaum Muslimin pada umumnya, sebagaimana rincian selanjutnya dalam hadits ini.
SYARAH HADITS
1. Nasihat untuk Allâh Ta'ala.
Al-Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullâh (wafat 294H) berkata:
"Nasihat hukumnya ada
dua. Yang pertama wajib, dan yang kedua sunnah. Adapun nasihat yang
wajib untuk Allâh. Yaitu perhatian yang sangat dari pemberi nasihat
untuk mengikuti semua yang Allâh cintai, dengan melaksanakan kewajiban,
dan dengan menjauhi semua yang Allâh haramkan. Sedangkan nasihat yang
sunnah, adalah dengan mendahulukan perbuatan yang dicintai Allâh
daripada perbuatan yang dicintai oleh dirinya sendiri. Yang demikian
itu, bila dua hal dihadapkan pada diri seseorang, yang pertama untuk
kepentingan dirinya sendiri dan yang lain untuk Rabb-nya, maka dia
memulai mengerjakan sesuatu untuk Rabb-nya terlebih dahulu dan menunda
semua yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri."
Demikian ini penjelasan nasihat untuk Allâh Ta'ala
secara global, baik yang wajib maupun yang sunnah. Adapun perinciannya
akan kami sebutkan sebagiannya agar bisa dipahami dengan lebih jelas.
Nasihat yang wajib untuk Allâh, ialah menjauhi
larangan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya dengan seluruh anggota
badannya selagi mampu melakukannya. Apabila ia tidak mampu melakukan
kewajibannya karena suatu alasan tertentu, seperti sakit, terhalang,
atau sebab-sebab lainnya, maka ia tetap berniat dengan sungguh-sungguh
untuk melaksanakan kewajiban tersebut, apabila penghalang tadi telah
hilang.
Allâh Ta'ala berfirman:
Tidak ada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah,
atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan,
apabila mereka menasihati kepada Allah dan Rasul-Nya (cinta kepada Allah dan Rasul-Nya).
Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Qs at-Taubah/9:91)
atas orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang
tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan,
apabila mereka menasihati kepada Allah dan Rasul-Nya (cinta kepada Allah dan Rasul-Nya).
Tidak ada jalan sedikit pun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.
Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Qs at-Taubah/9:91)
Allâh Ta'ala menamakan mereka sebagai “al-muhsinîn” (orang-orang yang berbuat kebaikan), karena perbuatan mereka berupa nasihat untuk Allâh Ta'ala dengan hati mereka yang ikhlas ketika mereka terhalang untuk berjihad dengan jiwa raganya.
Dalam kondisi tertentu, terkadang seorang hamba dibolehkan meninggalkan sejumlah amalan, tetapi tidak dibolehkan meninggalkan nasihat untuk Allâh Ta'ala, meskipun disebabkan sakit yang tidak mungkin baginya untuk melakukan sesuatu dengan anggota tubuhnya, bahkan dengan lisan, dan lain-lain, namun akalnya masih sehat, maka belum hilang kewajiban memberikan nasihat untuk Allâh Ta'ala dengan hatinya. Yaitu dengan penyesalan atas dosa-dosanya dan berniat dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allâh Ta'ala kepadanya, dan meninggalkan apa-apa yang di larang Allâh Ta'ala.
Jika tidak (yaitu tidak ada amalan hati, berupa
cinta, takut, dan harap kepada Allâh Ta'ala dan niat untuk melaksanakan
kewajiban dan meninggalkan larangan-Nya), maka ia tidak disebut sebagai
pemberi nasihat untuk Allâh Ta'ala dengan hatinya.
Juga termasuk nasihat untuk Allâh Ta'ala, ialah taat
kepada Rasul-Nya dalam hal yang beliau wajibkan kepada manusia
berdasarkan perintah Rabb-nya. Dan termasuk nasihat yang wajib untuk
Allâh Ta'ala, ialah dengan membenci dan tidak ridha terhadap kemaksiatan
orang yang berbuat maksiat, dan cinta kepada ketaatan orang yang taat
kepada Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya.
Sedangkan nasihat yang sunnah (bukan
yang wajib), ialah dengan berjuang sekuat tenaga untuk lebih
mengutamakan Allâh Ta'ala daripada segala apa yang ia cintai dalam hati
dan seluruh anggota badan bahkan dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dari
orang lain. Karena seorang penasihat, apabila bersungguh-sungguh kepada
orang yang dicintainya, dia tidak akan mementingkan dirinya, bahkan
berupaya keras melakukan hal-hal yang membuat orang yang dicintainya itu
merasa senang dan cinta, maka begitu pula pemberi nasihat untuk Allâh
Ta'ala.
Barangsiapa yang melakukan ibadah
nafilah (sunnah) untuk Allâh Ta'ala tanpa dibarengi dengan kerja keras,
maka dia adalah penasihat berdasarkan tingkatan amalnya, tetapi tidak
melaksanakan nasihat dengan sebenarnya secara sempurna.[8]
Imam an-Nawawi rahimahullâh menyebutkan,
termasuk nasihat untuk Allâh Ta'ala adalah dengan berjihad melawan
orang-orang yang kufur kepada-Nya dan berdakwah mengajak manusia ke
jalan Allâh Ta'ala. Adapun makna nasihat untuk Allâh Ta'ala, ialah
beriman kepada Allâh Ta'ala, menafikan sekutu bagi-Nya, tidak
mengingkari sifat-sifat- Nya, mensifatkan Allâh Ta'ala dengan seluruh
sifat yang sempurna dan mulia, mensucikan Allâh Ta'ala dari semua
sifat-sifat yang kurang, melaksanakan ketaatan kepada-Nya, menjauhkan
maksiat, mencintai karena Allâh Ta'ala, benci karena-Nya, loyal
(mencintai) orang yang taat kepada-Nya, memusuhi orang yang durhaka
kepada-Nya, berjihad melawan orang yang kufur kepada-Nya, mengakui
nikmat-Nya, dan bersyukur atas segala nikmat-Nya …[9]
Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan, termasuk nasihat untuk Allâh
Ta'ala, ialah dengan berjihad melawan orang-orang yang kufur kepada-Nya
dan berdakwah mengajak manusia ke jalan Allâh Ta'ala.[10]Syaikh Muhammad Hayât as-Sindi rahimahullâh (wafat 1163 H) berkata,
”Maksud nasihat
untuk Allâh Ta'ala, ialah agar seorang hamba menjadikan dirinya ikhlas
kepada Rabb-nya dan meyakini Dia adalah Ilah Yang Maha Esa dalam
Uluhiyyah-Nya, dan bersih dari noda syirik, tandingan, penyerupaan,
serta segala apa yang tidak pantas bagi-Nya. Allâh Ta'ala mempunyai
segala sifat kesempurnaan yang sesuai dengan keagungan- Nya. Seorang
muslim harus mengagungkan-Nya dengan sebesar-besarnya pengagungan,
melakukan amalan zhahir dan batin yang Allâh Ta'ala cintai dan menjauhi
apa-apa yang Allâh Ta'ala benci, mencintai apa-apa yang Allâh Ta'ala
cintai dan membenci apa-apa yang Allâh Ta'ala benci, meyakini apa-apa
yang Allâh Ta'ala jadikan sesuatu itu benar sebagai suatu kebenaran, dan
yang bathil itu sebagai suatu kebathilan, hatinya dipenuhi dengan rasa
cinta dan rindu kepada-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, sabar atas
bencana yang menimpanya, serta ridha dengan taqdir-Nya.”[11]
2. Nasihat untuk Kitâbullâh.
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullâh berkata,
”Sedangkan nasihat
untuk Kitabullah, ialah dengan sangat mencintai dan mengagungkan
kedudukannya karena Al-Qur’an itu adalah Kalâmullâh, berkeinginan kuat
untuk memahaminya, mempunyai perhatian yang besar dalam merenunginya,
serius dan penuh konsentrasi membacanya untuk mendapatkan pemahaman
maknanya sesuai dengan yang dikehendaki Allâh untuk dipahami, dan
setelah memahaminya ia mengamalkan isinya. Begitu pula halnya seorang
yang menasihati dari kalangan hamba, dia akan mempelajari wasiat dari
orang yang menasihatinya. Apabila ia diberi sebuah buku dengan maksud
untuk dipahaminya, maka ia mengamalkan apa-apa yang tertulis dari wasiat
tersebut. Begitu pula pemberi nasihat untuk Kitâbullâh, dia dituntut
untuk memahaminya agar dapat mengamalkannya karena Allâh; sesuai dengan
apa yang Allâh cintai dan ridhai, kemudian menyebarluaskan yang dia
pahami kepada manusia, dan mempelajari Al-Qur-an terus-menerus didasari
rasa cinta kepadanya, berakhlak dengan akhlaknya, serta beradab dengan
adab-adabnya.”[12]
Hal ini diwujudkan dalam bentuk iman
kepada Kitab-kitab samawi yang diturunkan Allâh Ta'ala dan meyakini
Al-Qur‘ân merupakan penutup dari semua Kitab-kitab tersebut. Al-Qur‘an
adalah Kalâmullâh yang penuh dengan mukjizat, yang senantiasa
terpelihara, baik dalam hati maupun dalam lisan. Allâh Ta'ala sendirilah
yang menjamin hal itu.
Allâh Ta'ala berfirman:
Sesungguhnya Kami yang menurunkan adz-Dzikr (Al-Qur‘ân)
dan Kami sendiri yang menjaganya.
(Qs al-Hijr/15:9)[13]
dan Kami sendiri yang menjaganya.
(Qs al-Hijr/15:9)[13]
Menurut Syaikh Muhammad Hayât as-Sindi rahimahullâh,
nasihat untuk kitab-Nya adalah dengan meyakini Al-Qur‘ân itu
Kalâmullâh. Wajib mengimani apa-apa yang ada di dalamnya, wajib
mengamalkan, memuliakan, membacanya dengan sebenar-benarnya,
mengutamakannya daripada selainnya, dan penuh perhatian untuk
mendapatkan ilmu-ilmunya. Dan di dalamnya terdapat ilmu-ilmu mengenai
Uluhiyyah Allâh yang tidak terhitung banyaknya. Dia merupakan teman
dekat orang-orang yang berjalan menempuh jalan Allâh, dan merupakan
wasilah (jalan) bagi orang-orang yang selalu berhubungan dengan Allâh.
Dia sebagai penyejuk mata bagi orang-orang yang berilmu. Barangsiapa
yang ingin sampai di tempat tujuan, maka ia harus menempuh jalannya.
Karena kalau tidak, ia pasti tersesat. Seandainya seorang hamba
mengetahui keagungan Kitâbullâh, niscaya ia tidak akan meninggalkannya
sedikitpun.[14]
Secara rinci, nasihat untuk Kitâbullâh dilakukan melalui beberapa hal berikut.a. |
Membaca dan menghafal Al-Al-Qur‘ân.
Dengan membaca al-Al-Qur‘ân akan didapatkan berbagai
ilmu dan pengetahuan. Disamping itu akan melahirkan kebersihan jiwa,
kejernihan perasaan, dan mempertebal ketakwaan. Membaca Al-Qur‘ân
merupakan kebaikan dan merupakan syafa’at yang akan diberikan pada hari
Kiamat kelak.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Bacalah Al-Qur‘ân, karena pada hari Kiamat ia akan datang
untuk memberi syafa’at kepada orang yang membacanya.[15] Sedangkan menghafal Al-Qur‘ân merupakan keutamaan yang besar. Melalui hafalan, hati akan lebih hidup dengan cahaya Kitâbullâh, manusia juga akan segan dan menghormatinya. Bahkan dengan hafalan itu, derajatnya di akhirat akan semakin tinggi, sesuai dengan banyaknya hafalan yang dimiliki.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Dikatakan kepada orang yang shahib (orang yang mengilmui
dan mengamalkannya) Al-Qur‘ân, ”Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil sebagaimana engkau membacanya di dunia dengan tartil. Karena kedudukanmu (di surga) sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca”. [16] Membacanya dengan tartil dan suara yang bagus, sehingga bacaannya dapat masuk dan diresapi.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Bukan golongan kami
orang yang tidak membaca Al-Qur‘ân dengan irama.[17] |
b. |
Mentadabburi nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ayatnya. Allâh Ta’ala berfirman:
Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur‘ân
ataukah hati mereka terkunci? (Qs Muhammad/ 47:24) |
c. |
Mengajarkannya kepada generasi muslim agar ikut berperan dalam menjaga Al-Qur‘ân.
Mempelajari dan mengajarkan Al-Qur‘an adalah kunci kebahagiaan dan ‘izzah (kejayaan) umat Islam.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari
dan mengajarkan Al-Qur‘ân.[18] |
d. |
Memahami dan mengamalkannya.
Seorang muslim wajib membaca Al-Qur‘ân dan harus
berusaha memahaminya serta berusaha untuk mengamalkannya. Bagaimanapun,
buah membaca Al-Qur‘ân baru akan kita peroleh setelah memahami dan
mengamalkannya. Oleh karena itu, alangkah buruknya jika kita memahami
ayat Al-Qur‘ân namun tidak mau mengamalkannya.
Allâh Ta'ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allâh bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Qs ash-Shaff/61:2-3)[19] |
3. Nasihat untuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullâh berkata:
"Sedangkan nasihat
untuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pada masa hidupnya, ialah
dengan mengerahkan segala kemampuan secara sungguh-sungguh dalam rangka
taat, membela, menolong, memberikan harta (untuk perjuangan menegakkan
agama Allâh) bila beliau menginginkannya, dan bersegera untuk mencintai
beliau. Adapun setelah Beliau wafat, maka dengan perhatian dan
kesungguhan untuk mencari Sunnah-nya, akhlak, dan adab-adabnya,
mengagungkan perintahnya, istiqâmah dalam melaksanakannya, sangat marah
dan berpaling dari orang yang menjalankan agama yang bertentangan dengan
Sunnah-nya, marah terhadap orang yang menyia-nyiakan Sunnah beliau
hanya untuk mendapatkan keuntungan dunia, meskipun ia meyakini akan
kebenarannya, mencintai orang yang memiliki hubungan dengan Beliau, dari
kalangan karib kerabat atau familinya, juga dari kaum Muhajirin dan
Anshar, atau dari seorang sahabat yang menemani Beliau sesaat di malam
atau siang hari, dan dengan mengikuti tuntunan beliau dalam hal
berpenampilan dan berpakaian."[20]
Yang dimaksud dengan nasihat untuk
Rasul-Nya, ialah dengan meyakini Beliau adalah seutama-utama makhluk dan
kekasih-Nya. Allâh mengutusnya kepada para hamba-Nya, agar Beliau
mengeluarkan mereka dari segala kegelapan kepada cahaya, menjelaskan
kepada mereka semua yang membuat mereka bahagia dan semua yang membuat
mereka sengsara, menerangkan kepada mereka jalan Allâh yang lurus agar
mereka lulus mendapatkan kenikmatan surga dan terhindar dari kepedihan
api neraka, dan dengan mencintainya, memuliakannya, mengikutinya serta
tidak ada kesempitan di dadanya terhadap semua yang Beliau putuskan.
Tunduk serta patuh kepada Beliau, seperti orang yang buta mengikuti
petunjuk jalan orang yang tajam matanya.
Orang yang menang, adalah orang yang
menang membawa kecintaan dan ketaatan pada Sunnahnya. Dan orang yang
rugi, adalah orang yang terhalang dari mengikuti ajarannya. Barangsiapa
yang taat kepada Beliau, maka ia taat kepada Allâh. Barangsiapa yang
menentangnya, maka ia telah menentang Allah dan kelak akan diberi
balasan setimpal.[21]
Hal ini diaplikasikan dalam bentuk
membenarkan risalahnya, membenarkan semua yang disampaikan, baik dalam
Al-Qur‘an maupun as-Sunnah, serta mencintai dan mentaatinya. Mencintai
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ialah dengan ittibâ’ (mengikuti)
beliau dan taat kepadanya.
Allâh Ta’ala berfirman:
Katakanlah (hai Muhammad):
“Jika kalian mencintai Allâh, maka ikutilah aku (Muhammad),
niscaya kalian dicintai Allâh”.
(Qs Ali ‘Imran/3:31)
“Jika kalian mencintai Allâh, maka ikutilah aku (Muhammad),
niscaya kalian dicintai Allâh”.
(Qs Ali ‘Imran/3:31)
Ketaatan kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam merupakan bentuk ketaatan kepada Allâh Ta’ala.
Allâh Ta’ala berfirman:
Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka ia telah mentaati Allâh.
(Qs an- Nisâ‘/4:80)
(Qs an- Nisâ‘/4:80)
4. Nasihat untuk Para Pemimpin Kaum Muslimin.
Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi rahimahullâh berkata,
”Sedangkan nasihat untuk
para pemimpin kaum Muslimin, ialah dengan mencintai ketaatan mereka
kepada Allâh, mencintai kelurusan dan keadilan mereka, mencintai
bersatunya umat di bawah pengayoman mereka, benci kepada perpecahan umat
dengan sebab melawan mereka, mengimani bahwa taat kepada mereka ialah
demi ketaatan kepada Allâh, membenci orang yang keluar dari ketaatan
kepada mereka (yaitu membenci orang yang tidak mengakui kekuasaan mereka
dan menganggap darah mereka halal), dan mencintai kejayaan mereka dalam
taat kepada Allâh.”[22]
Syaikh Muhammad Hayât as-Sindi rahimahullâh berkata,
”Makna ‘nasihat untuk
para pemimpin kaum Muslimin’, ialah nasihat yang ditujukan kepada para
penguasa mereka. Yaitu dengan menerima perintah mereka, mendengar, dan
taat kepada mereka dalam hal yang bukan maksiat, karena tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Al-Khaliq. Tidak
memerangi mereka selama mereka belum kafir, berusaha untuk memperbaiki
keadaan mereka, membersihkan kerusakan mereka, memerintahkan mereka
kepada kebaikan, melarangnya dari kemungkaran, serta mendo’akan mereka
agar mendapatkan kebaikan. Karena, dalam kebaikan mereka berarti
kebaikan bagi rakyat, dan dalam kerusakan mereka berarti kerusakan bagi
rakyat.”[23]
Yang dimaksud dengan pemimpin kaum Muslimin, ialah
para penguasa, wakil-wakilnya, atau para ulama. Agar penguasa ditaati,
maka penguasa tersebut harus dari orang Islam sendiri.
Allâh Ta’ala berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allâh,
taatlah kepada Rasul dan penguasa dari kalian.
(QS. An-Nisaa’: 59)
taatlah kepada Rasul dan penguasa dari kalian.
(QS. An-Nisaa’: 59)
Nasihat untuk pemimpin, ialah dengan mencintai
kebaikan, kebenaran, dan keadilannya, bukan lantaran individunya.
Karena, melalui kepemimpinannyalah kemaslahatan kita bisa terpenuhi.
Kita juga senang dengan persatuan umat di bawah kepemimpinan mereka yang
adil dan membenci perpecahan umat di bawah penguasa yang semena-mena.
Nasihat untuk para pemimpin dapat juga dilakukan
dengan cara membantu mereka untuk senantiasa berada di atas jalan
kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, dan mengingatkan mereka
dengan cara yang baik. Termasuk prinsip Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, ialah
tidak melakukan provokasi atau penghasutan untuk memberontak kepada
penguasa, meskipun penguasa itu berbuat zhalim. Tidak boleh melakukan
provokasi, baik dari atas mimbar, tempat khusus maupun umum, atau media
lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi Shallallâhu
'Alaihi Wasallam dan Salafush-Shalih.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa,
janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan.
Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya.
Bila penguasa itu mau mendengar nasihat tersebut maka itu yang terbaik.
Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima)
maka sungguh ia telah melaksanakan
kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.[24]
janganlah ia menampakkan dengan terang-terangan.
Hendaklah ia pegang tangannya lalu menyendiri dengannya.
Bila penguasa itu mau mendengar nasihat tersebut maka itu yang terbaik.
Dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima)
maka sungguh ia telah melaksanakan
kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.[24]
Sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi masyarakat yang
tidak mau menasihati penguasanya dengan cara yang baik. Juga tidak ada
kebaikan, bagi penguasa yang menindas rakyatnya dan membungkam
orang-orang yang berusaha menasihatinya, bahkan menutup telinganya
rapat-rapat agar tidak mendengar suara-suara kebenaran. Dalam kondisi
seperti ini, yang terjadi justru kerendahan dan kehancuran. Ini sangat
mungkin terjadi jika masyarakat muslim telah menyeleweng dan jauh dari
nilai-nilai Islam.
Adapun para ulama, nasihat yang dilakukan untuk
Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh, dilakukan dengan jalan membantah
berbagai pendapat sesat berkenaan dengan Al-Qur‘an dan as-Sunnah.
Menjelaskan berbagai hadits, apakah hadits tersebut
shahih atau dha’if.
shahih atau dha’if.
Para ulama juga mempunyai tanggung-jawab yang besar
untuk selalu menasihati para penguasa, dan senantiasa menyerukan agar
para penguasa berhukum dengan hukum Allâh dan Rasul-Nya. Jika mereka
lalai dalam mengemban tanggung jawab ini sehingga tidak ada seorang pun
yang menyerukan kebenaran di depan penguasa, maka kelak Allâh akan
menghisabnya.
Kepada para ulama, hendaklah mereka terus-menerus
berusaha datang menyampaikan kebenaran dan nasihat yang baik kepada
pemerintah (penguasa) dan sabar dalam melakukannya, karena menyampaikan
kalimat yang baik termasuk seutama-utama jihad.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Jihad yang paling utama adalah mengatakan keadilan (dalam riwayat lain: kebenaran)
di hadapan penguasa yang semena-mena.[25]
di hadapan penguasa yang semena-mena.[25]
Para ulama juga akan dimintai pertanggung-jawaban, jika mereka justru memuji penguasa yang semena-mena, bahkan kemudian menjadi corong mereka. Sedangkan nasihat kita untuk para ulama, ialah dengan senantiasa mengingatkan mereka akan tanggung jawab tersebut, mempercayai hadits-hadits yang mereka sampaikan, jika memang mereka orang yang bisa dipercaya. Juga dengan jalan tidak mencerca mereka, karena hal tersebut dapat mengurangi kewibawaan dan membuat mereka sebagai bahan tuduhan.
5. Nasihat untuk Kaum Muslimin.
Makna “nasihat untuk kaum Muslimin pada umumnya”,
ialah dengan menolong mereka dalam kebaikan, melarang mereka berbuat
keburukan, membimbing mereka kepada petunjuk, mencegah mereka dengan
sekuat tenaga dari kesesatan, dan mencintai kebaikan untuk mereka
sebagaimana ia mencintainya untuk diri sendiri, karena mereka semua
adalah hamba-hamba Allâh. Maka seorang hamba harus memandang mereka
dengan landasan yang satu, yaitu kacamata kebenaran.[26]
Nasihat untuk masyarakat muslim, dilakukan dengan
cara menuntun mereka kepada berbagai hal yang membawa kebaikan dunia dan
akhiratnya. Sangat disayangkan, kaum Muslimin telah mengabaikan tugas
ini. Mereka tidak mau menasihati muslim yang lain, khususnya berkaitan
dengan urusan akhirat.
Nasihat yang dilakukan seharusnya tidak terbatas
dengan ucapan, tetapi harus diikuti dengan amalan. Dengan demikian,
nasihat tersebut akan terlihat nyata dalam masyarakat muslim, sebagai
penutup keburukan, pelengkap kekurangan, pencegah terhadap bahaya,
pemberi manfaat, amar ma’ruf nahyu mungkar, penghormatan terhadap yang besar, kasih sayang terhadap yang lebih kecil, serta menghindari penipuan dan kedengkian.[27]
6. Nasihat yang Paling Baik Di antara Kaum Muslimin.
Nasihat yang paling baik, ialah nasihat yang diberikan ketika seseorang dimintai nasihat.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Jika seseorang meminta nasihat kepadamu, maka nasihatilah ia.[28]
Termasuk nasihat yang paling baik, yaitu nasihat yang
dilakukan seseorang kepada orang lain ketika orang tersebut (yang
dinasihati) tidak ada di hadapannya. Yaitu dilakukan dengan cara
menolong dan membelanya.
7. Kedudukan Orang yang Memberikan Nasihat.
Amal para rasul ialah menasihati manusia kepada sesuatu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.
Allâh Ta'ala berfirman menceritakan hamba-Nya, Nabi Hud 'alaihissalam :
Aku menyampaikan amanat-amanat Rabb-ku kepadamu
dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.
(Qs al-A’râf/7: 68)
dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu.
(Qs al-A’râf/7: 68)
Allâh Ta'ala juga menceritakan Nabi Shalih 'alaihissalam yang berbicara kepada kaumnya:
Maka Shalih meninggalkan mereka seraya berkata:
“Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabb-ku,
dan aku telah memberi nasihat kepadamu,
tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat”.
(Qs Al-A’râf/7:79)
“Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Rabb-ku,
dan aku telah memberi nasihat kepadamu,
tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat”.
(Qs Al-A’râf/7:79)
Seseorang seharusnya merasa cukup mulia dengan melaksanakan amalan hamba-hamba Allâh yang paling mulia, yaitu para nabi dan rasul. Demikianlah hakikat nasihat. Mudah-mudahan Allâh Ta'ala menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang selalu saling menasihati. Sehingga memiliki sebagian sifat-sifat orang yang beruntung, sebagaimana telah digariskan Allâh Ta'ala dengan firman-Nya:
Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih
dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran
dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.
(Qs al-‘Ashr/103:1-3)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih
dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran
dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.
(Qs al-‘Ashr/103:1-3)
HUKUM MEMBERIKAN NASIHAT
Diriwayatkan dari Jarir bin ‘Abdillah radhiyallâhu'anhu, ia berkata:
Aku membai’at Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
(dengan isi kandungan bai'at, aku akan) tetap mengerjakan shalat,
menunaikan zakat, dan menasihati setiap muslim.[29]
(dengan isi kandungan bai'at, aku akan) tetap mengerjakan shalat,
menunaikan zakat, dan menasihati setiap muslim.[29]
Imam Nawawi rahimahullâh berkata,
”Hukum memberi nasihat
ialah fardhu kifayah. Artinya, apabila ada seseorang yang sudah
mengerjakannya maka gugurlah kewajiban atas yang lain. Dan nasihat ini
adalah wajib menurut kadar kemampuan.”
Syaikh Nazhim Muhammad Sulthân berkata,
”Saya berpendapat, hukum
memberi nasihat dengan maknanya yang menyeluruh sebagaimana sudah
dijelaskan, ada yang fardhu ‘ain, ada yang fardhu kifayah, ada yang
wajib, dan ada juga yang sunnah. Karena Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam menjelaskan, agama adalah nasihat. Sedangkan hukum-hukum agama
ada yang wajib, sunnah, fardhu ‘ain, dan fardhu kifayah.”[30]
ADAB-ADAB MEMBERI NASIHAT
Di antara adab memberi nasihat dalam Islam, yaitu
menasihati saudaranya dengan tidak diketahui orang lain. Karena,
barangsiapa menutupi keburukan saudaranya maka Allâh Ta'ala akan
menutupi keburukannya di dunia dan akhirat. Sebagian ulama berkata,
barangsiapa menasihati seseorang dan hanya ada mereka berdua, maka
itulah nasihat yang sebenarnya.
Barangsiapa menasihati saudaranya di depan banyak
orang maka yang demikian itu mencela dan merendahkan orang yang
dinasihati. Fudhail bin Iyadh rahimahullâh berkata,
"Seorang mukmin, ialah orang yang menutupi aib dan menasihati. Sedangkan orang fasik, ialah orang yang merusak dan mencela."[31]
Al-Imam Ibnu Hibbân rahimahullâh (wafat 354 H) berkata,
"Sebagaimana telah kami
sebutkan, memberi nasihat merupakan kewajiban seluruh manusia, tetapi
dalam cara menyampaikannya -tidak boleh tidak- harus secara rahasia.
Karena, barangsiapa menasihati saudaranya di hadapan orang lain, berarti
ia telah mencelanya. Dan barangsiapa yang menasihatinya secara rahasia,
berarti ia telah memperbaikinya. Sesungguhnya menyampaikan dengan penuh
perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun,
lebih besar kemungkinannya untuk diterima daripada menyampaikan dengan
maksud mencelanya."
Kemudian al-Imam Ibnu Hibban rahimahullâh menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata:
"Saya bertanya kepada Mis’ar, ‘Apakah engkau suka bila ada orang lain memberitahukan kekurangan-kekuranganmu?’
Ia menjawab, ’Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka aku tidak senang. Tetapi bila yang datang kepadaku seorang pemberi nasihat, maka aku senang’.”
Ia menjawab, ’Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka aku tidak senang. Tetapi bila yang datang kepadaku seorang pemberi nasihat, maka aku senang’.”
Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban) rahimahullâh mengatakan,
”Nasihat, apabila
dilakukan seperti apa yang telah kami sebutkan maka akan melanggengkan
kasih sayang dan menjadi penyebab terwujudnya hak ukhuwah
(persaudaraan).”[32]
Al-Imam Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’id Ibnu Hazm rahimahullâh (wafat 456 H) berkata,
”Maka wajib bagi
seseorang untuk selalu memberi nasihat, baik yang diberi nasihat itu
suka maupun benci, tersinggung maupun tidak tersinggung. Apabila engkau
memberikan nasihat maka sampaikan secara rahasia, jangan di hadapan
orang lain dan cukup dengan memberikan isyarat, tanpa secara
terus-terang. Kecuali, orang yang dinasihati tidak memahami isyaratmu
maka harus secara terus-terang. Janganlah memberi nasihat dengan syarat
harus diterima. Jika engkau melampaui batas adab-adab tersebut maka
engkau orang yang zhalim, bukan pemberi nasihat, dan gila ketaatan serta
gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukhuwah. Ini
bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan hukum
rimba seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba
sahayanya.”[33]
Imam asy-Syafi’i rahimahullâh berkata dalam sya’irnya:
Tutupilah kesalahanku dengan nasihatmu ketika aku seorang diri.
Hindarilah menasihatiku di tengah khalayak ramai.
Karena memberikan nasihat di hadapan banyak orang.
Sama saja dengan memburuk-burukkan, aku tidak sudi mendengarnya.
Jika engkau menyalahiku dan tidak mengikuti ucapanku.
Maka janganlah engkau kaget bila nasihatmu tidak ditaati. [34]
Hindarilah menasihatiku di tengah khalayak ramai.
Karena memberikan nasihat di hadapan banyak orang.
Sama saja dengan memburuk-burukkan, aku tidak sudi mendengarnya.
Jika engkau menyalahiku dan tidak mengikuti ucapanku.
Maka janganlah engkau kaget bila nasihatmu tidak ditaati. [34]
FAWAID HADITS
-
Nasihat memiliki kedudukan yang besar dan agung dalam agama Islam.
-
Nasihat ditujukan kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul- Nya, pemimpin kaum Muslimin, dan kepada kaum Muslimin pada umumnya.
-
Wajib ikhlas dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.
-
Wajib ikhlas dalam memberikan nasihat.
-
Tidak boleh khianat dalam memberikan nasihat.
-
Bolehnya mengakhirkan keterangan dari waktu ketika menyampaikan nasihat.
-
Nasihat dikatakan sebagai agama, karena iman terdiri dari perkataan dan perbuatan.
-
Nasihat termasuk dari iman. Karena itulah Imam al-Bukhari berkata dalam Shahîh-nya, dalam Kitâbul- Imân.
-
Baiknya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam mengajarkan agama kepada para sahabatnya.
-
Para sahabat radhiyallâhu'anhum sangat berkeinginan keras untuk mendapatkan ilmu.
-
Dakwah itu harus dimulai dari yang paling penting kemudian yang penting.
- Al-Wâfî fî Syarhil-Arba’în an-Nawawiyyah, Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
- An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts, Ibnul-Atsîr.
- Fiqih Nasihat, Fariq bin Ghasim Anuz.
- Fat-hul Bâri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Atsqalani.
- Irwâ-ul Ghalîl fii Takhriiji Ahâdîts Manâris-Sabîl, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Jâmi’ul ‘Ulum wal-Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.
- Qawâ’id wa Fawâ-id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya: Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan.
- Shahîh Muslim, dan lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam takhrij hadits.
- Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
- Syarah Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
- Syarah Shahîh Muslim, karya: al-Imam an-Nawawi
- Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, al-‘Allamah Muhammad Hayat as-Sindi. Tahqiq: Hikmat bin Ahmad al-Hariri, Daar Ramaadi, Cetakan I, Tahun 1415 H.
- Syarhul- Arba’în an-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
- Syarhus-Sunnah, al-Imam al-Baghawi.
- Ta’zhîm Qadrish-Shalâh, Imam Muhammad bin Nashr al-Marwazi. Tahqiq dan Takhrij: Dr. ‘Abdurrahman bin ‘Abdul-Jabbar al-Fariyuwa’i, Maktabah ad-Dâr Madinah an-Nabawiyyah, Cetakan I.
- Dan kitab-kitab lainnya yang disebutkan dalam catatan kaki.
[1] |
Siyar ‘Alâmin Nubalâ (II/442-448), al-Ishâbah fî Tamyîzish-Shâhâbah (I/183-184), dan Tahdzîbut- Tahdzîb (I/449, no. 951).
|
[2] |
Lisânul-Arab (XIV/158-159) bagian kata “Nashaha”. Daar Ihyâ-ut Turats al-‘Arabi, Cetakan I, Tahun 1408H.
|
[3] |
Syarah Shahîh Muslim (II/37).
|
[4] |
Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/219). Lihat juga an-Nihâyah fî Gharîbil-Hadits (V/63).
|
[5] |
HR Abu Dawud (no. 1949), an-Nasâ-i (V/256), at-Tirmidzi (no. 2975). Lihat Fat-hul Bâri (I/138).
|
[6] |
Fat-hul Bâri (I/138).
|
[7] | Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/218). |
[8] |
Ta’zhîmu Qadrish-Shalâh, (II/691-692).
|
[9] |
Syarah Shahîh Muslim (II/38) oleh Imam an-Nawawi.
|
[10] |
Jâmi’ul-‘Ulûm wal-Hikam (I/222).
|
[11] | Syarhul-Arba’în an-Nawawiyah, hlm. 47-48. |
[12] | Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/693). |
[13] |
Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 42.
|
[14] |
Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
|
[15] |
HR Muslim (no. 804), dari Sahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallâhu'anhu.
|
[16] | HR Abu Dawud (no. 1464) dan at-Tirmidzi (no. 2914), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallâhu'anhu. |
[17] | HR al-Bukhari (no. 7527), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu. |
[18] |
HR al-Bukhari (no. 5027), dari Sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallâhu'anhu.
|
[19] |
Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 42-43.
|
[20] |
Ta’zhîmu Qadrish-Shalâh (II/693).
|
[21] | Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48. |
[22] | Ta’zhîm Qadrish-Shalâh (II/693-694). |
[23] |
Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48.
|
[24] |
HR Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, Bab: Kaifa
Nashihatur-Ra’iyyah lil-Wulât (II/ 507-508 no. 1096, 1097, 1098), Ahmad
(III/403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm rahimahullâh.
|
[25] |
HR Abu Dawud (no. 4344), at-Tirmidzi (no. 2174), dan
Ibnu Majah (no. 4011), dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri. Lihat Silsilah
al- Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 491.
|
[26] | Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 48. |
[27] | Al-Wâfî fî Syarah al-Arba’iin an-Nawawiyyah, hlm. 45. |
[28] |
HR Muslim (no. 2162), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
|
[29] |
HR al-Bukhari (no. 57) dan Muslim (no. 56 [97]).
|
[30] | Qawâ’id wa Fawâ-id minal-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 95. |
[31] | Al-Wâfî fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah, hlm. 46. |
[32] | Raudhatul-‘Uqalâ’ wa Nuzhatul-Fudhalâ`, hlm. 176-177. |
[33] |
Akhlâq was Siyar fî Mudâwâtin Nufûs (hal. 45).
|
[34] |
Diwân Imam asy-Syafi’i, dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad ‘Abdur-Rahim, Darul-Fikr, hlm. 275.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar