Menghadapi tantangan yang berat itu
dengan kekuatan diri kita sendiri, tanpa menggantungkan diri “ke sana”,
tanpa ada hidayah, ma’unah, dan barakah dari Allah SWT, sangat berat.
Banyak yang tak sanggup dan akhirnya terjerumus dalam berbagai dampak
negatif budaya dunia global.
Sejak penghujung dasawarsa ’70-an, lelaki setengah baya namun masih terlihat awet
muda ini telah mulai berdakwah.
Pertengahan era tahun ’80-an, jadwal ceramahnya semakin padat, dari
masjid ke masjid dan dari satu perkantoran ke perkantoran lain.
Belakangan dakwahnya merambah ke stasiun-stasiun TV, dari kota ke kota,
dari pulau ke pulau, bahkan lintas negara. Beberapa negara seperti
Jerman dan Prancis di Eropa, Jepang dan Singapura di Asia, hingga benua
Amerika dan Australia pernah dijelajahinya dalam safari dakwah.
Kiprah dakwahnya tak diragukan, namun
tak banyak yang tahu, dai yang satu ini juga seorang pengamal tarekat.
Bahkan ia adalah salah satu wakil talqin Abah Anom, Suryalaya,
Tasikmalaya, Jawa Barat, untuk kota Jakarta. “Wakil talqin” adalah
istilah untuk badal (asisten) seorang guru mursyid dalam Thariqah
Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, yang dipimpin oleh ulama sepuh itu.
Dialah K.H. Wahfiudin, S.E., M.B.A., dai kondang yang akrab disapa
“Ustadz Wahfiudin”, yang asli Betawi.
Ia, yang lahir di Kampung Lima (kini
Jalan Sabang), Jakarta Pusat, pada 19 Oktober 1961, adalah anak sulung
dari delapan bersaudara.
Saat ia berusia dua tahun, keluarganya pindah ke Setiabudi, yang ditempatinya hingga ia dewasa dan menikah pada tahun 1986.
Tahun 1993, ketika anaknya sudah tiga, ia hijrah ke Rawamangun, hingga saat ini.
Di pertengahan bulan Ramadhan kemarin,
tepatnya hari Sabtu, 13 Agustus 2011, bertempat di Gedung Rabbani, Jalan
Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, diselenggarakan seminar bertajuk
Indahnya Keluarga Harmonis. Acara berlangsung sejak pukul sembilan pagi
sampai pukul tiga sore. Dalam kesempatan tersebut, Ustadz Wahfiudin
didaulat menjadi salah satu narasumbernya, di samping Astri Ivo, artis
film Indonesia era ‘80-an yang saat ini juga banyak berkiprah di dunia
dakwah.
Banyak hal yang diungkapnya saat itu,
sebagai bekal bagi setiap keluarga muslim yang ingin membangun mahligai
rumah tangga yang harmonis. Kemudian, agar kenikmatan itu
berkesinambungan, yaitu dengan turunnya keberkahan dari Allah SWT lewat
kehadiran anak-anak yang shalih di tengah-tengah mereka.
Berikut petikan dari uraian Ustadz
Wahfiudin dalam acara tersebut, terutama yang berhubungan dengan tema
pendidikan anak dalam sebuah keluarga.
Fithri dan Fithrah
Terkait dengan momentum Hari Raya ‘Idul
Fithri, Ustadz Wahfiudin menyatakan, mengartikan ‘Idul Fithri dengan
“kembali pada fithrah” atau “kembali pada kesucian” menurutnya merupakan
pengertian keliru. Sebab, fithri dan fithrah memiliki pengertian yang
berbeda.
Kata “fithri” terkait dengan aktivitas
berbuka dari puasa. Yang seakar kata dengannya, “ifthar”, pun memiliki
arti seperti itu. Artinya berbuka, atau aktivitas memecah/mengurai pada
suatu waktu yang pada rentang waktu sebelumnya seseorang menahan
makanan, minuman, dan hawa nafsu. Setelah datang waktu maghrib, mereka
berbuka. Itu yang kemudian dinamakan “ifthar”, atau “fithri”, setelah
berpuasa selama sebulan. Demikian penjelasan Ustadz Wahfiudin seputar
istilah “fithri”.
Adapun kata ’ied bermakna “hari raya”.
“Warga di negeri Arab pun menyebutnya demikian. Pada surat kabar-surat
kabar lokal di negeri Arab namun yang berbahasa Inggris, istilah ‘ied
diartikan dengan festival, hari raya, atau lebaran. Jadi ‘Idul Fithri
memang hari raya umat dalam menyambut keberhasilan mereka dalam menahan
diri dari makan, minum, dan hawa nafsu di siang hari. Karenanya pula,
istilah zakat yang dikeluarkan di malam hari raya itu pun adalah zakat
fithri, bukannya zakat fithrah, seperti yang banyak disebut orang
sekarang. Padahal dalam kitab-kitab fiqih, tidak ada yang menyebutnya
zakat fithrah, melainkan zakat fithri,” katanya.
Setelah menguraikan istilah ‘Idul Fithri
itu secara panjang lebar, ia beralih menjelaskan makna “fithrah”.
Fithrah adalah karakter asli pada seseorang. Ia menyitir sebuah hadits,
“Kullu mauludin yuladu ‘alal fithrah (Setiap anak dilahirkan atas
fithrah). Fithrah apa yang ada pada bayi-bayi itu? Sifat-sifat dari
Tuhan mereka, Allah SWT. Jadi, diartikannya bukan ‘setiap anak
dilahirkan dalam keadaan suci’, sebab, kalau maksudnya seperti itu,
redaksi hadits tersebut semestinya adalah ‘kullu mauludin yuladu fil
fithrah’.”
Kembangkan Potensi AnakItulah pula sebabnya, dalam mendidik anak, hendaknya kita memperhatikan nama-nama terpuji milik Allah SWT yang berjumlah 99 itu, atau dikenal dengan istilah Asmaul Husna. Nama-nama Allah tersebut juga menyiratkan gambaran sifat-sifat luhur Allah SWT. Dan masing-masing anak menerima kadar dan jenis fithrah yang berbeda-beda. Itulah pula mengapa kecenderungan setiap anak akan berbeda.
Di antara asma Allah tersebut, misalnya,
Al-‘Alim, Yang Maha Mengetahui. Kalau karakter ini yang lebih kuat pada
seorang bayi, kelak ia cenderung menjadi seorang cendekiawan, baik
dalam ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Atau ada bayi yang lebih banyak
menyimpan karakter dari nama Allah Al-Qawiyy, Yang Mahakuat, kelak ia
menjadi seorang atlet yang kuat, pekerja yang tangguh, atau tentara yang
berani. Demikian seterusnya.
Tak mengherankan kalau ada sebuah hadits
yang bunyinya menganjurkan agar kita berakhlaq dengan akhlaq Allah SWT.
Itu karena di dalam diri kita telah tertanam sifat-sifat luhur dari-Nya
sebagai karakter asli pada tiap-tiap orang.
Kenapa sifat-sifat Tuhan itu ditanamkan
kepada manusia? Karena kita, manusia, telah Dia tunjuk sebagai
khalifatullah, wakil Allah di muka bumi. Dialah Sang Maha Pencipta, maka
kita harus bercermin dengan sifat-Nya, yang juga Mahabijaksana, kita
kelola bumi ini. Dialah Sang Maha Pengasih, Dialah Sang Mahakaya, dan
seterusnya.
Oleh karenanya, orangtua harus bijak
dalam mengarahkan pendidikan seorang anak. Pendidikan yang mereka terima
jangan merupakan hasil paksaan kehendak kita pada anak-anak kita. Bukan
pula cerminan cita-cita kita pada jalan hidup mereka. Lihat saja
karakter mana yang lebih kuat dalam diri anak kita, apakah kebiasaan
berpikirnya, bekerjanya, solidaritasnya, kekuatan fisiknya, dan
sebagainya.
“Itulah potensi diri si anak yang
kemudian harus kita maksimalkan. Sehingga, generasi penerus kita ini
tidak perlu semuanya jadi ustadz. Tidak perlu semuanya jadi kiai.
Biarkan masing-masing berkembang dengan bakat luhur yang tersimpan di
dalam dirinya. Tugas orangtua dalam mengarahkan si anak, agar bakat
luhur titipan Allah SWT itu tidak tersia-siakan.”
Pesaing OrangtuaPerkembangan
teknologi informasi memang amat dahsyat. Bagi generasi setelah kita,
era globalisasi adalah sebuah keniscayaan. Mereka pasti akan mengalami.
Padahal, kita pun tak tahu apakah mereka kelak akan siap menghadapinya
atau tidak.
“Karenanya, wajib bagi kita, para
orangtua, agar membentengi dan memberi bekal yang memadai kepada
anak-anak kita, demi masa depan mereka. Sebab, sebagaimana juga
dikatakan oleh Alvin Tofler, seorang yang buta huruf itu bukan hanya
orang yang tidak bisa baca tulis, akan tetapi bisa jadi orang yang buta
huruf itu adalah mereka yang tidak mampu mempelajari sesuatu,” ujar
Ustadz Wahfiudin.
“Kalau anak-anak lemah kemampuan belajarnya, mereka menjadi buta dengan dunianya.”
Memang benar. Anak-anak kita tidak boleh
jadi generasi yang bodoh. Mereka harus diajak untuk mempelajari dan
memahami hakikat kehidupan dengan segala sifatnya. Bila tidak, ancaman
dampak negatif dari arus globalisasi dan informasi akan menggilas
kehidupan mereka.
Contohnya, tahun 2007, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengadakan survei pada 2800 siswa-siswi di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) yang duduk di kelas 4 sampai kelas 6 SD Jabodetabek. Hasilnya, 67% dari mereka ternyata sudah pernah melihat pornografi.
Dari mana mereka mendapatkan itu? Dari film, HP, majalah, koran, internet, komik, games.
Pada game-game tertentu, bila menang di
level pertama, setelah berjibaku, saling tembak, dan sebagainya, tokoh
yang dijagokan dalam permainannya itu mendapat hadiah berupa poin, bahan
bakar, uang, kendaraan, peluru, senjata, dan sebagainya, sebagai modal
untuk masuk ke level selanjutnya. Demikian seterusnya hingga pada level
keenam atau ketujuh, hadiah yang didapati bukan lagi uang dan sebagainya
itu tadi, melainkan seorang wanita seksi yang ia boleh melakukan apa
saja dengan wanita itu.
Ini memang sekadar game. Tapi game tadi
itu membuat otak anak merekamnya, dengan tanpa modal keimanan yang telah
ditanamkan untuk membentengi diri dari keburukan yang diakibatkannya
atau dengan tanpa modal pelajaran baginya yang tepat dalam menyikapinya.
Begitu pula komik. Komik memang sekadar
guratan sketsa yang berisi alur cerita sederhana sebagai konsumsi bacaan
bagi anak-anak. Tapi orang-orang tua zaman sekarang harus waspada. Coba
saja lihat misalnya komik Sinchan, ternyata di dalamnya ada sketsa
gambar suami-istri yang sedang berhubungan atau sepasang
lelaki-perempuan saling bermesraan dengan pakaian yang serba minim.
Mereka yang mengonsumsi bacaan itu masih
duduk di bangku sekolah dasar. Tapi mereka merekam hal-hal itu. Begitu
masuk SLTP, apa yang terjadi?
Survei LSI selanjutnya menyebutkan, dari
4.500 siswa SLTP-SLTA di 12 kota besar Indonesia, didapat data, di
antaranya, 97% dari mereka pernah nonton film porno dan 93% pernah
berciuman.
Jadi, kita harus waspada, sebenarnya
pesaing utama kita dalam mendidik anak-anak kita saat ini bukan
lingkungan tetangga, melainkan lingkungan global yang masuk ke kamar
anak-anak kita, melalui internet, televisi, dan media-media itu tadi.
Pertolongan AllahTermasuk dalam makna keshalihan itu adalah kemampuan seseorang dalam mengantisipasi zamannya, membaca kecenderungan-kecenderungan di waktu yang akan datang, mempersiapkan diri dengan kompetensi, kontribusi, dan relasi yang baik.
Ustadz Wahfiudin kemudian menggambarkan
betapa beratnya tantangan di era globalisasi dan pesatnya arus teknologi
informasi. “Menghadapi tantangan yang berat itu dengan kekuatan diri
kita sendiri, tanpa menggantungkan diri ‘ke sana’, tanpa ada hidayah,
ma’unah, dan barakah dari Allah SWT, sangat berat. Banyak yang tak
sanggup dan akhirnya terjerumus dalam berbagai dampak negatif budaya
dunia global.”
Sehingga, menurutnya, “Keseharian kita
ini tidak cukup kalau hanya diisi dengan ibadah-ibadah rutin lahiriah.
Harus ada latihan-latihan olah jiwa. Sampai di sini, pembicaraannya
memang jadi cenderung sufistis. Saya katakan, ‘Iya, memangnya kalau
nyufi itu kenapa?’ Bagi saya (kalau ingin membentengi diri dari dampak
negatif yang dimunculkan oleh derasnya arus budaya globalisasi,
nilai-nilai yang ada pada) tasawuf itu justru sesuatu yang tak
terhindarkan di zaman modern ini.
Jangan lihat tasawuf itu dari gambaran
pada aliran-aliran yang sesungguhnya sekadar mengatasnamakan tarekat
tapi ternyata aktivitas mereka adalah latihan agar kebal bacok, dan
semacamnya. Kalau itu sebenarnya perdukunan. Tasawuf yang hakiki adalah
proses membersihkan qalbu, menyambungkan qalbu kepada Allah, agar diri
kita ini selalu siap mendapat didikan dari Allah SWT.
Tasawuf yang hakiki juga tak akan
berselisih dengan fiqih dan aqidah, karena pada dasarnya tasawuf adalah
manifestasi spiritualistis dari fiqih dan aqidah itu sendiri.
Jadi, keterkaitan bathin kita kepada
Allah harus menjadi spirit dalam nuansa di dalam keluarga kita. Adanya
kebiasaan dalam rumah kita anggota keluarga yang berjilbab, shalat
berjama’ah, dan semacamnya, itu sudah bagus. Tapi keterkaitan bathin
kita kepada Allah, itu lebih utama. Sebab, pertolongan Allah itu yang
paling utama sebagai modal bagi kita menghadapi tantangan zaman, yang
semakin berat.”
Ismail Yahya |
|
Senin, 19 Desember 2011
K.H. Wahfiudin, S.E., M.B.A: Persiapkan Bekal Songsong Dunia Global
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar