“Siapa lagi yang peduli pada anak-anak muda? Ingat, tegak dan runtuhnya suatu negara tergantung pada pemuda.”
Ibarat pohon yang terus tumbuh, batangnya menjulang tinggi, akarnya semakin dalam, buahnya pun bertunas, kemudian tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan kuat. Begitu pula majelis yang hampir seabad lalu dirintis Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, kini menyemai bibit bagi tumbuhnya majelis-majelis pada generasi selanjutnya. Salah satunya, Majelis Ta’lim dan Dzikir Nurul Fata.
Majelis Nurul Fata diasuh oleh Habib
Hasan bin Abdul Qadir Al-Attas, salah seorang cicit Habib Abdullah bin
Muhsin, Keramat Empang Bogor. Nasab lengkapnya, Habib Hasan bin Abdul
Qadir bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas.
Dulu, leluhurnya memilih “Nur” sebagai
nama majelis dan masjid yang ia bangun, kini sang cicit bertabarruk
menggunakan nama yang serupa, dengan tambahan kata “Al-Fata”, yang
berarti “pemuda”. Jadi, “Nurul Fata” bermakna “Cahaya Pemuda”.
Dengan nama itu Habib Hasan berharap,
keberhakan Majelis Ta’lim An-Nur, yang didirikan sang kakek, tetap
melekat di majelis yang sudah sepuluh tahun dibentuknya. Karenanya,
majelis yang ia bina ini tak pernah mendahulukan Majelis An-Nur dalam
momen pembukaan atau penutupan akhir tahun majelis. Kalau Majelis Nurul
Fata mau dibuka, Majelis An-Nur harus sudah dibuka terlebih dulu. Begitu
pun kalau mau tutup menjelang Ramadhan.
Sementara itu kata-kata “Al-Fata” yang
ia gunakan adalah karena pada kenyataannya 70 persen jama’ahnya, bahkan
ia sebagai pengasuhnya, berasal dari kalangan kaum muda. Majelis Ta’lim
Nurul Fata ini memang memusatkan dakwah pada kalangan anak muda.
Dakwah-dakwahnya selalu berisi motivasi serta dedikasi kepada para
pemuda Islam yang ingin maju dalam tuntunan Islam. “Siapa lagi yang
peduli pada anak-anak muda? Ingat, tegak dan runtuhnya suatu negara
tergantung pada pemuda,” katanya.
Di Bawah Asuhan MunshibRoda perputaran kepemimpinan di Masjid An-Nur dan Makam Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, Keramat Empang Bogor, memang agak berbeda dengan kebiasaan di tempat-tempat lainnya.
Di Bawah Asuhan MunshibRoda perputaran kepemimpinan di Masjid An-Nur dan Makam Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, Keramat Empang Bogor, memang agak berbeda dengan kebiasaan di tempat-tempat lainnya.
Biasanya, manshabah (kemunshiban)
beralih dari putra tertua ke cucu putra tertua, dan begitu seterusnya.
Di Keramat Empang Bogor tidak demikian, manshabah beralih dari putra
tertua, kemudian ke putra kedua, dan seterusnya. Setelah putra terakhir
wafat, manshabah kembali pada garis putra tertua, yaitu cucu shahibul
maqam putra tertua, kemudian cucu putra kedua, dan seterusnya.
Karenanya, setelah Habib Muhsin bin
Abdullah, putra tertua Habib Abdullah bin Muhsin, wafat, manshabah
beralih pada putra-putra Habib Abdullah lainnya, atau adik-adik Habib
Muhsin bin Abdullah, secara berurut, yaitu kepada Habib Zen bin
Abdullah, Habib Husen bin Abdullah, dan Habib Abubakar bin Abdullah.
Sepeninggal Habib Abubakar, Habib Abdul
Qadir, selaku cucu anak pertama Habib Abdullah bin Muhsin, memangku
jabatan sebagai munshib di Keramat Empang Bogor. Habib Abdul Qadir
adalah ayah Habib Hasan, figur kita kali ini.
Setelah Habib Abdul Qadir wafat, posisi
munshib digantikan oleh cucu anak kedua, Habib Abdullah bin Zen, yang
baru saja wafat beberapa bulan silam. Kini manshabah Keramat Empang
Bogor diteruskan oleh cucu anak ketiga, yaitu Habib Abdullah bin Husen
bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas.
Meski berbeda dengan kebiasaan yang ada,
selama ini roda kepemimpinan ala Keramat Empang Bogor terus berputar
secara teratur di keluarga anak-cucu keturunan Habib Abdullah bin Muhsin
Al-Attas, tanpa ada gejolak. Semuanya mengalir dengan tenang dan damai
sesuai dengan aturan khas ala keluarga Keramat Empang Bogor.
Habib Hasan tumbuh besar di bawah asuhan
dan didikan munshib kelima, yaitu ayahnya sendiri, Habib Abdul Qadir
bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin. Banyak keteladanan dari sang ayah
yang masih diingatnya hingga sekarang.
Sebagai munshib, aktivitas sehari-hari
Habib Abdul Qadir adalah menerima kunjungan tamu yang datang dari
berbagai daerah, bahkan dari mancanegara, dan mengantar mereka atau
menuntun mereka dalam melaksanakan ziarah ke makam Habib Abdullah. Habib
Abdul Qadir sendiri banyak mempelajari agama dari ayahnya, Habib
Muhsin.
Di antara tokoh-tokoh yang menjadi
sahabat dekat Habib Abdul Qadir adalah Habib Ahmad bin Ali Al-Attas
Pekalongan, Habib Abdullah bin Ahmad Al-Kaf Tegal, Habib Hasan bin Husen
Al-Haddad Tegal, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf Bukit Duri.
Bukan hanya dekat, mereka pun saling
cinta dan hormat. Misalnya, antara Habib Abdul Qadir dan Habib
Abdurrahman Assegaf, kalau salah satu di antara mereka saling
mengunjungi, yang berkunjung tak ingin yang dikunjungi berdiri untuk
menyambut. “Abah tidak mau masuk ke ruangan kalau Al-Walid, Habib
Abdurrahman Assegaf, sampai berdiri untuk menyambutnya. Begitu pun
sebaliknya,” kisah Habib Hasan.
Jejak lebih UtamaSemasa
hidupnya, Habib Abdul Qadir adalah seorang yang berjiwa sosial tinggi.
Ia banyak membantu orang yang sedang mengalami kesulitan dalam keuangan.
Banyak pula orang yang berutang uang
kepadanya. Habib Abdul Qadir hampir selalu meminjamkan uang kepada
mereka yang hendak meminjam uang kepadanya. Tanpa bunga, tentunya.
Sampai-sampai, waktu ia wafat, banyak orang masih berutang kepadanya.
Kepada para tamu atau jama’ahnya,
terkadang Habib Abdul Qadir juga menjual sarung, terutama bila sudah
mendekati bulan Ramadhan dan Lebaran. Uniknya, ia lebih suka menjual
sarung dengan cara diutangkan. Rupanya, ia ingin tali silaturahim terus
berlanjut. “Kalau dikasih kontan, biasanya orang tidak balik lagi,” kata
Habib Hasan mengutip kata-kata ayahnya saat memberi alasan kenapa ia
lebih suka menjual sarung-sarungnya itu dengan cara diutangkan.
Dalam keluarga, Habib Abdul Qadir adalah
sosok ayah yang amat disegani putra-putrinya. Ia juga seorang yang
sangat memuliakan tamu.
Habib Hasan mengisahkan sebuah
pengalaman yang amat berharga baginya saat bersama sang ayah dulu. Suatu
ketika, ia dan ayahnya hadir di sebuah majelis. Di sana, dibacakan
kitab Maulid secara bergiliran. Karena duduk agak di depan, Habib Hasan
juga dapat giliran membaca.
Saat akan membaca, tiba-tiba sang ayah mencegahnya. Ia menyuruh agar anaknya berhenti membaca saat itu juga dan meminta jama’ah yang lain untuk meneruskan.
Saat akan membaca, tiba-tiba sang ayah mencegahnya. Ia menyuruh agar anaknya berhenti membaca saat itu juga dan meminta jama’ah yang lain untuk meneruskan.
Rasa malu, kecewa, bercampur aduk jadi
satu dalam pikiran Habib Hasan saat itu. Seketika, ia pun teringat
sebuah kisah di zaman dahulu tentang seorang wali yang dalam kesempatan
makan bersama membagi-bagikan daging yang ada dalam piringnya kepada
para jama’ahnya. Kepada putranya sendiri, ternyata si wali hanya memberi
tulang yang telah habis terkelupas dagingnya, karena dagingnya telah
habis ia makan.
Para ulama, ketika menerangkan alasan
mengapa sang wali berbuat demikian, menyitir sebuah maqalah,
“Jejak-jejak para wali lebih utama dari makamnya.”
Hikmahnya, Habib Abdul Qadir
menginginkan sang putra memahami bahwa meneladani perilaku salafush
shalih, para pendahulunya yang shalih, adalah lebih utama daripada
sekadar membanggakan diri sebagai putra Fulan, cucu Fulan, dan
seterusnya.
Habib Abdul Qadir, yang semasa hidupnya
selalu mendawamkan bacaan shalawat Habib Sholeh Tanggul, wafat pada
tahun 1998, dan dimakamkan di kompleks pemakaman Keramat Empang Bogor.
Tahun Baru, ya HijriyyahSejak kecil, Habib Hasan senang ikut dalam majelis. Ia juga senang mencium tangan orang-orang shalih dan duduk bersama mereka.
Tahun Baru, ya HijriyyahSejak kecil, Habib Hasan senang ikut dalam majelis. Ia juga senang mencium tangan orang-orang shalih dan duduk bersama mereka.
Sejak kecil pula ia ingin sekali masuk pondok pesantren, tapi, entah kenapa, ayahnya seakan tak merespons keinginannya itu.
Beberapa kali ia menanyakan ke ibunya
ihwal hal itu, sang ibu hanya mengatakan, “Tak ada orangtua yang tak
ingin anaknya menjadi seorang anak yang baik. Sabar saja.”
Sampai suatu ketika, setelah beberapa
tahun keinginan itu tak juga pupus dari dadanya, ia dan kakaknya,
Muhsin, dibawa ke studio foto. Sampai sana, mereka foto bertiga. “Takut
kalau tidak ada umur,” kata sang ayah pendek, menjelaskan kenapa ia
diajak untuk foto bersama.
Setelah itu, ayahnya pun mengizinkannya masuk ke pesantren.
Selama ini sang ayah merasa berat jika harus berpisah dengan anaknya. Mungkin, foto itu bisa menjadi obat rindu.
Selepas dari pesantren, sekitar tahun 1997, ia memberanikan diri membuka majelis Al-Burdah.
Setelah berjalan beberapa bulan, ia,
yang saat itu belum mengantungi ijazah Al-Burdah, sengaja sampai pergi
ke Surabaya demi meminta ijazah dari Habib Syekh bin Muhammad bin Husein
Alaydrus, shahib majelis Burdah di Surabaya.
Sayangnya, di sana ia tak kesampaian
menemui Habib Syekh. “Terus terang, hati saya khawatir. Saya mengasuh
majelis Burdah, sementara saya sendiri belum mendapat ijazah Al-Burdah.
Akhirnya, sementara saya berhentikan dulu majelis Al-Burdah tersebut.”
Tahun 1998, majelisnya ia mulai buka
lagi. Lokasi majelisnya itu di kawasan Parung Banteng, yaitu di sekitar
daerah yang dulu menjadi basis majelis Al-Walid Habib Abdurrahman
Assegaf Bukit Duri, sebelum akhirnya memindahkannya ke Citayem. Tapi,
saat itu ia membawakan bacaan Asma’ul Husna, bukan lagi Al-Burdah.
“Alhamdulillah, kalau Asma’ul Husna, ijazahnya sudah saya dapat dari
Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas Benhil. Setelah Habib Ahmad wafat,
saya bahkan meminta ijazah kembali dari putra beliau, Habib Umar bin
Ahmad Al-Attas. Belum lama, sewaktu Habib Zain Bin Smith (Madinah)
datang, saya juga meminta ijazah lagi darinya,” tutur Habib Hasan.
Tahun 1999, Yayasan Majelis Ta’lim
Mudzakarah Nurul Fata resmi berdiri. Di antara yang hadir saat peresmian
adalah Kapolri Jenderal Rusmanhadi. Turut hadir pula dalam acara
tersebut Menko Kesra Hamzah Haz dan pejabat-pejabat pemerintahan
setempat. Saat itu, tak kurang dari sepuluh ribu hadirin turut
menyemarakkan acara.
Di majelisnya itu, setiap Jum’at malam
minggu kedua, jama’ah, yang mayoritas anak-anak muda, membaca dzikir
Asma’ul Husna dan Ratib Al-Attas. Mengenai ijazah Ratib Al-Attas, tak
perlu disangsikan, karena ia lahir dan besar dari seorang munshib pada
salah satu keluarga Al-Attas terkemuka.
Untuk urusan dapur Nurul Fata, ia
melakukannya secara mandiri, atau dengan dukungan sejumlah tokoh.
“Selama penyelenggaraan Asma’ul Husna di Majelis Al-Fata, kalau ada yang
memberi, kita terima. Tapi saya tidak mau menyodorkan proposal ke
masyarakat,” kata Habib Hasan.
Setahun sekali, tepatnya malam tanggal 1
Muharram, Nurul Fata mengadakan acara tabligh akbar menyambut tahun
baru Islam sekaligus ulang tahun Nurul Fata. Acara tabligh akbar Nurul
Fata di malam tahun baru Hijriyyah itu selalu berlangsung dengan meriah.
“Kita kan umat Islam, tahun baru yang
mesti dirayakan adalah tahun baru Hijriyyah. Merayakannya bukan dengan
pesta pora, tapi dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti mau’izhah
hasanah, pembacaan Asma’ul Husna, sirah Nabawiyah, qashidahan, dan
sebagainya. Dalam hal ini Majelis Ta’lim Nurul Fata merasa berkewajiban
merayakannya pula,” kata Habib Hasan kepada alKisah.
Dari Majelis Menjadi PesantrenDari tahun ke tahun, jama’ah yang hadir dan terlibat di majelisnya semakin banyak. Saat ini saja, untuk majelis rutinan yang diselenggarakan, ada sekitar 200 orang yang hadir.
Dari Majelis Menjadi PesantrenDari tahun ke tahun, jama’ah yang hadir dan terlibat di majelisnya semakin banyak. Saat ini saja, untuk majelis rutinan yang diselenggarakan, ada sekitar 200 orang yang hadir.
Selain menyelenggarakan majelis ilmu dan
dzikir, sesekali Nurul Fata juga menggelar aktivitas sosial, di
antaranya khitanan massal. Tahun kemarin, 200-an anak telah dikhitan
bersamaan dengan ulang tahun Nurul Fata.
Ternyata, selama berjalan beberapa tahun
Majelis Nurul Fata baru sanggup mengontrak sebuah rumah. Alhamdulillah,
tahun 20009 Habib Hasan sudah membeli sebidang tanah yang cukup luas,
6.000 meter persegi. Rencananya, di atas tanah itu akan dibangun Pondok
Pesantren Nurul Fata.
Setelah ‘Idul Fithri ini rencana pembangunan pondok pesantren itu akan mulai.
Masyarakat menyambut antusias rencana
tersebut. Buktinya, meski pembangunan belum resmi dimulai, mereka sudah
mulai bergerak sendiri sepekan sekali, tanpa ada perintah darinya atau
biaya atas upah kerja mereka.
“Mereka bekerja secara mandiri atas
inisiatif sendiri. Masing-masing membawa alat-alat pertukangan sendiri,”
kata Habib Hasan lagi.
Mengenai perkembangan majelisnya yang
terlihat pesat, Habib Hasan mengatakan, “Semua ini berkah Asma’ul Husna,
atas izin Allah SWT. Juga karena keikhlasan orang-orang yang terlibat
di dalamnya. Mengerjakan segala sesuatu kalau ada motivasi duniawi,
jangan harap ada keberkahan di dalamnya. Dan juga, diperlukan koordinasi
yang bagus dengan aparat dan jajaran pemerintah.”
Rencananya, pesantrennya ini akan banyak
meniru sistem pendidikan pada Pesantren Darul Lughah wad Da’wah Bangil.
Hal ini, kata Habib Hasan, dikarenakan keberhasilan pesantren tersebut
mencetak banyak insan dakwah sejak dulu hingga sekarang. Dan yang
terpenting, penanaman akhlaq. “Akhlaq harus didahulukan dari ilmu. Itu
pesan Abah kepada saya,” kata Habib Hasan.
Berkah Asma’ul HusnaSuatu ketika, Habib Hasan berkisah, salah seorang jama’ah yang dikenalnya dengan baik datang kepadanya sambil menangis. Ternyata jama’ahnya itu sedang dalam masalah dengan pembayaran listrik, yang tiba-tiba membengkak luar biasa. Rupanya, ada orang yang mencuri listriknya. Sewaktu ada pemeriksaan, listriknya disegel dan ia diwajibkan melunasi biaya denda yang cukup besar.
Berkah Asma’ul HusnaSuatu ketika, Habib Hasan berkisah, salah seorang jama’ah yang dikenalnya dengan baik datang kepadanya sambil menangis. Ternyata jama’ahnya itu sedang dalam masalah dengan pembayaran listrik, yang tiba-tiba membengkak luar biasa. Rupanya, ada orang yang mencuri listriknya. Sewaktu ada pemeriksaan, listriknya disegel dan ia diwajibkan melunasi biaya denda yang cukup besar.
“Saya mengenalnya sebagai orang baik. Di
antara tanda baiknya seseorang adalah ia selalu ada di setiap tempat
kebaikan. Begitu pula si bapak yang satu ini, saya sering melihatnya
hadir pada majelis-majelis kebaikan.
Saya katakan kepadanya, ‘Ya sudah, insya
Allah besok saya datang ke PLN.’ Padahal saya tak kenal seorang pun
pejabat PLN di sana.
Keesokan harinya, saya berpakaian dengan pakaian rapi, bercelana panjang dan berkemeja.
Baru masuk, ada seorang aparat yang
langsung menyapa saya. Rupanya dia kepala keamanan di situ. Bersama
aparat tersebut, saya diantar langsung masuk ke ruang kepala PLN.
Saya bicarakan baik-baik, mereka pun menerimanya dengan baik-baik.
Mereka kemudian mengatakan kepada saya, ‘Habib, jangan membela yang salah, karena yang memeriksa adalah Tim Sembilan.’
Saya katakan kepada mereka, ‘Tidak, saya
bukan mau membela yang salah. Saya hanya melihat bahwa orang ini adalah
orang baik. Saya berharap, jaringan listriknya diperiksa ulang, untuk
lebih mengetahui di mana letak permasalahannya.’
Di tengah pembicaraan, tiba-tiba Pak
Wali Kota menghubungi saya, dalam rangka mengundang saya untuk hadir
pada majelis tasyakuran di rumahnya.
Mengetahui bahwa yang menelepon adalah
wali kota, mereka tampak terkejut. Pembicaraan pun mulai melunak.
‘Habib, maaf, tapi ini tidak bisa ditolong,’ ujar kepala PLN itu lagi.
Berselang beberapa detik, giliran Kapolda Jabar yang menelepon.
Setelah itu, saya langsung disuguhi
minuman. Lalu diputuskan, kasus itu pun diteliti ulang. Hasilnya, orang
tersebut terbukti tak bersalah.”
Sebagai penutup obrolan dengan alKisah,
Habib Hasan pun berpesan, “Insya Allah, dengan dzikir Asma’ul Husna,
Allah memberikan jalan di saat kita kesusahan.”
Ismail Yahya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar