Hidup di kota besar
semacam Jakarta atau Bandung membutuhkan kekuatan iman dan kekuatan mental.
Macet di perjalanan dalam waktu-waktu tertentu adalah suatu permasalahan yang
kadangkala sering kita hadapi. Tak heran bila untuk sebuah perjalanan, kalau
kita tidak memakai strategi yang bagus, tidak memakai perencanaan yang matang,
maka kemacetan akan benar-benar mencuri waktu begitu lama. Terkadang bisa
berjam-jam di jalan. Kalau saja tidak berusaha untuk bening hati, sepertinya
sepanjang jalan yang terjadi hanya dongkol dan marah-marah. "Aduh , kapan
sampainya! Aduh, kok ini lama banget! Aduh, kok macet terus!" Mungkin
ungkapannya seperti itu. Aduh dan aduh.
Padahal kata-kata
aduh, kalau hanya tanda keluh kesah, sebetulnya tidak menyelesaikan masalah.
Justru kata-kata yang terlontar itu menunjukkan ketidaksabaran kita. Apalagi
tiba-tiba di pinggir jalan ada kendaraan lain berhenti seenaknya. Kita boleh
kecewa dan melihat ini sebagai sesuatu yang harus diperbaiki. Tetapi, tidak
berarti kita harus sengsara dengan marah-marah atau berkeluh kesah. Mata
terbeliak dan mulut kadang berucap "Minggir, dong!" Mungkin inginnya menghardik
seperti itu. Tetapi, alangkah lebih baiknya jika kita menyapa dengan kata yang
lemah lembut, "Maaf, Pak! Boleh agak ke pinggir sedikit!" Ungkapan seperti ini
nampaknya akan lebih ringan ke dalam hati, dari pada melotot dengan menggunakan
otot.
Boleh jadi kalau
sudah banyak kedongkolan, selain akan banyak berkeluh kesah, juga akan
menjadikan diri lebih emosional. Ini yang paling merugikan. Bagi kita maupun
orang lain. Kita harus mengukur kehilangan waktu dalam beberapa menit atau
beberapa jam, padahal waktu tersebut sebenarnya dapat menjadi tambahan ilmu dan
kemampuan diri kita. Ada baiknya, selama perjalanan lengkapi diri dengan
sumber-sumber ilmu, baik berupa kaset ceramah, nasyid, atau kaset murotal
Qur’an. Sumber-sumber ini akan menambah percepatan keilmuan kita, disamping akan
membuat kita tidak tergoda untuk ber-aduh ria. "Aduh, terlambat nih! Aduh,
sialan kamu! Aduh, ada yang ketinggalan nih!" Kata-kata seperti ini sebetulnya
tidak perlu dikeluarkan! Karena tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik kita isi
dengan do’a : "Ya Allah, semoga saya datang tepat waktu, semoga ada jalan keluar
dari kemacetan ini". Kata-kata ini akan lebih produktif dibandingkan dengan kata
"aduh".
Marilah kita
meminimalisirkan keluh-kesah seperti ini. Apalagi bagi kita pun ada kenikmatan
tersendiri bila kita bicara lebih santun. Kesantunan akan membuat batin kita
lebih ringan dari pada berperilaku emosional. Lebih dari itu, kelembutan akan
mampu menaklukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan kekerasan. Itu sudah
bagian dari rumusnya. Karena, kalau orang-orang keras dilawan dengan kekerasan,
maka itu akan merasa bagian dari dunianya. Tapi, kalau orang-orang yang
bertemperamen keras itu diberi kelembutan yang tulus dari lubuk hati yang paling
dalam, Isya Allah mereka akan terbawa lembut juga. Contohnya, orang sekeras Umar
bin Khattab atau Khalid bin Walid bisa jatuh tersengkur menagis oleh lembutnya
alunan Al-Qur’an.
Berkeluh kesah
seringkali membuat kita terdramatisasi oleh masalah. Seakan-akan rencana dan
keinginan kita lebih baik daripada yang terjadi. Padahal, belum tentu. Siapa
tahu, di balik kejadian yang mengecewakan menurut kita, ternyata sarat dengan
perlindungan Allah dan sarat dengan terkabulnya harapan-harapan kita. Tiap
melakukan kekeliruan, kita ditolong Allah dengan memberikan tuntunan-Nya.
Tuntunan itu tidak harus dengan terkabulnya keinginan yang kita mohonkan. Bisa
jadi terkabulnya do’a itu bertolak belakang dengan yang kita minta. Karena Allah
Mahatahu di balik apapun keinginan kita. Baik keinginan jangka pendek, maupun
keinginan jangka panjang. Baik kerugian duniawi maupun kerugian ukhrawi. Baik
kerugian secara materi maupun secara kerugian mental. Kita tidak bisa mendeteksi
secara cermat. Kadang-kadang kita hanya mendeteksinya sesuai dengan keperluan
hawa nafsu kita.
Kelihatannya sepele
mengaduh ini. Tetapi, itu akan menjadi kualifikasi pengendalian diri kita.
Ketahuilah bahwa kualitas seseorang itu tidak diukur dengan sesuatu yang
besar-besar, tetapi oleh yang kecil-kecil. Kalau kita ingin melihat kompleks
perumahan yang berkualitas, maka kita lihat saja panjang pendek rumput di
halamannya. Kalau berkualitas dan terawat dengan baik, maka rumputnya pun akan
nampak terawat dengan baik. Marilah kita respon setiap kejadian demi kejadian
dengan respon lisan yang positif. Mengapa? Karena setiap respon akan
mempengaruhi persepsi kita terhadap masalah yang kita hadapi dan cara kita
menyelesaikannya. Lebih dari itu akan berdampak pula kepada orang-orang di
sekitar kita. Jadi, sapaan-sapaan, teguran-teguran, komentar-komentar,
celetukan-celetukan ini harus benar-benar bernilai produktif. Tidak hanya
berarti bagi diri kita, tetapi juga bagi orang di sekitar kita.
Apalagi keluh kesah
termasuk penyakit hati, yaitu bentuk ketidaksabaran kita dalam menerima
ketentuan dari Allah. Ada hadits qudsi yang menyatakan bahwa "Barang siapa yang
tidak ridha terhadap ketentuan-Ku, dan tidak sabar atas musibah dari-Ku, maka
carilah Tuhan selain Aku." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits qudsi
ini, nampaklah bahwa segala apapun yang Allah karuniakan kepada kita, maka kita
harus menerimanya dengan ridha. Oleh karenanya, kita tidak perlu banyak mengaduh
atau berkeluh kesah. Sedapat mungkin kurangi aduh-mengaduh ini. Jauh akan lebih
produktif jikalau kita optimalkan waktu dengan banyak berdo’a dan menambah
kualitas keilmuan diri serta terus menyempurnakan ikhtiar di jalan Allah yang
diridhai.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar