Wartaislam.com - Salman Alfarisi, seorang sahabat Rasulullah Saw asal Persia yang cerdas dan ahli strategi perang. Ia menjadi pahlawan dengan ide membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam pertempuran Khandaq.
Kepribadian dan ide teknokrat brilian yang mengagumkan ini menginspirasi Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, untuk mengabadikan nama Salman Alfarisi pada sebuah masjid unik di kawasan pendidikan Institut Teknologi Bandung (ITB), meski sebelumnya mendapat tentangan dari rektor ITB saat itu, Otong Kosasih.
Masjid Salman, begitu sebutan populer masjid yang terletak di Jalan Ganesha 10, Bandung. Masjid berkapasitas 1000 orang jamaah ini memang luar biasa. Meski tanpa tiang penyangga, bangunan ini tetap berdiri kokoh. Kubah sebagai simbol khas pada umumnya sebuah masjid pun tak nampak. Itulah rupanya kekhasan Masjid Salman, yang tak ditemukan di masjid-masjid kebanyakan.
Berdirinya Masjid Salman tak lepas dari tangan lihai sang maestro arsitektur masjid, Ir. Achmad Noe’man. Tahun 50-an, semasa kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Arsitektur, Noe’man muda memimpikan memiliki sebuah masjid kampus di ITB agar memudahkan dia beribadah, terutama shalat Jumat, saat tengah menimba ilmu.
Keinginan tersebut memang beralasan, karena sebagai seorang muslim Noe’man muda menyadari betul pentingnya shalat, sedang di kampusnya sendiri tidak ada masjid. Selama ini Noe’man selalu shalat di ruangan menggambar di kampusnya. Itu pun tidak memadai Karena ruangannya sempit.
Konsistensi Noe’man dalam beribadah sudah diketahui oleh dosennya yang seorang Belanda, bernama Prof. Van Roeman. Saking seringnya meminta izin shalat, beberapa menit menjelang adzan dzuhur, Prof. Van Roeman hapal betul bahwa Noe’man akan keluar lebih dahulu.
Mengenai kebiasaan tersebut ada suatu pengalaman yang tidak mengenakkan yang masih membekas. Kebetulan saat hari UAS bertepatan dengan jam shalat jumat. Noe’man pun menjadi bimbang antara memilih mendahulukan shalat jumat atau menyelesaikan ujian dahulu.
Jarak yang ditempuh menuju masjid terdekat yaitu masjid Cipaganti, pasti akan memakan waktu ujiannya. Namun, jika menyelesaikan ujian dahulu maka waktu shalat Jumat telah habis.
Akhirnya Noe’man memutuskan untuk menangguhkan ujiannya dan meminta ujian susulan setelah shalat Jumat.
Keinginan Noe’man tidak serta merta dipenuhi oleh Profesornya, malah Noe’man dicurigai beralasan keluar ruangan hanya untuk mencontek. Ada perkataan yang masih teringat jelas di benaknya, “Masak muslim mencontek,“ kenang Noe’man. Mendengar hal itu Noe’man merasa sakit hati dan makin membulatkan tekadnya untuk memiliki masjid sendiri di kampus.
Tahun 1959 Noe’man mulai merancang masjid Salman. Upaya Noe’man mendirikan masjid Salman pun tidak mudah. Tentangan dari rektor, Otong Kosasih, yang berpendapat jika diizinkan membuat masjid tentu harus juga membuat gereja, cukup menghambat upaya Noe’man.
Padahal menurut arsitek kelahiran Garut, 10 Oktober 1924 ini, kebutuhan akan gereja atau masjid jelas berbeda. Gereja hanya digunakan seminggu sekali pada jam-jam tertentu, berbeda dengan masjid yang digunakan setiap hari.
Tentangan lain juga didapat dari BTI (Barisan Tani Indonesia). Lahan 7500 m2 yang akan dipakai sebagai lokasi pendirian masjid diklaim milik BTI, dan ditanami dengan berbagai kebutuhan pangan.
Saran ini disambut oleh rekan Noe’man yang memiliki paman seorang anggota Cakrabirawa (pengawal presiden), yang dapat mempertemukannya dengan Soekarno. Maka berangkatlah mereka berdua ke Jakarta menuju istana Merdeka dengan membawa surat persetujuan mendirikan masjid yang sudah disiapkan sebelumnya.
Berbekal surat yang ditandatangani Soekarno, Noe’man pun menghadap rektor yang tak berkutik mendapat perintah langsung dari Soekarno. Akhirnya di tahun 1960, pembangunan masjid Salman yang namanya pemberian dari Soekarno pun berjalan.
Dalam setahun, pembangunan masjid Salman berhasil dirampungkan. Namun, beragam kritik datang, salah satunya yang menganggap kurang mencirikan Islam karena tidak memiliki kubah dan hiasan kaligrafi.
Menyikapi kritikan tersebut, maka Noe’man balik bertanya, “Apa yang imam katakan sebelum memulai shalat berjamaah?” tanyanya. “Tentu saja jawabnya adalah rapatkan dan luruskan shaf,” ungkapnya lebih lanjut.
Padahal, menurut Noe’man, jika masjid menggunakan kubah, maka dibutuhkan tiang penyangga untuk menopangnya. Sedangkan adanya tiang penyangga, dapat memisahkan shaf yang seharusnya lurus.
Gebrakan yang dibuat Achmad Noe’man ini membuat masjid Salman dikenal sebagai masjid dengan arsitektur modern pertama di Indonesia. Menurut sang arsitek, bentuk atap beton menggunakan balok beton prestressed yang membentang sepanjang 25 meter. Lengkungan atap yang direpresentasikan sebagai tangan yang sedang berdoa, juga berfungsi sebagai talang besar bagi aliran air dari atap datarnya.
Dengan menggunakan balok beton prestressed maka diperolehlah ruang shalat yang luas yang menjadi salah satu ciri penting masjid rancangan Achmad Noe`man. Masjid inilah yang telah menjelma menjadi masjid dengan arsitektur modern pertama di Indonesia.***(alhikmah/WI-001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar