Santri-santri
yang mengikuti pengajian selama bulan Ramadhan di kediaman Al Habib
Luthfi sangat menikmati pengajian yang disampaikan oleh Habib Ismail
Fajri Alatas, seorang candidat doctor in Michigan University A.S. Dari
tanggal 10 hingga 13 Agustus santri mendapat tambahan materi dari
Candidat doctor dalam bidang Antropologi itu.
Konsen materi yang disampaikannya adalah
penjabaran dari materi yang disampaikan oleh Al Habib Luthfi
sebelumnya. Kali pertama, Habib muda yang sudah menelorkan beberapa
karya tulis ini membahas tentang fleksibilitas, elastisitas yang mulai
hilang dalam keberagamaan saat ini. Islam menjadi kaku, sebab banyak
sekali unsur-unsur yang terdistorsi dalam Islam salah satunya disebabkan
oleh pola tekstualitas yang dilakukan oleh banyak kalangan muslim dalam
memahami Islam. Sehinngga Islam kehilangan unsur kelembutan, toleransi,
dan keindahannya.
Menurutnya Islam seperti gambaran
terakhir inilah Islam yang diajarkan Nabi, dan cocok untuk peradaban
manusia, Islam seperti yang terakhir itulah; lembut, toleran, indah,
elastis, fleksibel yang didambakan dan bahkan menjadi solusi paling
ampuh bagi problem manusia modern.
Habib Ismail Fajri yang akrab dipanggil
Habib Aji itu mengurai secara jelas bagaimana proses internalisasi nilai
melalui hati. Dengan mengutif Al Gozali dan pendapat ulama lainnya
bahwa hati itu sesungguhnya sesuatu yang lembut, lathif. Maka hati dapat
menerima dan menginternalisasi nilai yang disampaikan secara lembut
pula. Pola-pola reaktif dalam beragama internalisasi nilainya hanya
melalui akal, dan ini salah satu yang menyebabkan ‘Radikalisme’. Para
sufi menurutnya, mengeksplorasi kemampuan hati yang tak terbatas itu,
bahkan tak ada tempat yang mampu ‘disinggahi’ Tuhan selain hati yang
bersih.
Dalam merasionalkan pemaparannya Habib
Aji mengutip pendapat Hobbes seorang filsuf Barat yang mempunyai
pandangan, bahwa sesungguhnya manusia berpotensi dan mempunyai pembawaan
merugikan, dan merusak. Menurutny tasawuf adalah untuk mengarahkan
potensi itu, sebab potensi itu terjadi setelah ruh manusia yang
mempunyai pembawaan ilahiyah, robanniyah, bahkan telah membuat
perjangjian dengan Tuhan untuk beriman sebelum ruh menyatu denga jasad
fisik (alastu birobbikum? Qaluu bala; apakah kalian mengakui Aku sebagai
Tuhanmu? Jawab Ruh manusia sebelum menyatu dengan jasab; Sungguh Engkau
adalah Tuhan kami). Maka upaya-upaya yang diajarkan dalam tasawuf
adalah untuk mengawal ruh manusia setelah menyatu dengan jasad yang
kemudian cenderung merugikan itu.
Dalam kesempatan itu juga Habib Aji
menyampaikan pandangan-pandangan Prof Naquib Alatas, diantaranya Habib
Aji mengatakan bahwa Ilmu dan Ma’rifat menurut Prof Naquib Alatas lebih
tinggu ilmu sebab ma’rifat hanya sifat manusia sedangkan Ilmu adalah
Sifat Tuhan, jadi manusia yang mempunyai ilmu lebih tinggi dari yang
ma’rifat. Selain itu juga beliau menyampaikan bahwa Syariat Islam secara
ontologi adalah kemaslahatan yang dikehendaki oleh Tuhan untuk umat
manusia yang bersifat abstrak, sedangkan secara Epistimologi, upaya untk
memahami, dan mengidentifikasi Syariat yang abstrak itu salah satunya
adalah dengan fiqih.
Jadi fiqih bukan satu-satunya alat ukur
benar dan salah dalam memahami syariat sebab untuk khowas atau khowas al
khowas ada cara lain untuk memahami syariat yang abstrak itu. Untuk
menggambarkan hal ini barangkali kisah perjalanan Nabi Musa yang
cenderung yuridis formal dan Nabi Khidir yang cenderung hakikat an sich,
bisa mewakili dua epistimologi yang berbeda sebagai upaya untuk
memahami ontologi Syariat itu. Demikian diantara materi yang
disampaikan oleh Habib Ismail Fajri Alatas dalam diskusi-diskusi panjang
bersama santri-santri hingga menjelang waktu sahur tiba. Good luck
Habib. [Tsi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar