Rabu, 05 Oktober 2011

Habib Ismail Fajri Alatas; Dari Hobbes hingga Epistimologi Tasawuf Naquib Alatas

Santri-santri yang mengikuti pengajian selama bulan Ramadhan di kediaman Al Habib Luthfi sangat menikmati pengajian yang disampaikan oleh Habib Ismail Fajri Alatas, seorang candidat doctor in Michigan University A.S. Dari tanggal 10 hingga 13 Agustus santri mendapat tambahan materi dari Candidat doctor dalam bidang Antropologi itu.
Konsen materi yang disampaikannya adalah penjabaran dari materi yang disampaikan oleh Al Habib Luthfi sebelumnya. Kali pertama, Habib muda yang sudah menelorkan beberapa karya tulis ini membahas tentang fleksibilitas, elastisitas yang mulai hilang dalam keberagamaan saat ini. Islam menjadi kaku, sebab banyak sekali unsur-unsur yang terdistorsi dalam Islam salah satunya disebabkan oleh pola tekstualitas yang dilakukan oleh banyak kalangan muslim dalam memahami Islam. Sehinngga Islam kehilangan unsur kelembutan, toleransi, dan keindahannya.
Menurutnya Islam seperti gambaran terakhir inilah Islam yang diajarkan Nabi, dan cocok untuk peradaban manusia, Islam seperti yang terakhir itulah; lembut, toleran, indah, elastis, fleksibel yang didambakan dan bahkan menjadi solusi paling ampuh bagi problem manusia modern.
Habib Ismail Fajri yang akrab dipanggil Habib Aji itu mengurai secara jelas bagaimana proses internalisasi nilai melalui hati. Dengan mengutif Al Gozali dan pendapat ulama lainnya bahwa hati itu sesungguhnya sesuatu yang lembut, lathif. Maka hati dapat menerima dan menginternalisasi nilai yang disampaikan secara lembut pula. Pola-pola reaktif dalam beragama internalisasi nilainya hanya melalui akal, dan ini salah satu yang menyebabkan ‘Radikalisme’. Para sufi menurutnya, mengeksplorasi kemampuan hati yang tak terbatas itu, bahkan tak ada tempat yang mampu ‘disinggahi’ Tuhan selain hati yang bersih.
Dalam merasionalkan pemaparannya Habib Aji mengutip pendapat Hobbes seorang filsuf Barat yang mempunyai pandangan, bahwa sesungguhnya manusia berpotensi dan mempunyai pembawaan merugikan, dan merusak. Menurutny  tasawuf adalah untuk mengarahkan potensi itu, sebab potensi itu terjadi setelah ruh manusia yang mempunyai pembawaan ilahiyah, robanniyah, bahkan telah membuat perjangjian dengan Tuhan untuk beriman sebelum ruh menyatu denga jasad fisik (alastu birobbikum? Qaluu bala; apakah kalian mengakui Aku sebagai Tuhanmu? Jawab Ruh manusia sebelum menyatu dengan jasab; Sungguh Engkau adalah Tuhan kami). Maka upaya-upaya yang diajarkan dalam tasawuf adalah untuk mengawal ruh manusia setelah menyatu dengan jasad yang kemudian cenderung merugikan itu.
Dalam kesempatan itu juga Habib Aji menyampaikan pandangan-pandangan Prof Naquib Alatas, diantaranya Habib Aji mengatakan bahwa Ilmu dan Ma’rifat menurut Prof Naquib Alatas lebih tinggu ilmu sebab ma’rifat hanya sifat manusia sedangkan Ilmu adalah Sifat Tuhan, jadi manusia yang mempunyai ilmu lebih tinggi dari yang ma’rifat. Selain itu juga beliau menyampaikan bahwa Syariat Islam secara ontologi adalah kemaslahatan yang dikehendaki oleh Tuhan untuk umat manusia yang bersifat abstrak, sedangkan secara Epistimologi, upaya untk memahami, dan mengidentifikasi Syariat yang abstrak itu salah satunya adalah dengan  fiqih.
Jadi fiqih bukan satu-satunya alat ukur benar dan salah dalam memahami syariat sebab untuk khowas atau khowas al khowas ada cara lain untuk memahami syariat yang abstrak itu. Untuk menggambarkan hal ini barangkali kisah perjalanan Nabi Musa yang cenderung yuridis formal dan Nabi Khidir yang cenderung hakikat an sich, bisa mewakili dua epistimologi yang berbeda sebagai upaya untuk memahami ontologi Syariat itu.  Demikian diantara materi yang disampaikan oleh Habib Ismail Fajri Alatas dalam diskusi-diskusi panjang bersama santri-santri hingga menjelang waktu sahur tiba. Good luck Habib. [Tsi]

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog