Ia fenomena di jagat spiritual
Indonesia. Sebagai mursyid tarekat, sekaligus ulama sepuh tempat
berteduh bagi jiwa dahaga. Para pejabat dan selebriti sowan kepadanya,
untuk konsultasi spiritual, maupun sekadar mendapatkan legitimasi.
Tidak banyak manusia yang mendapat
anugerah berupa usia panjang dari Allah SWT. Salah satunya adalah K.H.
A. Shohibulwafa Tajul Arifin. Ulama kharismatik yang lebih dikenal
dengan sebutan Abah Anom ini meninggal di usianya yang telah mencapai
lebih dari satu abad.
Bahkan, semasa hidupnya, Abah Anom tidak
hanya selalu bersilaturahmi, tapi juga masih mampu menebarkan mutiara
hikmah dan berkah – meski dalam keadaan tertunduk diam.
Hampir setiap pagi, terutama Minggu dan
Jumat, usai subuh, dengan sabar, tenang, dan penuh harap, ratusan orang –
lelaki, perempuan, tua, muda, anak-anak – duduk di beranda sebuah
bangunan di tengah kompleks Pesantren Suryalaya. Banyak di antara mereka
para remaja, bahkan anak-anak usia TK dan SD. Mereka menunggu pintu
bangunan itu, tempat Abah Anom tinggal, dibuka. Mereka membawa sebotol
air mineral yang akan dimintakan berkah doa kepada Abah Anom sebagai
wasilah.
Sekitar pukul 06.00, pintu rumah itu
terbuka. Tiga lelaki berbusana muslim mengatur antrean para tamu
tersebut. Sementara di dalam ruang tamu tampak sesosok ulama besar dan
saleh duduk di kursi roda. Berusia sekitar 100 tahun, sosoknya tampak
sudah renta. Matanya terpejam. Wajahnya yang bercahaya dan sejuk
tertunduk dalam. Samar-samar tampak bibirnya bergerak-gerak berzikir.
Dialah Abah Anom.
Satu per satu para tamu yang sejak pagi
antre dengan tertib itu masuk, mengucapkan salam, lalu mencium punggung
telapak tangan kanan Abah Anom yang terbungkus perban berlapis sehelai
saputangan. Pergelangan tangan kanannya dipegang oleh salah seorang
anaknya, sementara seorang petugas memegangi kursi roda. Seorang petugas
lainnya mengambil botol air mineral dari para tamu untuk didoakan oleh
Abah Anom, dengan menjulurkannya ke depan wajah waliullah itu. Baru
setelah itu diberikan kembali kepada pemiliknya untuk dibawa pulang.
Beberapa tamu dewasa tertegun ketika
hendak bersalaman dan mencium tangan mursyid tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah yang karismatik itu. Ada yang kemudian terisak. “Perasaan
saya bercampur aduk. Antara lega, haru, bangga, penuh rasa cinta, dan
sebagainya. Saya menangis karena prihatin sosok-sosok besar seperti itu
sekarang ini sudah mulai langka,” ujar seorang santri muda dari Pondok
Pesantren Al-Muayyad, Solo.
Gunung Sawal Sekitar satu jam kemudian pintu bangunan – yang di sana disebut “madrasah” – ditutup kembali. Kursi roda itu pun diputar, berbalik, membawa sang waliullah masuk ke ruang dalam tempat dia beristirahat. Di ruang itu ada televisi, kursi beralaskan bulu domba, sementara di dinding tampak bergantungan foto Abah Anom, juga lukisan Syekh Abdul Qadir Jailani. Sejurus kemudian dua orang petugas menyapu dan mengepel lantai teras dan ruangan dalam.
Pondok Pesantren Suryalaya, yang
didirikan oleh Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad alias Abah Sepuh
pada 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1915 M, terletak di sebuah lembah
antara Gunung Cakrabuana dan Gunung Sawal, di hulu Sungai Citanduy,
Tasikmalaya, Jawa Barat. Atap makam Abah Sepuh yang berwarna hijau tua
tampak menjulang di puncak sebuah bukit kecil di samping kanan Masjid
Agung Suryalaya.
Abah Anom memang sebuah fenomena di
jagat spiritual Indonesia. Kedudukannya sebagai mursyid tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, sekaligus ulama sepuh, membuatnya menjadi
tempat berteduh bagi jiwa manusia yang dahaga. Tak kurang, para petinggi
negara dan selebriti memerlukan diri untuk sowan kepadanya, baik untuk
konsultasi spiritual, mengadukan permasalahan pribadi, maupun sekadar
mendapatkan legitimasi. Sebagai orang tua yang telah kenyang dengan asam
garam kehidupan, dengan arif Abah Anom menerima tamu-tamunya – siapa
pun mereka, dan apa pun kepentingannya. Hidupnya dengan ikhlas ia
persembahkan untuk melayani umat manusia.
Ada sebuah cerita menarik dari K.H.
Zainal Abidin Anwar, kemenakan Abah Anom yang juga salah seorang wakil
talkin – orang yang dipercaya oleh mursyid tarekat untuk mewakilinya
mengajarkan zikir. Dua tahun lalu khalifah tarekat Naqsyabandiyah
Haqqaniyah dari Amerika Serikat, Syeh Nadzim Haqqani, bertamu ke
Suryalaya. Kunjungan itu dipandu oleh Ketua Dewan Tertinggi Jam’iyah
Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah, Habib Luthfi bin Yahya. Ketika
itu Syeh Nadzim mengaku mengenal Abah Anom melalui ilham yang
diperolehnya ketika memohon petunjuk kepada Allah SWT.
Katanya, di tengah kehidupan dunia yang
carut marut seperti sekarang ini, masih ada seseorang di Timur yang
sangat ikhlas. Siapakah dia? Setelah dirunut, petunjuk itu mengarah
kepada seorang ulama sepuh, yang kini usianya baru saja melewati 90
tahun (dalam hitungan kalender Masehi) atau mendekati 100 tahun menurut
kalender Hijri. Setelah pertemuan yang mengharukan itu, terjadilah
peristiwa yang sarat dengan bahasa isyarat.
Syekh Nadzim Haqqani mengeluarkan sebuah
peluit kecil. Ia minta agar Abah Anom meniupnya: “priiit...!” Setelah
itu gantian Syekh Nadzim Haqqani, mungkin sebagai makmum, meniup peluit
tersebut: “priiit...!” Tak seorang pun yang tahu apa makna isyarat itu.
“Saya juga tidak tahu. Tapi mungkin maksudnya sebagai ikrar bersama
untuk tetap teguh berjalan di atas kebenaran Allah,” kata Kiai Zaenal,
yang bertindak sebagai penerjemah.
Dalam pertemuan itu juga muncul sebuah
isyarat yang luar biasa, ketika Syekh Nadzim Haqqani, dalam bahasa
Inggris, berkata, “Sesungguhnya kami tidaklah memerlukan penerjemah.
Sebab apa yang saya kemukakan sesungguhnya sudah dimengerti oleh Abah
Anom, karena sebelumnya kami sudah berkomunikasi secara spiritual.
Biarpun Abah tertunduk seperti itu sebenarnya beliau tidak tidur, tapi
dapat mendengarkan dengan baik.”
Pesantren Inabah Bagi masyarakat awam, Pesantren Suryalaya sangat dikenal sebagai “markas” penyembuhan para pecandu narkoba dan penyakit psikis dengan metode Islamic Hydrotherapy, yang formulanya dirancang oleh Abah Anom. Metode ini menggabungkan konsep cold turkey system yang “diislamkan” melalui mandi tobat, serangkaian salat, dilengkapi berbagai zikir menurut ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Program yang semula diniatkan untuk membantu program pemerintah pada 1971 itu berlanjut terus, dan dilembagakan dalam belasan pesantren remaja Inabah.
Abah Anom sejak muda sudah zuhud, di
antaranya pantang makan daging dan selalu minum air putih. Ia putra
kelima K.H. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad alias Abah Sepuh dari
istri kedua, Hj. Juhriyah. Ia memang disiapkan oleh ayahandanya untuk
meneruskan kepemimpinan di Suryalaya. Selepas pendidikan dasar di
sekolah dan pesantren Suryalaya pada 1930 Abah Anom mulai mengembara
untuk menuntut ilmu.
Diawali dengan mengaji ilmu fikih di
Pesantren Cicariang, Cianjur, kemudian belajar ilmu alat (ilmu bahasa)
dan balagah di Pesantren Jambudwipa, juga di Cianjur, selama dua tahun.
Kemudian ia mengaji kepada Ajengan Syatibi di Gentur, masih di Cianjur,
dan Ajengan Aceng Mumu di Pesantren Cireungas, Sukabumi, yang terkenal
dengan penguasaan ilmu hikmahnya. Belakangan ia memperdalam ilmu silat
dan hikmah di Pesantren Citengah, Panjalu, Cianjur, yang diasuh oleh
Ajengan Junaidi.
Kematangan ilmu Abah Anom di usia 19
tahun diuji dengan kepercayaan yang diberikan oleh Abah Sepuh untuk
membantu mengasuh Pesantren Suryalaya sampai ayahandanya itu wafat pada
1956 dalam usia 120 tahun. Dua tahun sebelum wafat, Abah Sepuh
mengangkat Abah Anom menjadi wakil talkin, kemudian menjadi mursyid
penuh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, sekaligus pengasuh pesantren.
Beban tanggung jawab yang begitu berat
tertumpu di bahunya pada usianya yang baru 41 tahun, menenggelamkannya
ke dalam samudra riadat, alias tirakat pertapaan. Kecintaannya kepada
pesantren, tarekat, dan umat melarutkan hari-harinya dalam ibadah,
tarbiah, dan doa. “Sepanjang sisa hidupnya ia hampir tak pernah tidur,”
tutur salah seorang kemenakan perempuannya yang pernah beberapa waktu
mengabdi di rumahnya.
“Abah selalu duduk di pojok ruangan
sambil berzikir. Suara tasbihnya yang berkecrek-kecrek selalu
terdengar, tak pernah putus. Abah juga selalu berzikir secara khafi, di
dalam hati. Setiap kali merasa mengantuk, atau batal, Abah bangkit
mengambil air wudu lalu melakukan salat sunah dua rakaat, kemudian
kembali duduk untuk berzikir. Begitu seterusnya,” tuturnya. Tentu saja
Abah Anom juga melakukan ibadah mahdlah, seperti salat dan sebagainya,
dan kegiatan rutin di luar rumah, seperti mengajar, memberikan tausiah,
dan mengunjungi beberapa pesantren atau kerabat.
Di awal masa kepemimpinannya, gerakan
Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo masih giat di Jawa Barat. Ketika itu,
pada tahun 1950-an, markas terakhir mereka di lembah Gunung Cakrabuana.
“Suatu ketika jemaah yang tengah salat di sebuah surau diserang dengan
tembakan-tembakan oleh mereka,” tutur Abah Anom dalam suatu kesempatan.
Kincir AirGara-gara serangan gerombolan itulah, bersama para kiai dan warga desa ia menggelar operasi pagar betis bekerja sama dengan kuwu (lurah) dan TNI. Mereka bahkan membantu operasi penyergapan terhadap laskar DI. Sebelumnya, di masa perjuangan kemerdekaan, Pesantren Suryalaya menjadi persembunyian para pejuang yang dipimpin, antara lain, oleh A.H. Nasution, Solihin G.P., dan Umar Wirahadikusumah.
Sementara pada masa pascapergolakan,
Pesantren Suryalaya tampil sebagai pelopor pembangunan masyarakat. Abah
Anom menjadi motor penggerak denyut nadi perubahan dengan mengajak warga
dusun Godebag, tempat pesantren berdiri, dan sekitarnya bahu-membahu
membangun irigasi dan membuat kincir air untuk pembangkit tenaga
listrik. Inilah amal jariah yang hasil dan manfaatnya bisa dinikmati
oleh anak-cucu sampai beberapa generasi ke depan.
Membantu negara memang merupakan roh
perjuangan Pesantren Suryalaya dari masa ke masa. Ini selaras dengan
amanat sang pendiri sebagaimana tertuang dalam naskah Tanbih alias
wasiat Abah Sepuh. Semangat membantu pemerintah ini pula yang sempat
membuat pesantren ini pernah dicibir beberapa kelompok karena dianggap
terlalu memihak kepada kekuasaan. Abah Anom sendiri pernah menjadi
sesepuh sebuah partai politik di era Orde Baru.
Bagi bapak 15 anak ini, pengabdian
kepada negara harus berangkat dari sebuah ketulusan, bukan karena
pamrih, sekecil apa pun. Terkait dengan keberhasilan membantu pemerintah
dalam program penyembuhan pecandu narkoba, dengan rendah hati ia pernah
bertutur, “Memang, bakti saya itu belum maksimal. Tapi, saya cukup
senang karena bisa membantu pemerintah menanggulangi korban narkotik.”
Dalam pengelolaan pesantren, Abah Anom
adalah manajer yang andal. Di tangannya, Suryalaya, yang dulu merupakan
pesantren kecil di tengah hutan, berkembang pesat menjadi salah sebuah
pesantren yang sangat dihormati dan disegani. Jutaan santri dan
pengikutnya yang tersebar di seluruh Indonesia – bahkan juga di beberapa
negeri tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Myanmar.
Termasuk sekitar 3.000 santri yang bermukim di lingkungan Pesantren
Suryalaya, alumni, puluhan santri remaja Inabah, serta jutaan ikhwan dan
akhwat tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Pengembangan pendidikan di pesantren pun
tak luput dari sentuhan tangan dinginnya. Diawali dengan pendirian
Yayasan Serba Bhakti pada 1961, yang menangani pengembangan pesantren.
Hasilnya kini sudah terlihat. Pesantren Suryalaya memiliki beberapa unit
pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Dan kini, di usianya yang semakin larut,
Abah Anom tidak lagi secara intens mendampingi para santrinya. Tubuhnya
yang semakin renta tak lagi mampu mengimbangi semangat dan kecintaannya
kepada sesama. Karena itu, beberapa tahun belakangan semua urusan
pesantren dan tarekat diserahkan kepada tiga orang yang ditunjuknya
sebagai pengemban amanat: K.H. Zainal Abidin Anwar, K.H. Dudun Nur
Syaidudin, dan K.H. Nur Anom Mubarok.
Namun, dengan sisa-sisa tenaga yang
semakin melemah, Abah Anom tetap bersikeras menerima para tamu yang
bersilaturahmi dari berbagai pelosok tanah air – bahkan dari luar negeri
– walau sekadar untuk berjabat tangan. Sebab, mereka yakin, secara
rohaniah Abah Anom masih akan terus mengasuh jiwa-jiwa yang membutuhkan
tetes demi tetes embun hikmah yang mengalir dari kejernihan telaga
hatinya.
|
|
Rabu, 05 Oktober 2011
Abah Anom: Muara Keluh Kesah Hati nan Gundah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar