Jumat, 02 September 2011

Kepingan Sejarah Yang Tersisa Dari Marunda




Awan tebal mengiringi kami, para wisatawan domestik, saat mengunjingi perkampungan nelayan di Marunda. Perkampungan bersejarah itu kini tinggalah Kampung Marunda Pulo dan Marunda Besar yang tersisa.

Dikelilingi pabrik-pabrik serta akan dibangunnya Kawasan Berikat Nusantara menyisakan himpitan rumah-rumah sederhana. Ada juga rumah gubuk yang miring dan nyaris rubuh. Sampah-sampah pun berserakan dimana-mana.

Pasang yang mulai menggenangi jalan sempit dan kumuh yang kami lalui tidak menghalangi senyuman ramah anak-anak dan penduduk menyambut kami.

Kami datang Marunda untuk mengunjungi rumah panggung yang konon pernah ditempati si Pitung, jagoan asal Betawi. Rumah itu milik Juragan Sero bernama Haji Syafiuddin. Warga sekitar percaya rumah itu adalah milik si Pitung, atau paling tidak pernah diinapi jagoan bertubuh pendek dan berkulit hitam itu.

Menurut legenda, si Pitung terkenal sebagai perampok dan penjahat yang harus ditumpas. Namun, apa yang dilakukannya adalah untuk kepentingan rakyat miskin semata. Di kalangan rakyat Betawi, si Pitung adalah pahlawan.

Dalam legenda juga disebutkan, jagoan ini mempunyai ilmu menghilang. Waktu itu Schout van Hinne, seorang polisi Belanda, mencari si Pitung di sebuah rumah, tetapi tidak ketemu. Padahal, jelas-jelas si Pitung masuk ke rumah itu.

Setelah mengunjungi rumah tersebut sambil menikmati makan siang kami mengunjungi kepingan sejarah lain yang tak jauh dari situ. Dengan diiringi rintik hujan kami mengunjungi Masjid Al Alam Marunda Besar yang terletak sekitar 100 meter dari laut.

Masjid yang menjadi markas pasukan Fatahillah dan dibangun pertama kali tahun 1527 itu masih berdiri kokoh. Meski mengalami beberapa kali pemugaran oleh Juragan Sero Haji Syafiuddin pada awal abad ke-20-Masjid Al Alam tetap tak berubah dari wajah aslinya.

Tinggi bangunan dari atas permukaan tanah hingga puncak hanya 3-4 meter, sedangkan tinggi pintu tidak lebih dari dua meter. Untuk memasuki ruang ibadah, orang pun harus menunduk. Empat tiang penyangga tetap dipertahankan berdiri kokoh di dalam masjid.

Di bagian belakang masjid, menyatu dengan bangunan, terdapat makam seorang tokoh Betawi yang ikut membangun masjid.

Di dinding masjid, Haji Syafiuddin membuat lubang kecil dengan diameter sekitar 20 sentimeter. "Ini adalah lubang sorongan, biasanya digunakan untuk serah-serahan calon pengantin. Pengantin laki-laki dari luar menyorongkan sesuatu untuk pengantin perempuan lewat lubang itu," kata seorang pengurus masjid. Tradisi itu berjalan terus sejak awal abad ke-20 hingga pudar entah kapan.

Menurut warga sekitar, dulu pernah ada kepercayaan, masjid itu menyimpan kekuatan tertentu. "Katanya badai laut dulu sering meruntuhkan rumah-rumah penduduk. Anehnya, air tidak masuk masjid," kata seorang warga.

Siapa sangka Marunda yang kumuh ternyata menyimpan banyak cerita sejarah. Namun cerita tinggalah cerita. Yang ada hanya kepingan-kepingan sejarah yang terhempas oleh pesatnya pembangunan kota Jakarta.

Akankah bocah-bocah yang bermain bola di halaman Masjid ini akan tumbuh bersama kepingan-kepingan tersebut ? Ataukah mereka juga akan terseret oleh arus pembangunan ? “Mmm, jadi apa ya ?” kata mereka.



Air Pasang
  




Rumah Penduduk
  




Hallo Oom
 1 Komentar 




Wajah-wajah ramah penduduk Marunda
 Komentar 




Rumah Si Pitung 1
  




Rumah Si Pitung 2
  




Pedagang Kelontong (cash/credit)
  




Masjid Al Alam
  




Anak-anak Marunda
 Komentar 



Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog