IOL
Karima Burns
REPUBLIKA.CO.ID, GRANADA - Hidayah memang bisa datang dari arah yang tak terduga. Bagi Karima Burns, mahasiswa asal Iowa, Amerika Serikat, hidayah justru datang saat ia tengah berwisata ke Spanyol.
Pemandu wisatanya mengajaknya ke Masjid Alhambra di Granada, Spanyol. Melihat banyak ejaan Arab bertebaran di bangunan yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata panyol ini, ia tertegun. "Itu adalah bahasa yang paling indah yang pernah kulihat," ujarnya.
"Bahasa apa itu?" ia berkata seorang turis Spanyol. "Bahasa Arab," jawab mereka.
Hari berikutnya, ketika petugas tur ditanya tentang bahasa apa yang dia ingin di buku turnya, ia menjawab, "Arab."
"Arab?" katanya, terkejut. "Apakah Anda bisa berbicara bahasa Arab?"
"Tidak," Karima menjawab. "Dapatkah Anda memberi saya satu dalam bahasa Inggris juga?"
Pada akhir perjalanan, tasnya penuh brosur berbahasa Arab. "Aku memperlakukannya seolah-olah mereka terbuat dari emas. Aku akan membukanya setiap malam dan melihat huruf-huruf yang mengalir di seluruh halaman," ujarnya.
Hari itu dia bertekad, akan belajar bahasa Arab.
***
Karima dibesarkan di Midwest. Orang tuanya penganut agama yang taat. Namun Karima selalu bertanya-tanya, mengapa berdoa pada Tuhan harus melalui perantara? "Aku intuitif merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan itu. Tanpa memberitahu siapa pun, aku diam-diam berdoa kepada "Tuhan." Saya sungguh-sungguh percaya bahwa hanya ada satu entitas berdoa. Tapi, aku merasa bersalah karena ini bukan apa yang telah agama lama saya ajarkan."
Suatu hari, acara bersilaturahim ke rumah guru rohaninya semakin membulatkan tekad untuk meninggalkan agama itu. "Aku melihat rak penuh dengan Alkitab. Aku bertanya apa saja kitab itu. "Versi berbeda dari Alkitab," jawab guruku. Ini tampaknya tidak terganggu dia sama sekali bahwa ada begitu banyak versi yang berbeda. Tapi, itu menggangguku. Beberapa dari mereka benar-benar berbeda dan beberapa bab bahkan hilang dari Alkitab yang aku punya. Aku sungguh bingung," ujarnya.
***
Muslim gugur usai, Karima kembali ke kampusnya di Northwestern University. Liburan ke Spanyol, sungguh mencerahkannya.
Ia seolah menemukan alternatif dari kebuntuannya. "Aku telah meninggalkan gereja hanya beberapa bulan sebelum pergi berlibur dan tidak tahu ke mana harus berpaling. Aku tahu bahwa aku tidak nyaman dengan apa yang apa yang diajarkan selama ini, tapi aku tidak tahu apakah ada alternatif lain," katanya.
Kembali ke kampus, ia mengambil kelas bahasa Arab juga. "Aku ingat, aku adalah salah satu dari hanya tiga orang di kelas yang sangat tidak populer itu," ujarnya terkekeh.
Ia menenggelamkan diri dalam studi bahasa Arab dengan gairah yang menyala. Ia senang mengerjakan PR kaligrafi dan ia pergi ke daerah-daerah Arab di Chicago hanya untuk melacak botol Coca Cola yang ditulis dalam bahasa itu.
Hingga suatu hari, ia berkenalan dengan Alquran. Salah satu tugasnya, adalah menyalin beberapa ayat. Bukannya mengerjakan, dia malah asyik berselancar dari satu ayat ke ayat lainnya. "Sungguh indah. Itu yang aku cari selama ini, agama yang menyatakan sangat jelas bahwa hanya ada satu Allah," ujarnya.
Sebuah nama dalam Alquran diyakini sebagai "pemilik versi" Alquran, seperti halnya ada Injil dengan beragam versi. Namun ketika ia mengungkapkan para profesornya, sang profesor terkekeh.
"Hanya ada satu versi Alquran. Yang kau pikir, itu adalah penerjemahnya," ia menirukan sang profesor.
Ia makin mendalami Alquran, bahkan kemudian memutuskan untuk pergi ke Mesir belajar Islam.
Suatu hari seorang teman bertanya mengapa ia tidak masuk Islam jika menyukainya begitu banyak. "Hatiku sudah Muslim," ia menjawab sekenanya.
Namun sang teman menyatakan, bersyahadat tetap harus. Maka, di sebuah masjid di Mesir, ia menyatakan keislamannya.
Pemandu wisatanya mengajaknya ke Masjid Alhambra di Granada, Spanyol. Melihat banyak ejaan Arab bertebaran di bangunan yang kini menjadi salah satu daya tarik wisata panyol ini, ia tertegun. "Itu adalah bahasa yang paling indah yang pernah kulihat," ujarnya.
"Bahasa apa itu?" ia berkata seorang turis Spanyol. "Bahasa Arab," jawab mereka.
Hari berikutnya, ketika petugas tur ditanya tentang bahasa apa yang dia ingin di buku turnya, ia menjawab, "Arab."
"Arab?" katanya, terkejut. "Apakah Anda bisa berbicara bahasa Arab?"
"Tidak," Karima menjawab. "Dapatkah Anda memberi saya satu dalam bahasa Inggris juga?"
Pada akhir perjalanan, tasnya penuh brosur berbahasa Arab. "Aku memperlakukannya seolah-olah mereka terbuat dari emas. Aku akan membukanya setiap malam dan melihat huruf-huruf yang mengalir di seluruh halaman," ujarnya.
Hari itu dia bertekad, akan belajar bahasa Arab.
***
Karima dibesarkan di Midwest. Orang tuanya penganut agama yang taat. Namun Karima selalu bertanya-tanya, mengapa berdoa pada Tuhan harus melalui perantara? "Aku intuitif merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan itu. Tanpa memberitahu siapa pun, aku diam-diam berdoa kepada "Tuhan." Saya sungguh-sungguh percaya bahwa hanya ada satu entitas berdoa. Tapi, aku merasa bersalah karena ini bukan apa yang telah agama lama saya ajarkan."
Suatu hari, acara bersilaturahim ke rumah guru rohaninya semakin membulatkan tekad untuk meninggalkan agama itu. "Aku melihat rak penuh dengan Alkitab. Aku bertanya apa saja kitab itu. "Versi berbeda dari Alkitab," jawab guruku. Ini tampaknya tidak terganggu dia sama sekali bahwa ada begitu banyak versi yang berbeda. Tapi, itu menggangguku. Beberapa dari mereka benar-benar berbeda dan beberapa bab bahkan hilang dari Alkitab yang aku punya. Aku sungguh bingung," ujarnya.
***
Muslim gugur usai, Karima kembali ke kampusnya di Northwestern University. Liburan ke Spanyol, sungguh mencerahkannya.
Ia seolah menemukan alternatif dari kebuntuannya. "Aku telah meninggalkan gereja hanya beberapa bulan sebelum pergi berlibur dan tidak tahu ke mana harus berpaling. Aku tahu bahwa aku tidak nyaman dengan apa yang apa yang diajarkan selama ini, tapi aku tidak tahu apakah ada alternatif lain," katanya.
Kembali ke kampus, ia mengambil kelas bahasa Arab juga. "Aku ingat, aku adalah salah satu dari hanya tiga orang di kelas yang sangat tidak populer itu," ujarnya terkekeh.
Ia menenggelamkan diri dalam studi bahasa Arab dengan gairah yang menyala. Ia senang mengerjakan PR kaligrafi dan ia pergi ke daerah-daerah Arab di Chicago hanya untuk melacak botol Coca Cola yang ditulis dalam bahasa itu.
Hingga suatu hari, ia berkenalan dengan Alquran. Salah satu tugasnya, adalah menyalin beberapa ayat. Bukannya mengerjakan, dia malah asyik berselancar dari satu ayat ke ayat lainnya. "Sungguh indah. Itu yang aku cari selama ini, agama yang menyatakan sangat jelas bahwa hanya ada satu Allah," ujarnya.
Sebuah nama dalam Alquran diyakini sebagai "pemilik versi" Alquran, seperti halnya ada Injil dengan beragam versi. Namun ketika ia mengungkapkan para profesornya, sang profesor terkekeh.
"Hanya ada satu versi Alquran. Yang kau pikir, itu adalah penerjemahnya," ia menirukan sang profesor.
Ia makin mendalami Alquran, bahkan kemudian memutuskan untuk pergi ke Mesir belajar Islam.
Suatu hari seorang teman bertanya mengapa ia tidak masuk Islam jika menyukainya begitu banyak. "Hatiku sudah Muslim," ia menjawab sekenanya.
Namun sang teman menyatakan, bersyahadat tetap harus. Maka, di sebuah masjid di Mesir, ia menyatakan keislamannya.
Sumber: IOL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar