Republika/MG12
Mendengar nenek angkatnya berzikir, Suprihati merasakan ketenangan.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Masa remaja dilalui Suprihati (70 tahun) tanpa kejelasan agama yang dianutnya. Di masa-masa ini, saat orang-orang sudah meyakini agamanya, ia masih sibuk mencari Tuhan.
“Ayah saya tidak pernah ke gereja dan juga ke masjid, hanya ibu saya yang rajin ke gereja untuk beribadah. Saya juga sangat jarang ke gereja. Jadi saya bingung, siapa Tuhan saya?” tutur warga Perumahan Kerangan Permai, Pondok Gede, Bekasi, ini kepada Republika.co.id.
Saking butanya ia akan agama, saat ditanya oleh rektor di kampusnya mengenai agama yang dianutnya, Suprihati menjawab ia tidak memiliki agama. Sontak saja rektor itu bingung mendengarnya. “Ibu saya seorang Katolik, ayah saya menganut kejawen. Orang tua saya tidak pernah mengajarkan Agama. Saya rasa, saya harus mencari Tuhan.”
Pencarian Tuhan dalam dirinya terus berlangsung. Sampai pada usia 23 tahun ia menjalin hubungan dengan seorang laki-laki Batak beragama Kristen. Mereka akhirnya memutuskan untuk menikah.
“Sebelum menikah saya dan calon suami mengunjungi beberapa keluarga. Banyak di antara mereka yang menawarkan untuk menikah di gerejanya. Maklum saja, keluarga kami rata-rata pendeta. Saat itu kami hanya mengiyakan semua tawaran,” tutur ibu enam anak ini dan nenek dari sejumlah cucu ini.
Beberapa hari sebelum hari pernikahan, datang seorang nenek angkat Suprihati yang kebetulan beragama Islam. Saat itu sang nenek membaca zikir di ruang tamu. Ketika mendengarnya, Suprihati merasa nyaman. Dari sini lah tiba-tiba muncul keinginan untuk masuk agama Islam.
“Saat mendengarnya saya merasa nyaman dan tenang. Saya berfikir bahwa Islam adalah agama yang damai. Seperti mendapat sebuah hidayah, tiba-tiba muncul keinginan besar untuk masuk dan mempelajari lebih dalam mengenai Islam. Saat itu juga saya bicara dengan calon suami, dan ternyata dia sependapat.”
Tepat di usia 23 tahun, di hari pernikahannya, Suprihati dan suaminya membaca dua kalimat syahadat dibarengi dengan ijab qobul. Keluarga besar mereka yang mayoritas non-Muslim sangat menghargai keputusan mereka.
Tidak mudah bagi Suprihati dan suaminya dalam menjalani agama yang baru dianutnya. Setelah mereka menjadi mualaf, tidak ada seorang pun yang mengajari segala hal mengenai Islam. Banyak teman-temannya yang menganggap rendah agama Islam. Itu salah satu alasan suaminya tidak mau terang-terangan mengakatakan bahwa ia seorang Muslim.
“Walaupun sudah masuk Islam, suami saya masih memakan makanan yang diharamkan. Kami juga tidak melakukan ibadah shalat sama sekali,” ujar Suprihati.
Pada tahun 1964, Suprihati dan suaminya pindah ke Medan. Mereka menumpang di salah satu keluarga yang kebetulan sudah mendapat hidayah dari Allah. Di sana lah mereka belajar shalat. “Ketika akan melahirkan anak pertama, saya baru mulai shalat. Saya juga banyak membeli buku-buku Islam,” katanya. Selama 12 tahun mereka menetap di Medan, sampai pada tahun 1980 mereka pindah ke Jakarta.
Suprihati, yang mengajar bahasa inggris di sebuah sekolah, juga banyak diajari hal-hal mengenai Islam oleh rekan kerjanya sesama guru. “Saya diajari shalat tahajud oleh guru di sekolah tempat saya mengajar. Saya bersyukur sekali akhirnya ada seseorang yang dapat mengajari saya. Dulu, banyaknya aliran-aliran dalam Islam dan kurangnya pengetahuan membuat saya semakin bingung.”
Keinginan kuat dalam dirinya untuk mempelajari Islam membawanya untuk terus mencari tahu segala hal tentang Islam. “Suatu hari saya bertemu dua orang ibu di warung dekat rumah. Mereka sibuk membicarakan pelajaran mengaji. Saya merasa penasaran dan langsung meminta untuk diikutsertakan dalam pengajian tersebut,” tuturnya.
Bagi Suprihati, tak ada yang tak mungkin. Walaupun ia baru bergabung ketika pelajaran membaca Alquran sudah berjalan tiga bulan, ia sanggup mengejar ketinggalan. Bahkan, teman-temannya yang lebih dulu bergabung kalah cepat mempelajarinya.
Ratusan buku mengenai Islam sudah dipelajari, keyakinannya pun makin mantap. Suprihati meresa telah menemukan Tuhannya, menemukan agama yang paling benar.
Kini, di usianya yang tak muda lagi, Suprihati masih sangat aktif belajar agama. Dalam satu minggu, enam kali ia belajar Alquran dan artinya. Selain itu, ia pun rajin berolahraga sehingga tubuhnya masih tetap segar.
“Selagi bisa, saya akan terus memperdalam pengetahuan tentang Islam. Belajar itu seumur hidup. Kadang, apa yang saya dapat dari belajar itu saya sampaikan lagi pada ibu-ibu pengajian di daerah rumah saya.”
Ilmu agama yang telah diperoleh selalu dibagikan kepada orang-orang di sekitarnya. “Ilmu yang bermanfaat…Insya Allah, Allah akan memberikan pahala kepada orang yang menyampaikannya,” ujarnya. Hal ini yang menjadi prinsip Suprihati.
Rep: MG12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar