“Sesungguhnya kamu sekalian berada di tengah perjalanan siang dan malam, di tengah lingkaran ajal yang terbatas, di tengah amal perbuatan yang selalu terpantau, sementara kematian datang dengan tiba-tiba. Barangsiapa yang menanam kebajikan, niscaya ia akan menuai kebahagiaan, barangsiapa yang menanam kejahatan, niscaya ia akan menuai penyesalan. Setiap orang yang bercocok tanam, akan menuai yang setimpal dengan apa yang ditanamnya. Orang yang lambat, tidak akan mendahului orang lain mengambil bagiannya.
Demikian juga orang yang bernafsu, tidak akan memperoleh sesuatu yang tidak ditakdirkan baginya. Siapa saja yang mendapat kebaikan, Allah-lah yang memberikan kebaikan itu kepadanya. Siapa saja yang selamat dari bahaya, Allah-lah yang memelihara dirinya dari bahaya tersebut. Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang terhormat dan ahli fiqih adalah para pembimbing umat. Duduk-duduk (belajar) bersama dengan mereka adalah keutamaan.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ I : 497)
Dari al-Fasawi diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen): “Abul Yaman telah menceritakan kepada kami, dari Jarir bin Utsman, dari Abul Hasan Imran bin Nimraan, bahwa Abu Ubaidah pernah berjalan di tengah laskar kaum muslimin, beliau berkata : “Berapa banyak orang yang menjaga kesucian pakaiannya, tapi justru mengotori agamanya ! Ingatlah, berapa banyak orang yang merasa memuliakan dirinya sendiri, tetapi justru menghinakannya ! Segeralah mengganti kejahatan-kejahatan lamamu dengan kebajikan-kebajikan yang baru.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ I : 18)
Dari Ibnu Syaudzab diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen) : “Tatkala Abu Hurairah berada di ambang kematian, tiba-tiba beliau menangis. Orang-orang bertanya : “Apa yang membuatmu menangis ?” Beliau menjawab : “Jauhnya perjalanan, sedikitnya perbekalan dan banyaknya aral rintangan. Sementara tempat kembali, bisa ke jannah (surga-pen), bisa juga ke naar (neraka-pen).” (Shifatush Shafwah I : 694)
Dari Ubaidillah bin As-Sirri diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen) : “Ibnu Sirin pernah berkata : “Aku sungguh mengetahui penyebab utang yang kini melilitku. Aku pernah mengejek seorang lelaki sekitar empat puluh tahun yang silam : “Wahai orang yang bangkrut (pailit).” Maka aku (Ubaidillah bin As-Sirri) menceritakan hal itu kepada Abu Sulaiman Ad-Darani. Maka beliau menanggapi : “Dosa-dosa mereka (para salaf) sedikit, karenanya mereka tahu dari mana datang kepada mereka dosa-dosa itu. Sementara dosa-dosa kita banyak, namun kita tidak tahu dari mana dosa-dosa itu mendatangi kita.” (Shifatush Shafwah III : 246)
Dari Abdullah bin Abdurrahman bin Yazid bin Jabir diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen) : “Pamanku Yazid bin Yazid bin Jabir telah menceritakan kepada kami, dari Atha’ Al-Kharasani, bahwa ia berkata : “Aku tidak mewasiatkan kepada kamu sekalian untuk urusan dunia. Untuk urusan itu, kamu sekalian telah banyak mendapatkan wejangan, dan kalian sendiri bernafsu mendapatkannya. Yang aku wasiatkan kepada kalian adalah urusan akhirat kalian. Ambillah bekal dari dunia yang fana ini untuk akhirat yang abadi. Jadikanlah dunia ini seperti sesuatu yang sudah kamu tinggalkan. Dan demi Allah, kamu memang pasti akan meninggalkannya. Dan jadikanlah kematian itu seperti sesuatu yang telah kamu rasakan. Dan demi Allah, kamu memang akan merasakannya. Jadikanlah akhirat itu seperti tempat yang telah kamu singgahi. Dan demi Allah, kamu memang akan singgah di sana. Ia (akhirat) adalah kampung halaman setiap manusia. Dan tak seorangpun yang keluar bepergian tanpa mempersiapkannya bekalnya. Orang yang mempersiapkan bekal yang berguna buat dirinya, ia akan bahagia. Sedangkan orang yang keluar bepergian tanpa mempersiapkan bekal, ia akan menyesal. Kalau ia kepanasan, ia tak akan mendapatkan tempat berteduh. Kalau ia kehausan, tak akan mendapatkan air pelepas dahaga. Sesungguhnya perjalanan dunia ini pasti berakhir. Orang yang paling pandai adalah yang selalu bersiap-siap untuk perjalanan yang tidak ada akhirnya.” (Shifatush Shafwah IV : 151)
Dari Qabishah bin Qais al-Anbari diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen) : “Adh-Dhahhak bin Muzahim apabila datang sore hari beliau menangis. Ada orang yang bertanya : “Apa gerangan yang membuatmu menangis ?” Beliau menjawab : “Aku tidak tahu, amalanku yang mana yang naik ke langit (diterima Allah) pada hari ini.” (Shifatush Shafwah IV : 150)
Dari Kinanah bin Jibillah As-Sullami diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen) : “Bakar bin Abdullah berkata : “Apabila engkau melihat orang yang lebih tua umurnya darimu, katakanlah : “Orang ini sudah mendahuluiku dalam beriman dan beramal shalih, ia tentu lebih baik dariku.” Apabila engkau melihat orang yang lebih muda umurnya darimu katakanlah : “Aku telah mendahuluinya berbuat dosa dan kemaksiatan, tentu ia lebih baik dariku.” Dan apabila engkau melihat sahabat-sahabatmu menghormati dan memuliakanmu, maka katakanlah : “Ini adalah keutamaan yang akan diperhitungkan nanti.” Kalau engkau melihat mereka kurang menghormatimu, maka katakanlah : “Ini adalah akibat dosa yang kuperbuat sendiri.” (Shifatush Shafwah III : 248)
Dari Qasim bin Muhammad diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen) : “Kami pernah bepergian bersama Ibnul Mubarak. Seringkali terlintas dalam benakku : “Mengapa gerangan lelaki ini diutamakan atas diri kami, sehingga ia demikian terkenal di khalayak ramai ? Kalau dia shalat, kami juga shalat, kalau dia bershiyam (berpuasa-pen), kami juga shiyam, kalau dia berjihad, kami juga berjihad, kalau dia berhaji, kami juga berhaji ?” (Al-Qasim) melanjutkan : “ditengah perjalanan kami, yaitu ketika kami sampai di negeri Syam pada suatu malam, kami makan malam di sebuah rumah, tiba-tiba lampu padam. Maka salah seorang di antara kami segera mengambil lampu [atau diriwayatkan dia keluar mencari sesuatu untuk menyalakan lampu beberapa saat, kemudian datang dengan membawa lampu]. Tiba-tiba kulihat wajah dan jenggot Ibnul Mubarak sudah ditetesi air mata.” Aku berkata dalam diriku sendiri : “Karena rasa takut (ketakwaan) inilah lelaki ini diutamakan atas kami. Barangkali ketika lampu padam, keadaan menjadi gelap, ia teringat dengan Hari Kiamat.” (Shifatush Shafwah IV : 145)
Dari al-Marruzi diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen) : “Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad : “Bagaimana keadaan anda pagi hari ini ?” Beliau menjawab : “Bagaimana kira-kira keadaan seorang hamba di pagi hari, dimana Rabb-nya menuntut dirinya untuk melaksanakan berbagai kewajiban, nabinya menuntut dirinya untuk menjalankan As-Sunnah, sementara dua malaikat menuntut dirinya untuk beramal dengan benar. Di sisi lain, jiwanya menuntut dirinya untuk memperturutkan hawa nafsu, dan iblis menuntut untuk melakukan perbuatan keji, sedangkan malaikat maut terus memantau dirinya untuk mencabut ruhnya, sementara keluarganya menuntut darinya mencari nafkah ?” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ XI : 227)
Dari Ibnu Khubaiq diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen) : “Hudzaifah Al-Mur’isyi pernah berkata kepadaku : “Cuma ada empat hal (yang paling vital) pada dirimu yaitu : dua matamu, lidahmu, hawa nafsumu dan hatimu. Perhatikan kedua matamu, jangan sampai ia melihat yang diharamkan Allah. Perhatikan lidahmu, jangan sampai ia mengucapkan sesuatu yang Allah tahu bahwa yang ada di dalam hatimu adalah kebalikannya. Perhatikan hatimu, jangan sampai ada rasa dengki dan kebencian terhadap sesama muslim. Perhatikan juga hawa nafsumu, jangan biarkan ia terumbar. Bila (terpeliharanya) empat perkara ini belum menjadi milikmu, maka kepalamu akan menjadi umpan abu.” (Shifatush Shafwah IV : 268)
Al Qadhi Husain meriwayatkan dari gurunya Al Qaffal, bahwa seringkali sang guru menangis ketika tengah mengajar, kemudian setelah itu beliau mengangkat kepalanya seraya berkata (yang terjemahannya - pen) : “Alangkah lalainya kita terhadap apa yang diwajibkan atas diri kita.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ 17:407)
Dari Mukhawwal diriwayatkan bahwa ia berkata (yang terjemahannya - pen) : “Bahim al Ajali pernah datang kepada saya suatu hari dan berkata : “Apakah engkau mengenal seseorang diantara tetanggamu atau saudaramu yang engkau sukai, yang berkeinginan melaksanakan haji untuk dapat menemaniku ?” Aku menjawab : “Ada” Aku segera menemui seorang lelaki yang shalih dan baik akhlaknya, lalu keduanya kupertemukan. Merekapun bersepakat untuk pergi haji bersama. Kemudian Bahim pulang menemui istrinya. Beberapa saat kemudian (sebelum pergi), si lelaki menemuiku dan berkata : “Wahai saudaraku ! Betapa senangnya aku jika kamu menjauhkan shahabatmu itu dariku ! Hendaknya ia mencari teman seperjalanan yang lain saja.” Aku bertanya : “Mengapa demikian ? Sungguh aku tidak melihat orang yang setara dengannya di kota Kufah ini dalam kebagusan akhlak dan perangainya. Aku pernah berlayar bersamanya, dan yang kulihat darinya hanyalah kebaikan.” Lelaki itu menjawab : “Celakalah kamu, setahuku, ia ini orang yang banyak menangis, hampir tak pernah berhenti tangisnya. Hal itu akan menyusahkan kami sepanjang perjalanan.” Aku menanggapi : “Engkaulah yang celaka, terkadang tangisan itu datang tidak lain hanyalah dari mengingat Allah. Yakni, hati seseorang itu melembut, sehingga ia menangis. Bukankah kadangkala engkau juga menangis ?” Lelaki itu menjawab : “Memang benar. Tetapi kudengar, terkadang ia menangis kelewatan sekali.” Aku berkata : “Temanilah dirinya. Semoga kamu bisa mengambil manfaat darinya.” Ia berkata : “Aku akan shalat istikharah terlebih dahulu !”
Tepat pada hari keberangkatan mereka berdua, onta telah didatangkan dan dipersiapkan. Tiba-tiba Bahim duduk di bawah pohon sambil meletakkan tangannya di bawah janggutnya dan air matapun menetes di kedua belah pipinya, lalu turun membasahi dadanya, sampai-sampai –demi Allah- kulihat air matanya membasahi bumi.”
Lelaki itu berkata : “Lihatlah, belum apa-apa shahabatmu itu sudah mulai menangis. Orang seperti itu tak pantas menjadi temanku.” “Temani saja dirinya.” Pintaku. “Barangkali dia teringat keluarganya dan kala ia berpisah dengan mereka, sehingga ia bersedih.” Namun ternyata Bahim mendengar pembicaraan kami dan menanggapi : “Bukan begitu persoalannya. Aku semata-mata hanya teringat dengan perjalanan ke akhirat.” Mukhawwal melanjutkan : “Maka suara beliaupun melengking karena tangisan.”
Ia melanjutkan : “Temanku berkomentar : “Demi Allah, janganlah ini menjadi awal permusuhan dan kebencian dirimu terhadapku. Tak ada hubungan antara aku dengan Bahim. Hanya saja, ada baiknya engkau mempertemukan antara Bahim dengan Dawud Ath-Tha-i dan Sallaam Abul Ahwash 1) agar mereka saling membuat yang lainnya menangis hingga mereka puas, atau meninggal dunia bersama-sama.”
Lelaki itu berkata : “Aku terus saja menemaninya dan berkata dalam hati : “Susah nian, mudah-mudahan ini menjadi perjalananku yang terbaik.” Perawi menyebutkan : “Lelaki itu orang yang menyukai perjalanan panjang untuk berhaji, lelaki yang shalih, namun di samping itu ia juga pedagang kaya raya yang rajin bekerja; bukan orang yang mudah bersedih dan menangis.” Perawi menyebutkan : “Lelaki itu berkata : “Sekali inilah hal itu terjadi pada diriku, dan mudah-mudahan bermanfaat.”
Mukhawwal menyebutkan : “Bahim tidak mengetahui sedikit pun tentang hal itu. Kalau ia mengetahui sedikit saja, niscaya ia tak pergi bersama lelaki itu.”
Mukhawwal melanjutkan : “Maka merekapun berangkat berdua hingga melaksanakan haji dan pulang kembali. Masing-masing dari keduanya begitu akrab sampai-sampai tidak menyadari bahwa mereka memiliki saudara lain selain shahabat yang menemaninya. Setelah tiba, aku mengucapkan salam kepada lelaki tetanggaku itu. Iapun berkata : “Semoga Allah memberimu pahala kebajikan atas saranmu kepadaku. Tak kusangka, bahwa di antara manusia sekarang ini ada juga yang seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Demi Allah, ia membiayai kebutuhanku, sementara ia orang miskin, aku justru orang kaya. Beliau sudi melayani diriku, padahal beliau sudah tua dan lemah sedangkan aku masih muda dan kuat. Beliau juga memasak untukku, padahal beliau bershaum sementara aku tidak.” Mukhawwal bertanya : “Bagaimana soal tangisan panjangnya yang tidak engkau sukai ?” Lelaki itu menjawab : “Akhirnya aku terbiasa dengan tangisan itu. Demi Allah, hatiku merasa senang, sampai-sampai aku pun turut menangis bersamanya, sehingga orang-orang yang bersama kami merasa terganggu. Namun demikian –demi Allah-, mereka pun akhirnya terbiasa. Mereka juga turut menangis, bila kami berdua menangis. Sebagian mereka bertanya kepada sebagian yang lain : “Kenapa mereka lebih mudah menangis dari pada kita, padahal jalan hidup kita dan mereka sama ?” Mereka pun akhirnya menangis, sebagaimana kami juga menangis.”
Mukhawwal melanjutkan : “Kemudian aku keluar dari rumah lelaki itu untuk menemui Bahim. Aku bertanya kepadanya setelah terlebih dahulu memberi salam. “Bagaimana tentang teman perjalananmu ?” Beliau menjawab : “Sungguh, ia teman yang terbaik. Ia banyak berdzikir, banyak membaca dan mempelajari Al Qur’an , mudah menangis dan mudah memaafkan kesalahan orang lain. Semoga Allah memberimu pahala kebajikan atas saranmu.” (Shifatush Shafwah III : 179-182)
Maraji': Disalin dari terjemahan kitab “Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf” tulisan: Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil Baha-uddien ‘Aqiel. Judul terjemahan : “Panduan Akhlak Salaf”, penerjemah : Abu Umar Basyir Al-Medani, hal. 14-21. Penerbit : At-Tibyan, Solo, 2000.
--------------------------------------------------------------------------------
1). Dalam “Shifatush shafwah” disebutkan : Sallaam bin Al Ahwash. Yang betul adalah Sallaam Abul Ahwash. Lihat “At-Taqrieb” biografi No.2703.Namanya adalah Sallaam bin Sulaim Al-hanafi al Kufi, wafat tahun 179H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar