TAKUT merupaka satu sifat yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Sebab itu, tak pandang siapapun, baik penguasa ataupun rakyat jelata, semua memiliki sifat ini, hatta Fir’aun, yang pernah memproklamirkan diri sebagai Tuhan, juga mengalami hal serupa. Ketakutan akan kehilangan kedikdayaanlah, yang telah menyebabkan Fir’aun kalap mata, yang akhirnya membunuh setiap anak laki-laki bani Israil.
Apa yang terjadi beberapa abad silam, juga melanda manusia masa kini, yang hidup di zaman modern, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Sayangnya, tak jarang orang memanfaatkan kemajuan ini, justru untuk menghilangkan ataupun mengelabuhi ketakutannya; baik itu ketakutan akan kehilangan jabatan, harta, martabat, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, kejahatan kerah putih dan tindak pidana korupsi, akan melakukan segala hal untuk menjaga nama baiknya. Dengan hasil korupsi, bisa saja dia “memesan” hukum pada sang hakim, bak memesan makanan/minuman di restoran. Tinggal menelpon, kemudian memilih keputusan macam apa yang dikehendaki. Bahkan, bisa saja media massa “dibeli” untuk mengelabuhi masyarakat akan kebobrokkan yang telah dilakukannya.
Terhadap pidana kasus pornografi/pornoaksi, misalnya, sebagaimana yang sedang berkembang saat ini, “si pelaku” akan mencoba sekuat tenaga untuk menepis segala tuntutan yang datang. Mediapun didatangkan, untuk mengklarifikasi bahwa ia sedang difitnah, sebagai korban. Padahal, bukti-bukti telah ‘berbicara’, bahwa ia adalah pelakunya. Rasa takut akan hilangnya kehormatan, popularitas atau nama baik, memungkin seseorang melakukan segala cara.
Tentu saja ketakutan macam ini, merupakan ketakutan yang dilarang, sebagaimana sabda Rosulullah, “Rasa takut terhadap seseorang jangan sampai menghalangimu untuk mengatakan apa sebenarnya jika memang benar kamu melihatnya, menyaksikan atau mendengarnya.” (H.R. Ahmad)
Pada intinya, seringkali ketakutan seseorang terhadap sesuatu, menyebabkan dia menjadi pengecut, pecundang, pembohong, kerdil dan lain-lain. Takut semacam ini, merupakan jenis takut yang negatif, yang akan membawa pelakunya kepada keresahan hidup. Padahal, tidak seharusnya sifat takut tersebut, menjadi penyebab keterpurukannya, bahkan, sejatinya, justru dari rasa takut itulah, timbul keberanian, yang menyebabkan orang lain segan terhadap nya, sekalipun dia tidak menakut-nakuti mereka. Dan hal itu akan terwujud, manakala orang tersebut mampu memposisikan sifat takutnya sesuai dengan apa yang telah menjadi ketetapan Allah.
Dan menetapkan takut semata-mata kepada-Nya (Allah) adalah kunci dari itu semua. Sebagaimana yang disabdakan Rosulullah, “Barang siapa yang takut kepada Allah, maka ia pun akan ditakuti oleh segala sesuatu. Dan barang siapa yang takut kepada selain Allah, maka ia pun akan takut kepada segala sesuatu.”
Abu Al-Qasim Al-Hakim berujar, “Barang siapa yang takut kepada sesuatu maka ia akan lari dari padanya. Dan barang siapa yang takut kepada Allah, maka ia akan mendekati-Nya.”
Takut yang melindungi keburukan
Setali tiga uang, bisa kita simpulkan, bahwa kasus-kasus yang telah dipaparkan di atas, tidak lain itu karena dilandasi ketakutan sesama makhluk. Karenanya, kemaksiatan, perilaku dosa semarak terjadi, untuk menutupinya. Sedangkan ketakutan kepada Allah, justru akan menghantarkan manusia kepada kebaikkan amal. Al-Fadhil Ibnu ‘Iyadh berkata, “Barang siapa yang takut kepada Allah, maka ketakutan itu akan menghantarkannya kepada kebaikkan.”.
Contoh kongkrit akan hal tersebut, bahwa takut kepada Allah, mampu menumbuhkan keberanian kepada makhluk, dan mengarahkan kepada kebaikan, bisa kita lihat pada sosok Nabi Yusuf ‘Alaihi wassalam, ketika beliau menolak rayuan Zulaikha untuk berbuat zina. Ketakutan kepada Allah, telah melindunginya dari keburukan.
Begitu pula dengan Rosulullah. Ketakutan seorang hamba kepada Tuhannya yang tertancap begitu dalam, telah menumbuhkan keberanian beliau untuk menantang larangan para pemuka Quraisy untuk menyebarkan agama hanif ini, sekalipun mereka mengancam dengan berbagai ancaman, “Wahai paman, sekalipun mereka mampu meletakkan matahari di tanganku, sekali-kali tidak akan pernah kutinggalkan dakwah ini”, jawab beliau dengan tegas.
Timbulnya rasa takut macam ini, tidak serta merta bisa kita munculkan seketika. Butuh proses menuju kesana. Layaknya seseorang yang takut terhadap sesuatu, tidak lain dikarenakan dia telah mengetahui bahwa sesuatu tersebut memang patut ditakuti, baik itu karena dia memiliki kekuatan, ataupun kekuasaan. Semakin jauh dia mengetahui hal tersebut, dan semakin menyadari kelemahannya, maka semakin menjadi-jadilah rasa takut itu bersemayam dalam dirinya.
Begitu pula prihalnya dalam menumbuhkan rasa takut kepada Allah. Semakin kita mengenal akan kekuasaan dan keperkasaan-Nya, dan mengenal ketidak berdayaan diri tanpa karunia-Nya, maka ketakutan kita akan semakin berlipat ganda.
Sebaliknya, ketidaktahuan kita kepada Allah, akan menjadikan kita ingkar kepada-Nya, yang kemudian akan melahirkan penentangan terhadap-Nya. Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Faathir: 28).
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad, Rosulullah bersabda, “Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling mengetahui tentang Allah dan aku juga orang yang paling takut kepada-Nya.”
Sejalan dengan surat dan hadits di atas, ada seseorang yang berkata kepada imam As-Sya’bi, “Wahai alim, sesungguhnya seorang alim itu adalah orang yang takut kepada Allah”. Ada pula pepatah yang mengatakan, “Bukanlah seorang penakut itu adalah orang yang menangis kemudian mengusap kedua matanya. Yang dimaksud dengan penakut adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang ia khuatir akan menerima ‘ikob (hukuman) dari Allah lantaran sesuatu tersebut”.
Dari sini, kita bisa mengambil benang merah, bahwa ketakutan kepada Allah akan kita peroleh dengan mengenal-Nya lebih dalam. Dan yang perlu dicamkan, bahwa takut kepada Allah merupakan salah satu bukti keimanan kita kepada-Nya, yang menuntut kita menjalankan semua perintahnya, dan menjauhi larangan-larangan-nya. Dan sungguh termasuk orang yang menentang Allahlah, mereka yang mengaku-ngaku takut kepada Allah, namun, mereka menyoalkan, meragukan keabsahan perintah-perintah ataupun larangan-larangan-Nya yang telah termaktub dalam Al-Quran ataupun As-Sunnah.
Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka (57) Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka (58) Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun),(59) Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (60) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya (61).” (Al-Mukminun: 57-61)
Akhirnya, mari kita berdo’a, semoga Allah menetapkan kita termasuk orang-orang yang hanya memiliki rasa takut terhadap-Nya, sebagaimana rasa takut yang telah dimiliki oleh para nabi dan rosul serta sahabat-sahabat mereka, sehingga kita termasuk dari golongan mereka. Amien, amien yaa rabbal ‘aalamien. Wallahu ‘alam bis-shawab. [Robin S/hidayatullah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar