Pakar Astronomi NU
KH. Mahfudz Anwar adalah salah seorang ulama kharismatik yang memiliki kualifikasi keilmuan yang sangat mumpuni. Tiga cabang ilmu dasar dikuasai dengan sangat mendalam yakni fikih, tafsir dan ilmu falak (astronomi). Selain ketiga bidang itu, KH. Mahfudz Anwar juga dikenal sebagai seorang Muhaddits [ahli hadits], Sufi [ahli tasawuf], dan ahlul lughah [ahli bahasa/ etimolog]. Kemampuan yang dimilikinya itu tidak lepas dari latar belakang keluarga yang membimbingnya, lembaga pendidikan yang menempanya, dan perjuangan sosial kemasyarakatan yang dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Tetapi diantara sekian banyak ilmu yang dikuasai ia lebih dikenal sebagai seorang pakar ilmu falak, yang ditekuni hingga akhir hayatnya.
Masa Pembentukan
Kiai yang hafal al Quran itu dilahirkan di Paculgowang Jombang 12 April 1912 M dari pasangan Kiai Anwar Alwi dan Nyai Khadijah, ia anak keenam dari 12 orang bersaudara. Ayahnya adalah pengasuh Pesantren Pacul Gowang, generasi kedua. KH. Anwar Ali satu periode dengan KH. Moh. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Mereka sama-sama murid KH. Kholil Bangkalan Madura. Selain KH. Hasyim, KH. Abdul Karim [pendiri pondok pesantren Lirboyo Kediri] dan KH. Ma’ruf [Kedunglo Kediri] juga teman karibnya. Kiai Anwar Alwi juga murid KH. Mahfudz Termas Pacitan yang berdomisili di Makkah ketika studi di sana.
Melihat latar belakang keluarga yang berbasis pesantren itu sangat wajar apabila KH. Mahfudz Anwar tumbuh dalam suasana religius dan keilmuan agama yang tinggi Saat itu Pesantren Tebuireng telah muncul sebagai pesantren terkenal kualitas keilmuannya, kenyataan itu membuat Kiai Anwar Ali memondokkan anaknya ke sana. Jarak antara Tebuireng dengan Paculgowang hanya sekitar 3 km. Maka dikirimlah Mahfudz kecil ke Pondok Pesantren Tebuireng untuk menimba ilmu dari Kiai Hasyim.
Masa pendidikan Mahfudz banyak dihabiskan di Tebuireng, ditempuh mulai dari kelas shifir awal, tsani, tsalis, (kelas 1 sampai kelas VI) Ibtidaiyah. Karena kecerdasannya yang tinggi maka ketika mencapai kelas IV ia sudah ditugasi untuk mengajar adik kelasnya, padahal umumnya tidak jauh beda atau lebih tua darinya. Ini menunjukkan bahwa Mahfudz kecil memang sudah kelihatan kecerdasannya. Baru setelah lulus kelas VI, ia diangkat menjadi guru resmi di Pesantren Tebuireng. banyak murid ustadz Mahfudz yang nantinya menjadi orang besar, pemimpin masyarakat, misalnya KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Tholhah Hasan bahkan Kiai As’ad Syamsul Arifin sempat berguru padanya.
Selain kepada Kiai Hasyim, Mahfudz juga belajar kepada Kiai Ma’shum Ali, seorang ulama besar, ahli falaq dan pencetus nazam Ilmu Sharaf yang sangat heboh di Timur Tengah. Kiai Ma’shum Ali adalah Direktur Madrasah Tebuireng. Posisi penting itu ia duduki baik karena keilmuannya juga karena menantu KH. Hasyim Asy’ari dengan putrinya Hj. Khoiriyah Hasyim. Pada saat yang sama ia juga mengasuh pesantren sendiri di Seblak, tidak jauh dari situ. Pada kiai muda itu Mahfudz khusus mempelajari ilmu falaq, dan ia menunjukkan bakat yang luar biasa dalam disiplin itu. Hal itu bisa dipahami mengingat sejak usia belasan tahun, Mahfudz sudah belajar ilmu itu. Karena itu meski usianya belum genap 20 tahun, kata Kiai Sahal Mahfud, ia sudah disegani oleh santri Tebuireng.
Sebagai santri yang menonjol kepandaiannya, akhirnya Mahfudz diambil menantu oleh Kiai Maksum, karena itu ketika Kiai Maksum meninggal pada usia yang sangat muda, 33 tahun tepat pada tahun 1933, maka kepemimpinan pesantren Seblak diserahkan kepada ustadz Mahfudz. Kesibukan mengurusi pesantren di Seblak tidak membuat Kiai Mahfudz melupakan Tebuireng ia tetap mengajar di Tebuireng. Walaupun sudah menjadi pengasuh pondok pesantren dan sudah menguasai sederet ilmu dengan mendalam, namun semangat belajar Kiai Mahfudz tidak pernah padam. Diantara sekian ilmu yang terus giat dipelajari adalah ilmu falaq sayang guru di bidang itu Kiai Ma’shum Ali keburu meninggal dunia, karena itu langsung belajar falaq lagi kepada Mas Dain, seorang santri seniornya yang menjadi kepala pondok Seblak, yang masih terbilang cucu Kiai Rahmat Kudus. Karena minatnya sangat besar maka ia belajar dengan tekun dan teliti, sehingga bisa menyerap ilmu gurunya itu dengan cepat.
Ilmu Falak Sebagai pilihan.
Sebagai seorang ulama yang mumpuni, Kiai Mahfud menguasai berbagai disiplin keilmuan, antara lain fikih, tafsir dan falak. Dari sekian itu semua dikuasi, tetapi paling ditekuni adalah ilmu falak. Setelah betul-betul menguasai falaq, maka diskusi dan perdebatan dengan mitra belajarnya menjadi semakin seru. Mereka terus mengasah ketajaman analisis masing-masing melalui forum musyawarah sebagai ajang berdebat untuk memperkokoh argumen dan menghindupkan suasana kailmuan yang
KH. Mahfudz Anwar adalah salah seorang ulama kharismatik yang memiliki kualifikasi keilmuan yang sangat mumpuni. Tiga cabang ilmu dasar dikuasai dengan sangat mendalam yakni fikih, tafsir dan ilmu falak (astronomi). Selain ketiga bidang itu, KH. Mahfudz Anwar juga dikenal sebagai seorang Muhaddits [ahli hadits], Sufi [ahli tasawuf], dan ahlul lughah [ahli bahasa/ etimolog]. Kemampuan yang dimilikinya itu tidak lepas dari latar belakang keluarga yang membimbingnya, lembaga pendidikan yang menempanya, dan perjuangan sosial kemasyarakatan yang dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan. Tetapi diantara sekian banyak ilmu yang dikuasai ia lebih dikenal sebagai seorang pakar ilmu falak, yang ditekuni hingga akhir hayatnya.
Masa Pembentukan
Kiai yang hafal al Quran itu dilahirkan di Paculgowang Jombang 12 April 1912 M dari pasangan Kiai Anwar Alwi dan Nyai Khadijah, ia anak keenam dari 12 orang bersaudara. Ayahnya adalah pengasuh Pesantren Pacul Gowang, generasi kedua. KH. Anwar Ali satu periode dengan KH. Moh. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Mereka sama-sama murid KH. Kholil Bangkalan Madura. Selain KH. Hasyim, KH. Abdul Karim [pendiri pondok pesantren Lirboyo Kediri] dan KH. Ma’ruf [Kedunglo Kediri] juga teman karibnya. Kiai Anwar Alwi juga murid KH. Mahfudz Termas Pacitan yang berdomisili di Makkah ketika studi di sana.
Melihat latar belakang keluarga yang berbasis pesantren itu sangat wajar apabila KH. Mahfudz Anwar tumbuh dalam suasana religius dan keilmuan agama yang tinggi Saat itu Pesantren Tebuireng telah muncul sebagai pesantren terkenal kualitas keilmuannya, kenyataan itu membuat Kiai Anwar Ali memondokkan anaknya ke sana. Jarak antara Tebuireng dengan Paculgowang hanya sekitar 3 km. Maka dikirimlah Mahfudz kecil ke Pondok Pesantren Tebuireng untuk menimba ilmu dari Kiai Hasyim.
Masa pendidikan Mahfudz banyak dihabiskan di Tebuireng, ditempuh mulai dari kelas shifir awal, tsani, tsalis, (kelas 1 sampai kelas VI) Ibtidaiyah. Karena kecerdasannya yang tinggi maka ketika mencapai kelas IV ia sudah ditugasi untuk mengajar adik kelasnya, padahal umumnya tidak jauh beda atau lebih tua darinya. Ini menunjukkan bahwa Mahfudz kecil memang sudah kelihatan kecerdasannya. Baru setelah lulus kelas VI, ia diangkat menjadi guru resmi di Pesantren Tebuireng. banyak murid ustadz Mahfudz yang nantinya menjadi orang besar, pemimpin masyarakat, misalnya KH. Ahmad Shiddiq dan KH. Tholhah Hasan bahkan Kiai As’ad Syamsul Arifin sempat berguru padanya.
Selain kepada Kiai Hasyim, Mahfudz juga belajar kepada Kiai Ma’shum Ali, seorang ulama besar, ahli falaq dan pencetus nazam Ilmu Sharaf yang sangat heboh di Timur Tengah. Kiai Ma’shum Ali adalah Direktur Madrasah Tebuireng. Posisi penting itu ia duduki baik karena keilmuannya juga karena menantu KH. Hasyim Asy’ari dengan putrinya Hj. Khoiriyah Hasyim. Pada saat yang sama ia juga mengasuh pesantren sendiri di Seblak, tidak jauh dari situ. Pada kiai muda itu Mahfudz khusus mempelajari ilmu falaq, dan ia menunjukkan bakat yang luar biasa dalam disiplin itu. Hal itu bisa dipahami mengingat sejak usia belasan tahun, Mahfudz sudah belajar ilmu itu. Karena itu meski usianya belum genap 20 tahun, kata Kiai Sahal Mahfud, ia sudah disegani oleh santri Tebuireng.
Sebagai santri yang menonjol kepandaiannya, akhirnya Mahfudz diambil menantu oleh Kiai Maksum, karena itu ketika Kiai Maksum meninggal pada usia yang sangat muda, 33 tahun tepat pada tahun 1933, maka kepemimpinan pesantren Seblak diserahkan kepada ustadz Mahfudz. Kesibukan mengurusi pesantren di Seblak tidak membuat Kiai Mahfudz melupakan Tebuireng ia tetap mengajar di Tebuireng. Walaupun sudah menjadi pengasuh pondok pesantren dan sudah menguasai sederet ilmu dengan mendalam, namun semangat belajar Kiai Mahfudz tidak pernah padam. Diantara sekian ilmu yang terus giat dipelajari adalah ilmu falaq sayang guru di bidang itu Kiai Ma’shum Ali keburu meninggal dunia, karena itu langsung belajar falaq lagi kepada Mas Dain, seorang santri seniornya yang menjadi kepala pondok Seblak, yang masih terbilang cucu Kiai Rahmat Kudus. Karena minatnya sangat besar maka ia belajar dengan tekun dan teliti, sehingga bisa menyerap ilmu gurunya itu dengan cepat.
Ilmu Falak Sebagai pilihan.
Sebagai seorang ulama yang mumpuni, Kiai Mahfud menguasai berbagai disiplin keilmuan, antara lain fikih, tafsir dan falak. Dari sekian itu semua dikuasi, tetapi paling ditekuni adalah ilmu falak. Setelah betul-betul menguasai falaq, maka diskusi dan perdebatan dengan mitra belajarnya menjadi semakin seru. Mereka terus mengasah ketajaman analisis masing-masing melalui forum musyawarah sebagai ajang berdebat untuk memperkokoh argumen dan menghindupkan suasana kailmuan yang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar