Sabtu, 24 Juli 2010

H. Mashudi:

Penghubung antara Seniman dengan Kiai



Berkesenian di bawah suatu lembaga politik tentu tidak mudah, apalagi jika partai politik tersebut berlandasan keagamaan. Tetapi itulah persoalan yang dihadapi Mashudi ketika aktif di Lesbumi. Kesulitan itu makin bertambah ketika para seniman itu diharuskan mengembangkan apresiasi di lingkngan jamaah yang terdiri dari masyarakat biasa. Pekerjaan itu sangat sulit, tetapi justeru di tengah kesulitan itu nilai estetika ditemukan, sehingga kesenian yang dihasilkan jauh lebih kompleks  dan dalam, ketika dibutuhkan sublimasi dan abstraksi. Kesenian tidak hanya membutuhkan keindahan tetapi juga mebutuhkan kiat mengatasi berbagai rintangan, agama, ideologi dan selera massa, sehingga menjadi seni yang bisa dinikmati dan diterima masyarakat.
Mashudi yang telah mencapai 76 tahun adalah salah seorang tokoh Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang saat ini masih hidup. Tokoh yang lahir di Ngawi Jawa Timur 1932 itu adalah anak dari H Abdullah Sarvin. Memperoleh pendidikan dasar hingga sekolah menengah di kotanya, Ngawi. Walaupun di kota itu dikenal dengan sangat kuat kelompok abangannya, tetapi Masyhudi hidup di Kauman (kominitas santri). Dari lingkungan itu ia belajar agama dari keluarganya dan para kiai setempat yang dikenalnya.
Sebagai seorang yang memiliki jiwa santri, maka setamat sekolah menengah pertama, ia melanjutkan ke sekolah yang berbau agama, ia masuk ke Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) di Yogyakarta. Pada saat bersamaan, ia juga mengikuti sekolah umum yakni SMA untuk kemudian melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menjadi cita-cita yang sudah lama ingin diraih untuk bisa masuk universitas bergengsi itu. Di kampus biru itu, ia mengambil jurusan sejarah kebudayaan. Suatu bidang yang sangat ia minati sejak kecil. Tidak lama kemudian, sekitar tahun 1955-an pemerintah membuka perguruan tinggi  pendidikan di Bandung dengan nama Pendidikan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG), sebagai jawaban atas kekurangan tenaga pengajar terdidik. PTPG adalah sebuah perguruan tinggi elite, yang semua mahasiswanya mendapatkan beasiswa, serta gratis seluruh keperluan kuliah. Diharapkan perguruan khusus ini bisa menyediakan tenaga pengajar yang handal, baik untuk sekolah menengah maupun perguruan tinggi, yang ini kemudian berubah menjadi Insitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP).
Walaupun sudah tiga semester di UGM, Masyhudi masih berspekulasi masuk di PTPG, untuk itu ia harus bersaing ketat dengan pendaftar yang lain, karena yang diterima terbatas sementara peminatnya banyak. Ternyata usahanya berhasil. Ia diterima di PTPG, akhirnya harus meninggalkan UGM di Yogya dan mulai kuliah di PTPG Bandung.
Sebagai sekolah guru, maka ia banyak mendapatkan tugas praktek mengajar, dan hal itu dilaksanakan dengan senang hati, sebab dengan cara itu, ia bisa berkenalan dengan berbagai kalangan, termasuk kalangan elite masyarakat saat itu. Di Bandung itu, ia kuliah bersamaan dengan anak tokoh NU dan politisi KH Syukri Ghazali yang bernama Makmun.
Melalui perkenalannya dengan Makmun itulah ia banyak berjumpa dengan kiai di kota Kembang itu, dan khususnya bertemu dengan Kiai Syukri Ghazali yang merupakan konseptor politik terkenal, anggota Konstituante yang vokal dan petinggi NU yang dihormati. Karena itu tempat tinggalnya yang dekat masjid kota itu sering diadakan lailatul ijtimak dengan warga NU setempat, yang diteruskan dengan pembicaraan mengenai berbagai hal, yang melibatkan ketua NU pimpinan ansor wilayah setempat.
Walaupun banyak pelajar NU di Kota kembang, namun  saat itu Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) belum ada di sana, maka pada tahun itu dirintislah organisasi IPNU sebagai ketua dipilih Ali Burhan dari ITB, seorang hartawan keturunan Palembang yang sangat aktif di NU.  Masyhudi terpilih sebagai salah seorang wakilnya, sementara wakilnya yang lain adalah Ilyas Ruchiyat, dari Cipasung. Dengan adanya IPNU itu, banyak kalangan pelajar dan mahasiswa yang mulai aktif di IPNU, terutama mereka yang memiliki basis pesantren, apalagi saat itu popularitas NU semakin menonjol, tidak hanya di bidang sosial dan agama, tetapi juga di bidang politik.
Sesuai dengan persyaratan mahasiswa yang hendak menyelesaikan kuliah harus memberikan pengabdian pada masyarakat, maka pada tahun 1958 Masyhudi mendapatkan tugas mengajar di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Malang Jawa Timur. Tentu saja di kaki gunung Semeru itu ia disibukkan dengan tugas  mengajar, apalagi  selain wajib mengajar di PGAN itu beberapa sekolah juga meminta tenaganya. Maklum saat itu guru yang terlatih masih jarang, sehingga profesinya diminati banyak orang. Dengan alasan itu, selama di Malang ia tidak sempat aktif di organisasi NU.
apalagi saat itu sedang gencarnya persaingan antara Masyumi, Muhammadiyah dengan NU sehingga imbasnya juga terasa di sekolahan. Mengingat kenyataan itu, pihak sekolah melarang siswa dan pengajarnya aktif di organisasi agar sekolah berjalan tanpa diwarnai pertikaian politik dan ketegangan ideologi. Hal itu nampaknya yang menjadikan PGAN sebagai sekolah Negara bisa terlepas dari konflik ideologi sehingga pendidikan bisa dijalankan dengan semestinya. Namun demikian, ia terus menjalin hubungan dengan beberapa aktivis NU daerah. Saat itu ia berkenalan dekat dengan KH Basori Alwi yang kemudian menj

Tidak ada komentar:

"MAJELIS RASULULLAH SAW"

"MAJELIS RASULULLAH SAW"









"PERADABAN BARU ISLAM (FITRAH MANUSIA)"

Seaching Blog