Nabi Muhammad SAW diturunkan ke dunia sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam. Maka kita, sebagai umatnya, pun memiliki adab-adab terhadap alam. Terlahirnya seorang nabi bernama Muhammad, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, merupakan karunia terbesar yang telah Allah berikan kepada umat manusia, bahkan bagi seluruh alam ini. Beliaulah makhluk termulia dari seluruh ciptaan-Nya. Dan beliau adalah nabi pembawa rahmat dari sisi Tuhannya, Allah Azza wa Jalla. Para ulama ahli sejarah telah menulis dan mengumpulkan kesempurnaan akhlaq beliau dari segala sisinya. Namun amat disayangkan, hanya sedikit dari umat beliau sendiri yang mau membaca sejarah hidup beliau. Padahal, tidaklah kebenaran akan didapat kecuali melalui pintunya. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21).
Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya aku adalah rahmat yang membawa petunjuk." Ibnu Dahyah RA mengatakan, "Maknanya bahwa ‘Allah SWT mengutusku sebagai rahmat bagi hamba-hamba Allah’. Beliau tidak menghendaki imbalan atas itu, karena pemberi hadiah yang didasari dengan kasih sayang tidak menghendaki imbalan atas hadiahnya."
“Siapa yang Makan Bawang Putih…”
Allah SWT berfirman, "Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam," (QS Al-Anbiya’: 107). Rahmat yang dibawa Rasulullah SAW mencakup segala sesuatu di alam ini: manusia, jin, malaikat, hewan, tumbuhan, bahkan benda mati. Ini bukan hal yang aneh, karena Allah SWT kuasa memberikan rahmat-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya dan Dialah Pemilik karunia yang agung.
Di antara seluruh alam yang tercakup dalam rahmat Allah melalui Rasulullah SAW adalah malaikat yang mulia. Allah SWT berfirman, "Mahasuci Allah, Yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Quran) kepada hamba-Nya (Muhammad) agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam." (QS Al-Furqan: 1). Diutusnya beliau SAW kepada para malaikat tidak lain adalah sebagai pengutusan pemuliaan, bukan pembebanan, karena mereka tidak termasuk dalam kalangan yang dibebani (mukallaf) kewajiban syari’at, seperti halnya jin dan manusia. Allah SWT merahmati para malaikat dan memuliakan mereka melalui nabi-Nya SAW dengan berbagai macam wujud rahmat dan pemuliaan. Di antaranya, dengan adanya hukum-hukum syari’at yang ditetapkan oleh Allah, yang di dalamnya terkandung keimanan kepada para malaikat, adab terhadap mereka, penghormatan terkait kedudukan mereka, pengetahuan mengenai tugas-tugas mereka, dan lain-lain. Rasulullah SAW mengajari kita tentang penghormatan kepada para malaikat, adab terhadap mereka, dan hendaknya kita menjauhi hal-hal yang mengganggu mereka. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang makan sayuran berupa bawang putih ini (pada saat yang lain beliau bersabda, "Siapa yang makan bawang merah, bawang putih, dan bawang bakung), janganlah sekali-kali mendekati masjid kami. Sesungguhnya para malaikat terganggu sebagaimana keturunan Adam (manusia) merasa terganggu (oleh bau makanan itu)."
Dalam riwayat lain, "Siapa yang makan bawang putih atau bawang merah, hendaknya menghindari kami." Atau, "Hendaknya dia menghindari masjid kami, dan hendaknya dia duduk di rumahnya." Pada suatu saat, disodorkan kepada beliau SAW sepriuk sayuran dengan berbagai macam rempah-rempah. Namun beliau mendapati bau padanya, maka beliau menanyakannya.
Setelah diberi tahu tentang rempah-rempah yang terdapat di dalamnya, beliau menyuruh agar priuk itu didekatkan kepada seorang sahabat beliau yang saat itu bersama beliau.
Begitu melihatnya, sahabat itu enggan memakannya.
Beliau pun bersabda, "Makanlah, sesungguhnya aku berbicara dengan yang tidak berbicara kepadamu." Rasulullah SAW menganjurkan sahabat-sahabat beliau SAW agar malu kepada malaikat. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Tsauban, maula (budak yang dimerdekakan) Rasulullah SAW, bahwa dia mengatakan, Rasulullah SAW melihat sejumlah orang berkendaraan dalam rangka mengiring jenazah. Lalu beliau bersabda, "Tidakkah kamu malu bahwa malaikat-malaikat Allah berjalan kaki sementara kamu naik kendaraan?!" Rasulullah SAW pun mengajari sahabat-sahabat beliau agar membuat barisan dalam shalat seperti barisan yang dibuat oleh para malaikat di sisi Tuhan. Dalam sebuah hadits dikatakan, "Mengapa kamu tidak membuat barisan sebagaimana para malaikat membuat barisan di sisi Tuhan mereka? Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana para malaikat membuat barisan di sisi Tuhan mereka?’ Beliau bersabda, ‘Memenuhi barisan pertama dan mereka saling merapatkan diri dalam barisan’.” Jika pemuliaan malaikat kepada orang-orang yang beriman di akhirat dengan perintah Allah SWT tak terhingga dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, bagaimana dengan pemuliaan para malaikat kepada Rasulullah SAW, sementara beliau adalah sosok yang menjadi perantara mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan kecintaan dan pembelaan terhadap beliau, serta dengan bershalawat dan penghormatan kepada beliau!
“Jangan Mencaci Angin”
Di antara wujud rahmat Rasulullah SAW kepada benda mati adalah beliau SAW melarang mencaci angin. Dari Ubay bin Ka'ab RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian mencaci angin. Jika kalian menghadapi angin yang tidak kalian sukai, ucapkanlah, ‘Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan yang terdapat di dalamnya, dan kebaikan pada apa yang diperintahkan padanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, keburukan yang terdapat di dalamnya, dan keburukan pada apa yang diperintahkan padanya’.” Beliau SAW juga melarang mencaci sakit demam. Dari Jabir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW menemui Ummu Saib atau Ummu Musayyab, lantas bertanya, "Hai Ummu Saib," atau, "Hai Ummu Musayyab, kenapa kamu gemetar?"
Dia menjawab, “Demam, tidak ada keberkahan Allah padanya.”
Beliau bersabda, "Jangan mencaci demam, sesungguhnya ia menghapus kesalahan-kesalahan manusia sebagaimana tempaan api menghilangkan kotoran pada besi."
Karenanya, tidaklah mengherankan bila batu pun memberi salam kepada beliau, karena mereka mengenal beliau adalah seorang nabi. Pangkal pohon merindukan beliau saat beliau meninggalkannya. Gunung Uhud terguncang di bawah kedua telapak kaki beliau yang mulia hingga beliau menyuruhnya agar tenang, dan Gunung Uhud pun tenang. Dari Jabir bin Samurah RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui batu di Makkah yang memberi salam kepadaku sebelum aku diutus, sekarang aku benar-benar mengetahuinya."
Dari Jabir bin Abdillah RA, dia mengatakan, “Kala itu masjid ditopang dengan pangkal-pangkal pohon kurma. Saat menyampaikan khutbah, Rasulullah SAW berdiri di salah satu pangkal pohon tersebut. Begitu beliau telah dibuatkan mimbar dan saat itu beliau berada di atasnya, kami mendengar pada pangkal pohon itu suara seperti suara ringkikan hingga Rasulullah SAW menghampirinya lantas meletakkan tangan beliau padanya dan pangkal pohon itu pun tenang.”
Dari Anas RA, dia mengatakan, “Rasulullah SAW mendaki Gunung Uhud bersama Abubakar, Umar, dan Utsman. Lalu gunung Uhud bergetar.
Rasulullah SAW pun bersabda, ‘Tenanglah, Uhud.’
Aku menduga beliau menghentakkan kaki beliau, ‘… karena tidak ada yang berada di atasmu selain seorang nabi, orang shiddiq (Abubakar), dan dua orang syahid (Umar dan Utsman)’.”
“Siapa Yang Membakar Ini?”
Adapun di antara wujud rahmat Rasulullah SAW terhadap hewan, beliau SAW melarang menjadikan hewan sebagai sasaran dalam pemanahan, serta melarang membunuh hewan secara perlahan, yaitu dengan menahannya hingga mati. Dari Said bin Jubair, dia mengatakan, Ibnu Umar RA melewati sejumlah pemuda Quraisy yang memasang burung-burung sebagai sasaran dan mereka memanahnya. Mereka menetapkan setiap burung yang tidak terkena panah mereka sebagai hak pemiliknya. Begitu melihat Ibnu Umar, mereka membubarkan diri.
Ibnu Umar bertanya, “Siapa yang melakukan ini? Allah mengutuk orang yang melakukan ini. Sesungguhnya Rasulullah SAW mengutuk orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran.”
Beliau SAW memerintahkan berlaku lemah lembut dan ihsan dalam membunuh atau menyembelih hewan.
Dari Syaddad bin Aus RA, dia mengatakan, “Dua hal yang kuhafal dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah menetapkan ihsan pada segala sesuatu. Oleh karena itu, jika kamu membunuh (hewan), lakukanlah pembunuhan dengan ihsan. Jika kamu menyembelih (hewan), sembelihlah dengan ihsan, dan hendaknya salah seorang di antara kamu menajamkan belatinya, serta memberi kenyamanan kepada sembelihannya’."
Beliau SAW melarang mencaci ayam. Dalam hadits dari Zaid bin Khalid RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian mencaci ayam jantan, sesungguhnya ia membangunkan untuk shalat." Rasulullah SAW adalah nabi rahmat yang mengemban petunjuk bagi seluruh alam. Kutukan adalah semacam kemarahan dan siksaan, sedangkan cahaya-cahaya rahmat beliau SAW menghancurkan kegelapan-kegelapan kemarahan dan siksaan. Keduanya tidak dapat terhimpun.
Beliau SAW melarang mengambil anak-anak burung dari induknya dan melarang membakar (membunuh) hewan dengan api. Dari Abdurrahman bin Abdullah, dari ayahnya RA, dia mengatakan, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan. Lalu beliau bergegas untuk memenuhi keperluan beliau. Kemudian kami melihat seekor burung bersama dua anaknya. Kami pun mengambil kedua anaknya. Burung itu datang dengan mengepak-ngepakkan kedua sayapnya.
Begitu Rasulullah SAW datang, beliau bersabda, ‘Siapa yang membuat burung ini menderita lantaran terpisah dengan anaknya? Kembalikan anaknya kepadanya’.”
Dalam kisah lain disebutkan, “Begitu melihat perkampungan semut yang telah kami bakar, beliau bertanya, ‘Siapa yang membakar ini?’
‘Kami,’ jawab kami.
Beliau pun bersabda, ‘Sesungguhnya tidak ada yang layak menyiksa dengan api kecuali Tuhan, Pemilik api’.”
Maka sungguh sangat menyedihkan “kebiasaan” masyarakat zaman sekarang yang begitu kompak dan bersemangat saat membakar sesama manusia yang terkadang hanya karena mencuri jemuran.
“Anjing Ini Benar-benar Kehausan…”
Kasih sayang terhadap hewan merupakan sebab bagi rahmat dan ampunan Allah. Kasih sayang Islam terhadap hewan mencapai tingkatan yang tidak terbayangkan oleh manusia, yaitu saat Rasulullah SAW memberitahukan bahwa Allah SWT mengampuni orang yang menyayangi anjing yang kehausan lantas dia memberinya minum.
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Ketika seseorang berjalan, dia merasa sangat kehausan. Dia pun turun ke sumur lantas minum darinya. Kemudian dia keluar dan ternyata ada seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya. Anjing itu makan tanah karena kehausan. Orang itu berkata dalam hati, ‘Anjing ini benar-benar mengalami kehausan seperti yang aku rasakan.’ Maka dia pun segera memenuhi sepatu kulitnya dengan air kemudian memegangnya dengan mulutnya. Lalu dia naik ke atas dan memberi minum anjing itu. Allah pun membalas kebaikannya dan mengampuninya.” Para sahabat pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami juga mendapat pahala terkait perbuatan baik kepada binatang?”
Beliau bersabda, "Pada setiap hati yang basah (makhluk hidup) terdapat pahala." Pada hadits riwayat lainnya disebutkan, bahkan seandainya pun orang itu seorang yang kurang taat. Kebalikan dari kisah di atas, seorang perempuan disiksa dalam neraka karena dia menahan seekor kucing hingga mati.
Dari Abdullah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Seorang perempuan disiksa karena seekor kucing yang dikekangnya hingga mati. Dia pun masuk neraka lantaran kucing.
Dia tidak memberinya makanan, tidak pula memberinya minum saat menahannya, dan dia pun tidak membiarkannya makan serangga-serangga di bumi." Beliau SAW pun membela unta yang terzhalimi.
Dari Abdullah bin Ja'far RA, dia mengatakan, “Beliau memasuki kebun milik seorang dari kaum Anshar dan ternyata ada seekor unta.
Begitu melihat Rasulullah SAW, unta itu merintih dan bercucuran air mata. Rasulullah SAW segera menghampirinya dan mengusap kedua pangkal telinganya, lantas unta itu diam. Beliau bertanya, "Siapa pemilik unta ini? Siapa pemilik unta ini?" Seorang pemuda Anshar datang dan berkata, “Milikku, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, "Tidakkah engkau takut kepada Allah terkait binatang yang dijadikan oleh Allah sebagai milikmu?! Sesungguhnya ia mengadu kepadaku bahwa engkau membiarkannya kelaparan dan engkau berlaku kasar terhadapnya."
Rahmat kenabian mencapai tingkat yang sangat luhur saat Allah menetapkan pahala bagi manusia jika binatang-binatang dan burung-burung memakan sesuatu dari yang ia tanam meski itu tanpa didasari motivasi yang disengaja.
Dari Anas bin Malik RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang muslim menanam tumbuhan atau menanam tanaman lantas ada yang dimakan oleh burung-burung atau manusia atau binatang melainkan itu baginya merupakan sedekah."
“Apakah Kalian Mencium Anak-anak Kalian?”
Masyarakat Madinah pada masa Rasulullah SAW adalah masyarakat satu keluarga, dan beliau SAW berperan sebagai ayah bagi mereka semua. Beliaulah yang memberikan nama anak yang dilahirkan dan melakukan tahnik (mengunyah sebutir kurma kemudian meletakkan pada mulut bayi dan memutar pada sisi-sisinya). Beliau juga mendoakan mereka agar mendapatkan kebaikan dan keberkahan. Dari Abu Musa RA, ia mengatakan, “Anakku lahir, lantas aku membawanya kepada Rasulullah SAW. Beliau memberinya nama ‘Ibrahim’ dan melakukan tahnik terhadapnya dengan sebutir kurma dan mendoakannya agar diberkahi. Kemudian beliau menyerahkannya kembali kepadaku.” Itu adalah anak Abu Musa yang paling besar.
Dari Aisyah Ummul Mu’minin RA, Rasulullah SAW mendoakan seorang bayi dengan mengucapkan, "Ya Allah, jadikanlah dia sebagai anak yang berbakti, bertaqwa, dan bijak, serta tumbuhkanlah dia dalam Islam dengan pertumbuhan yang baik."
Doa ini termasuk dalam sekian banyak kalimat beliau SAW yang singkat namun sarat dengan makna, atau dikenal dengan istilah jawami’ul kalim. Pada setiap kata darinya terhimpun maksud yang besar di antara maksud-maksud agama ini, yaitu berbakti, bertaqwa, bijak, dan pertumbuhan dalam Islam dengan pertumbuhan yang baik. Kesemuanya itu adalah makna-makna komprehensif yang luas cakupannya, menghimpun hakikat-hakikat yang besar, dan hampir-hampir merangkum ajaran agama secara keseluruhan.
Demikianlah rahmat yang dibawa Rasulullah SAW kepada anak-anak. Di antara wujud rahmat Rasulullah SAW lainnya terhadap anak-anak adalah penanaman aqidah yang benar dan pokok-pokok keimanan dalam jiwa anak sejak dini. Penanaman prinsip-prinsip sejak kecil dan pengajaran hakikat-hakikat keimanan kepada anak selayaknya menjadi tradisi pendidik yang peduli terhadap perkembangan yang baik, kedalaman kebenaran, keteguhan aqidah, dan persiapan yang baik bagi masa depan.
Dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan, “Suatu hari aku berada di belakang Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ‘Wahai anak! Aku mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah (agama) Allah, niscaya Dia akan menjagamu; dan jagalah (agama) Allah, niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.
Ketahuilah, sesungguhnya jika umat berhimpun hendak memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu, mereka tidak dapat memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah bagimu. Dan seandainya mereka berhimpun hendak membahayakanmu dengan sesuatu, mereka tidak dapat membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah bagimu. Pena telah diangkat dan buku catatan amal telah kering." Makna "Pena telah diangkat dan buku catatan amal telah kering" adalah bahwa apa yang telah ditetapkan pasti terjadi.
Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Al-Musnad dengan tambahan, "Kenalilah Allah pada saat lapang, niscaya Dia mengenal-Mu pada saat sulit. Dan ketahuilah, dalam kesabaran terhadap apa yang tidak engkau sukai terdapat banyak kebaikan, kemenangan bersama kesabaran, ada jalan keluar bersama kesusahan, dan bersama kesulitan ada kemudahan."
Selain itu, wujud rahmat Rasulullah SAW lainnya lagi adalah penanaman sikap hormat dan menghargai dalam jiwa anak melalui interaksi yang luhur bersamanya dan mengajarkan akhlaq Islam dan adab-adabnya kepadanya. Ini tampak dalam berbagai gambaran teladan dari beliau, di antaranya beliau mengucapkan salam kepada anak-anak, sedangkan salam adalah wujud perhatian, kepedulian, dan adanya saling keterikatan sosial di antara individu-individu umat.
Terkait salam Rasulullah SAW kepada anak-anak khususnya, itu merupakan sinyalemen bagi kalangan orang-orang dewasa agar memberikan perhatian yang semestinya kepada anak-anak, dan mereka tidak memandang anak-anak dengan pandangan merendahkan dan meremehkan.
Dari Sayyar, dia mengatakan, “Aku berjalan bersama Tsabit Al-Bunany. Begitu melewati anak-anak, Tsabit memberi salam kepada mereka lantas berkata, ‘Saat aku bersama Anas RA lantas melewati anak-anak, dia pun memberi salam kepada mereka dan Anas RA mengatakan, ‘Saat aku bersama Rasulullah SAW dan melewati anak-anak, beliau memberi salam kepada mereka’.”
Dari Wahb bin Kaisan, dia mendengar Umar bin Abu Salamah RA mengatakan, “Saat masih kecil aku berada dalam asuhan Rasulullah SAW. Ketika itu tanganku meraih-raih ke sana-kemari di nampan tempat makanan. Rasulullah SAW pun bersabda kepadaku, ‘Wahai anak! Ucapkanlah basmalah, dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah makanan yang dekat denganmu.’ Itulah yang kemudian terus aku amalkan saat aku menyantap makanan.”
Betapa indah pengaruh positif yang diabadikan oleh Umar bin Abu Salamah RA pada bagian akhir hadits ini, "Itulah yang kemudian terus aku amalkan saat aku menyantap makanan." Ini mengungkapkan kekuatan kehendak anak dalam merespons dan membuat perubahan.
Di antara gambaran tentang penanaman rasa hormat dan menghargai dalam jiwa anak adalah mendidiknya agar menunaikan ibadah dengan berbagai ragamnya sejak usia mumayiz (mulai dapat membedakan yang membahayakan dan tidak), mengarahkannya agar suka beribadah, dan melatihnya beribadah, agar dia berkembang dengan lurus dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT, jauh dari kesesatan dan penyimpangan.
Dari Amru bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila mereka tidak mengerjakannya pada saat mereka berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka."
Beliau juga amat menghargai keinginan dan perasaan seorang anak. Hal tersebut tampak pada berbagai momentum, bahkan pada saat beliau menunaikan shalat. Lantas bagaimana selayaknya perilaku seorang mukmin di luar shalat?
Dari Abdullah bin Syaddad, dari bapaknya, Syaddad RA, dia mengatakan, “Rasulullah SAW keluar menemui kami pada saat shalat Maghrib atau Isya dengan membawa Hasan atau Husain. Rasulullah SAW pun mengambil tempat di depan lantas meletakkan cucu beliau itu. Kemudian beliau bertakbir untuk shalat.
Pada saat menunaikan shalat, beliau sujud cukup lama di tengah-tengah shalat beliau. Bapakku mengatakan, ‘Aku pun mengangkat kepalaku. Ternyata ada anak kecil di atas punggung Rasulullah SAW saat beliau sedang sujud. Lalu aku kembali bersujud.
Begitu Rasulullah SAW selesai dari shalat, orang-orang bertanya: Wahai Rasulullah, engkau sujud di tengah-tengah shalatmu dengan sujud yang engkau lamakan hingga kami mengira ada suatu kejadian atau ada wahyu yang diturunkan kepadamu.
Beliau bersabda: Itu semua tidak terjadi, akan tetapi cucuku ini menaiki punggungku, maka aku tidak mau segera membuatnya turun hingga dia memenuhi keperluannya’.”
Kasih sayang kepada anak-anak adalah anugerah dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang terbaik dan identitas mukmin sejati dalam seluruh hubungannya. Siapa yang tidak menyayangi tidak akan disayangi. Dari Abu Hurairah RA, dia mengatakan, “Rasulullah SAW mencium Hasan bin Ali, dan ketika itu Aqra' bin Habis At-Tamimy duduk bersama beliau.
Aqra' berkata, ‘Aku memiliki sepuluh anak namun aku tidak pernah mencium seorang pun dari mereka.’ Rasulullah SAW memandangnya kemudian bersabda, ‘Siapa yang tidak menyayangi tidak akan disayangi’." Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan dari Aisyah RA dikatakan, sejumlah orang pedalaman datang kepada Rasulullah SAW lantas mereka bertanya, “Apakah kalian mencium anak-anak kalian?” Orang-orang itu menjawab, “Ya.”
Mereka berkata lagi, “Akan tetapi, demi Allah, kami tidak mencium.”
Rasulullah SAW bersabda, "Dan aku layak khawatir bila Allah telah mencabut kasih sayang dari kalian!" Dalam riwayat lain, "Mencabut kasih sayang dari hatimu atau hati kalian."
Rahmat Rasulullah SAW terhadap anak-anak dan canda beliau dengan mereka tidak menjadi penghalang bagi beliau untuk menyampaikan pembinaan dan bimbingan kepada mereka. Sebagaimana yang terungkap dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Laila RA, dia mengatakan, “Aku bersama Rasulullah SAW yang ketika itu di dada atau perut beliau ada Hasan atau Husain. Aku melihat kencingnya mengucur ke mana-mana, maka kami segera menghampirinya.
Namun beliau mencegah, ‘Biarkan cucuku, kalian jangan membuatnya kaget hingga dia menyelesaikan kencingnya."
Kemudian beliau mengguyur bekas kencing sang cucu dengan air. Setelah itu beliau bergegas masuk gudang kurma zakat dan cucunya turut masuk bersama beliau. Anak itu mengambil kurma lantas meletakkannya di mulut Rasulullah SAW. Namun beliau SAW segera mengeluarkan kurma itu dan bersabda, "Sesungguhnya zakat tidak diperkenankan bagi kami (ahlul bayt)."
Beliau juga amat memotivasi anak-anak untuk siap berjuang dan menumbuhkan keahlian yang berkaitan dengan kekuatan melalui latihan memanah. Sebagaimana diungkap dalam hadits yang diriwayatkan dari Salamah bin Akwa' RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW melewati sejumlah orang dari Aslam yang sedang melakukan lomba memanah. Rasulullah SAW bersabda, "Memanahlah, hai keturunan Ismail, sesungguhnya leluhur kalian adalah seorang pemanah….”
Salamah bin Akwa' RA mengatakan, begitu salah satu dari dua kelompok itu menahan tangan mereka, Rasulullah SAW bertanya, "Mengapa kalian tidak memanah?" Mereka menjawab, “Bagaimana kami memanah, sementara engkau bersama mereka?” Rasulullah SAW bersabda, "Panahlah, sebab aku bersama kalian semuanya." Tidaklah mengherankan bila Nabi, petunjuk dan rahmat SAW, memiliki perhatian yang sangat besar seperti ini terhadap anak-anak sejak usia dini, yaitu sejak masa perkembangan mereka yang pertama. Rasulullah SAW mengajari umat beliau bahwa pendidikan sesungguhnya dimulai sejak masa perkembangan anak yang pertama. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Huriarah RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada seorang bayi pun melainkan dilahirkan dalam fitrah (suci). Kedua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang menghasilkan binatang yang utuh (tanpa cacat). Apakah kamu merasa ada yang terpotong padanya?"
Kemudian Abu Hurairah RA membaca, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam), (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Ar-Rum: 30).
“Padanya Tetap Ada Kebengkokan”
Setiap orang beriman harus mengetahui, di antara rahmat terbesar dalam misi kenabian Rasulullah SAW adalah hukum-hukum syari’at yang lurus, yang mengatur kehidupan manusia, laki-laki maupun perempuan, melindungi hak-hak mereka, dan menegakkan timbangan-timbangan keadilan di antara mereka. Itu semua bermuara dari sumber rahmat, dan itulah yang mewujudkan kebahagiaan umat manusia di dunia, meskipun sebagiannya terkesan keras. Pada akhirnya, mereka akan kembali ke akhirat, menuju kebahagiaan yang lebih agung.
Wanita muslimah pada masa-masa awal benar-benar menyambut dakwah Islam dan menerapkan adab-adabnya. Imannya kepada Allah dan Rasul-Nya SAW benar-benar tulus, tidak melanggar ketentuannya, dan tidak melampaui batas. Mereka tidak melibatkan diri dalam tugas dan pekerjaan laki-laki terkait apa yang dikhususkan Allah bagi laki-laki dan terkait berbagai kewajiban serta tanggung jawab yang ditetapkan bagi laki-laki. Wanita muslimah saat itu melakukan amalnya yang didasarkan pada adanya persamaan dengan laki-laki dalam kebaikan secara umum, dan berlomba-lomba dengan laki-laki dalam hal-hal kebaikan dan kebajikan yang dapat mengangkat martabatnya dan memperbesar pahalanya. Titik tolak ini seluruhnya adalah dari firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (An-Nisa’: 32).
Pada masa-masa kelam dulu, wanita mengalami penyiksaan yang buruk dan diragukan kemanusiannya. Orang-orang enggan memposisikan wanita sebagai pihak yang memiliki motivasi seperti laki-laki, dan wanita dibebani berbagai dosa dan kesalahan yang tak memiliki ketentuan dalam agama. Yang dibutuhkan wanita masa kini adalah membaca. Hendaknya wanita membaca sejarahnya dalam Islam, sikap Islam terhadap wanita, dan sejauh mana perhatian Islam terhadap wanita, agar mereka tahu apa yang dipropagandakan musuh-musuh Islam dan berbagai kalangan yang dalam hatinya terdapat penyakit kebohongan, yang tidak layak untuk diperhatikan atau dilirik sedikit pun.
Di antara rahmat Rasulullah SAW terhadap kaum wanita adalah wasiat bagi kaum wanita dan penegasan terhadap besarnya hak mereka. Dari Abu Hurairah RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dia tidak akan istiqamah terhadapmu pada satu ketentuan. Jika kamu menikmatinya, kamu mendapatkan kenikmatan padanya, tapi padanya tetap ada kebengkokan. Jika kamu hendak meluruskannya, (akibatnya) kamu mematahkannya, dan mematahkannya berarti menceraikannya."
Banyak orang salah memahami hadits yang mulia ini. Kendala yang dialami orang seperti ini hanyalah karena minim pengetahuan dan buruknya pemahaman. Rasulullah SAW, yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu melainkan wahyu yang diturunkan, menetapkan dalam hadits mulia ini hakikat yang fitri dan nyata. Bukanlah cela bagi wanita bila kekurangan itu terdapat pada pokok pembentukan dan penciptaannya, sebab ini merupakan perkara yang pasti terjadi padanya, namun itu mengandung hikmah yang luhur yang dikehendaki oleh Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana, untuk menetapkan kewenangan dan pengayoman laki-laki terhadapnya, berusaha keras untuk memuliakannya dan berbuat baik kepadanya, dan agar wanita dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, Islam tidak membebankan kepada wanita sesuatu di luar kemampuannya. Bahkan Islam melarangnya dari segala sesuatu yang tidak baik untuk dilakukannya, yaitu segala sesuatu yang tidak selaras dengan watak kewanitaan dan kondisi fisiknya. Sebab, implikasinya justru mengabaikan tanggung jawabnya yang sesuai dengan fitrahnya, yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Akibatnya kehidupan pun rusak dan tidak kondusif. Maka jadilah dia seperti orang yang membangun istana dan menghancurkan kota.
Selain itu, di antara rahmat Rasulullah SAW terhadap kaum wanita adalah penjelasan beliau SAW bahwa istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Dari Abdullah bin Umar RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, wanita (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, dan pembantu adalah pemimpin terkait harta tuannya dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya." Beliau juga mewasiatkan agar kaum wanita diperlakukan dengan baik dan hak-hak mereka ditunaikan. Dari Bahz bin Hakim RA, dia mengatakan, “Bapakku menyampaikan kepadaku dari kakekku bahwa dia mengatakan, ‘Aku bertanya: Wahai Rasulullah, terkait istri-istri kami, apa yang harus kami tunaikan terhadap mereka dan apa yang kami tinggalkan?
Beliau bersabda: Datangilah lahanmu bagaimana pun yang kamu kehendaki, dan berilah dia makan jika kamu makan, serta berilah dia pakaian jika kamu mengenakan pakaian. Jangan menjelekkan wajah, jangan memukul, dan jangan berseteru kecuali di dalam rumah’."
Rasulullah SAW, pribadi yang sempurna, juga telah mencontohkan bagaimana beliau menjadi pendengar yang baik atas keluhan yang disampaikan kaum wanita. Dalam sebuah riwayat dari Urwah bin Zubair dikatakan, Aisyah berkata, “Mahasuci Allah, Yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Aku benar-benar mendengar ucapan Khaulah binti Tsa'labah dan sebagiannya tersembunyi dariku. Dia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, dia menikmati masa mudaku dan aku setia dalam melayaninya. Namun, begitu aku sudah tua dan tidak produktif lagi, dia melakukan zihar (seorang suami menyamakan istrinya dengan ibunya sehingga haram istrinya) terhadapku. Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu.”
Periwayat mengatakan, dia tetap bertahan hingga Jibril turun dengan membawa ayat-ayat yang terkait dengan itu, "Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah." (QS Al-Mujadilah:1) Perhatikan pula bagaimana beliau melindungi kaum wanita dari segala hal yang tidak diinginkan, di antaranya lewat peringatan beliau SAW terhadap bepergiannya seorang wanita. Dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama muhrimnya, dan janganlah ada laki-laki yang menemuinya kecuali dia disertai muhrimnya." Seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, aku hendak keluar dan bergabung dengan pasukan perang begini dan begini, sementara istriku hendak menunaikan ibadah haji?” Beliau bersabda, "Keluarlah bersamanya."
IY, sumber: Risalah Ustadz Muhammad Vad’aq tentang Rahmat Rasulullah SAW terhadap Alam Semesta |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar