Profil Singkat Ketum FBR
Tekadnya bulat, ingin mengangkat harkat dan martabat masyarakat Betawi di kampungnya sendiri. Tekad itu yang mendorongnya mendirikan organisasi massa Forum Betawi Rempug (FBR).
Sosok Drs KH A Fadloli El Muhir memang tidak lepas dari FBR. Karena lewat tangannyalah organisasi itu lahir dan kini menjadi besar. Ia menilai, kehadiran organisasi itu diperlukan untuk membangkitkan semangat masyarakat Betawi agar bisa menjadi tuan rumah di kampungnya sendiri.
Sebagai putra daerah, hatinya bangga melihat pesatnya pembangunan Kota Jakarta. Tapi, sangat disayangkan, ternyata kemajuan yang diperoleh Kota Jakarta, ia rasakan kurang berimbas pada kehidupan masyarakat Betawi. Bahkan masyarakat Betawi kini banyak tersingkir ke pinggiran kota Jakarta dan sebagian kota penyangga Jakarta.
"Tanah kelahiran mereka kini dibangun gedung-gedung pemerintahan dan mal-mal. Padahal, di satu sisi mereka sering kali tidak diberi kesempatan untuk bekerja di kantor-kantor pemerintahan," ia menjelaskan, belum lama ini.
Kenyataan itu menyentuh hatinya. Terlebih berdasarkan penilaiannya, tersingkirnya masyarakat Betawi dari tanahnya, bukan hanya karena kurangnya perhatian pemerintah kepada putra daerah, tapi juga karena kurangnya kepedulian masyarakat Betawi untuk meningkatkan potensi dirinya demi menghadapi persaingan dan kemajuan zaman.
Maklum, sejak puluhan tahun yang lalu, sebagian masyarakat Betawi dikenal kurang mengutamakan pendidikan. Mereka juga telanjur dicap sebagai masyarakat yang pemalas, persis seperti gambaran tokoh Mandra di sinetron Si Doel Anak Sekolahan.
Sehingga kini jumlah kaum muda Betawi yang berpendidikan tinggi, seperti tokoh si Doel di sinetron tersebut masih sangat sedikit. Padahal, pendidikan kini menjadi salah satu syarat utama yang diminta banyak perusahaan. Akibatnya mereka pun kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak.
"Akhirnya orang Betawi pun banyak menjadi pengangguran. Lama-lama untuk biaya hidup sehari-hari mereka menjual tanahnya dan pindah ke pinggiran kota. Saya tidak ingin hal itu terus berlangsung, karena orang Betawi berhak tetap tinggal di Jakarta," ujarnya.
Tekad itulah yang mendorong Fadloli meninggalkan kedudukannya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan memilih berkumpul bersama beberapa tokoh Betawi untuk mengajak kaum muda bergabung ke dalam FBR.
Menumbuhkan Kesadaran
Kehadiran organisasi itu ia rasa penting untuk membantu menumbuhkan kesadaran masyarakat Betawi, terutama kaum mudanya, agar bangkit dan memperbaiki hidupnya. Terlebih ia melihat gemerlapnya kehidupan Kota Jakarta dan acara-acara yang ditayangkan televisi, ternyata telah memberikan pengaruh buruk pada pertumbuhan sikap dan kejiwaan sebagian kaum muda Betawi.
Kehidupan masyarakat Betawi yang dulunya terkenal sangat agamis, kini mulai terkikis. Masjid dan musala mulai banyak ditinggalkan kaum muda, karena mereka lebih senang nongkrong di pinggir jalan dan tak jarang menjadi preman pasar.
Kegiatan mengaji kini banyak tergantikan oleh kegiatan tawuran, berjudi dan minum minuman keras. Akibatnya, putra daerah yang seharusnya dapat diandalkan dalam mengamankan Jakarta, justru sering kali malah ikut merusak Jakarta.
"Hal itu sungguh menyedihkan. Kehadiran FBR tidaklah muluk-muluk. Saya hanya ingin menumbuhkan kesadaran masyarakat Betawi bahwa pendidikan itu sangat penting. Dan mereka kembali ke kehidupan yang religius," ia menambahkan.
FBR pun didirikan pada 29 Juli 2001 tidak hanya sebagai tempat berkumpul bagi kaum muda Betawi yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Organisasi massa itu juga diharapkan bisa menjadi tempat bagi kaum muda Betawi untuk menimba ilmu agama dan menghidupkan kembali adat-istiadat Betawi yang mulai ditinggalkan.
"Kami pun mendirikan sekitar 250 unit gardu di Jabotabek. Masing-masing gardu memiliki minimal 100 anggota. Di tempat itulah mereka setiap minggu berkumpul untuk belajar agama dan adat Betawi. Melalui kegiatan di gardu kami juga mencoba menggugah kesadaran kaum muda Betawi mengenai arti pentingnya pendidikan dalam menghadapi persaingan dunia kerja saat ini," ia menjelaskan.
Tak hanya sebagai sebuah tempat belajar, organisasi itu juga berusaha membantu para anggotanya untuk mendapatkan kesempatan kerja di sejumlah perusahaan swasta. "Kami juga selalu mengingatkan anggota untuk bekerja serius dan jujur. Karena dengan kejujuran kita bisa dipercaya oleh atasan. Dan dengan bekerja keras kita baru bisa berhasil, tidak terkecuali meski hanya bekerja sebagai tukang ojek," katanya.
Sederhana dan Disiplin
Masa kecil Fadloli dihabiskannya dengan berguru ke beberapa pesantren. Pendidikan agama diperolehnya dari sejumlah alim ulama. Meski tumbuh dari keluarga yang berada, tapi Fadloli kecil telah terbiasa hidup sederhana dan disiplin di pesantren.
"Sejak kecil saya bahkan nyaris tidak pernah di rumah. Waktu saya dihabiskan dengan belajar di pesantren-pesantren. Karena itulah saya tumbuh dengan dasar agama yang kuat," ia mengungkapkan.
Ia mengaku bangga menjadi orang Betawi, dan bertekad akan terus memberikan yang terbaik bagi kemajuan masyarakat Betawi di masa depan. Harapannya, 15 tahun ke depan masyarakat Betawi makin diperhitungkan keberadaannya di kampungnya sendiri. [Pembaruan/Yumeldasari Chaniago]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar